Paparan Topik

Tahun-Tahun Terakhir Soekarno: Peralihan Kekuasaan hingga Wafatnya Sang Proklamator

Peralihan pemerintahan Soekarno kepada Soeharto tidak hanya membuat Bung Karno harus kehilangan kekuasaannya, namun juga menjadi awal kehidupan senja Soekarno hingga wafatnya tanggal 21 Juni 1970.

IPPHOS

Presiden Sukarno sedang berpidato di Gelora Bung Karno (28/7/1963).

Fakta Singkat

Kronologi Singkat Jatuhnya Soekarno hingga Wafatnya

  • 11 Maret 1966: dikeluarkan Surat Perintah yang dikenal dengan Supersemar.
  • 21 Juni 1966: SP 11 Maret 1966 dinaikkan statusnya sebagai Tap MPRS No. IX/MPRS/1966.
  • 22 Juni 1966: Pidato pertanggungjawaban Soekarno yang dikenal sebagai Nawaksara ditolak MPRS.
  • 5 Juli 1966: MPRS mencabut mandat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
  • 25 Juli 1966: Kabinet Ampera yang disusun oleh Soeharto diumumkan.
  • 10 Januari 1967: Pelengkapan Pidato Nawaksara oleh Soekarno ditolak lagi oleh MPRS.
  • 12 Maret 1967: MPRS mencabut mandat Soekarno sebagai presiden dan harus angkat kaki dari Istana Negara. Pemerintahan dialihkan kepada Soeharto sebagai penjabat presiden.
  • Desember 1967: Soekarno diharuskan untuk angkat kaki dari Istana Bogor bersama dengan Hartini. Soekarno kemudian pindah ke Puri Bima Sakti di Batutulis, Bogor.
  • 1969: Soekarno kembali ke Jakarta dan tinggal di Wisma Yaso.
  • 16 Juni 1970: Soekarno masuk ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat karena kesehatannya semakin menurun.
  • 19 Juni 1970: Mohammad Hatta mengunjungi Soekarno yang terbaring sakit di RSPAD.
  • 21 Juni 1970: Soekarno wafat.
  • 22 Juni 1970: Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.

Sejak diterbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Presiden Soekarno secara perlahan-lahan kehilangan kekuasaannya. Pidato pertanggungjawaban yang diberi judul “Nawaksara” oleh Soekarno terkait dengan krisis pada tahun 1965–1966 ditolak oleh Majelis Perwakilan Rakyat Sementara (MPRS). Sementara, beberapa mandat kekuasaan yang diberikan kepada Bung Karno pun juga dilucuti.

Tahun 1967 merupakan akhir dari pemerintahan Soekarno sebagai presiden. Ia dipecat oleh MPRS karena dianggap tidak mampu menjalankan ketetapan-ketetapan yang telah diajukan. Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, kemudian diangkat sebagai penjabat presiden. Sejak saat itu, Soekarno harus angkat kaki dari Istana Negara serta dilarang untuk berpolitik.

Soekarno yang sudah tidak menjabat sebagai presiden kemudian menjadi tahanan politik. Ironinya, ia tidak diberikan fasilitas yang baik dari segi kesehatan dan dijauhkan dari khalayak. Soekarno harus bergelut dengan penyakit tanpa fasilitas memadai pada masa tuanya, hingga menutup mata selama-lamanya pada 21 Juni 1970.

Peralihan kekuasaan

Presiden Soekarno semakin kehilangan kekuasaannya setelah ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966. Sejak saat itu, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkap sejumlah menteri yang dianggap kiri sesaat setelah SP 11 Maret 1966 dikeluarkan. Kebijakan ini dilakukan oleh Soeharto tanpa berkonsultasi kepada Soekano. Padahal, Bung Karno tidak pernah melakukan perintah tersebut.

