Fakta Singkat
Dibentuk:
UU No. 17 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6 Tahun 1964, tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
Regulasi saat ini:
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan wujud kekuasaan eksaminatif. Bentuk kekuasaan ini melampaui doktrin trias politica yang membagi kekuasaan negara pada tiga institusi kekuasaan.
- Kehadiran lembaga BPK memiliki fungsi utama mengawasi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh berbagai lembaga negara.
- Kelahiran lembaga BPK telah dimulai dari amanatnya pada UUD 1945 (sebelum amandemen), dan ditindaklanjuti melalui Surat Penetapan Pemerintah Nomor11/OEM.
- Pada masa awal, BPK mulai beroperasional pada 1 Januari 1947 berkantor di Magelang, Jawa Tengah.
- BPK mengalami perubahan nama menjadi Dewan Pengawas Keuangan (DPK) pada akhir 1949 ketika bentuk negara Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, berkantor di Bogor.
- Pada 1959, nama DPK kembali menjadi BPK. Namun hingga tahun tersebut, segala tugasnya masih mengacu pada peraturan perundangan warisan kolonial.
- Berbagai upaya perbaikan dan penguatan BPK dilakukan, termasuk melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2002, amandemen UUD 1945, dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
- Nilai dasar etis lembaga dan anggota BPK adalah Independensi, Integritas, dan Profesionalisme.
- Perubahan paling penting dari amandemen UUD 1945 adalah penetapan prinsip “bebas dan mandiri” pada pelaksanaan BPK.
KOMPAS/J OSDAR
Gedung Bepeka diresmikan.Pada hari ulang tahun ke-38 Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) hari Kamis (18/1/1985). Ketua Bepeka M. Jusuf meresmikan gedung baru Bepeka di jalan Gatot Subroto, Jakarta. Gedung baru bertingkat delapan ini dibangun dengan biaya sekitar Rp 5,4 milyar.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, ilmuwan politik Indonesia, Miriam Budiardjo menuliskan bahwa pembagiaan kekuasan horizontal negara menganut doktrin trias politica. Doktrin tersebut menegaskan pembagian kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan, yakni yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Dengan berorientasi pada undang-undang, ketiga kekuasaan menjalin fungsionalitas sistem negara dalam giat pembuatan, pelaksanaan, dan pengadilan.
Pada kenyataannya, pelaksanaan pemerintahan negara juga membutuhkan lembaga yang memiliki kuasa memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai pemeriksa, kekuasaan pada lembaga ini haruslah bersifat independen dari ketiga kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, lahirlah kekuasaan eksaminatif sebagai wujud pembagian kekuasaan yang melampaui pembagiaan kekuasaan dalam doktrin trias politica.
Kekuasaan eksaminatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Di Indonesia, kekuasaan eksaminatif ini dijalankan oleh lembaga Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK. Penunjukkan kekuasaan eksaminatif termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen, pada Pasal 23E. Pasal tersebut juga dengan tegas menekankan agar tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga BPK haruslah bersifat “bebas dan mandiri”.
Kehadiran entitas lembaga eksaminatif telah hadir dalam UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen. Mengacu pada artikel ilmiah Umboh dengan judul Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia tidak menganut trias politica, sebagai doktrin klasik Barat yang ditelurkan oleh filsuf John Locke dan Monstesquieu, secara absolut dan kaku.
Doktrin-doktrin tersebut dipraktikkan dalam negeri secara terbuka. Dengan demikian, kehadiran lembaga BPK menjadi wujud nyata sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis dan terbuka akan berbagai doktrin politik, sesuai dengan konteks nasionalnya.
Dengan kekuasaan pengawasan dan kontrol demikian, BPK secara nyata terlibat dalam urusan keuangan negara. Pada Juli 2022, BPK terlibat dalam polemik bantuan sosial kepada masyarakat oleh Kementerian Sosial. Anggota BPK, Achsanul Qosasi, memberikan mandat pada kementerian tersebut untuk melalukan pembenahan tata kelola bantuan. Pasalnya, BPK menilai bahwa penyaluran bantalan senilai Rp 120 triliun rentan mengalami salah sasaran (Kompas, 29/7/2022, “Tata Kelola Bantuan Sosial Perlu Dibenahi”).
