Daerah

Kota Surabaya

Kota Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan. Kota terbesar kedua di Indonesia setelah kota Jakarta ini dikenal pula sebagai pusat bisnis, industri, perdagangan, dan pendidikan di kawasan timur Pulau Jawa dan sekitarnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Patung Suro dan Boyo setinggi 25,6 meter di Taman Suroboyo ini menjadi ikon baru bagi Kota Surabaya di Jawa Timur. Ini patung ikan hiu dan buaya ketiga yang ada di Surabaya. Patung yang merupakan kado bagi Hari Ulang Tahun ke-726 Kota Surabaya ini dibangun menggunakan dana tanggung jawab sosial PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) dan diresmikan pada 29 Mei 2019.

Fakta Singkat

Ibu Kota
Surabaya

Hari Jadi
31 Mei 1293 (SK Walikotamadya No. 64/WK/75/18 Maret 1975)

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 12/1950

Luas Wilayah
326,81 km2

Jumlah Penduduk
3.158.943 jiwa (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Walikota Tri Rismaharini

Wakil Walikota Whisnu Sakti Buana

Kota Surabaya memang menyimpan banyak cerita perjuangan para pemuda untuk kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang paling dikenang adalah aksi heroik arek-arek Suroboyo, sebutan untuk orang Surabaya, pada pertempuran 10 November 1945. Ketika itu, para pemuda Surabaya dengan bekal bambu runcing berani melawan pasukan Sekutu, dalam hal ini tentara Inggris.

Dalam peristiwa itu, puluhan ribu warga Surabaya tewas saat berjuang membela Tanah Air. Peristiwa heroik tersebut kemudian dikenal sebagai peringatan Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahunnya. Berkat peristiwa itu pula, Kota Surabaya mendapat sebutan sebagai Kota Pahlawan.

Kota Surabaya ditetapkan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten di Jawa Timur. Selanjutnya Surabaya ditetapkan sebagai kota besar berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hari jadi Kota Surabaya ditetapkan pada tanggal 31 Mei 1293 berdasarkan pada Surat Keputusan Wali Kotamadya Nomor 64/WK/75/18 Maret 1975 tentang hari jadi Kota Surabaya. Keputusan penetapan hari jadi itu bertepatan dengan pengusiran tentara Tartar oleh Raden Wijaya. Tahun ini, Kota Surabaya merayakan hari jadinya ke-727.

Kota berlambang binatang Sura dan Baya ini memiliki luas 326,81 kilometer persegi. Secara administratif, Kota Surabaya terdiri atas 31 kecamatan dan 154 kelurahan.

Kota yang memiliki slogan “Jer Basuki Mawa Bea” (untuk mencapai suatu kebahagiaan diperlukan pengorbanan) ini kini berkembang menjadi kota metropolis. Kemajuan perdagangan dan perekonomian di kota ini menyebabkan berkembangnya pembangunan dan infrastruktur kota yang sangat pesat.

Kota Surabaya juga diakui secara internasional dalam banyak aspek. Beberapa prestasi dan penghargaan yang diterima antara lain Asian Townscape Award oleh PBB, ASEAN Environment Sustainable City Award, dan Asian Cities of the Future.

Sejarah Pembentukan

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Foto-foto repro Surabaya Tempo Doeloe masa Kolonial Belanda. Gambar Pasar Besar di Tanjung Perak.

Kota Surabaya termasuk salah satu kota tertua di Indonesia. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kota ini sudah ada jauh sebelum zaman kolonial Belanda seperti disebutkan dalam buku berjudul Surabaya 1945 Sakral Tanahku karya Frank Palmos dan laman resmi Pemerintah Kota Surabaya tentang profil Kota Surabaya.

Nama Surabaya muncul dalam Negarakretagama, pidato Raja Hayamwuruk dari Kerajaan Majapahit yang ditulis pada daun lontar pada tahun 1365. Sejarawan juga percaya bahwa armada Kubilai Khan diserang di sekitar area pelabuhan Surabaya pada tahun 1293.

Pada tanggal 31 Mei 1293, terjadi pertempuran ketika Raden Wijaya yang merupakan pendiri dan raja pertama Kerajaan Majapahit mampu mengalahkan pasukan Mongol, China. Akibat kekalahan tersebut, pasukan Mongol terpaksa mundur ke laut dalam kejaran pasukan Majapahit dan meninggalkan tanah Jawa kembali ke China. Kemudian, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit pada 10 November 1293.

