KOMPAS/RIZA FATHONI
Tenaga sensor dan anggota Lembaga Sensor Film (LSF) menyensor film di Gedung LSF, Jakarta (17/1/2018).
Kegiatan sensor mulai ada setelah munculnya penyelenggara usaha bioskop pada era kolonial Belanda Nederlandsche Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda). Sensor film dilakukan tidak hanya bertujuan melindungi masyarakat terhadap dampak negatif dari film, tetapi juga muatan politis dalam menjaga kestabilan praktek politik penjajahan.
Perubahan dan perkembangan ordonansi (peraturan pemerintah) film mulai tahun 1916 hingga 1940 menunjukkan adanya kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda terhadap pertunjukan film Barat terutama dari Amerika Serikat. Film-film dari Barat berpotensi akan membangkitkan kesadaran, keberanian untuk melawan penjajah. Di dalam film ordonantie diatur tentang pencegahan gambar yang memperlihatkan adegan-adegan yang berlawanan dengan ketertiban umum dan kesopanan atau dianggap dapat memberikan pengaruh buruk bagi kaum pribumi.
Setelah Indonesia merdeka, sensor film diarahkan dalam menunjang pembangunan nasional dan pembangunan karakter bangsa. Untuk itu, dibentuk Badan Sensor Film (BSF) yang bertugas pada upaya meminimalisir dampak negatif pertunjukan film. Sudut pandang ini juga pada akhirnya menempatkan BSF di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Kedudukan seperti itu tetap berlangsung kendati BSF telah berubah nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).
Seiring dengan perkembangan industri pertunjukan dan film, kebutuhan sensor semakin kompleks. Pemerintah mulai membentuk dasar hukum bagi sensor film. Di Indonesia, pengertian sensor dijelaskan dalam UU No.8 Tahun 1992 maupun penggantinya, yaitu UU No.33 Tahun 2009 tentang perfilman. Yang dimaksud dengan sensor (film) menurut UU No.8 Tahun 1992 adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk dapat menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.
Sementara itu, di dalam UU No. 33 Tahun 2009 pengertian sensor mengalami sedikit perubahan dan lebih sederhana menjadi: penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.
Kemudian pada tahun 2009 Undang-Undang No.33 Tahun 2009 film mengalami perubahan kembali menjadi karya budaya yang merupakan media komunikasi pandang dengar massa, yang dibuat berdasarkan asas sinematografi, dengan direkam pada pita seloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk.
Lembaga Sensor Film (LSF) adalah lembaga yang berhak melakukan penyensoran adegan film. Tidak hanya menghilangkan adegan-adegan tertentu, LSF juga berhak melarang peredaran sebuah film secara nasional.
18 Maret 1916
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi film, Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 276 tentang pengawasan pertunjukan. Undang-undang ini ditujukan kepada para pemilik gedung bioskop agar tidak memutar film sebelum mendapat pengesahan dari Commissie voor de Kuering van Films (Komisi Pengawas film). Terselip maksud lain pembentukan ordonansi film ini, yaitu untuk mencegah berkembangnya kesadaran berbangsa bagi kaum bumiputra.
7 Juli 1919
Pembentukan sub-sub komisi pengawasan film di daerah yang diatur dalam Ondonansi film tahun 1919, Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 377.
1920
Beberapa sub-sub komisi pengawasan film daerah yang dibentuk sebelumnya, dihapus, di antaranya di Kota Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan. Hal ini tertuang dalam Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 356.
1922
Pemenintah Kolonial Belanda mulai menetapkan biaya untuk penilaian film yang diatur dalam Staastblad van Nederlaandsch Indie Nomor 668.
1925
Film Ordonnantie 1925, Staastblad van Nederlaandsch Indie Nomor 477 tentang Komisi Penilaian di Batavia merupakan satu-satunya komisi penilaian film di Hindia Belanda. Selain itu, ordonantie ini juga menetapkan anggaran belanja tahun 1925 bagi Komisi Penilaian Film.
5 Januari 1926
Satu tahun kemudian ordonansi film kembali direvisi untuk menambah anggaran untuk biaya listrik, barang cetakan, dan lain-lain. Hal ini ditetapkan dalam Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 478.
29 Desember 1930
Mulai ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang hak dari para pemilik film yang kena sensor. Peraturan ini dijelaskan dalam Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 477.
1940
Pembentukan Komisi Film yang mewajibkan semua film disensor sebelum diputar untuk umum. Hal ini tertuang dalam undang-undang Staatsblad van Nederlaandsch Indie Nomor 507. Pada tahun ini, pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan Reordening Filmverordening 1940 Staatsblad 1940 Nomor 539.
1942–1945
Pada masa penjajahan Jepang, keberadaan sensor Komisi Pemeriksan Film dan Film Ordonanntie dihapuskan. Semua kebijakan sensor fim berada di bawah pengawasan Sendenbu Eiga Haikyusha atau Badan Propaganda. Semua film-film dari Amerika dan Inggris dilarang tayang.