Kuasa pengawasan juga mendorong BPK untuk secara periodik menerbitkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS). IHPS teraktual diserahkan oleh Ketua BPK Isma Yatun ke Presiden Joko Widodo pada Juni 2022. Dalam laporan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menemukan 6.011 problem keuangan negara senilai Rp 31,34 triliun hanya pada semester II tahun 2021. Temuan ini pun juga diikuti dengan rekomendasi BPK, yang akan ditindaklanjuti oleh Presiden melalui jajarannya (Kompas, 4/6/2022, “Pemerintah Segera Tindak Lanjuti Temuan BPK”).
Selain itu, BPK melalui kekuasaannya juga rutin melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran negara untuk pandemi Covid-19 dan dampaknya. Pemeriksaan oleh BPK diharapkan mampu menjawab lambatnya penyerapan anggaran sekaligus mendeteksi sedari awal kemungkinan penyalahgunaan anggaran (Kompas, 9/9/2020, “BPK Periksa Anggaran Covid-19”).
KOMPAS/PURNAMA KUSUMANINGRAT
Sidang ke-4 Perhimpunan Badan-Badan Pemeriksa Keuangan Asia (8/6/1988) Association of The Asia Supreme Audit Institution di Denpasar, Bali. Dalam sidang itu Ketua BPK RI M. Jusuf teripilih sebagai ketua asosiasi. Sidang dihadiri utusan dari 21 negara yang juga mengikuti seminar tentang efisiensi penyelenggaraan administrasi negara dan badan hukum. Sidang juga dihadiri utusan Perhimpunan BPK sedunia.
Sejarah Lembaga BPK
Kelahiran dan Periode Awal
Dalam merunut kembali sejarah kelembagaan BPK, tulisan ini mengacu pada laman resmi BPK (bpk.go.id) dan buku Mengenal BPK Lebih Dekat. Kehadiran lembaga BPK telat berangkat melalui UUD 1945 yang belum diamandemen. Amanat atas BPK terkandung dalam Pasal 23 Ayat (5).
Landasan konstitusi negara tersebut memaktubkan kehadiraan kekuasaan eksaminatif dalam lembaga BPK. Bunyinya adalah “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
Meski telah diamanatkan, baru pada 28 Desember 1946 pemerintah nasional menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Surat Penetapan Pemerintah Nomor11/OEM. Secara teknis, mulai 1 Januari 1947 BPK telah memiliki kantor, dengan lokasi sementara di Kota Magelang, Jawa Tengah. Pada kelanjutannya, momen ini menjadi tanggal resmi kelahiran BPK.
Dalam pembentukan awalnya tersebut, BPK baru memiliki sembilan orang pegawai. Duduk sebagai ketua BPK pertama adalah R. Soerasno. Pada 12 April 1947, BPK mengumumkan secara resmi kehadirannya kepada semua instansi negara Indonesia. Dalam surat bernomor 94-1, dimumkan tugas dan kewajibannya dalam memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara.
Selain itu, dengan usianya yang masih muda, pelaksanaan lembaga BPK juga masih mengacu pada peraturan perundang-undangan Indische Compatible Wet (ICW) dan Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR). Keduanya merupakan landasan hukum warisan pemerintah Hindia Belanda yang mengatur pelaksanaan tugas lembaga Algemene Rekenkamer. Lembaga tersebut merupakan lembaga BPK versi pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 6 November 1948, kantor BPK dipindahkan ke Kota Yogyakarta. Keputusan ini berangkat dari penetapan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara bagi Indonesia. Pada periode waktu ini, ketua BPK juga mengalami pergantian. Sejak 1 Agustus 1949, R. Kasirman menjadi ketua, dengan pengangkatannya baru ditetapkan secara resmi lewat Surat Keputusan Presiden tanggal 31 Januari 1950 Nomor13/A/1950.
Perubahan Menjadi DPK
Pada akhir tahun 1949, sistem negara berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan mengacu pada Piagam Konstitusi RIS. Perubahan ini juga turut berdampak pada BPK, yang dialihkan menjadi Dewan Pengawas Keuangan atau DPK dengan berkantor di Bogor, Jawa Barat. Kantornya di Bogor merupakan gedung kantor peninggalan Algemene Rekenkamer.
Lembaga DPK RIS hadir menjadi bagian dari alat kelengkapan negara RIS, dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. R. Soerasno, sebagai ketua pertama BPK, kembali diangkat menjadi ketua untuk lembaga DPK dan mulai bekerja sejak 31 Desember 1949.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali pada bentuk lamanya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seiring dengan perubahan ini, DPK RIS yang berada di Bogor pun digabungkan dengan konsep lembaga BPK lama yang berkedudukan di Yogyakarta. Penetapan dilakukan pada 1 Oktober 1950 dengan mengacu pada UUDS 1950 yang masih berlaku pada saat itu. Bentuk baru dari lembaga ini lantas bernama DPK Republik Indonesia.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali berlakunya UUD Tahun 1945, meninggalkan penggunaan UUD 1950. Dengan acuan landasan hukum tersebut, maka DPK RI kembali pada nama lamanya menjadi BPK. Meski begitu, kehadiran BPK masih mengacu pada ICW dan IAR.
Penyempurnaan BPK dari Aturan Lama
Memasuki masa tahun 1960-an, tercipta berbagai keinginan untuk menyempurnakan BPK. Tujuannya tak lain membuat lembaga ini menjadi alat kontrol keuangan yang efektif. Hal-hal tersebut diamanatkan langsung oleh Presiden Soekarno dalam Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta. Selain itu, hal ini juga dikemukakan melalui lembaga MPRS, yakni pada Ketetapan MPRS Nomor 11/MPRS/1960 dan resolusi MPRS Nomor 1/Res/MPRS/1963.
Salah satu upaya mencapai keinginan tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Kehadiran Perpu ini sendiri hadir untuk menggantikan Perpu Nomor 7 Tahun 1963 yang dicabut.
Dalam pertimbangannya, dituliskan bahwa BPK pada saat ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari DPK dulu. Selain itu, juga dituliskan kesadaran bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, BPK masih menggunakan peraturan-peraturan lama, sehingga dianggap sulit untuk dapat mencapai penyelesaian tujuan Revolusi Indonesia. Oleh karena itu, Perpu Nomor 6 Tahun 1964 hadir untuk memberikan aturan-aturan baru pada BPK.
Pada tahun 1965, kehadiran Perpu tersebut akhirnya digantikan dengan UU Nomor 17. Dalam UU ini, juga ditetapkan aturan baru bahwa Presiden, pada saat itu masih Soekarno, menjadi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Hal ini berangkat dari gelar Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Sementara Ketua dan Wakil Ketua BPK diberikan kedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Pada masa Orde Baru, kedudukan lembaga BPK tersebut dikembalikan seperti semula, yakni sebagai Lembaga Tinggi Negara. Ketetapan tersebut dilakukan melalui Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966. Perubahan demikian juga menuntut perubahan pada UU regulasi BPK. Akhirnya pada 1973, diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Era Reformasi
Seusai kejatuhan Orde Baru, dengan segala kasus korupsi dan masalah keuangannya, dilakukan penguatan kedudukan kembali terhadap lembaga BPK. Penguatan kedudukan BPK pada era Reformasi dilakukan melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 sebagai hasil sidang tahunan pada tahun yang sama. Ketetapan tersebut menegaskan lembaga BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal di bidang keuangan negara. Juga ditegaskan kembali bahwa peran BPK yang independen dan profesional harus lebih dimantapkan.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK, juga dilakukan amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur lembaga tersebut. Hasilnya, sebelum amandemen BPK hanya diatur dalam satu ayat, yakni Pasal 23 Ayat (5). Setelah amandemen, dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri yakni Bab VIII A.
Di dalamnya terkandung tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat. Pada Pasal 23 E Ayat (1) ditekankan tujuan utama kehadiran BPK. Bunyinya adalah, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.”
Dalam tanggung jawabnya kini, BPK tidak hanya mengacu pada UUD 1945 (amandemen). Sejumlah produk hukum pun juga menjadi dasar pelaksanaan tugas BPK. Di antaranya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta (2/6/2005).
Visi dan Misi
Visi
Menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat.
Misi:
- Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri
- Melaksanakan tata kelola organisasi yang berintegritas, independen, dan profesional.
Nilai Dasar Lembaga
Mengacu pada laman resmi BPK, maka ketiga nilai dasar lembaga tersebut adalah:
- Independensi
Sebagai lembaga dengan kekuasaan eksaminatif, BPK menjunjung tinggi nilai independesi. Nilai tersebut dijunjung tidak hanya pada level kelembagaan, namun juga secara organisasi maupun individu (keanggotaan BPK). Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, BPK bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan/atau organisasi yang dapat mempengaruhi independensi
- Integritas
Untuk melakukan tanggung jawab pengawan, BPK juga membangun nilai integritas. Sikap-sikap turunan dari integritas tersebut adalah jujur, objektif, dan tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan.
- Profesionalime
Sama seperti nilai yang kedua, profesionalisme juga memiliki enttias turunannya. Dengan menerapkan profesionalisme, anggota BPK diharapkan juga menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan, serta berpedoman kepada standar yang berlaku.
Ketua BPK dari Masa ke Masa
- Soerasno (1946–1949)
- Kasirman (1949)
- Soerasno (1949–1957)
- Abdoel Kareem Pringgodigdo (1957–1961)
- I Gusti Ketut Pudja (1961–1964)
- Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1964–1966)
- Dadang Suprayogi (1966–1973)
- Umar Wirahadikusumah (1973–1983)
- Jusuf (1983–1993)
- B. Sumarlin (1993–1998)
- Satrio Budihardjo Joedono (1998–2004)
- Anwar Nasution (2004–2009)
- Hadi Poernomo (2009–2014)
- Rizal Djalil (2014)
- Harry Azhar Azis (2014–2017)
- Moermahadi Soerja Djanegara (2017–2019)
- Agung Firman Sampurna (2019–2022)
- Isma Yatun (2022–sekarang)
Struktur Badan Pemeriksa Keuangan
“Bebas dan Mandiri”
Sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, salah satu perubahan dalam amandemen UUD 1945 adalah kehadiran Pasal 23E. Dalam pasal tersebut, ditambahkan kata “bebas dan mandiri” dalam hakikat fungsi kehadiran BPK. Buku Mengenal BPK Lebih Dekat menuliskan bahwa tambahan ini merupakan salah satu tambahan penting dalam amandemen terkait dengan BPK.
Tambahan prinsip kebebasan dan kemandirian tersebut berangkat dari situasi BPK pada masa-masa pemerintahan sebelumnya yang kerap berusaha mengendalikan kiprah dan ruang gerak BPK. Kendali demikian membuat lembaga BPK tidak dapat menjalankan kewajibannya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara optimal.
Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sendiri penting dicapai untuk menegakkan sistem good governance. Situasi pemerintahan demikian merupakan perwujudan nyata bagi demokrasi politik yang sesungguhnya. Untuk itu, era Reformasi menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara yang lebih bersih dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menuju tata pemerintahan yang baik.
Pengendalian terhadap BPK pada era sebelumnya dimungkinkan karena sebelum reformasi, kedudukan BPK berada di bawah kendali pemerintah. Lewat kendali tersebut, Presiden sebagai eksekutif memiliki kemampuan untuk melarang BPK melakukan pemeriksaan sehingga menghindari citra korupsi yang dilakukan.
