Paparan Topik | Reformasi 1998

Asal-Usul Gerakan Mahasiswa 1998, dari yang Dibungkam hingga Penggerak Reformasi

Gerakan mahasiswa sepanjang Orde Baru terus mengalami penekanan. Namun, dari sanalah muncul benih-benih perlawanan yang membentuk organisasi mahasiswa sebagai penggerak pada aksi Mei 1998.

KOMPAS/JOHNNY TG

Demo Forum Kota Forum Kota bersama FKSMJ tercatat oleh sejarah sebagai organ gerakan mahasiswa pertama yang memasuki Gedung DPR/MPR pada tanggal 18 Mei 1998.

Fakta Singkat

Latar Belakang Aksi Mahasiswa Masa Orde Baru

  • Kebijakan penyederhanaan sepuluh partai politik menjadi hanya tiga partai yakni Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan; dwifungsi ABRI; dan fusi seluruh organisasi kemasyarakatan.
  • Dilarangnya pertumbuhan kelompok oposisi.
  • Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
  • Manipulasi dalam pemilihan umum.
  • Kesejahteraan masyarakat yang belum terpenuhi.
  • Peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang memprotes modal asing di Indonesia.

Kebijakan Represif Pemerintah terhadap Aksi Mahasiswa

  • Dikeluarkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
  • Dibekukannya Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa.
  • Mahasiswa dilarang untuk ikut dalam politik praktis.
  • Ditangkapnya sejumlah aktivis mahasiswa.

Langkah-langkah Teroboson

  • Mendirikan kelompok studi di daerah-daerah.
  • Mengangkat isu-isu lokal untuk menjadi opini nasional.
  • Melakukan advokasi dan tinggal bersama dengan masyarakat pinggiran.
  • Menggabungkan organisasi-organisasi di tingkat lokal untuk menjadi organisasi nasional berdasarkan ideologi dan tujuan yang sama.

Artikel terkait

Pada tahun-tahun awal dimulainya pemerintahan Orde Baru, kelompok mahasiswa masih memiliki hubungan yang cukup mesra dengan Presiden Soeharto. Mereka memiliki tujuan yang sama yakni membangun pemerintahan baru yang tidak memiliki unsur komunisme.

Namun, kemesraan mahasiswa dengan pemerintahan Orde Baru tidaklah berusia panjang. Beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan mengandalkan aparat membuat mahasiswa bergerak. Bagi kelompok mahasiswa, pemerintahan Orde Baru telah mengingkari janji-janjinya.

Maka sepanjang tahun 1970-an berkembang aksi-aksi mahasiswa yang mengkritik pemerintahan. Presiden Soeharto ingin mempertahankan stabilitas politik kemudian menangkap sejumlah aktivis mahasiswa dan menerbitkan kebijakan normalisasi kampus pada tahun 1980-an. Mahasiswa dilarang untuk melakukan politik praktis dan disibukkan dengan kegiatan kampus.

Namun, kegigihan mahasiswa di tahun 1980-an membentuk kelompok studi membuat pergerakan mahasiswa tetap tumbuh. Mereka tidak lagi bergerak di tingkat nasional namun terjun ke daerah-daerah merasakan kehidupan masyarakat pinggiran. Dari sini mereka menaikkan isu-isu lokal untuk menjadi opini nasional.

Dari organisasi yang disemai melalui tingkat lokal inilah yang kemudian berkembang menjadi organisasi-organisasi tingkat nasional. Mereka belajar untuk mendirikan organisasi, tidak lagi berdasarkan kampus tetapi berdasarkan ideologi. Dari sinilah mucul benih-benih organisasi mahasiswa yang bergerak pada demonstrasi Mei 1998.

Aksi Mahasiswa di Awal Orde Baru

Kemesraan pemerintah Orde Baru dengan mahasiswa berakhir pada dasawarsa tahun 1970-an karena beragam kebijakan yang kontroversi. Kebijakan tersebut antara lain penyederhanaan sepuluh partai politik menjadi hanya tiga partai yakni Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, serta dwifungsi ABRI dan fusi seluruh organisasi kemasyarakatan.

