Paparan Topik | Hari Anti Senjata Nuklir

Hari Internasional Menentang Uji Coba Nuklir

Keberadaan nuklir selalu menjadi topik perbincangan yang hangat dan sensitif di seluruh dunia. Di satu sisi, menjanjikan sumber energi yang sangat bermanfaat bagi manusia. Di sisi lain, juga menyimpan potensi destruktif yang mampu mengancam keberadaan peradaban manusia.

KOMPAS/BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO

Instalasi seni berbentuk tiruan netron atom ditampilkan di aula utama ATOM Pavillion, sebuah museum sejarah pengembangan teknologi nuklir Rusia. Foto diambil pada Kamis (28/3/2024).

Fakta Singkat

  • Pada tanggal 2 Desember 2009, sesi ke-64 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan tanggal 29 Agustus sebagai Hari Internasional Menentang Uji Coba Nuklir. Tanggal tersebut dipilih memperingati penutupan pusat uji coba senjata nuklir di Semipalatinsk, Kazakhstan pada 29 Agustus 1991.
  • Energi nuklir adalah energi yang dihasilkan dari inti atau nukleus atom.
  • Mengacu laman The Nuclear Energy Institute (NEI) dan World Nuclear Association, sebagai sumber energi, nuklir menawarkan manfaat yang signifikan dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
  • Nuklir mengandung bahan kimia yang sangat beracun seperti pelet plutonium dan uranium, bisa menyebabkan luka bakar, dan meningkatkan risiko kanker, penyakit darah, dan kerusakan tulang.
  • Ancaman utama dan paling ditakutkan dari energi nuklir saat ini adalah penggunaanya sebagai senjata, mampu menghancurkan kota-kota besar dan menewaskan jutaan orang dalam sekejap, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang yang menghancurkan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
  • Amerika Serikat adalah negara pertama yang berhasil mengembangkan senjata nuklir, dua bom atom yang dijatuhkan AS di kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada tahun 1945 menjadi senjata nuklir pertama yang digunakan dalam perang.

Sejarah telah membuktikan bahwa sisi gelap nuklir jauh lebih mengerikan. Ledakan bom atom di dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, pada akhir Perang Dunia II menjadi bukti nyata betapa destruktifnya energi ini. Berpotensi membawa kehancuran bagi umat manusia.

Dalam upaya untuk mencegah terulangnya tragedi nuklir dan mewujudkan dunia yang bebas dari senjata pemusnah massal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 29 Agustus sebagai Hari Internasional Menentang Uji Coba Nuklir.

PBB sudah menetapkan larangan uji nuklir sejak awal pembentukan organisasi inernasional tersebut. Tahun 1963 PBB telah mengeluarkan Partial Nuclear-Test-Ban Treaty (PTBT) yang melarang uji coba nuklir di udara, di luar angkasa dan laut. Kemudian pada tahun 1976 PBB mengeluarkan dua aturan tentang larangan uji coba nuklir, yaitu Threshold Test-Ban Treaty (TTBT) melarang uji coba nuklir di atas 150 kiloton; dan Peaceful Nuclear Explosion Treaty yang merupakan larangan uji coba nuklir untuk tujuan militer.

Namun, situasi perang dingin mengakibatkan aturan yang dikeluarkan PBB tersebut tidak memiliki kekuatan, bahkan sering diabaikan karena negara-negara blok barat seperti Inggris, Perancis dan Amerika Serikat membangun industri senjata nuklir untuk melindungi diri dengan alasan perdamaian. Hal itu juga terjadi pada negara blok timur seperti Uni Soviet dan Swedia, juga membangun kekuatan nuklir, bahkan India.

Penutupan pusat uji coba senjata nuklir di Semipalatinsk, Kazakhstan pada 29 Agustus 1991, menjadi tonggak sejarah penting. Setelah lebih dari 40 tahun digunakan untuk uji coba, dengan lebih dari 600 bom diledakkan dan ribuan orang terkena dampak penyakit, penutupan situs ini menjadi simbol perubahan.

Pada tanggal 2 Desember 2009, sesi ke-64 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan tanggal 29 Agustus sebagai Hari Internasional Menentang Uji Coba Nuklir dengan mengadopsi resolusi 64/35 dengan suara bulat. Resolusi tersebut menyerukan peningkatan kesadaran dan pendidikan “tentang dampak ledakan uji coba senjata nuklir atau ledakan nuklir lainnya dan perlunya penghentiannya sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan dunia yang bebas senjata nuklir.”

Peringatan ini bukan sekadar refleksi masa lalu, tetapi juga dorongan untuk masa depan yang lebih aman. Dalam konteks dunia yang terus berkembang, tantangan keamanan nuklir tetap relevan dan memerlukan perhatian serta kerjasama internasional. Upaya untuk menghentikan uji coba nuklir dan mengurangi persediaan senjata nuklir global adalah langkah penting dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan aman bagi generasi mendatang.