10 September 1946
Pasca-Kemerdekaan RI, Pemerintah mendirikan Komisi Pemeriksaan Film yang anggotanya terdiri dari: Ali Sastroamidjojo, Ki Hajar Dewantara, Mr Soebagio, RM Soetarto, Usmar Ismail, Soemardjo, Anjar Asmara, Djajeng Asmara, dan Rooseno.
Oktober 1946
Sebulan setelah Komisi Pemeriksaan Film Pusat terbentuk, Sri Sultan Hamengku Buwono membentuk Badan Sensor Film. Tugas Badan Sensor, yaitu menyensor segala macam penerbitan, siaran, percetakan, poster, plakat, semboyan, potret, klise, sandiwara, surat dengan perantara pos dan kawat, hingga pembicaraan melalui telefon.
1948
Ordonansi Film 1940 kembali diberlakukan dengan lebih disempurnakan dan dimuat dalam Staatsblad Nomor 155. Undang-undang ini yang menyatakan bahwa segala urusan pengawasan film dilakukan oleh Panitia Pengawas Film di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur di wilayah Belanda. Sementara di wilayah Indonesia, khususnya di Yogyakarta, Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film. Badan ini bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI.
28 November 1951
Pada masa revolusi kemerdekaan RI, sensor yang sebelumnya berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri diubah menjadi di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K). Alasannya karena film memiliki aspek pendidikan dan kebudayaan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1951.
3 November 1952
Diterbitkan Surat Keputusan Menteri PP&K No. 40439 oleh Prof. Bahder Djohan yang isinya menginstruksikan kepada Panitia Pengawan Film untuk menambah ketentuan Film Ordonantie 1940.
5 Agustus 1964
Diterbitkan penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964 yang isinya menegaskan, “Film bukanlah semata-mata barang dagangan, melainkan alat penerangan”. Karena itulah, melalui Instruksi Presiden Nomor 012 Tahun 1964, urusan film dialihkan dari Kementerian PP&K kepada Kementerian Penerangan.
21 Mei 1965
Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 46/SK/M tahun 1965 mengatur bahwa penyelenggaraan sensor film dilakukan oleh lembaga bernama Badan Sensor Film (BSF). Badan Sensor Film mewajibkan seluruh bentuk program harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) terlebih dulu. Ketentuan itu dituangkan dalam peraturan pemerintah sehingga setiap program yang tidak memiliki Surat Tanda Lulus Sensor, royaltinya tidak akan dijual untuk disiarkan di Indonesia.
14 Juli 1968
Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 44/SK/M/1968 menetapkan bahwa BSF berkedudukan di Jakarta dan bersifat nasional, beranggotakan 25 orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua.
27 Juli 1973
Badan Sensor Film ditetapkan sebagai Badan Penyensor Pemerintah atas film yang diedarkan/ dipertunjukan kepada umum di wilayah Indonesia maupun yang akan diekspor. Hal ini ditetapkan berdasarkan Kepmenpen No. 58/B/Kep/Menpen 1973.
19 Juli 1989
Diterbitkan Kepmenpen No.120/Kep/Menpen/1989 yang isinya menambah fungsi BSF. Fungsi BSF dikembangkan menjadi pelindung masyarakat dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh peredaran dan pertujukan serta penyiaran film dan rekaman video.
30 Maret 1992
Undang-Undang Perfilman Nomor 8 Tahun 1992 disahkan. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa sensor film adalah “penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu”. Nama BSF kemudian berubah namanya menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).
3 Maret 1994
Dikeluarkan tiga buah Peraturan Pemerintah terkait perfilman, yaitu PP Nomor 6 Tahun 1994 tentang Peyelenggaraan Usaha Perfilman, PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (LSF) dan PP Nomor 8 Tahun 1994 tentang Badan Pertimbangan Perfilman Nasional.
26 Oktober 1999
Departemen Penerangan dibubarkan. LSF dipindah ke dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
2000
Lembaga Sensor Film dipindahkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
8 Oktober 2009
Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disahkan. Undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa perfilman berada di bawah kebudayaan, sedangkan pembinaan industri perfilman masih tetap berada di bawah pariwisata.
2012
Dikeluarkan Surat Keputusan Menteri yang menyatakan bahwa LSF resmi berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
11 Maret 2014
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film ditetapkan.
22 April 2019
Ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang pedoman dan kriteria penyensoran, penggolongan usia penonton, dan penarikan film dan iklan film dari peredaran.
Referensi
“Masyarakat Mulai Kritis terhadap Film-Film Nasional”. Kompas, 23 Jul 1974, hal. 5.
“Masih Perlukah Lembaga Sensor?”. Kompas, 31 Maret 2018, hal. 12.
- Arief, M. Sarief. 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.
- —.1998. Himpunan Peraturan di Bidang Perfilman. Jakarta: Dewan Film Nasional.
- —. 2011. Sejarah Sensor Film di Indonesia 1916-2011. Jakarta: Lembaga Sensor Film Republik Indonesia.
- Tjasmadi, HM Johan. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Jakarta: Megindo Tunggal Sejahtera.
Penulis
Arief Nurrachman
Editor
Susanti Agustina S
Artikel terkait