Kedatangan pasukan Mongol ke Jawa awalnya untuk menyerang Kerajaan Singasari lantaran Raja Singasari, yakni Kertanegara, menyiksa utusan Mongol. Peristiwa tersebut kemudian dijadikan sebagai tanggal berdirinya Kota Surabaya.

Pada abad ke-15, agama Islam mulai menyebar dengan pesat di Kota Surabaya. Sunan Ampel yang merupakan satu di antara anggota dari walisongo, mendirikan masjid dan pesantren di wilayah Ampel. Pada tahun 1530, Surabaya menjadi salah satu bagian dari Kesultanan Demak.

Surabaya menjadi sasaran utama penaklukan Kesultanan Mataram setelah runtuhnya Kesultanan Demak. Pasukan Senopati menyerbu pada tahun 1598, diserang habis-habisan oleh Panembahan Seda ing Krapyak pada tahun 1610, kemudian diserang Sultan Agung pada tahun 1614.

Puncaknya pemblokan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung yang akhirnya memaksa Surabaya untuk menyerah. Pasukan Trunojoyo dari Madura dapat merebut Surabaya tahun 1675, namun pada akhirnya harus didepak Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC tahun 1677.

Kota Surabaya menjadi bagian dari penjajahan Belanda sejak abad ke-18 seperti disebutkan dalam buku  Sejarah Pemerintah Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial Sampai Masa Reformasi (1906-2012) karya Purnawan Basundoro.

Kota Surabaya secara resmi menjadi bagian dari kekuasaan VOC setelah tahun 1705, Mataram mengadakan perjanjian dengan VOC yang salah satu isinya menyebutkan VOC diberi kebebasan untuk mendirikan benteng di seluruh wilayah Jawa. Hal itu dilakukan setelah Mataram merasa berhutang budi kepada VOC karena telah membantu memadamkan berbagai pemberontakan.

Tahun 1743, Belanda memindahkan kedudukan Gezaglrcbber ztan den Oosthoek dari Kota Semarang ke Kota Surabaya, sehingga Kota Surabaya resmi menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian Belanda membentuk wilayah administratif yang disebut Wijk, yaitu struktur pemerintahan paling bawah yang dipimpin oleh Wijkhoofd atau Wijknrcester.

Pemerintah Belanda juga membentuk beberapa dinas, yakni Dinas Urusan Umum (Gemeente Secretarie) Pekerjaan Umum (Gemeente Werken) yang meliputi Pemadam Kebakaran (Brandweer), perusahaan-perusahaan (Gemeente Bedrijzten), antara lain, perusahaan air minum, pemotongan hewan (abattoir), pasar, dan Dinas Kesehatan Umum.

Tahun 1817, Kota Surabaya menjadi tempat kedudukan Residen Surabaya sekaligus ibu kota keresidenan. Pada periode ini, pengelolaan kota berada di bawah otoritas keresidenan dan secara teknis urusan kota diserahkan kepada Asisten Residen. Tahun 1903, lahir undang-undang desentralisasi (Decentralisntie Wet 1903), yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan kota secara otonom (gemeente) di berbagai daerah di Indonesia.

Pada tanggal 1 April 1906, Kota Surabaya disahkan sebagai wilayah otonom yang disebut sebagai Gemeente Surabaya. Berdirinya Gemeente Surabaya disahkan melalui Staatsblad No. 149 Tahun 1906 yang menjelaskan bahwa Surabaya berhak mengelola dan mendanai kotanya sendiri.

Ketika Belanda menyerah atas Jepang, seluruh pemerintahan dan wilayah kekuasaan Belanda di Surabaya langsung diambil alih oleh Jepang. Seperti daerah lainnya, Jepang juga menekankan semangat militer dan melakukan wajib militer bagi setiap warga Surabaya.

Tak hanya itu, Jepang juga mengganti istilah administratif pemerintahan. Misalnya, pemerintah Kota yang pada masa kolonial Belanda disebut Gemeente (kemudian ditingkatkan menjadi stadsgemeente) dan pada masa penjajahan Jepang disebut Shi.