Presiden Soeharto menerapkan kebijakan tersebut untuk menjaga stabilitas politik di dalam negeri. Oleh karena itu beberapa kelompok yang disinyalir berseberangan dengan pemerintah akan mendapatkan tekanan. Pemerintah juga membuat serangkaian peraturan represif untuk mencegah bangkitnya kekuatan oposisi.

Keadaan ini justru membuat masyarakat merasa tidak puas terlebih kesejahteraan masih rendah. Namun, mereka diminta untuk diam dan tidak melancarkan aksi-aksi protes. Mahasiswa yang sejak tahun 1960-an menjadi kelompok yang paling kritis mulai menyerang pemerintah. Mereka menganggap Orde Baru telah menyimpang dari cita-cita semula.

Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda, menyebut bahwa mahasiswa melancarkan kritik terhadap rezim Orde Baru mengenai dominasi ekonomi oleh segelintir orang dan kebijakan politik otoriter. Kelompok mahasiswa juga mengkritik pelaksanaan pemilihan umum tahun 1972 yang dinilai sarat manipulasi suara dan intimidasi militer.

Selain itu, mahasiswa juga memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1972 yang dianggapnya sebagai proyek penghamburan uang rakyat. Padahal, masyarakat masih menderita kemiskinan. Pemerintah justru mengalihkan dananya untuk pembangunan wahana TMII.

Puncak pergerakan mahasiswa di tahun 1970-an terjadi pada 1974 yang dikenal sebagai Peristiwa Lima Belas Januari (Malari). Dalam Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru, menyebutkan bahwa aksi ini adalah bentuk protes mahasiswa atas besarnya aliran modal asing dari Jepang yang dianggap memeras ekonomi Indonesia.

Aksi pada 15 Januari 1974 ini dilakukan ketika Perdana Menteri Jepang Kakue Tanaka melakukan kunjungan ke Jakarta. Pada awalnya kelompok demonstran mahasiswa ingin menyerbu Istana Kepresidenan, lokasi Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Tanaka. Namun, usaha mereka digagalkan oleh aparat sehingga kelompok demonstran marah.

Keadaan ini membuat kelompok demonstran melakukan penjarahan ke toko-toko Jepang dan membakar mobil-mobil produksi Jepang di Jakarta. Bahkan mereka membakar boneka Perdana Menteri Tanaka yang disimbolkan sebagai “penjarah ekonomi”. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kedatangan Tanaka.

Peristiwa Malari dapat diselesaikan setelah aparat menangkap mahasiswa yang dianggap sebagai dalang kerusuhan. Sejumlah surat kabar juga dibredel karena memberitakan aksi represif pemerintah terhadap mahasiswa. Kuatnya konsolidasi Orde Baru didukung oleh pihak militer yang membuat gerakan perlawanan dengan mudah dipatahkan.

Setelah peristiwa Malari, pemerintah mulai melakukan konsolidasi ke kampus-kampus untuk mencegah terjadinya aksi-aksi demonstrasi. Maka dibentuklah Tim Dialog Pemerintah pada 24 Juni 1977. Namun, kedatangan mereka justru ditolak oleh mahasiswa. Dengan alasan terjadinya pembangkangan politik maka militer melakukan pendudukan ke kampus.

Dalam Aldera, disebutkan pada 28 Oktober 1977 militer menyerbu kampus Institut Teknologi Bandung. Penyebabnya karena sekitar 10.000 mahasiswa menyerukan “Turunkan Soeharto” di halaman kampus ITB. Tidak hanya di Bandung, aksi militer masuk ke kampus juga terjadi di Makassar dan Surabaya. Aksi ini kemudian memicu pergerakan mahasiswa kembali untuk menurunkan Soeharto setelah beberapa tahun senyap setelah peristiwa Malari.