LITBANG KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO

Pembangkit tenaga nuklir terapung atau Floating Nuclear Power Plant (FNPP) “Akademik Lomonosov” tertambat di dermaga bersuhu ekstrem hingga minus 12 derajat celcius di Pevek, Chaunskaya Bay, Laut Siberian Timur, Chukotka, Rusia pada Selasa (16/5/2023)

Apa Itu Nuklir?

Energi nuklir adalah energi yang dihasilkan dari inti atau nukleus atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron yang terikat oleh gaya kuat, salah satu gaya fundamental dalam fisika. Energi ini sangat besar karena gaya yang menyatukan inti atom sangat kuat.  

Ada dua cara utama untuk menghasilkan energi nuklir, yakni fisi dan fusi. Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), energi nuklir yang dimanfaatkan di seluruh dunia saat ini untuk menghasilkan listrik adalah melalui fisi nuklir, sementara teknologi untuk menghasilkan listrik dari fusi masih dalam tahap R&D. 

Fisi nuklir adalah proses di mana inti atom terpecah menjadi dua atau lebih inti yang lebih kecil, disertai dengan pelepasan energi dalam bentuk panas dan radiasi. Proses ini dapat dimulai ketika inti atom, seperti uranium, bertemu dengan neutron. Ketika inti uranium terpecah, ia menghasilkan lebih banyak neutron dan energi. Neutron tambahan ini dapat menyebabkan inti atom uranium lainnya terpecah, menciptakan reaksi berantai yang terus-menerus. Energi yang dilepaskan dalam bentuk panas ini digunakan untuk menghasilkan uap, yang kemudian memutar turbin untuk menghasilkan listrik.

Fusi nuklir adalah proses di mana dua inti atom ringan bergabung membentuk inti yang lebih berat, melepaskan sejumlah besar energi dalam prosesnya. Proses ini terjadi secara alami di matahari, di mana hidrogen bergabung membentuk helium. Meskipun fusi nuklir memiliki potensi besar sebagai sumber energi, teknologi untuk menghasilkan energi dari fusi nuklir secara praktis dan ekonomis masih dalam tahap pengembangan dan penelitian.

Infografik: Traktat terkait Nuklir

Pemanfaatan Nuklir

Energi nuklir telah banyak dimanfaatkan selama beberapa dekade. Sejak reaktor nuklir pertama kali dibangun pada 1950-an, nuklir memainkan peran penting sebagai energi alternatif. Energi nuklir dimanfaatkan dalam berbagai sektor, dari penyediaan listrik hingga aplikasi medis dan industri.

Mengacu laman Nuclear Energy Institute (NEI) dan World Nuclear Association, sebagai sumber energi, nuklir menawarkan manfaat yang signifikan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Energi nuklir adalah sumber energi bersih yang hampir tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca. Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hanya menghasilkan uap air dari menara pendingin, bukan polutan atau zat radioaktif yang mencemari atmosfer.

Berdasarkan laporan “Net Zero by 2050 A Roadmap for the Global Energy Sector” yang diterbitkan oleh International Energy Agency (IEA), nuklir menjadi salah satu andalan dunia untuk mencapai net zero emission di tahun 2050. 

Berbeda jauh dengan pembangkit yang menggunakan energi fosil seperti batubara, minyak bumi atau solar, dan gas alam yang menghasilkan GRK per kWh listrik 974 gr CO2, 962 mg SO2, dan 700 mg NOX. Perbedaan output emisi itu menyebabkan PLTN di seluruh dunia mampu mereduksi CO2 setidaknya mencapai 2 gigaton setahun.

Oleh karena itu, menurut IEA, pada masa transisi menuju net zero emission pada 2050, pembangkit rendah karbon seperti PLTA dan PLTN sangat dibutuhkan untuk menopang keberhasilan target reduksi emisi itu.

Selain itu, energi nuklir juga memiliki kapasitas faktor atau daya mampu yang dihasilkan PLTN tersebut sangat tinggi dan terbesar di antara pembangkit lainnya. Rata-rata di sejumlah negara seperti Amerika, Uni Eropa, China, dan India besaran kapasitas faktor pada tahun 2020 berkisar antara 70-90 persen dari daya maksimal.

Besaran ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan pembangkit jenis lainnya. Pembangkit batubara berkisar 20-60 persen, pembangkit gas 40-55 persen, solar PV tidak lebih dari 21 persen, dan pembangkit tenaga listrik dari angin 25-42 persen (Kompas, 21/9/2021).

Pada 2020, kapasitas listrik dari nuklir di dunia mencapai besaran 415 GW. Pada  2030, kapasitasnya diperkirakan bertambah sekitar 24 persen menjadi sekitar 515 GW. Pada 2050, melonjak lagi sekitar 1,5 kali lipatnya menjadi 812 GW.