Masa penjajahan Jepang dikenal dengan gaya pemerintahan yang keras. Siapapun yang melanggar aturan Pemerintah Jepang akan mendapat hukuman berat. Saat itu, Komite Nasional Indonesia Kota Surabaya berjuang merebut kekuasaan Jepang, namun berujung dengan meletusnya kekerasan di mana-mana.

Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu dan Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Sekutu bergabung dengan NICA kembali menjadikan Indonesia sebagai negara jajahan.

Pasukan sekutu menyebarkan selebaran yang isinya agar masyarakat menyerahkan senjata yang dimilikinya. Namun, masyarakat Surabaya menolak, apalagi harus mengangkat tangan. Kondisi itu membuat masyarakat Surabaya marah.

Pada tanggal 31 Oktober 1945, pimpinan Sekutu Brigadir AWS Mallaby tewas dan menyulut kemarahan pihak Sekutu. Masyarakat Surabaya diperingatkan untuk menyerah. Namun, peringatan itu tidak menyurutkan tekad masyarakat Surabaya untuk tetap mempertahankan wilayahnya.

Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Ketika itu, pejuang Indonesia yang gugur dalam pertempuran diperkirakan mencapai 20.000 orang sedangkan dari pihak sekutu diperkirakan mencapai 1.500 orang.

Untuk memperingati perjuangan tersebut, tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Keppres tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Kota Surabaya yang tadinya dibentuk berdasarkan Staatsblad 1928 No. 504 kemudian diubah menjadi Kota Besar Surabaya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950.

Geografis

Kota Surabaya terletak antara 112° 36’–112° 54’ Bujur Timur dan 7° 21’ Lintang Selatan. Di sebelah utara dan timur, wilayah Kota Surabaya berbatasan dengan Selat Madura. Di bagian selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik.

Kota Surabaya memiliki luas wilayah 326,81 kilometer persegi. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Benowo, yakni 23,73 kilometer persegi. Sedangkan, kecamatan terkecil adalah Kecamatan Simokerto dengan luas 2,59 kilometer persegi.

Secara geografis, Kota Surabaya terletak di hilir sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang bermuara di Selat Madura. Beberapa sungai besar yang berasal dari hulu mengalir melintasi Kota Surabaya, yaitu Kali Surabaya, Kali Mas, Kali Jagir, dan Kali Lamong.

Kota Surabaya menjadi salah satu hub penting untuk kegiatan perdagangan di Asia Tenggara. Terletak di jalur yang strategis, Surabaya tidak hanya menjadi pusat perdagangan bagi wilayah Jawa Timur, tapi juga memfasilitasi wilayah di sekitarnya.

KOMPAS/HERPIN DEWANTO PUTRO

Salah satu penumpang Kapal Layar Mesin HOS Tjokroaminoto memotret Jembatan Suramadu dari sisi bawah, Rabu (9/3/2016) di Surabaya, Jawa Timur. Selat Madura, terutama di sekitar Jembatan Suramadu, memiliki potensi wisata bahari yang dapat dikembangkan baik dari sisi Bangkalan, Madura, maupun sisi Surabaya. Pengembangan potensi wisata bahari penting untuk merespon surutnya minat warga menaiki kapal penyeberangan dari Surabaya ke Madura.

Pemerintahan

Sebutan Wali Kota Surabaya mulai dikenal sejak tahun 1945 atau sesaat setelah kemerdekaan. Sebelumnya, sebutan untuk posisi pemimpin Kota Surabaya adalah Burgermeester, kemudian sempat diganti dengan sebutan Shi Tyo pada masa penjajahan Jepang, sebelum akhirnya diganti menjadi wali kota. Bahkan pada era kemerdekaan juga pernah diganti dengan sebutan Kepala Urusan Haminte.

Menurut catatan sejarah, pada masa kolonialis Belanda, Burgermeester pertama Surabaya adalah A Meyroos yang menjabat antara tahun 1916 hingga 1920. Kemudian berturut-turut GJ Dijkerman (1920–1926), HJ Bussemaker (1926–1932), Ter Poorten (1932–1936), MHW van Helsdingen (1936–1942), dan WAH Fuchter (Januari 1942 – Februari 1942).

Ketika Belanda meninggalkan Surabaya pada Februari 1942, Surabaya sempat dipimpin oleh Penjabat Wali Kota Radjamin Nasution (Februari 1942 – September 1942). Masa jabatan Radjamin sangat singkat, lantaran ketika itu Jepang memasuki Surabaya dan mengambil alih pemerintahan yang sebelumnya dipegang Belanda. Kedudukan Radjiman kemudian digantikan oleh Takashi Ichiro yang bergelar Shi Tyo (1942–1945).