Baca juga: Kerusuhan-kerusuhan Hebat Melanda Ibukota (Arsip Kompas)

KOMPAS/AVENT KUANG

Penolakan dominasi modal asing, terutama Jepang membuat Kampus UI di Salemba bergolak (15/1/1974). Mereka menentang keras kebijakan Pemerintah, sehingga menimbulkan kerusuhan yang dikenal dengan Peristiwa Malari di Jakarta.

Normalisasi Kampus

Aksi-aksi militer masuk kampus yang berujung pada bangkitnya kembali gerakan mahasiswa mendorong pemerintah membuat kebijakan yang lebih represif lagi. Daoed Joesoef yang baru dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dua surat keputusan yakni SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan SK tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kedua surat ini kemudian dikenal sebagai kebijakan NKK/BKK.

Maksud dan tujuan dari kebijakan NKK/BKK ini adalah supaya mahasiswa hanya menjalankan kegiatan akademik saja, jauh dari aktivitas politik yang dapat membahayakan Orde Baru. Daoed Joesoef berkaca pada peristiwa Malari dan aksi-aksi mahasiswa yang serupa dapat membuat politik di Indonesia semakin tidak stabil. Oleh karena itu Daoed Joesoef membubarkan organisasi politik mahasiswa bersama dengan Dewan Mahasiswa lalu diganti dengan BKK.

Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Laksamana Sudomo berpendapat bahwa organisasi kemahasiswaan dan kampus bukanlah alat politik praktis. Mahasiswa boleh saja melakukan kontrol sosial dan politik praktis harus melewati wadah-wadah yang telah tersedia yakni partai politik atau Golkar.

Dalam tulisan Daoed Joesoef yang dimuat di KOMPAS pada 20 April 1978, disebutkan tentang tanggung jawab mahasiswa adalah membangkitkan kekuatan penalaran individual sebagai dasar kemampuan berpikir analitis dan sintesis. Atas dasar inilah menurut Daoed Joesoef mahasiswa bukanlah “manusia rapat umum” tetapi manusia penganalisis.

Harapannya mahasiswa dapat menjadi individu yang mempunyai kekuatan penalaran untuk mengisi teknostruktur di setiap bidang penghidupan masyarakat. Di bidang sosial-politik diharapkan bahwa mahasiswa dapat mengambil keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini sesuai dengan tuntutan demokrasi Pancasila.

Daoed Joesoef juga mengkritik aksi-aksi mahasiswa selama ini. Menurut Daoed Joesoef mahasiswa seharusnya memberikan masukan berupa gagasan, pikiran, dan intepretasi mengenai apa yang dianggapnya sebagai kepentingan masyarakat atau nasional. Ide-ide ini kemudian diterapkan dalam sebuah program yang aksi dan tujuannya dapat mencapai sasaran.

Sebaliknya menurut Daoed Joesoef apabila mahasiswa justru melancarkan aksi politik dalam bentuk tidakan individu atau kelompok, maka tidaklah pantas menyandang predikat mahasiswa. Apalagi mengubah kampus dari dunia berpikir menjadi arena politik. Daoed Joesoef menekankan bahwa tidaklah tepat mahasiswa berpolitik dalam artian aksi dan kebijakan di dalam “kampus”. Maka Daoed Joesoef perlu menormalisasi kampus dan mengembalikan mahasiswa sesuai dengan hakikatnya sebagai “mahasiswa penganalisis”.

Konsekuensi dari kebijakan NKK/BKK menurut buku Aldera, mahasiswa cenderung menjadi apatis dan tidak mau tahu problem di masyarakat sekitarnya. Adapula mahasiswa yang menjadi oportunis yakni sebagai kelompok pembela pemerintahan dan rektorat. Sisanya adalah mahasiswa yang masih mempertahankan idealismenya untuk membentuk aktivisme mahasiswa.

Baca juga: Normalisasi Kampus Diserahkan Sepenuhnya kepada Departemen P&K (Arsip Kompas)

KOMPAS/JB SURATNO

Mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya duduk di depan gedung DPR setelah menghadiri Sidang Umum DPR, 20 Desember 1979, yang membicarakan usul interpelasi tentang Normalisasi Kehidupan Kampus.