Salah satu situasi pengendalian terhadap BPK pada era Orde Baru adalah dengan pembatasan akses dalam menentukan objek pengawasan, cara atau metode, hingga penyusunan laporan pemeriksaan. Pada masa tersebut, laporan hasil pemeriksaan BPK harus disesuaikan dengan kepentingan pemerintah. Untuk bisa terbit, laporan hasil pemeriksaan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Sekretariat Negara sebelum diserahkan ke DPR.
Alur politik demikian sengaja dibuat agar temuan-temuan penyimpangan keuangan negara dihilangkan atau dirubah, demi menjaga citra politik para penguasa Orde Baru. Oleh karena itu, laporan BPK pada masa tersebut tidaklah mencerminkan kondisi keuangan negara yang sebenarnya. Selain harus memperoleh persetujuan, laporan pemeriksaaan BPK juga dilarang untuk dipublikasikan dan hanya berstatus dokumen rahasia negara. Pembatasan demikian membuat fungsi BPK yang sesungguhnya sulit diwujudkan secara ideal.
Selain itu, berbagai kondisi tersebut juga tetap terjadi meski pada era Orde Baru, kedudukan BPK telah dikembalikan sebagai lembaga tinggi negara. Meski secara posisi BPK lebih mandiri, namun belum lembaga tersebut belum terberdaya secara optimal. BPK pun tak berdaya dalam memeriksa kekuangan berbagai instansi pemerintah, khususnya lembaga-lembaga BUMN.
KOMPAS/RADITYA HELABUM
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali (kanan) memimpin acara pengambilan sumpah jabatan dua anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yaitu Agung Firman Sampurna dan Isma Yatun di Jakarta, Kamis (20/4/2017). Agung Firman Sampurna dan Isma Yatun akan menjabat sebagai anggota BPK untuk periode 2017-2022.
Majelis Kehormatan Kode Etik
Belajar dari situasi politik pada masa pemerintahan sebelumnya, situasi BPK kini kian mengalami perbaikan dan penegasan kedudukan. Beberapa hal di antaranya yang telah tertulis di atas adalah penetapannya di luar kekuasaan trias politica, amandemen UUD 1945, dan penetapan prinsip “bebas dan mandiri”.
Selain itu, pada tahun 2006, juga dibentuk Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK. Pembentukannya disahkan melalui UU khusus BPK, yakni UU Nomor 15 Tahun 2006. Lebih lanjut, pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang MKKE diatur melalui Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Keanggotaan daripada MKKE diisi oleh anggota BPK pilihan, unsur profesi, dan akademisi.
Pada saat ini, ketua dari MKKE adalah Achsanul Qosasi. Kedudukannya sebagai ketua merangkap juga anggota BPK. Selain itu, empat anggota MKKE lainnya adalah:
- Agus Joko Pramono
- Mardiasmo
- Dr. Rusmin
- Dr. Lindawati Gani
Tak hanya itu, Ketua, Wakil Ketua, dan atau Anggota BPK dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaannya. Terdapat sejumlah kondisi etis yang menyebabkan penghentian tersebut dapat dilakukan. Usulan penghentian pun bisa diajukan oleh BPK sendiri maupun DPR.
Mengacu kembali pada buku Mengenal Lebih Dekat BPK, kondisi-kondisi yang dimaksud terdiri atas:
- Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
- Melanggar kode etik BPK
- Tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selama 1 (satu) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah
- Melanggar sumpah atau janji jabatan
- Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; atau f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPK.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Badan Pengawas Keuangan. 2022. Mengenal BPK Lebih Dekat: Sebuah Panduan Populer. Badan Pengawas Keuangan.
-
Badan Pengawas Keuangan. Diambil kembali dari bpk.go.id: https://www.bpk.go.id/menu/sejarah
- Umboh, C. J. (2020). “Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”. Lex Administratum, Volume VIII Nomor 1, 131-142.
- “BPK Periksa Anggaran Covid-19”. Kompas, 9 September 2020, Hlm 2.
- “Pemerintah Segera Tindak Lanjuti Temuan BPK”. Kompas, 4 Juni 2022, Hlm 2.
- “Tata Kelola Bantuan Sosial Perlu Dibenahi”. Kompas, 29 Juli 2022, Hlm 8.