Sementara dari sisi ekonomi, industri energi nuklir berpotensi membuka lapangan kerja yang besar. Di AS, misalnya, menurut NEI, industri ini menyediakan sekitar 475.000 pekerjaan langsung dan sekunder. Dari teknisi listrik hingga insinyur dan fisikawan kesehatan, industri nuklir menciptakan pekerjaan berkualitas tinggi dan jangka panjang yang membayar rata-rata 36 persen lebih banyak dari pekerjaan di sektor lain.

Di samping itu, teknologi nuklir digunakan dalam bidang medis untuk membantu dokter mendiagnosis dan menyembuhkan pasien. Kobalt-60, sebuah isotop yang dapat diproduksi oleh pembangkit listrik tenaga nuklir komersial, digunakan dalam pencitraan medis, perawatan kanker khusus, dan sterilisasi peralatan medis. Isotop nuklir juga digunakan untuk mencegah bakteri dan parasit menyebabkan penyakit.

Bahaya Nuklir

Terlepas dari manfaatnya sebagai sumber energi alternatif, nuklir juga menyimpan potensi bahaya yang besar dan tidak dapat diabaikan. Limbah nuklir mengandung bahan kimia yang sangat beracun seperti pelet plutonium dan uranium. Bahan radioaktif ini bisa menyebabkan luka bakar, dan meningkatkan risiko kanker, penyakit darah, dan kerusakan tulang.

Kecelakaan nuklir juga menunjukkan risiko besar dari teknologi ini. Ledakan reaktor nuklir di kota Chernobyl, Ukraina, pada 26 April 1986 menjadi salah satu kecelakaan nuklir yang menjadi catatan dunia internasional karena dampaknya lebih besar dan berbahaya dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Chernobyl merupakan proyek ambisius Uni Soviet di bidang nuklir. Reaktor nomor satu PLTN Chernobyl pertama kali dibangun pada 1977 di wilayah yang saat itu masih menjadi bagian dari Uni Soviet.

Namun, alih-alih mencapai kedaulatan energi, proyek Chernobyl justru menjadi bencana yang memicu keruntuhan negara tersebut. Pada 26 April 1986 dini hari, terjadi ledakan pada reaktor nomor empat saat tengah dilakukan pengujian sistem pendingin air darurat. Ledakan membesar hingga berujung pada pelepasan partikel radioaktif 400 kali lebih banyak dibandingkan nuklir pada bom atom Hiroshima.

Kontaminasi diperkirakan menyebar hingga radius wilayah mencapai lebih dari 100.000 kilometer persegi dari Uni Soviet hingga Eropa Barat. Sebuah laporan tahun 2005 dari Forum Chernobyl Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan 50 orang tewas dalam beberapa bulan setelah kecelakaan itu dan 9.000 orang lainnya yang terpapar radiasi juga meninggal akibat kanker. Sementara pada 1995, Pemerintah Ukraina menyatakan 125.000 orang telah meninggal akibat efek radiasi Chernobyl (Kompas, 27/4/2021).

Dalam webinar bertajuk “Menolak Lupa: 35 Tahun Bencana Chernobyl Tak Kunjung Usai”, Senin (26/4/2021), Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menyebut, sampai saat ini radiasi dari ledakan Chernobyl masih mengancam lingkungan. Kebakaran juga masih sering terjadi saat musim kemarau pada zona pembatasan Chernobyl atau area paling terkontaminasi radioaktif di dunia.

Menurut Hindun, saat kebakaran besar terjadi, level radioaktif yang terlepas ke udara akan terbawa asap kebakaran dan akhirnya terhirup masyarakat. Sejumlah penelitian juga menyatakan, kebakaran yang terjadi pada 2015 telah melepaskan radioaktif cesium-137, strontium-90, plutonium-238, dan americium-241 ke udara dengan tingkat yang lebih tinggi.

Kasus lainnya terjadi pada 11 Maret 2011, ketika gempa bumi dan tsunami menghancurkan instalasi reaktor PLTN Fukushima di Jepang. Insiden ini merupakan kecelakaan nuklir terparah setalah Chernobyl. Efeknya, sekitar 160.000 warga Fukushima terpaksa mengungsi akibat radiasi. Air yang tercemar radioaktif dari reaktor nuklir mencemari daratan dan perairan di sekitar Fukushima.

Lebih dari sepuluh tahun setalah bencana di Fukushima, laporan Kyodo News pada September 2022 menyebutkan bahwa Tokyo Electric Power Company (TEPCO), yang bertanggung jawab untuk mengelolah limbah nuklir Fukshima, menemukan bahwa kadar bahan radioaktif dalam limbah yang masih tersisa masih tetap tinggi, mencapai tiga kali lipat dari standar nasional Jepang (Kompas, 10/3/2021).

Salah satu bahan radioaktif tersebut adalah Strontium-90, yang merupakan limbah tingkat tinggi dan membutuhkan ratusan tahun untuk terurai. Cemaran Strontium-90 dapat menyebabkan kanker darah dan kanker tulang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) membuat pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019). Batan terus mengembangkan aplikasi teknologi nuklir di bidang pangan, pertanian, kesehatan, dan industri di Tanah Air. Lebih dari 60 tahun, pemanfaatan tenaga atom dan nuklir dikenalkan di Indonesia. Namun, ketakutan dan kesalahpahaman tentang nuklir masih tinggi. Akibatnya, pemanfaatan nuklir untuk kesejahteraan tak optimal.

Nuklir Sebagai Senjata

Namun, di balik bahaya-bahaya tersebut, ancaman utama dan paling ditakutkan dari energi nuklir saat ini adalah penggunaanya sebagai senjata. Dikenal sebagai senjata pemusnah massal, senjata ini tidak hanya memiliki potensi untuk menghancurkan kota-kota besar dan menewaskan jutaan orang dalam sekejap, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang yang menghancurkan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Amerika Serikat adalah negara pertama yang berhasil mengembangkan senjata nuklir. Dua bom atom yang dijatuhkan AS di kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada tahun 1945 menjadi senjata nuklir pertama yang digunakan dalam perang. Operasi itu membawa bencana kemanusiaan, ekonomi, kesehatan, dan ekologi paling hebat. Sekitar 200.000 orang tewas akibat penggunaan senjata nuklir.

Sejak saat itu, berbagai negara mulai mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri, memicu perlombaan senjata global yang melibatkan banyak kekuatan besar. Dunia memasuki sebuah periode baru, yaitu atomic age.

Setelah AS, Uni Soviet menjadi negara kedua yang berhasil mengembangkan senjata nuklir pada 1949. Inggris menyusul pada 1952, diikuti oleh Prancis pada 1960 dan China pada 1964.

Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara lain seperti India, Pakistan, dan Korea Utara turut bergabung dalam klub negara-negara pemilik senjata nuklir, sementara Israel, meskipun tidak mengonfirmasi secara resmi, diyakini memiliki sekitar 200 senjata nuklir lewat program sejak sekitar 1966.

Uji coba nuklir yang dilakukan oleh berbagai negara tidak hanya menambah kekuatan persenjataan, tetapi juga membawa dampak merugikan yang sangat serius. Berbagai kajian sudah menunjukkan dampak bom nuklir bagi manusia. Misalnya, di Pasifik Selatan, ratusan ribu orang menanggung masalah kesehatan akibat uji coba bom nuklir oleh Amerika Serikat dan Perancis di sana puluhan tahun lalu.

Di Polinesia Perancis, misalnya, lebih dari 30 tahun uji coba nuklir menyebabkan paparan radiasi yang mengancam kesehatan hampir 110.000 orang. Dampak radiasi ini jauh lebih besar daripada yang dilaporkan sebelumnya, mengakibatkan berbagai masalah kesehatan seperti kanker (Kompas, 1/9/2023).

Di Kepulauan Marshall, uji coba nuklir AS menyebabkan paparan debu radioaktif yang memicu kanker dan malformasi lahir di kalangan penduduk setempat. Di Atol Johnston, kegagalan uji coba nuklir seperti Bluegill Prime menyebabkan paparan radioaktif yang meluas hingga memengaruhi wilayah jauh seperti Hawaii dan Australia, sementara pembuangan limbah kimia menambah masalah kesehatan serius.

Dalam penelitian pada 2017-2019, tim Columbia University memeriksa dampak uji coba nuklir AS di Kepulauan Marshall. Mereka masih menemukan sisa-sisa radioaktif dan level radiasi di pulau-pulau tersebut melampaui batas aman bagi manusia.

Senjata Nuklir Ancam Stabilitas Global

Di sisi lain, uji coba nuklir mengancam perdamaian dan stabilitas global. Pengembangan dan penyebaran senjata nuklir menimbulkan risiko geopolitik yang signifikan. Kepemilikan senjata nuklir oleh sejumlah negara telah menyebabkan ketegangan, menciptakan situasi yang tidak stabil.

Dalam beberapa tahun terakhir, perlombaan senjata nuklir semakin sengit. Dalam laporan bertajuk “Surge: 2023 Global Nuclear Weapons Spending,” The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) mengungkapkan, belanja global untuk senjata nuklir diperkirakan mencapai 91,4 miliar dolar AS pada tahun 2023 atau meningkat sekitar 13 persen dari tahun sebelumnya.