Kelompok Studi

Pemberlakuan NKK/BKK membuat mahasiswa harus mencari alternatif gerakan lain setelah kampus melarang segala bentuk kegiatan politik mahasiswa. Mereka kemudian terinspirasi oleh gerakan mahasiswa zaman kolonial Belanda dalam bentuk kelompok studi. Belajar dari para tokoh seperti Soekarno, Hatta, atau Sjahrir, kelompok studi menjadi media perkenalan mahasiswa dengan teori-teori komprehensif untuk menjadi alat analisis sosial. Apalagi Dewan Mahasiswa dibekukan setelah diberlakukan NKK secara ketat.

Seperti yang tercatat dalam buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, menyebutkan bahwa di Jakarta misalnya terdapat Kelompok Studi Proklamasi, Kelompok Studi Indonesia, dan lain-lain. Tidak jauh dari Jakarta, di Yogyakarta juga muncul Kelompok Studi Teknosofi, Kelompok Studi Palagan, dan lain sebagainya. Di beberapa kota-kota lainnya pun pendirian kelompok studi pun menjamur.

Tipe gerakan mahasiswa juga mengalami perubahan dari gerakan politik praktis menjadi gerakan penyadaran atau gerakan dakwah di bidang sosial politik. Hal ini membuat metode gerakan dengan mobilisasi massa telah ditinggalkan dan digantikan dengan mengorganisasi kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik.

Mereka melakukan studi intensif mengenai masalah-masalah sosial yang sedang aktual dan strategis yang tengah dihadapi. Masalah tersebut kemudian didistribusikan agar dapat diketahui dan dikritisi oleh masyarakat secara luas. Harapannya masyarakat dapat melakukan penilaian dan memberikan reaksi balik untuk menentukan arah pembangunan yang tengah dijalankan. Maka gerakan kelompok-kelompok studi ini tidak lagi mengikuti isu-isu nasional melainkan isu-isu lokal yang berdampak bagi masyarakat setempat.

Mereka dalam setiap pertemuannya mulai dari sore hingga malam berdiskusi seperti layaknya “profesional” namun tetap santai dengan gaya mahasiswa. Mereka biasanya membahas seputar topik tentang kapitalisme, perubahan sosial, lingkungan hidup, agama, dan masalah kerakyatan. Selain itu mereka juga mendalami pemikiran tokoh-tokoh terkenal seperti Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucault.

Kelompok ini juga tidak hanya sekedar berkumpul dan berdiskusi saja. Mereka tidak ingin menjadi “menara gading” seperti halnya kampus-kampusnya yang lebih banyak berbicara mengenai teori. Maka kebanyakan dari mereka kemudian turun ke bawah untuk ikut larut dalam kehidupan para buruh, petani, dan rakyat terpinggirkan. Dari sana mereka dapat mendengarkan keresahan sebagai bahan masukan untuk aksi-aksi mereka.

Apalagi pada pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an muncul wacana politik mahasiswa yang menunjukkan perkembangan isu struktur pemerintahan. Tahun 1989, isu hak asasi manusia mendominasi wacana mahasiswa dalam demonstrasi mereka. Namun, pada tahun 1990-1993 muncul isu bertema politik nasional dan demokrasi karena berdekatan dengan pemilihan umum 1992.

Salah satu contoh gerakan kelompok studi adalah aksi mahasiswa yang memprotes penggenangan Waduk Kedung Ombo sejak 14 Januari 1989. Menurut mahasiswa pemerintah telah mengabaikan hak-hak warga korban penggusuran yang masih bertahan di lokasi. Mereka menolak pindah karena kecilnya ganti rugi yang diberikan pemerintah. Kelompok mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah mengabaikan hak-hak asasi manusia dari korban Kedung Ombo.