Tidak berhenti pada pergerakan yang dilakukan oleh Soeharto untuk membersihkan kelompok kiri, Lembaga MPRS yang diketuai oleh Jenderal Abdul Haris Nasution mengadakan pertemuan pada 20 Juni — 5 Juli 1966. Tujuan pertemuan tersebut untuk mendengarkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas situasi krisis negara sepanjang tahun 1965–1966. Selain itu, pada 21 Juni 1966, SP 11 Maret 1966 dinaikkan statusnya menjadi Tap MPRS No. IX/MPRS/1966.

Laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno di hadapan Sidang MPRS pada 22 Juni 1966 ini dikenal sebagai Nawaksara. Namun, laporan yang disampaikan Presiden Soekarno ini sifatnya sukarela. Seperti yang dipaparkan oleh Suwoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara.

Sifat sukarela timbul karena jabatan presiden yang diemban oleh Soekarno adalah seumur hidup. Ini membuat Presiden Soekarno tidak pernah mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada MPRS sebelum tahun 1966. Sehingga, sidang MPRS saat itu menurut Suwoto Mulyosudarmo dianggap hanya untuk mencari kesalahan Presiden Soekarno.

Mayoritas anggota MPRS pun setuju untuk menolak Nawaksara Presiden Soekarno. Penyebabnya, karena isi dari laporan tersebut jauh dari yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Apalagi MPRS kecewa karena Presiden Soekarno sama sekali tidak menyinggung peristiwa September 1965 dan kelompok kiri. Presiden Soekarno dinilai gagal mengatasi krisis sepanjang tahun 1965–1966.

Penolakan Nawaksara ini kemudian diikuti beberapa ketetapan yang disetujui oleh MPRS pada 5 Juli 1966. Beberapa ketetapan, antara lain, diberlakukannya kebijakan luar negeri bebas aktif, pembentukan Kabinet Ampera di bawah Soeharto menggantikan Kabinet Dwikora, jabatan presiden seumur hidup yang disematkan kepada Soekarno dicabut, dan apabila presiden tidak mampu menjalankankan tugasnya maka pemegang SP 11 Maret 1966 akan menggantikan.

Asvi Warman Adam dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia menyebutkan bahwa ketetapan MPRS tersebut dianggap janggal. Ketetapan tersebut menyebut jika presiden tidak mampu menjalankan tugasnya dapat diberikan kepada pemegang SP 11 Maret 1966 sekaligus meniadakan jabatan wakil presiden. Bagi Asvi, ketetapan ini tidak sesuai dengan UUD 1945 yang mengatur tentang situasi saat presiden berhalangan, wakil presiden yang mengantikan.

KOMPAS

Presiden Soekarno sedang mengucapkan amanatnya dalam Sidang MPRS (22/6/1966).

Pada 25 Juli 1966, Kabinet Ampera yang disusun oleh Soeharto diumumkan. Dalam penyusunan daftar menteri ini Soeharto tidak berkonsultasi dengan Presiden Soekarno. Soeharto memilih dua belas menteri yang terdiri dari enam dari tentara, dua dari Partai Nasional Indonesia, dua dari Nahdlatul Ulama, dan sisanya dari kelompok sipil. Tujuan dari kabinet adalah untuk menstabilkan politik dan ekonomi pasca peristiwa September 1965.

Sepanjang tahun 1966, militer mulai melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah simpatisan kelompok kiri yang dianggap bertanggungjawab terhadap peristiwa September 1965. Mereka yang diperiksa berasal dari kalangan menteri kabinet Bung Karno. Para pemeriksa menaruh kecurigaan kepada Soekarno sebagai pendukung kelompok kiri. Apalagi dalam laporan pertanggungjawaban sebelumnnya, Soekarno tidak menyinggung peristiwa tersebut.

Pada 10 Januari 1967 Soekarno kemudian melaporkan kembali laporan pertanggungjawaban yang ditolak pada Juni 1966. Pidato diberi judul Pelengkapan Pidato Nawaksara. Dalam buku Hari-Hari Terakhir Sukarno yang ditulis oleh Peter Kasenda, pidato tersebut banyak memuat pernyataan-pernyataan yang justru merendahkan wibawa Soekarno. Meskipun begitu, pidato ini tetap ditolak oleh MPRS.

