Fakta Singkat
- Konsep awal Marhaenisme tertuang dalam sejumlah tulisan Bung Karno di Fikiran Ra’jat tahun 1933.
- Kumpulan pemikiran perjuangan dari Soekarno ini terkumpul dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (DBR, 1959), yang memuat 61 tulisan Soekarno dari tahun 1926 hingga 1941.
Marhaen
Kaum yang dimiskinkan oleh sistem dan memiliki alat produksi serba minim.
Marhaenisme
Asas pergerakan dan perjuangan untuk mengangkat kaum marhaen.
Marhaenis
Kaum yang memperjuangkan kaum marhaen.
Kaum proletar Indonesia, begitulah arti kata “Marhaen” yang dimaksud Soekarno dalam tulisan-tulisannya. Kaum Marhaen adalah kaum tani Indonesia melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Dari arti kata “Marhaen”, teori marhaenisme dapat diartikan sebagai asas yang menghendaki sistem masyarakat dan negara untuk menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme.
Asas perjuangan marhaenisme merupakan deskripsi ketertindasan masyarakat Indonesia akibat praktik pengisapan ekonomi eksploitatif yang dijalankan negara-negara Barat pada masa penjajahan. Marhaen adalah gerakan proletar ala Indonesia yang menciptakan alat perlawanan dalam membentuk nasionalisme Indonesia (Daniel Dhakidae, 2013).
Konsep awal marhaenisme tertuang dalam sejumlah tulisan Bung Karno di Fikiran Ra’jat tahun 1933. Tulisan-tulisan itu, antara lain, berjudul ”Maklumat dari Bung Karno kepada Marhaen Indonesia”, ”Marhaen dan Proletar”, ”Marhaen dan Marhaeni”, ”Asas; Asas Perjuangan; Taktik”, dan ”Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”. Seluruh kumpulan pemikiran Soekarno ini terkumpul dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (DBR, 1959), yang memuat 61 tulisan Soekarno dari tahun 1926 hingga 1941.
KOMPAS/SUTTA DHARMASAPUTRA
Dua cucu Ki Marhaen, yaitu Ma Ayit dan Mang Darmin, berdiri di depan foto Soekarno yang dipajang di rumah mereka yang sederhana di RT 2 RW 3 Nomor 28, Kelurahan Menggor, Kecamatan Bandung Kidul, Bandung. Bagi Ma Ayit dan Mang Darmin, Bung Karno adalah presiden yang paling peduli rakyat kecil.
Artikel terkait
Bertemu Marhaen
Kisah Soekarno bertemu dengan sosok Marhaen cukup terkenal hingga mancanegara. Banyak pihak meragukan bila Soekarno pada tahun 1930 pernah benar-benar berdialog dengan seorang petani bernama Marhaen (Legge, 1972). Namun, keraguan itu diluruskan oleh Akil Somakil yang mengaku sebagai cucu Marhaen (Kompas, 7 Juni 2001).
Dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography, John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia mendeskripsikan Pertemuan Soekarno dengan Marhaen (Kompas, 3 Juli 2008).
“Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
“Saya,” jawab Marhaen
Soekarno: “Cangkul ini milik siapa?”
Marhaen: “Saya.”
Soekarno: “Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
Marhaen: “Punya saya.”
Soekarno: “Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
Marhaen: “Untuk saya.”
Soekarno: “Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
Marhaen: “Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
Soekarno: “Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
Marhaen: “Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
Soekarno: “Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
Marhaen: “Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Soekarno kala itu masih berusia 20 tahun. Hatinya gusar, pikirannya melayang. Soekarno muda tak tahan melihat nasib rakyat hidup menderita karena kolonialisme. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966), Soekarno mencermati, meski memiliki alat kerja atau alat produksi, mereka hidup serba kekurangan. Mereka lebih miskin daripada tikus gereja.
Di tengah kegundahan hati, ia pergi mengayuh sepeda tanpa tujuan pasti. Hari itu biasanya Soekarno muda pergi ke kampus, tetapi kali ini berbeda. Takdir membawanya ke daerah selatan Kota Bandung yang padat penduduk dengan petani yang memiliki tanah kurang dari satu hektare. Di sinilah Soekarno bertemu dengan Marhaen.