Maka sejumlah mahasiswa dari Salatiga, Yogyakarta, dan Surabaya membentuk organisasi bernama Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo. Mereka kemudian melakukan investigasi pengumpulan data dan informasi sekaligus melakukan advokasi terhadap warga korban pembangunan Kedung Ombo.

Tidak disangka, aksi-aksi ini kemudian mendapatkan tanggapan dari kelompok studi di beberapa kota-kota seperti Bandung, Bogor, Malang, dan lain sebagainya. Ada kelompok yang menyurati ketua DPR/MPR dan Presiden Soeharto tentang keresahan warga korban Kedung Ombo. Namun, ada juga kelompok-kelompok yang menggelar aksi unjuk rasa.

Di lokasi Kedung Ombo, mahasiswa asal Salatiga, Semarang, dan Yogyakarta juga melakukan aksi protes. Tetapi aksi ini dibubarkan setelah mahasiswa diusir oleh aparat. Aksi protes pembangunan Waduk Kedung Ombo ini kemudian dapat dihentikan setelah Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo dibubarkan aparat dan para aktivisnya ditangkap oleh aparat.

KOMPAS/PRAMONO BS

Bupati Boyolali M Hasbi dan mahasiswa berdemo menolak pembangunan bendungan Kedung Ombo (31/3/1989).

Dari Lokal ke Nasional

Meskipun pergerakan mahasiswa telah digembosi oleh pemerintah melalui kebijakan NKK/BKK, namun hal ini tidak menyurutkan semangat perlawanan mahasiswa. Keberadaan kelompok studi di tingkat lokal menjadi kunci utama di mana pergerakan mahasiswa tetaplah hidup. Mereka menggunakan isu-isu lokal yang berdekatan langsung dengan masyarakat pinggiran untuk digiring sebagai isu nasional.

Bahkan dalam buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, mencatat sepanjang tahun 1980-an hingga 1990-an aksi demonstrasi mahasiswa tidak pernah berhenti. Sejak tahun 1989-1993 terjadi 198 kali aksi demonstrasi mahasiswa dengan isu yang beragam. Setidaknya terdapat tiga isu besar yang diangkat yaitu isu kampus, isu keadilan sosial dan ekonomi, dan isu HAM, hukum, dan kekerasan.

Isu yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah tentang HAM yang berkisar mengenai pelanggaran hak-hak politik dan demokrasi rakyat dan tindakan kekerasan aparat terhadap aktivis mahasiswa. Isu kampus berada di urutan kedua biasanya mengangkat tentang status kemahasiswaan, perubahan aspek kehidupan kampus, mahalnya biaya pendidikan, dan korupsi birokrat kampus. Sedangkan isu tentang keadilan sosial seputar ekonomi, konflik tanah, dan kemiskinan berada di urutan ketiga.

Baru pada awal tahun 1990-an muncul lebih banyak lagi organisasi mahasiswa yang kemudian menjadi pelopor dalam Reformasi 1998. Organisasi ini sifatnya permanen maupun nonpermanen, baik yang memanfaatkan organ intrakampus maupun yang ekstrakampus. Di sinilah organisasi tingkat lokal mulai bergerak menuju nasional.

Dalam buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan: Gerakan Mahasiswa 1990-an, setidaknya terdapat tiga kelompok organisasi mahasiswa. Pertama, adalah tipe organisasi nonpermanen, temporer, dan terbentuk karena momentum politik atau mengangkat isu-isu tertentu. Biasanya organisasi ini tidak memiliki mekanisme yang bertingkat sehingga dalam pengampilan keputusan hanya ditentukan oleh perwakilan simpul massa atau komandan kampus.

Kedua, organisasi mahasiswa progresif kerakyatan yang berbasiskan pada organisasi massa (ormas). Dalam pembentukan organisasi ini setidaknya harus memiliki kesamaan visi politik dan ideologi untuk menyatukannya. Mereka memiliki struktural yang jelas mulai dari pimpinan, kepengurusan, hingga anggotanya. Hal ini membuat segala keputusan diambil berdasarkan pada mekanisme organisasi.