Dalam pembukaan Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967, Ketua MPRS Nasution menyampaikan beberapa resolusi terhadap penolakan laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Nasution dalam pernyataannya menyinggung soal pemecatan Soekarno sebagai presiden dan harus diadili atas tuduhan keterlibatan dalam peristiwa September 1965. Bahkan Sajuti Melik, anggota MPRS dari Golongan Karya juga menyatakan bahwa Presiden Soekarno harus segera digantikan Soeharto.

Akhirnya pada 12 Maret 1967, MPRS mencapai kesimpulan bahwa Soekarno tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan-ketetapan MPRS. Oleh karena itu, MPRS mencabut kembali mandat Soekarno sebagai Presiden RI serta dilarang melakukan kegiatan politik hingga Pemilu berlangsung. Pencabutan sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.

MPRS kemudian juga mengangkat Soeharto sebagai penjabat presiden dengan masa jabatan sampai terpilihnya MPR hasil Pemilu. Terpilihnya Soeharto sesuai dengan ketetapan MPRS sebelumnya di mana apabila presiden tidak mampu menjalankan pemerintahannya, maka pemegang SP 11 Maret 1966 diangkat sebagai pengganti. Soeharto juga diserahi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah hukum Soekarno.

Sejak saat itu, Soekarno tidak diperbolehkan lagi mengenakan jabatan presiden, panglima tertinggi angkatan bersenjata, mandataris MPRS, dan dilarang menggunakan bendera kepresidenan. Gambar-gambar Soekarno di kantor-kantor pemerintahan juga diturunkan. Soekarno pun kemudian angkat kaki dari Istana Negara pada Agustus 1967.

Walaupun Soekarno telah kehilangan jabatannya sebagai presiden, namun Soeharto tetap memegang mandat sebagai penjabat presiden. Asvi Warman Adam menuliskan dalam bukunya, pada 28 Februari 1968 muncul desakan untuk menyingkirkan anggota MPRS yang loyal kepada Soekarno. Tujuannya supaya Jenderal Soeharto segera diangkat sebagai Presiden RI. Akhirnya, pada 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai Presiden RI yang kedua dalam Sidang Umum MPRS V.

IPPHOS

Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi Ketua Presidium kabinet tersebut (25/7/1966)

Tahanan Politik

Setelah meninggalkan Istana Negara di Jakarta, Soekarno kemudian menempati Istana Bogor bersama dengan Hartini istrinya. Meskipun begitu Soekarno masih tetap dalam pengawasan militer. Akibatnya, Bung Karno tidak diperbolehkan untuk meninggalkan istana apalagi perjalanan keluar kota dan keluar negeri.

Suatu waktu Soekarno yang ingin melakukan perjalanan dari Bogor ke Jakarta pernah dicegah oleh aparat militer di Jakarta. Peter Kasenda dalam bukunya menuliskan bahwa Mayor Jenderal Amir Machmud, Panglima Kodam V/Jayakarta melarang Soekarno untuk memasuki wilayah Ibu Kota Jakarta.

Tidak hanya Soekarno yang merasa kerepotan untuk ke Jakarta, para ajudan Bung Karno juga merasakan hal yang sama. Mereka diharuskan membuat izin terlebih dahulu di Kodam Jaya maupun Kodam Siliwangi apabila Soekarno ingin ke Jakarta untuk berobat. Situasi tersebut diungkap oleh Sidarto Danusubroto dalam memoarnya sebagai salah satu ajudan Bung Karno.

Padahal, kepentingan Soekarno ke Jakarta hanya untuk melakukan pengobatan bukan mengada-ada. Menurut dr. Soeharto yang merupakan dokter pribadi Soekarno mengatakan bahwa Bung Karno memiliki penyakit yang kompleks sehingga perlu penanganan yang serius. Dalam catatan medis Soekarno, disebutkan bahwa kondisi ginjalnya cukup memprihatinkan. Selain itu, tekanan darah Soekarno juga cukup tinggi, maka Soekarno sangat memerlukan pengobatan dan konsultasi kesehatannya di Jakarta.

Kondisi kesehatan Soekarno memang semakin menurun sejak ia tidak menjabat lagi sebagai presiden. Sejak 28 Juli 1967, tim dokter kepresidenan yang diketuai oleh Prof. Siwabessy dengan anggota dr. Soeharto, dr. Tan Sin Hin, dan Kapten CPM dr. Soerojo dibubarkan. Meskipun kesehatan Soekarno terus dimonitor sejak tinggal di Bogor, kondisinya semakin drop.

Kesedihan Soekarno tidak hanya tentang kesehatannya saja. Anak-anak Soekarno dan Fatmawati yang masih tinggal Istana di Jakarta juga ikut diusir pada Agustus 1967. Soekarno yang masih bergelut dengan penyakitnya pun merasakan kesedihan karena anak-anaknya yang masih kecil harus ikut terusir. Akhirnya, mereka pindah ke rumah Fatmawati yang berada di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta.

Sementara itu, pada Desember 1967 giliran Soekarno, Hartini, dan anak-anaknya yang diminta untuk meninggalkan Istana di Bogor. Ultimatum ini berdasarkan surat yang dikirim oleh Pangdam Jaya Mayor Jenderal Amir Machmud. Surat tersebut memerintahkan pengosongan Istana Bogor harus dilaksanakan dalam hitungan beberapa jam.

Akhirnya, Soekarno pun pergi dengan rela meninggalkan Istana Bogor dengan hanya memakai kaos oblong, piyama, dan bersandal. Soekarno dan Hartini pun diminta untuk tinggal secara terpisah. Hartini tinggal dirumahnya di Jalan Jakarta Bogor, sedangkan Soekarno tinggal di rumah miliknya di Puri Bima Sakti di Batutulis, Bogor. Alasannya, karena Soekarno diharuskan untuk menjalani masa karantina lanjutan.

Sejak berada di Batutulis Bogor, kesehatan Soekarno semakin turun. Soekarno pun meminta kepada Hartini melayangkan surat kepada Presiden Soeharto agar dizinkan ke Jakarta untuk memeriksa kesehatannya ke dokter. Surat tersebut juga didukung permintaan menteri kesehatan tentang kesehatan Soekarno yang semakin kritis.

Pada 20 Oktober 1968, atas inisiatif Menteri Kesehatan dibentuk tim dokter yang bertugas untuk memeriksa dan merawat Soekarno. Tim diketuai oleh Prof Dr. Mahar Mardjono dan wakil Mayor Jenderal dr. Roebiono Kertapati. Dalam menjalankan tugasnya tim dokter diharuskan untuk memberikan laporan kepada pihak Pangdam Jaya selaku Laksus Pangkopkamtib Jaya.

Sementara, surat yang dikirimkan Hartini kepada Presiden Soeharto ternyata belum mendapatkan tanggapan. Padahal, kondisi Soekarno semakin menurun. Sehingga, Rachmawati, anak Soekarno pun mengirimkan surat yang sama kepada Soeharto. Melihat keadaan bapaknya yang semakin parah, Rachmawati tanpa berpikir panjang bergegas menemui langsung Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta.

Presiden Soeharto kemudian mengabulkan permintaan surat untuk memindahkan Soekarno ke Jakarta. Wisma Yaso yang merupakan bekas tempat tinggal istri Soekarno yang bernama Ratna Sari Dewi dipilih sebagai lokasi Soekarno di Jakarta pada tahun 1969. Keberadaan Soekarno saat tinggal di Wisma Yaso mendapatkan pengamanan militer. Namun, keluarga tidak diberi kebebasan mengunjunginya.

KOMPAS/THREES NIO

Presiden Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat angkatan Darad Jakarta dan di makamkan di Blitar Jawa Timur (21/6/1970).