Pengeluaran Untuk Senjata Nuklir

Negara

Pengeluaran

Amerika Serikat

51,5 miliar dolar AS

China

11,9 miliar dolar AS

Rusia

8,3 miliar dolar AS

Inggris

8,1 miliar dolar AS

Prancis

6,1 miliar dolar AS

India

2,7 miliar dolar AS

Israel

1,1 miliar dolar AS

Pakistan

1,0 miliar dolar AS

Korea Utara

0,9 miliar dolar AS

Sumber: The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons

Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menaksir, ada 12. 121 hulu ledak nuklir di seluruh dunia pada 2024, di mana terdapat 9.585 hulu ledak dalam stok militer yang siap digunakan dan siap menyerang sewaktu-waktu. Masing-masing mampu menghancurkan satu kota dan membunuh jutaan orang sekaligus dalam sekali ledakan.

Terdapat sembilan negara di dunia yang memiliki hulu ledak nuklir, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, China, India, Pakistan, Korea Utara dan Israel.

Rusia punya 5.589 hulu ledak nuklir pada 2024. Adapun Amerika Serikat punya 5.004 unit, China 500 unit, Perancis 290 unit, Inggris 225 unit, Pakistan 170 unit, India 172 unit, Israel 90 unit, dan Korea Utara 50 unit.

Data Jumlah Hulu Ledak Nuklir

Negara

2022

2023

2024

Rusia

5.977 unit

5.889 unit

5.580 unit

Amerika Serikat

5.428 unit

5.244 unit

5.004 unit

China

350 unit

410 unit

500 unit

Prancis

290 unit

290 unit

290 unit

Inggris

225 unit

225 unit

225 unit

Pakistan

165 unit

170 unit

170 unit

India

160 unit

164 unit

172 unit

Israel

90 unit

90 unit

90 unit

Korea Utara

20 unit

30 unit

50 unit

Sumber: Stockholm International Peace Research Institute

Hulu ledak nuklir tidak lagi hanya dikhususkan untuk rudal-rudal antarbenua. Rudal dan bom dengan jangkauan lebih pendek terus dikembangkan agar bisa mengangkut hulu ledak itu. Sebagian hulu ledak itu berkuatan puluhan kali lebih besar daripada bom yang menghancurkan Hiroshima-Nagasaki pada 1945.

Meskipun ada kesadaran akan bahaya tersebut, negara-negara pemilik senjata nuklir sering berargumen bahwa senjata nuklir berfungsi sebagai alat perdamaian. Mereka berpandangan bahwa perdamaian yang dinikmati dunia, dalam arti tidak lagi terjadi perang besar di antara kuasa-kuasa besar di dunia semenjak Perang Dunia II itu, karena adanya senjata nuklir.

Inilah yang disebut dengan paham MAD (mutually assured destruction). Kuasa-kuasa besar dunia tidak berani berkonfrontasi langsung karena mengetahui bahwa di pihak lawan ada senjata nuklir yang jika digunakan kedua pihak bisa sama-sama hancur (Kompas, 3/4/2023).

Namun, seperti yang dikemukakan pengajar Universitas Gadjah Mada Muhadi Sugiono, kepemilikan senjata nuklir sering kali menciptakan ketidakstabilan. Negara-negara besar mungkin menghindari konfrontasi langsung, tetapi mereka dapat mendorong konflik di wilayah lain, seperti yang terjadi di Ukraina atau berpotensi di Asia Timur (Kompas, 11/2/2023).

“AS-China tidak mungkin berkonfrontasi langsung. Akan tetapi, AS dan kawan-kawannya bisa mendorong Taiwan melawan China,” ujarnya.

Alih-alih kedamaian, kondisi itu jelas menunjukkan potensi ketidakstabilan gara-gara kepemilikan senjata nuklir. “Keamanan negara pemilik senjata nuklir harus dibayar dengan kehancuran rakyat di negara lain,” kata dia.

KOMPAS/BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO

Suasana Kota Moskwa di waktu malam, Rabu (27/3/2024). Energi nuklir memasok sebagian besar listrik di Rusia.

Posisi Indonesia

Posisi Indonesia terhadap nuklir terus berkembang seiring dengan perubahan dinamika geopolitik global. Namun, secara umum, sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menunjukkan sikap menolak senjata nuklir dan mendukung pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai. Sejak era kepemimpinan Presiden Sukarno hingga masa sekarang, Indonesia aktif dalam perjanjian internasional terkait pengendalian senjata nuklir dan non-proliferasi.

Pada 29 Juli 1957, lahir International Atomic Energy Agency (IAEA). Badan ini berusaha untuk mempercepat dan memperbesar sumbangan teknologi nuklir dalam bidang perdamaian, kesehatan, dan kemakmuran seluruh negara dunia; serta menjamin agar segala bantuan yang diberikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan militer. Dalam pendirian kelembagaan tersebut, Indonesia sudah turut berkontribusi sebagai salah satu panitia. Pada konferensi pertama IAEA 1-23 Oktober 1957 di Wina, Indonesia mengirimkan beberapa delegasi.