Ketiga, di luar dari kedua organisasi di atas masih ada basis pergerakan mahasiswa dalam bentuk kelompok studi. Kelompok ini menjadi tempat persemaian teori-teori dari tokoh-tokoh terkenal. Teori-teori ini menjadi bahan kajian, diskusi, dan perdebatan menarik di kelompok studi. Tidak jarang pula kelompok ini juga ikut dalam aksi-aksi.

Keberagaman tipe organisasi inilah yang berkembang di tingkat lokal pada awal tahun 1990-an. Meskipun organisasi mahasiswa saat itu terpolarisasi, namun keadaan ini adalah sebuah keniscayaan karena di dalam gerakan mahasiswa terdapat unsur radikal, moderat, kerakyatan, revolusioner, dan reformis.

Atas dasar inilah berbagai organisasi kemudian saling menemukan beberapa unsur yang saling bersamaan. Mereka inilah yang kemudian saling terkoordinasi dan membangun jaringan antara sesamanya untuk menjadi satu organisasi nasional.

Contohnya adalah organisasi Ikatan Mahasiswa Solo yang memiliki kedekatan dengan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Jakarta, Komite Perjuangan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia, dan Solidaritas Mahasiswa Semarang melakukan pertemuan di Cisarua, Bogor pada November 1992. Kegiatan ini juga disponsori oleh Asia Student Association yang bermarkas di Hong Kong.

Dalam pertemuan tersebut kelompok-kelompok ini memiliki kesamaan tujuan sebagai bagian oposisi pemerintahan Orde Baru. Maka mereka bersepakat untuk bergabung dan mengubah namanya menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Pada tahun 1996 kelompok SMID inilah yang menjadi cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan penggerak di dalam demo Reformasi 1998.

Tidak hanya SMID saja yang menggabungkan organisasi mahasiswa tingkat lokal menjadi organisasi nasional. Pada tahun 1994 beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Garut, Semarang, dan Bandung bersepakat untuk bergabung menjadi Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA). Mereka bersekapat untuk menjadi organisasi yang memperjuangkan demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.

Sepanjang pertengahan awal tahun 1990-an ada begitu banyak organisasi mahasiswa tingkat lokal yang menggabungkan diri secara nasional berdasarkan unsur-unsur kesamaan baik ideologi dan tujuannya. Organisasi-organisasi inilah yang kemudian perlahan bangkit menjadi kekuatan dalam menurunkan pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Agustina, Widiarsi, dkk. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing.
  • Gunawan, FX Rudy, dkk. 2009. Menyulut Lahan Kering Perlawanan: Gerakan Mahasiswa 1990-an. Jakarta: Spasi & VHR Book bekerja sama dengan Friedrich Stiftung.
  • A. Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an. Yogyakarta: LKiS.
  • Joesoef, Daoed. 2018. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya: Buah-buah Refleksi Daoed Joesoef untuk Membumikan Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Rizkiandi, Rosidi. 2016. Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998. Jakarta: UI Press.
  • Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.
  • Wibisana, Teddy, dkk. 2022. Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arsip Kompas
  • “Kerusuhan2 Hebat Melanda Ibukota”. KOMPAS, 16 Januari 1974, hal. 1.
  • “Normalisasi kampus diserahkan sepenuhnya kepada departemen P&K * rektor UI dan ketua rektorium ITB: Pembekuan DM & SM supaya segera dicairkan”. KOMPAS, 4 April 1978, hal. 1.
  • “Normalisasi Kehidupan kampus”. KOMPAS, 20 April 1978, hal. 4.
  • “Pangkopkamtib ajak para mahasiswa melihat ke depan”. KOMPAS, 5 Mei 1978, hal. 1.
  • “Kelompok-kelompok studi mahasiswa: Reaksi balik program NKK”. KOMPAS, 12 Mei 1986, hal. 1.
  • “Kedungombo mulai diari hari ini: Sebagian penduduk mau pindah bila air tiba”. KOMPAS, 14 Januari 1989, hal. 1.