Soekarno Wafat

Pindahnya Soekarno ke Wisma Yaso di Jakarta tidak membawa perubahan dari segi kesehatannya. Ia diharuskan untuk tinggal sendiri. Apabila keluarganya ingin menjenguk, mereka harus meminta izin terlebih dahulu. Bahkan, keluarga yang menjenguk Bung Karno dibatasi waktu. Kala itu, Soekarno tidak hanya bergelut dengan kesehatannya saja, namun juga harus menghadapi pemeriksaan Kopkamtib untuk mengetahui sejauh mana keterlibatannya dalam peristiwa September 1965.

Pemeriksaan terhadap Soekarno berdampak cukup besar bagi mentalnya. Dalam buku Hari-Hari Terakhir Soekarno, dituliskan bahwa Soekarno menegaskan pada Mardjono yang merawatnya bahwa ia tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa September 1965. Soekarno juga heran mengapa ia sampai diperlakukan seperti itu.

Mardjono yang merasa kasihan kemudian meminta aparat militer untuk memperlunak peraturan yang ketat kepada Soekarno. Rachmawati, putri Soekarno pun kembali mengirimkan surat kepada Soeharto meminta hal yang sama mengingat kesehatan Soekarno. Permohonan dikabulkan oleh Presiden Soeharto dengan menghentikan interogasi kepada Soekarno.

Pada awal bulan Juni 1970, keadaan Soekarno semakin kritis akibat penyakit ginjalnya. Dalam Harian Kompas tercatat pada 16 Juni 1970, Soekarno harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Sebelumnya, Soekarno menolak untuk diperiksa ke rumah sakit. Berdasar kesaksian pembantu setianya, Soekarno harus dipaksa dan dibujuk terlebih dahulu sebelum di bawa ke rumah sakit.

Pada 19 Juni 1970, Mohammad Hatta mengunjungi Soekarno yang terbaring sakit di RSPAD. Meutia Hatta, anak Mohammad Hatta dalam kisahnya menceritakan pertemuan antara dua proklamator ini di rumah sakit. Hatta yang diliputi kesedihan melihat Soekarno hanya bisa berkata, “Bagaimana keadaanmu, No?” Soekarno kemudian hanya bisa terisak menangis di depan kawan perjuangannya ini. Tidak banyak kata-kata yang diucapkan mereka berdua, hanya hati mereka berdua yang berbicara.

Tanggal 20 Juni 1970 sekitar pukul 20.30 kondisi Soekarno semakin memburuk dan kesadarannya berangsur-angsur menurun. Keesokan harinya pada 21 Juni 1970 sekitar pukul 03.50, Soekarno sudah kritis. Pada pukul 06.30 berkumpulah seluruh keluarga Soekarno seakan-akan inilah waktu terakhir Bung Karno ada. Menjelang pukul 07.00, tiba-tiba Soekarno membuka mata sedikit lalu menghembuskan nafas terakhirnya.

Jenazah Soekarno kemudian dibawa menuju Wisma Yaso. Banyak peziarah yang datang untuk melayat sang proklamator baik itu dari dalam negeri maupun tamu-tamu luar negeri. Para negara sahabat pun tidak ketinggalan memberikan belangsungkawanya kepada presiden pertama Indonesia ini.

Pemerintahan Presiden Soeharto kemudian memikirkan tempat di mana Soekarno akan dimakamkan. Pada tanggal 24 Mei 1965 Soekarno pernah menuliskan surat wasiat yang isinya ingin dimakamkan di Kebun Raya Bogor berdampingan dengan Hartini. Namun, surat wasiat ini tidak dikehendaki oleh Presiden Soeharto.

Keputusan dari Presiden Soeharto ini kemudian ditanggapi oleh keluarga Soekarno yang bersikukuh untuk memakamkan di Bogor sesuai keinginan Bung Karno. Hartini dan Ratna Sari Dewi mengusulkan untuk memakamkan Soekarno di Batutulis, Bogor, namun pemerintah tetap menolak. Akhirnya, diputuskan Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Alasannya cukup sederhana karena di sanalah ayah dan ibu Soekarno dimakamkan.