Presiden Sukarno, dalam pidatonya pada 12 Juni 1958 di Istana Negara, Jakarta, menegaskan sikap tegas Indonesia terhadap senjata nuklir. “Cara agar kita tidak mengalami peperangan dunia, peperangan atom ialah semua senjata atom dilemparkan ke dalam laut dan jangan membuat senjata atom lagi!” tegas Sukarno.

Meski begitu, Indonesia tidak anti terhadap teknologi nuklir. Sejak akhir 1950-an, Indonesia mulai mengembangkan dan memanfaatkan teknologi nuklir melalui lembaga-lembaga yang didirikan untuk tujuan tersebut. Pada 5 Desember 1958, pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1958 tentang Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA). Ini menandai komitmen awal Indonesia untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.

Namun, pada awal 1960-an, ketegangan Perang Dingin mempengaruhi orientasi politik Indonesia terkait nuklir. Mengacu buku  Nuklir Sukarno: Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia 1958-1967 karya Teuku Reza Fadeli, Sukarno mulai melihat kepemilikan senjata nuklir sebagai bentuk pertahanan diri. Ketegangan politik dan pengujian bom atom oleh negara-negara besar, seperti China, mempengaruhi pandangannya. Pada Kongres Muhammadiyah 24 Juli 1965, Sukarno mengumumkan rencana Indonesia untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai upaya melawan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Namun, ambisi Bung Karno agar Indonesia memiliki senjata nuklir punah bersamaan dengan peristiwa 30 September 1965.

Setelah tragedi 30 September 1965 dan pergantian kepemimpinan kepada Soeharto, Indonesia kembali mengalihkan fokusnya ke penggunaan damai teknologi nuklir. Pada 19 Juni 1967, pemerintahan Soeharto menandatangani perjanjian keamanan yang diselenggarakan IAEA. Persetujuan keamanan tersebut berkomitmen agar teknologi nuklir digunakan untuk maksud damai yang sedang berlangsung.

Era Orde Baru melihat penekanan pada pemanfaatan nuklir sebagai energi pembangkit listrik. Pemerintah Indonesia mulai merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai bagian dari upaya untuk diversifikasi sumber energi.

Pada 1980-an, di tengah ketegangan Perang Dingin, Indonesia memainkan peran kunci dalam menginisiasi dan menegaskan posisi ASEAN sebagai Zona Netral dan Bebas Nuklir (ZOPFAN: Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Langkah ini merupakan bagian dari upaya menciptakan kawasan yang aman dari ancaman senjata nuklir.

Komitmen Indonesia terhadap kawasan bebas nuklir semakin diperkuat pada tahun 1995 dengan penandatanganan Traktat Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWZ). Traktat ini mengikat negara-negara di Asia Tenggara untuk tidak mengembangkan atau menyebarluaskan senjata nuklir di kawasan tersebut, mengukuhkan posisi kawasan sebagai zona bebas senjata nuklir.

Selain itu, Indonesia bersama ASEAN juga terus meminta negara pemilik senjata nuklir memenuhi kewajiban dalam sejumlah konvensi dan perjanjian internasional. Hal itu antara lain Traktat Non-proliferasi Nuklir (NPT), Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Senjata Nuklir (CTBT), dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW). Dari tiga traktat itu, Indonesia telah meratifikasi NPT dan CTBT. Adapun untuk TPNW sedang dalam proses ratifikasi.

KOMPAS/BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO

Replika reaktor nuklir generasi terkini ditampilkan dalam wujud seni di sebuah anjungan ATOM Pavillion, museum teknologi nuklir Rusia. Foto diambil pada Kamis (28/3/2024) di Moskwa, Rusia.

Upaya Pengendalian Senjata Nuklir

Sejak awal penemuan dan pengembangan senjata nuklir, bahaya dan potensi kerusakan yang ditimbulkannya telah menjadi perhatian utama komunitas internasional. Kesadaran akan risiko besar yang ditimbulkan oleh senjata nuklir telah mendorong berbagai inisiatif dan perjanjian internasional untuk mengendalikan dan membatasi penggunaannya, termasuk dari negara-negara yang memiliki senjata nuklir. Berbagai traktat dan perjanjian telah dirancang untuk mengurangi ancaman nuklir dan mencegah proliferasi senjata nuklir.

  • Arms Limitation Talks (SALT)

Ide untuk SALT digagas pertama kali oleh Presiden AS Lyndon B Johnson tahun 1967 lalu disepakati oleh kedua adidaya pada musim panas tahun 1968 dan perundingan pun dimulai tahun 1969. Trakat ini bertujuan untuk membatasi senjata nuklir jarak jauh (antarbenua) milik negara adidaya AS dan Uni Soviet.

Ada dua perjanjian SALT. Persetujuan pertama dikenal sebagai SALT 1 yang ditandatangani tahun 1972, dan yang kedua tahun 1979.

Terkait dengan SALT 1, yang paling penting adalah Traktat Anti-Rudal Balistik (Anti-Ballistic Missile/ABM). Kedua traktat ini ditandatangani Presiden AS Richard Nixon dan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) Leonid Brezhnev pada 26 Mei 1972 dalam satu pertemuan puncak di Moskwa (Ensklopedia Britannica).

Traktat ABM mengatur rudal antibalistik yang dinilai mampu digunakan untuk menghancurkan rudal antarbenua (ICBM) yang diluncurkan oleh adidaya lain. Traktat membatasi setiap pihak hanya bisa menggelar satu kawasan luncur ABM dengan 100 rudal penyergap.

  • Trakat SALT II

Traktat SALT II menetapkan batas jumlah peluncur strategis, yaitu rudal yang dilengkapi dengan multiple independently targetable reentry vehicle (MIRV). Selain ICBM dengan MIRV, SLBM dengan MIRV, pengebom jarak jauh, dan jumlah total peluncur strategis ialah pada angka 2.400 untuk pihak masing-masing.

Traktat SALT II ditandatangani Presiden AS Jimmy Carter dan Sekjen PKUS Brezhnev di Vienna, 18 Juni 1979. Traktat lalu disampaikan kepada Senat AS untuk diratifikasi. Namun, hubungan kedua negara memburuk, terutama karena Uni Soviet menyerbu Afghanistan. Meski tak diratifikasi Senat AS, traktat ini pada tahun-tahun berikut ditaati kedua negara.

  • Strategic Arms Reduction Treaty (START I 1991 dan START II 1993)

Selanjutnya muncul Persetujuan Pengurangan Senjata Strategis (START) pada 1991 dan 1993. START adalah traktat pengurangan persenjataan nuklir strategis (Strategic Arms Reduction Treaty) AS dan Rusia.

START I bisa ditandatangani Presiden HW Bush dan Mikhail Gorbachev di Moskwa tahun 1991. Traktat itu menuntut agar kedua pihak memangkas jumlah total hulu ledak dan bom dengan sepertiganya.

START II ditandatangani oleh Presiden Bush dan Presiden Boris Yeltsin tahun 1993. Perjanjian ini meminta pemangkasan lebih jauh senjata strategis, dengan membatasi setiap negara hanya memiliki 3.000-3.500 senjata strategis. AS meratifikasi START II tahun 1996 dan Rusia tahun 2000.

  • Traktat INF

Diinisiasi pada tahun 1980 oleh pemerintahan Presiden Jimmy Carter dan ditandatangani pada tahun 1987 di era pemerintahan Ronald Reagan, Traktat INF merupakan hasil negosiasi bertahun-tahun antara AS dan Uni Soviet.

Perjanjian ambisius ini bertujuan menghapus seluruh kelas sistem pengiriman senjata nuklir. Traktat menyebutkan bahwa kedua belah pihak dilarang untuk menguji, memproduksi, atau memiliki rudal balistik dan rudal lain berjangkauan antara 500 dan 5.500 kilometer yang diluncurkan di darat. Dalam konteks saat itu, manfaat penting dari Traktat INF adalah menyelamatkan Eropa dari ancaman sebagai medan konflik senjata nuklir di era Perang Dingin.

  • Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons ( Trakat Non-Proliferasi Senjata Nuklir/NPT)

Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons) atau yang lebih populer dengan sebutan NPT (Non-Proliferation Treaty) ditdantangani pada tahun 1968 dan mulai berlaku 1970.  Tujuan utamanya adalah untuk mencegah penyebarluasan senjata dan teknologi senjata nuklir. Selain itu, traktat ini juga diniatkan untuk mencapai pelucutan senjata nuklir, dan yang tidak kalah pentingnya adalah memajukan pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Saat ini, 191 negara telah menjadi pihak dalam Perjanjian yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu negara-negara nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) dan negara-negara non-nuklir (Non-Nuclear Weapon States/NNWS).

Penetapan Indonesia sebagai negara pihak pada NPT diatur dalam UU No. 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata-senjata Nuklir.

​Indonesia terus menjalankan perannya sebagai bridge builder untuk menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dalam isu-isu perlucutan senjata dan non-proliferasi. Peran ini dapat dijalankan dengan baik karena adanya pengakuan dari negara-negara anggota PBB atas posisi Indonesia yang dipandang moderat serta komitmen Indonesia yang dianggap tinggi terhadap prinsip-prinsip multilateralisme yang berlaku.

  • Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (Larangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir /CTBT)

Trakat CTBT merupakan traktat yang melarang semua jenis uji coba nuklir yang menggunakan metode ledakan. CTBT mulai dibuka untuk ditandatangani sejak 10 September 1996.

Hingga 13 Maret 2024, 187 negara telah menandatangani CTBT dan 178 negara telah meratifikasinya.  Hingga saat ini, CTBT belum dapat berlaku (entry into force) karena masih terdapat 9 dari 44 negara Annex II CTBT yang belum meratifikasi. Meskipun belum berlaku, CTBT telah memiliki mekanisme verifikasi ledakan nuklir yang telah berhasil mendeteksi uji coba nuklir Korea Utara pada tahun 2006, 2009, 2013, 2016 dan 2017. Verifikasi dilakukan melalui data yang diperoleh dari teknologi monitoring system CTBT.

Indonesia telah meratifikasi CTBT pada 6 Februari 2012. Indonesia menilai Traktat CTBT bermanfaat untuk mencegah proliferasi senjata nuklir. Meskipun CTBT masih membuka celah terhadap bentuk uji coba yang dilakukan melalui teknik simulasi komputer, namun Indonesia berpandangan bahwa Traktat ini merupakan hasil kompromi maksimal dari semua pihak terkait dan pada dasarnya tetap bermanfaat untuk memperkuat rezim non-proliferasi nuklir.

  • Chemical Weapons Convention (Konvensi Senjata Kimia/KSK)

KSK mulai berlaku pada tanggal 29 April 1997.  KSK memiliki 4 pilar penting yang perlu selalu berada dalam titik keseimbangan yaitu: penghancuran senjata kimia yang masih ada sesuai dengan timeline yang ditentukan; upaya-upaya OPCW dan negara pihak untuk selalu meningkatkan nonproliferasi senjata kimia diantaranya melalui mekanisme verifikasi; Assistance and Protection; dan adanya jaminan kerjasama dan bantuan internasional (ICA-International Cooperation and Assistance).

​Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) pada tanggal 30 September 1998 melalui Undang-undang No. 6/1998 dan secara resmi menjadi pihak sejak tanggal 12 Desember 1998 setelah instrumen ratifikasi KSK diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tanggal 12 November 1998.

  • Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (Traktat Pelarangan Senjata Nuklir/TPNW)

TPNW bertujuan mengatur pelarangan pengembangan, uji, produksi atau peroleh, miliki atau timbun, transfer, pemindahan kendali, mengancam untuk menggunakan, mendorong penggunaan senjata nuklir atau perangkat peledak nuklir lainnya. Traktat juga mengatur penghapusan yang bersifat irreversible atas program senjata nuklir. Meskipun demikian, hak atas pemanfaatan negara nuklir untuk tujuan damai tanpa diskriminatif terjamin di bawah traktat ini.​

Penetapan Indonesia sebagai negara pihak pada TPNW diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pengesahan TPNW berlaku mulai 20 Desember 2023.

  • Traktat Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWZ)

Perjanjian SEANWFZ dibentuk berlandaskan Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality) yang ditandatangani oleh lima anggota pendiri ASEAN pada 27 November 1971 di Kuala Lumpur, Malaysia. Deklarasi ZOPFAN merupakan sebuah perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan kawasan damai, bebas, dan netral di ASEAN.

SEANWFZ merupakan bentuk komitmen anggota ASEAN untuk memastikan Asia Tenggara sebagai kawasan yang bebas dari nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. SEANWFZ ditandatangani pada 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.

Tujuan dari SEANWFZ adalah mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang bebas dari senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Selain itu, Perjanjian SEANWFZ merupakan perjanjian yang bertujuan mencegah wilayah lautan Asia tenggara menjadi pembuangan sampah radioaktif.

Referensi

Buku
  • Fadeli, Teuku Reza. 2021. Nuklir Sukarno: Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia 1958-1967. Tangerang: Marjin Kiri.
Arsip Kompas
  • “Ancaman Nuklir Dunia,” Kompas, 25 Oktober 2018.
  • “Jelajah Pengembangan Nuklir di Indonesia,” Kompas, 4 Desember 2019.
  • “10 Tahun Setelah Tsunami, Fukushima Terseok-seok,” Kompas, 10 Maret 2021.
  • “Pelajaran yang Tak Pernah Usang dari Chernobyl,” Kompas, 27 April 2021.
  • “Larangan Uji Coba Nuklir dan Kisah Albert Einstein,” Kompas, 31 Agustus 2021.
  • “Patahnya Ambisi Nuklir Indonesia,” Kompas, 11 Desember 2021.
  • “Ancaman Keberadaan Senjata Nuklir di Sekitar Indonesia,” Kompas, 11 Januari 2023.
  • “Senjata Nuklir Sumber Ketidakstabilan Kawasan,” Kompas, 11 Februari 2023.
  • “Mengenal Traktat Pengendali Senjata Nuklir,” Kompas, 3 April 2023.
  • “Fukushima dan Bencana Nuklir di Asia Pasifik,” Kompas, 1 September 2023.
Internet