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali menguasai Surabaya. Saat itu, Surabaya dipimpin oleh CJG Becht yang bergelar Kepala Urusan Haminte yang menjabat selama November 1945. Namun, kedudukan Belanda tak berlangsung lama lantaran rakyat Surabaya melawan pemerintah kolonialis Belanda.

Kota Surabaya selanjutnya dipimpin oleh Wali Kota Indrakoesoema (Desember 1945 – Februari 1946), Soerjadi (1946–1950), Doel Arnowo (1950–1952), Moestadjab Soemowidagdo (1952–1956), R Istadjab Tjokrokoesoemo (1956–1958).

Kemudian dipimpin oleh R Satrio Sastrodiredjo (1958–1964), Moerachman (1964–1965), R Soekotjo (1965–1974), HR Soeparno (1974–1979), Moehadji Widjaja (1979–1984), H Poernomo Kasidi (1984–1994), Soenarto Soemoprawiro (1994–2002), dan Bambang Dwi Hartono (2002–2010).

Saat ini, Kota Surabaya dipimpin oleh Walikota Tri Rismaharini dengan wakilnya Whisnu Sakti Buana. Sebelumnya, Risma juga terpilih sebagai wali kota dengan wakilnya Bambang Dwi Hartono masa bakti 2010–2015.

Secara administratif, Pemerintah Kota Surabaya membagi wilayah menjadi 5 wilayah kerja pembantu wali kota, yaitu Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, Surabaya Barat, dan Surabaya Pusat. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2001, Kota Surabaya terbagi atas 31 kecamatan.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Surabaya tahun 2019 sebanyak 13.344 yang terdiri dari Golongan I 274 orang, Golongan II 3.387 orang, Golongan III 6.482 orang dan Golongan IV 3.201 orang.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Bupati dan Wali kota terpilih menandatangangi berita acara Pengangkatan saat Sumpah Jabatan dan Pelantikan serta Serah terima Jabatan 17 Bupati dan Wakil Bupati serta Wali kota dan Wakil Wali kota masa jabatan 2016-2021 di Jawa Timur oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Gedung Grahadi, Surabaya, Rabu (17/2/2016). Pelantikan dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Politik

Kekuatan politik Surabaya setidaknya dapat dilihat dari hasil perolehan kursi DPRD Surabaya pada saat Pemilu Legislatif. Selama tiga pemilihan umum legislatif, konstelasi politik di Kota Surabaya berlangsung dinamis.

Pada Pemilu 2009, DPRD Surabaya dikuasai oleh Partai Demokrat yang berhasil meraup 16 kursi (311.792 suara atau 31,3 persen), mengalahkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang hanya berhasil mempertahankan 8 kursi (198.010 suara atau 19 persen).

Posisi selanjutnya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera atau PKS yang meraup 65.358 suara atau 6,6 persen, Partai Kebangkitan Bangsa PKB 63.742 suara atau 6,4 persen dan Partai Golkar 53.549 suara atau 5,4 persen. Masing masing partai tersebut memperoleh 5 kursi.

Kemudian Partai Damai Sejahtera (PDS) mendapatkan 4 kursi (54.960 suara atau 5,5 persen), Partai Gerindra 3 kursi (41.560 suara atau 4,2 persen), Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 2 kursi (53.527 suara atau 5,4 persen), serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 29.600 suara atau 3 persen dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 23.686 suara atau 2,4 masing masing memperoleh 1 kursi dari 50 kursi yang tersedia.

Pada Pemilu 2014, PDI-P unggul dengan perolehan 346.287 suara (30,05 persen). Disusul oleh Gerindra 142.869 suara (12,4 persen), dan Demokrat 140.275 suara (12,1 persen). PKB memperoleh 10,3 persen, PAN 6,3 persen, PKS 5,9 persen, PPP 5,8 persen, Hanura 5,5 persen, Golkar 5,4 persen, Nasdem 6 persen, PBB 0,6 persen, dan terakhir PKPI 0,5 persen.