Pada 22 Juni 1970, jenazah Soekarno langsung dibawa ke Blitar melalui Malang. Sepanjang perjalanan di kanan-kiri telah banyak orang yang menunggu mobil yang membawa jenazah Bung Karno melintas. Di tengah dukacita yang mendalam itulah Soekarno dibaringkan di Blitar dengan upacara kenegaraan.

Referensi

Arsip Harian Kompas
  • “Surat Perintah 11 Maret Salah Satu Sumber Hukum * memorandum DPR-GR”. Kompas, 10 Juni 1966, hal. 1.
  • “Progress report Presiden mandataris MPRS Berisi Sembilan perkara atau Nawaksara”. Kompas, 23 Juni 1966, hal. 1.
  • “Dari sidang umum MPRS ke-IV: Progress report presiden dibahas”. Kompas, 24 Juni 1966, hal. 2.
  • “Nawaksara timbulkan ketjewa”. Kompas, 24 Juni 1966, hal. 1.
  • “Pandangan Umum sidang MPRS: Pedjabat Presiden pemegang SP 11 Maret”. Kompas, 27 Juni 1966, hal. 1.
  • “Keputusan MPRS Kepresiden seumur hidup ditjabut”. Kompas, 6 Juli 1966, hal. 1.
  • “PBR hanja gelar bukan sumber hukum”. Kompas, 6 Juli 1966, hal. 1.
  • “Kabinet Ampera Sudah Tersusun: Presidium 5 Menteri Utama, Kabinet 24 Menteri”. Kompas, 26 Juli 1966, hal. 1.
  • “Pelengkapan Pidato “Nawaksara” Presiden Soekarno”. Kompas, 11 Januari 1967, hal. 1.
  • “Reaksi Wakil2 MPRS Atas “Kelengkapan Nawaksara””. Kompas, 11 Januari 1967, hal. 1.
  • “Presiden Soekarno Harus Diganti”. Kompas, 8 Maret 1967, hal. 1.
  • “Perkembangan Djumat Malam Di Komisi “A” Sid. MPRS Menundjukkan: Presiden Sukarno Ditjabut Mandatnja”. Kompas, 11 Maret 1967, hal. 1.
  • “Ketetapan-ketetapan Sidang Istimewa MPRS: Dr. Ir Sukarno Bukan Lagi Presiden Republik Indonesia *Djendral Suharto pedjabat presiden…”. Kompas, 13 Maret 1967, hal. 1.
  • “Ir. Soekarno Dalam Keadaan Gawat”. Kompas, 18 Juni 1970, hal. 1.
  • “Pemerintah Berusaha Sekuat Tenaga Tolong Ir. Soekarno * Statusnja “Orang Sedang Diperiksa” ; Jang Dirindukannja Kartika”. Kompas, 19 Juni 1970, hal. 1.
  • “Bung Hatta Kundjungi Bung Karno * Masih Dapat Bitjara dan Mengenali Tamunja”. Kompas, 19 Juni 1970, hal. 1.
  • “Pertemuan Terachir Dengan Dewi * Presiden Soekarno Meninggal Dunia”. Kompas, 22 Juni 1970, hal. 1.
  • “Dr Ir Soekarno Meninggal Dunia * Dimakamkan di Blitar Dengan Upatjara Kenegaraan Sebagai Proklamator Kemerdekaan”. Kompas, 22 Juni 1970, hal. 1.
  • “In Memoriam Dr. Ir. Soekarno”. Kompas, 22 Juni 1970, hal. 1.
Buku
  • Adam, Asvi Warman. 2010. Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • ——. 2013. Memoar Sidarto Danusubroto, Ajudan Bung Karno: Sisi Sejarah yang Hilang Masa Transisi di Seputar Supersemar. Yogyakarta: Ombak.
  • Kasenda, Peter. 2012. Hari-hari Terakhir Sukarno. Depok: Komunitas Bambu.
  • ——. 2013. Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun? Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Mulyosudarmo, Suwoto. 1997. Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara. Jakarta: Gramedia.