Berbulan-bulan perenungan Soekarno seolah memperoleh jawaban dari percakapan dengan Marhaen. Sudah lama Soekarno berusaha merumuskan pemikiran politiknya yang berlandaskan dari ciri-ciri khas sebagian besar rakyat yang hidup melarat. Rakyat Indonesia bukan kaum proletar dalam konsepsi Marxisme. Soekarno berusaha mencari nama yang tepat untuk menyebut saudara sebangsa Indonesia yang tertindas dalam kemelaratan.
Di akhir percakapan Soekarno menanyakan nama petani muda itu. Ia menjawab, “Marhaen”. Nama ini menjadi inspirasi Soekarno dalam memberi nama buah pemikirannya. Sejak pertemuan itu, munculah marhaenisme. Menurut Soekarno, marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik dan lambang penemuan kembali kepribadian nasional.
Artikel terkait
Ajaran Marhaenisme
Sejumlah aliran ideologi turut memengaruhi pemikiran Soekarno dalam merumuskan marhaenisme. Ideologi atau pandangan hidup itu antara lain seperti nasionalisme, Islamisme, Marxisme, dan Jawaisme. Namun, inspirasi paling besar datang dari Karl Marx. Marhaenisme merupakan teori sekaligus tujuan yang baru tercapai bila sistem kapitalisme dan feodalisme dihapuskan.
Ciri-ciri kemiripan marhaenisme dengan marxisme tampak pada cita-cita marhaenisme yang memperjuangkan masyarakat “sama rata-sama rasa”. Ciri-ciri ini kemudian muncul dalam partai-partai politik berasaskan marhaenisme. Secara terang-terangan, PNI/Front Marhaenisme bahkan menyatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Selepas wafat, marhaenisme mendapat banyak penafsiran. Bertepatan dengan 100 tahun Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri dalam tulisannya di Kompas 6 Juni 2001 menyebutkan, “Kalau bapak mau bertanya mana ajaran Bung Karno yang betul, saya akan berikan buku tulisan Bung Karno. Yang orisinal itu yang diucapkan dan ditulis Bung Karno, jadi bukan yang ditafsirkan orang-orang”.
Bung Karno secara gamblang menjelaskan pokok-pokok pikiran marhaenisme dalam tulisan “Marhaen dan Proletar” yang dimuat di Fikiran Ra’jat tahun 1933. Dalam tulisan itu Bung karno menegaskan terdapat sembilan kalimat inti makna dari marhaen dan marhenisme. Sembilan poin ini muncul dalam konferensi Partindo (Partai Indonesia) di Kota Mataram.
Pokok-pokok Marhaen dan Marhaenisme Soekarno
Pokok-pokok ajaran Marhaen dan Marhaenisme Soekarno seperti dituliskan dalam buku ‘Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme menurut Soekarno’ (Media Pressindo, 2014), adalah;
- Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
- Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
- Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termasuk dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termasuk di dalamnya.
- Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen.
- Di dalam perjuangan Marhaen maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang paling besar.
- Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
- Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
- Maka Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
- Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.
Sebagai suatu paham atau ajaran, marhaenisme adalah sosio-nasionalisme yakni nasionalisme yang adil bagi seluruh masyarakat dan menolak kesenjangan ekonomi. Marhaenisme juga mengandung sosio-demorasi yang berarti demokrasi yang mengabdi pada kepentingan seluruh masyarakat. Bukan hanya untuk kelompok tertentu.
Dari pokok-pokok marhaenisme dapat disarikan, inti ajaran marhaenisme adalah antibentuk- bentuk penindasan seperti terjadi dalam sistem kapitalisme. Bung Karno menggaris bawahi tiga kata kunci untuk memahami pemikirannya yakni perbedaan dari marhaen, marhaenisme, dan marhaenisme.
Marhaen adalah kaum yang dimiskinkan oleh sistem dan memiliki alat produksi serba minim. Marhaen ini berbeda dengan proletar yang hanya menjual jasa dan tidak punya alat produksi. Proletar menggunakan teori pertentangan kelas dan merupakan basis gerakan komunisme. Sedangkan Marhaenisme adalah asas pergerakan dan perjuangan untuk mengangkat kaum marhaen, sementara marhaenis adalah kaum yang memperjuangkan kaum marhaen.
Artikel terkait
Perkembangan Marhaenisme
Wujud nyata marhaenisme terlihat dari gerakan kebangsaan yang didirikan Soekarno di Bandung pada tahun 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Perserikatan ini menjadi kendaraan politik Soekarno melawan kolonialisme.
Marhaenisme menjadi pondasi perjuangan sekaligus penyemangat bangsa untuk merebut dan mempertahankan cita-cita kemerdekaan pada gelora revolusi 1945. Namun, ideologi marhaenisme tak selamanya diterima. Pandangan sejumlah elite politik dalam menuntaskan kemerdekaan Indonesia berlawanan dengan marhaenisme. Akibatnya, lahir gejolak di daerah yang melahirkan revolusi sosial sebagai ketidakpercayaan terhadap revolusi 1945.
Memasuki 1955, PNI terpilih sebagai partai pemenang dalam pemilu pertama di Indonesia. Posisi ini berdampak terhadap orientasi perjuangan PNI. Marhaenisme yang tercermin dalam PNI bergeser menjadi partai pemerintah dan anggotanya tak hanya dari masyarakat kecil, tetapi juga kalangan elite birokrat yang masuk dalam kategori masyarakat kelas atas.
Sebagai partai pembela marhaen atau rakyat kecil, PNI mendapat tantangan dari PKI yang memiliki basis massa yang cenderung serupa. Persaingan pun mengemuka antara PNI dan PKI. Puncaknya PNI menghadapi tudingan sebagai partai yang kurang aktif dalam masalah landreform (redistribusi tanah) dibandingkan dengan PKI. Pihak PNI membalas dengan menuduh PKI memanfaatkan petani sebagai alat politik untuk melawan PNI.
Baik PNI maupun PKI dalam perkembangannya tak ada yang bertahan dalam politik saat ini. Selepas wafatnya Soekarno, marhaenisme pun surut. Pembelengguan politik pada era Orde Baru oleh Soeharto turut meredam ajaran-ajaran Bung Karno. PDI Perjuangan yang merupakan penerus ideologi marhaenisme pun belum berhasil membebaskan wong cilik.
Ajaran Marhaenisme banyak ditafsir ulang. Semasa hidup Bung Karno pernah mengingatkan kemungkinan terjadinya “Soekarnoism is to Kill Soekarno”. Maksudnya, di masa mendatang sangat mungkin orang atau partai mendeklarasikan sebagai pengikut Soekarno, tetapi tanpa disadari justru melakukan desoekarnoisasi secara langsung atau tidak langsung. Bung Karno pernah mengingatkan, agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Ajaran marhaenisme yang sesuai cita-cita awal hanya yang diucapkan dan ditulis oleh Bung Karno. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Saksono, Ign Gatut. 2007. Marhaenisme Bung Karno, Marxisme Ala Indonesia. Yogyakarta: Rumah belajar Yabinkas.
- Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Sukarno, Ir. 2014. Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo.
- Marhaenisme dan Pancasila Masih Relevan. Kompas, 3 April 2001. Hlm. 24.
- Marhaen Pergi Bersama Bung Karno. Kompas, 1 Juni 2001. Hlm. 71.
- Makam Marhaen di Bandung, Siapa Peduli? Kompas, 7 Juni 2021. Hlm. 21.
- “Suluh Marhaen “, Tantangan Yang Berubah. Kompas Jateng, 8 September 2001. Hlm. 26.
- Sosialisme Soekarno Bagaimana Dihayati Kini?. Kompas, 30 Juni 2012. Hlm. 03.
- Menjejakkan Kaki Marhaen. Kompas, 16 November 2004. Hlm. 28.
- Marhaen Makin Tenggelam. Kompas, 3 Juli 2008. Hlm. 1.
- Soekarno, Marhaen, dan Marhaenisme. Kompas, 16 November 2014. Hlm. 28.