Dengan perolehan suara, PDI-P mendapatkan jatah sebanyak 15 kursi. Partai Demokrat mendapatkan 6 kursi, sedangkan untuk PKB, Gerindra dan PKS, sama-sama mendapatkan jatah 5 kursi di legislatif.

Adapun Partai Golkar memperoleh 4 kursi sama dengan PAN. Selanjutnya Hanura memperoleh 3 kursi, Nasdem 2 kursi dan Hanura 1 kursi. Untuk dua partai yakni PBB dan PKPI tidak mendapatkan wakil.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Seniman Mural Sugiono menyelesaikan mural bertema partisipasi warga dalam Pemilu 2019 saat mengikuti lomba mural di Jalan Pemuda, Surabaya, Rabu (3/4/2019). Kegiatan yang diselenggarakan oleh KPU Jawa Timur tersebut mengajak seniman membuat mural yang bertujuan meningkatkan berpartisipasi warga dalam pemilu serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada Pemilu 2019, PDI-P kembali mendulang suara terbanyak yakni 467.573 suara (28,31 persen). Disusul oleh PKB 162.242 suara (10,51 persen), dan Gerindra dengan perolehan 117.329 suara (8,86 persen).

Selanjutnya, PKS memperoleh 7,93 persen suara, Demokrat 7,93 persen suara, Golkar 7,92 persen suara, PSI 6,28 persen suara, Nasdem 5,86 persen suara, PAN 5,33 persen suara, dan PPP memperoleh 3,8 persen suara.

Dengan perolehan suara tersebut, PDI-P mendominasi kursi legislatif Kota Surabaya dengan 15 kursi. PKB, Partai Gerindra, PKS dan Partai Golkar masing-masing mendapatkan 5 kursi legislatif. Kemudian Demokrat 4 kursi, PSI 4 kursi, Nasdem 3 kursi, dan PPP 1 kursi.

Kependudukan

Populasi penduduk Kota Surabaya tahun 2019 mencapai 3,15 juta jiwa, terbanyak di Provinsi Jawa Timur. Laju pertumbuhan penduduknya sebesar 2,07 persen. Sementara itu, rasio jenis kelamin sebesar 98,88.

Kepadatan penduduknya mencapai 9.497 jiwa/km² dengan angka kepadatan tertinggi terletak di Kecamatan Simokerto sebesar 40.207 jiwa/km². Kepadatan terendah di Kecamatan Pakal sebesar 2.655 jiwa/km². Kecamatan Tambaksari mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 239.251 jiwa dan Kecamatan Semampir 206.438.

Penduduk Surabaya terdiri atas berbagai suku dan budaya. Populasi terbanyak adalah suku Jawa 83,68 persen, disusul suku Madura 7,5 persen, China 7,25 persen, dan suku-suku lainnya.

Budaya masing-masing suku itu selama bertahun-tahun telah berbaur secara harmonis dan damai serta menimbulkan suatu perpaduan yang unik dan khas yang dikenal sebagai budaya Surabaya.

Bahasa yang paling banyak digunakan di Kota Surabaya adalah bahasa Jawa dan Madura. Bahasa Jawa di Surabaya lebih dikenal dengan dialek Suroboyoan (bahasa ke-Surabayan-an). Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan, dan masyarakat Surabaya dikenal bangga dengan bahasanya.

Dialek Suroboyoan umumnya digunakan saat berbicara dengan teman dan rekan. Sedangkan bahasa Jawa halus digunakan ketika berbicara dengan orang tua atau orang yang baru dikenal karena dirasa lebih sopan.

Penduduk Madura masih kental menggunakan bahasa Madura. Masyarakat dari etnis China umumnya menggunakan bahasa bahasa Jawa dengan aksen khas Tionghoa Surabaya.

Kota Surabaya didominasi oleh penduduk yang beragama Islam, yaitu 85,35 persen sedangkan sebesar 14,65 persen adalah penduduk beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu dan lainnya.

Berdasarkan pekerjaan, penduduk Kota Surabaya cenderung tersebar di seluruh jenis pekerjaan. Dari 101 jenis pekerjaan, karyawan swasta merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh penduduk, yakni sebesar 28,14 persen. Posisi kedua ditempati oleh belum/tidak bekerja sebesar 25,22 persen dan di posisi ketiga adalah mengurus rumah tangga sebesar 18,68 persen.

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO

Satu-satunya peludruk cilik dalam pementasan Ludruk Irama Budaya dengan cerita adaptasi Kidung Idul Fitri karya Usmar Ismail, Sabtu (1/7/2017) malam di Taman Hiburan Rakyat, Surabaya, Jawa Timur. Irama Budaya merupakan salah satu dari segelintir kelompok ludruk yang bertahan dan meski menghadapi kondisi sulit antara lain sepi penonton, regenerasi sulit, dan minim perhatian. Namun, Irama Budaya menolak mati dengan tetap mementaskan ludruk setiap Sabtu malam dengan harapan kesenian tradisional khas Surabaya ini masih lestari.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
82,22 (2019)

Angka Harapan Hidup 
74,13 tahun (2019)

Harapan Lama Sekolah 
14,79 tahun (2019)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,47 tahun (2019)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
5,87 persen (2019)

Tingkat Kemiskinan
4,51 persen (2019)

Rasio Gini
0,390 (2017)

Kesejahteraan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Surabaya sepanjang tahun 2010–2019 terus menunjukkan kemajuan. Tahun 2010, IPM Surabaya masih sebesar 77,20, meningkat menjadi 82,22 pada 2019. IPM Kota Surabaya itu terhitung paling tinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur.

Kemajuan IPM Kota Surabaya itu tak lepas dari peningkatan angka harapan hidup, harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Angka harapan hidup Kota Surabaya terus meningkat dalam sembilan tahun terakhir, dari 73,76 pada tahun 2010 meningkat menjadi 74,13 pada tahun 2019

Di bidang pendidikan, harapan lama sekolah (HLS) meningkat dari 12,88 tahun pada tahun 2010 menjadi 14,79 tahun pada tahun 2019. Sedangkan rata-rata lama sekolah (RLS) meningkat dari 9,76 tahun menjadi  10,47 tahun pada 2019.

Pengeluaran per kapita riil Kota Surabaya juga meningkat dari Rp 14,47 juta pada tahun 2010 menjadi Rp 17,85 juta pada tahun 2019. Pengeluaran per kapita tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata pengeluaran Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 11,73 juta pada tahun 2019.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Surabaya berfluktuasi dalam 9 tahun terakhir. Pada tahun 2010, TPT sebesar 6,84 persen sedangkan pada 2019 tercatat 5,87 persen. Adapun persentase penduduk bekerja terhadap jumlah angkatan kerja di Kota Surabaya pada tahun 2019 sebesar 93,6 persen.

Persentase penduduk miskin Kota Surabaya terus menurun dalam 9 tahun terakhir. Pada tahun 2010, angka kemiskinan masih 7,07 persen (195,7 ribu jiwa), turun menjadi 4,51 persen (130,55 ribu jiwa) pada tahun 2019.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Memperingati Hari Sumpah Pemuda, pelajar mengunjungi Museum 10 Nopember di Surabaya, Rabu (28/10/15). Dalam museum tersebut mereka mendapat pembelajaran tentang perjuangan pemuda dari berbagai Suku dan agama dalam mempertahankan kemerdekaan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 5,38 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 2,0 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
6,10 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 200,5 juta/tahun (2019)

Inflasi
2,21 persen (2019)

Nilai Ekspor
1,57 miliar dolar AS (September 2020)

Nilai Impor
1,38 miliar dolar AS (September 2020)

Ekonomi

Status yang dimiliki Surabaya sebagai kota industri dan perdagangan memang cukup pantas jika dilihat dari persentase kegiatan ekonomi daerah ini setiap tahunnya.

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Surabaya pada 2019 paling utama disumbang oleh sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor (27,75 persen). Sejak 2012 hingga 2019, sektor tersebut selalu meningkat dan menjadi penopang perekonomian daerah ini.

Sektor industri pengolahan menempati urutan kedua penyumbang PDRB terbesar kedua sebesar 18,81 persen pada tahun 2019. Berbagai industri yang menunjang perekonomian wilayah ini adalah galangan kapal, alat-alat berat, pengolahan makanan dan pertanian, elektronik, perabotan rumah tangga, serta kerajinan tangan.

Di kota ini, terdapat dua kawasan industri. Di sisi selatan Surabaya, berdiri kawasan SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut PT. Persero). Puluhan perusahaan terkemuka berbasis di dalamnya yang menjadikannya pusat industri yang dinamis memutar roda perekonomian. Dengan luas 330 hektar, kawasan industri ini disiapkan untuk memenuhi kebutuhan industri dengan fasilitas pengolahan air limbah dan kemudahan akses ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Bandara Juanda.

Sementara itu, di wilayah utara Surabaya terdapat kawasan industri dan pergudangan Tambak Langon, Kalianak, Margomulyo. Lokasi kawasan perindustrian tersebut dinilai sangat strategis mengingat berdekatan dengan lokasi Pelabuhan Tanjung Perak, Jalan Tol, dan Pusat Grosir.

Sektor penyedia akomodasi dan makan minum menjadi penyumbang terbesar ketiga bagi PDRB Kota Surabaya. Sektor tersebut menyumbangkan sebesar 16,45 persen pada 2019. Sektor ini terbagi atas dua kategori, yakni hotel/kamar hotel dan pelayanan hotel seperti makanan dan minuman.

Pertumbuhan ekonomi di Surabaya terbukti handal serta stabil. Pada tahun 2019 lalu dengan gejolak ekonomi global yang fluktuatif, tercatat pertumbuhan ekonomi di Surabaya masih mencapai 6,10 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur maupun nasional.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pohon peneduh di Peisisir Surabaya meranggas, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Kamis (9/8/2018). Pohon yang meranggas tersebut membuat keindahan tersendiri pesisir Surabaya yang saat ini terus dibenahi pemerintah setempat agar menjadi tempat wisata yang nyaman.

Di sektor pariwisata, Surabaya tidak cukup banyak memiliki obyek wisata alam. Selain wisata alam Kebun Binatang Wonokromo dan Pantai Kenjeran, Surabaya juga mengandalkan wisata sejarah sebagai kenangan akan “Soerabaja Tempo Doeloe” dan wisata religi.

Gedung-gedung tua peninggalan zaman Belanda dan Jepang, cukup banyak bertebaran di kota ini. Beberapa di antaranya adalah Hotel Oranje atau Yamato (kini berganti nama Hotel Majapahit Mandarin Oriental) yang menjadi saksi perobekan bendera Belanda oleh arek Suroboyo pada 19 September 1945.

Kemudian, ada pula Tugu Pahlawan yang dibangun untuk mengenang peristiwa peperangan 10 November 1945 yang bersejarah itu. Belum lagi bangunan-bangunan kuno yang berderet di sepanjang Jalan Veteran atau di Jalan Pemuda. Adapun salah satu wisata religi yang terkenal adalah wisata religi Ampel.

Di samping obyek wisata sejarah, Surabaya juga mengandalkan wisata belanja. Sebagai kota perdagangan, Surabaya memiliki belasan pusat perbelanjaan dan mal seperti pusat perbelanjaan modern Tunjungan Plaza (TP), Mal Galaxy yang berada di bagian timur Surabaya, dan pusat perbelanjaan grosir Jembatan Merah Plaza.

Sebagai penunjang kota perdagangan, fasilitas akomodasi dalam hal ini hotel yang representatif, tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai tempat menginap, hotel-hotel di Surabaya juga dijadikan tempat para pebisnis menjamu klien dan rekan bisnisnya, ataupun sebagai tempat seminar dan rapat. Menurut data BPS Kota Surabaya, jumlah hotel di Surabaya pada tahun 2019 sebanyak 276 hotel dan 103 di antaranya hotel berbintang satu sampai bintang lima.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Surabaya * Otonomi”, Kompas, 02 Maret 2001, hal. 08
  • “Kota Cerdas: Surabaya Mendidik Warganya * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 30 Mei 2015, hal. 22
  • “Anugerah Kota Cerdas Indonesia: Surabaya Raih Penilaian Tertinggi * IKCI 2015”, Kompas, 14 Agustus 2015, hal. 1
  • “Adu Sakti Bangun Transportasi Surabaya * Rumah Pilkada 2020”, Kompas, 08 Oktober 2020, hal. 11
  • “Pertaruhan Dominasi Banteng di Surabaya * Rumah Pilkada 2020”, Kompas, 08 Oktober 2020, hal. E
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung
  • Undang-Undang 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
  • Undang-Undang No. 12 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten di Jawa Timur
  • Undang-undang No. 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Dan Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Undang-Undang No. 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya Dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan Mengubah Undang-Undang No. 12 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogyakarta

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto