Daerah

Provinsi Bengkulu

Terletak di bagian barat daya Pulau Sumatera, Provinsi Bengkulu kaya akan hasil laut, perkebunan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Daerah ini juga terkenal sebagai salah satu tempat bertumbuhnya tanaman endemik Rafflesia Arnoldi. Selain itu, daerah ini juga kondang sebagai salah satu tempat pengasingan bagi pejuang kemerdekaan Indonesia, salah satu di antaranya Soekarno.

KOMPAS/AHMAD ZULKANI

Bunga langka Rafflesia Arnoldi pada bulan Desember 2007 sedang musim mekar di kawasan hutan lindung Register 5 Bukit Daun, Taba Penanjung, Bengkulu Utara, persis di sisi jalan nasional Bengkulu – Kepahiang – Curup – Lubuk Linggau. Kuntum bunga raksasa ini berdiameter antara 50 cm hingga 85 cm. Foto diambil Minggu, 30 Desember 2007.

Fakta Singkat

Ibu Kota
Bengkulu

Hari Jadi
18 November 1968

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 9/1967

Luas Wilayah
19.919,33 km2

Jumlah Penduduk
1.991.838 (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur H Rohidin Mersyah

Wakil Gubernur Dedy Ermansyah

Provinsi Bengkulu dijuluki Bumi Rafflesia. Tumbuhan endemik Rafflesia Arnoldi (padma raksasa) ini menjadi ikon Provinsi Bengkulu karena tergolong langka dan harus dilindungi. Kepopulerannya melejit setelah adanya temuan ilmiah TS Raffles dan J Arnold pada 1818 di hutan tropis yang terletak antara Kabupaten Kepahiang dan Bengkulu Tengah.

Bengkulu juga dikenal sebagai salah satu tempat pengasingan bagi sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan. Soekarno adalah salah satu tokoh yang pernah diasingkan oleh pemerintah Belanda di Bengkulu selama kurang lebih 4 tahun lamanya dari tahun 1938–1942.

Setelah kemerdekaan Indonesia 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968 ditingkatkan statusnya menjadi provinsi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu.

Pemerintahan Bengkulu resmi berjalan sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi Bengkulu.

Dengan luas wilayah kurang dari 20.000 kilometer persegi, populasi penduduk Bengkulu sebanyak 1,99 juta jiwa pada tahun 2019.

Sejarah pembentukan

Sejak masa prasejarah, wilayah Bengkulu telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peninggalan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, seperti di Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang, dan Lebong. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, menhir, lumpang batu, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya.

Selanjutnya, dalam laman kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan, pada sekitar abad ke-12 dan abad ke-13, di daerah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan, antara lain Kerajaan Selebar di daerah Pelabuhan Pulau Baai dan Jenggalu, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa, Kerajaan Empat Petulai di daerah Rejang Lebong, Kerajaan Indera Pura, Kerajaan Sungai Itam di daerah Lebak, serta Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu Selatan.

Hingga akhir abad ke-15, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13. Dalam periode ini, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu, khususnya para biksu (pimpinan agama Budha) datang dari Kerajaan Sriwijaya.

Pada periode ini, di Bengkulu berkembang tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga Nga. Setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit mundur pada pertengahan abad ke-16, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu masuk ke dalam pengaruh Kesultanan Banten.

Daerah Bengkulu pernah dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Bengkulu, tepatnya di Kerajaan Selebar pada tahun 1624 seperti disebut dalam buku berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu. Selanjutnya Kongsi dagang yang lebih dikenal dengan singkatannya VOC (Veranigde Oost Indische Campagnie) mendirikan pos perdagangan pada tahun 1633.

Pada tahun 1664, Belanda mendirikan kantor lada di Jenggalu yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari Bengkulu. Pada awalnya, Kerajaan Selebar memiliki hubungan yang baik dengan Kesultanan Banten (masa pemerintahan  Sultan Ageng Tirtayasa). Namun dengan adanya serangan dari Belanda terhadap Kesultanan Banten, perdagangan antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Selebar menjadi kurang baik.

Belanda menerapkan sistem perbudakan di Kerajaan Selebar. Sistem perbudakan yang diterapkan oleh Belanda di Kerajaaan Selebar menyebabkan adanya pemberontakan dari Kerajaan Selebar dan berusaha mengusir Belanda dari Bengkulu.

Pada saat yang sama, secara diam-diam Inggris membuat perjanjian dengan Kerajaan Selebar dan menghasutnya untuk memutuskan hubungan kerja dan perdagangan dengan Belanda. Upaya Inggris tersebut berhasil sehingga pedagang Belanda meninggalkan Bengkulu dan kembali ke Batavia pada 1670.

Sebelumnya, sejak 1685, British East India Company (EIC) telah mendirikan pusat perdagangan lada Bencoolen/Coolen. Nama Bencoolen/Coolen berasal dari bahasa Inggris “Cut Land” yang berarti tanah patah. Wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia.

Ekspedisi EIC saat itu dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada. Setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Berdiri kokoh menghadap Samudra Hindia, Benteng Marlborough berada di sebuah bukit kecil di kawasan Pantai Tapak Paderi, Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu, Kamis (25/7/2019). Benteng dibangun pada masa pemerintahan empat deputi gubernur, yakni tahun 1712 hingga tahun 1718. Mulai dari Joseph Collet pada tahun 1712–1714 hingga Thomas Cooke pada 1718. Benteng peninggalan Inggris itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari bagaimana upaya pencarian hasil bumi berujung pada kolonisasi di pesisir barat Sumatera. Bangunan ini berada di atas lahan seluas 44.100 meter persegi dengan panjang 240,5 meter dan lebar 170,5 meter. Bangunan cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.

Untuk mengamankan kepentingan politik dan dagang rempah-rempah, Inggris kemudian membangun dua buah benteng pertahanan. Pertama, Benteng York yang didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Kedua, Benteng Marlborough yang dibangun pada tahun 1712 hingga 1718 dengan gudang hingga senjata pertahanan. Satu bangunan lain juga terdapat di seberang Benteng Marlborough, yaitu monumen Thomas Parr atau oleh warga lokal disebut Tugu Bulek.

Perusahaan EIC ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi.

Pendudukan Inggris di Bengkulu berakhir sejak adanya Perjanjian London (Treaty of London) yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824 dan diserahkan pada tanggal 6 April 1825. Berdasar traktat tersebut, Bengkulu diserahkan oleh kolonial Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan baru, yakni kawasan Semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.

Sejak menjadi bagian dari Hindia Belanda, kekayaan Bengkulu dieksplorasi sampai ke pelosok. Belanda kemudian menemukan tambang tak terawat yang berisi kekayaan logam mulia berupa emas yang sekarang dikenal sebagai Lebong Tandai.

Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 tersebut menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20.

Pada tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan termasuk Soekarno yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya.

Pada masa penjajahan Belanda, rakyat Bengkulu pernah melakukan perlawanan yang mengakibatkan Asisten Residen Knoerle terbunuh pada 1832. Perlawanan itu muncul lantaran Knoerle melakukan tanam paksa lada dan kopi, dan merusak sendi-sendi pemerintahan rakyat dan hukum adat di Bengkulu.

Setelah perang pasifik, pada tanggal 24 Februari 1942, Jepang yang dipimpin Kolonel Kangki menduduki Kota Bengkulu. Benteng Marlborough diambil alih oleh Jepang dan dijadikan markas tentara Jepang.

Semasa pemerintahan Jepang di Bengkulu, terjadi banyak perubahan di berbagai bidang. Salah satunya di bidang pemerintahan. Istilah-istilah pemerintahan diganti dengan nama Jepang. Keresidenan diganti menjadi Syu, dan Residen diganti menjadi Syucokan.

Afdeeling (kabupaten) ditukar dengan bun-syu dan bupatinya disebut bun-syu-co. Onderafdeeling ditukar dengan gun, dan kepalanya disebut gun co. Daerah kecamatan disebut Son dan camatnya bergelar Son-tya.

Semasa penjajahan Jepang, rakyat Bengkulu ditindas dan menjadi tenaga romusha untuk mendukung kepentingan Jepang memenangkan peperangan Asia Timur Raya.

Setelah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu dan berakhirlah masa penjajahan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam Provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968, keresidenan tersebut ditingkatkan statusnya menjadi provinsi berdasarkan UU Nomor 9 tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu. Wilayahnya mencakup bekas Keresidenan Bengkulu.

Geografis

Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera pada garis lintang  2°16´–3°31’ LS dan garis bujur 101°1´–103°41’ BT.

Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara, Samudera Indonesia dan Provinsi Lampung di sebelah selatan Samudera Indonesia di sebelah barat dan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan di sebelah timur.

Posisi geografisnya, yang terkoneksi dengan empat provinsi lain di Pulau Sumatra dan menghadap ke Samudra Hindia tersebut dinilai strategis menjadi jalur logistik alternatif.

Dengan luas wilayah 19.919,33 kilometer persegi, wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan  Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer.

Berdasarkan luas wilayahnya, Kabupaten Bengkulu Utara merupakan kabupaten terluas di Provinsi Bengkulu. Luasnya mencapai 4.392,96 kilometer persegi atau 21,93 persen dari total wilayah provinsi ini. Sedangkan, Kota Bengkulu memiliki wilayah terkecil dan menjadi satu-satunya kota administratif di Provinsi Bengkulu.

Bagian timur daerah ini berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan pada bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan diselingi daerah yang bergelombang.

Provinsi ini memiliki beberapa pulau kecil baik yang berpenghuni seperti Pulau Enggano, serta pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni seperti Pulau Dua, Pulau Merbau, Pulau Bangkai, Pulau Satu, Pulau Mega, dan Pulau Tikus.

Provinsi ini juga terletak di zona tabrakan aktif dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Mengacu pada kondisi tersebut, provinsi ini rawan gempa bencana, gelombang pasang, banjir, dan tanah longsor.

KOMPAS/CAESAR ALEXEY

Pantai Humo merupakan salah satu pantai pasir putih yang paling indah di Pulau Enggano. Keindahan itu dilengkapi dengan hutan yang masih dihuni oleh burung beraneka jenis.

Pemerintahan

Sejak resmi menjadi daerah otonom pada tahun 1968, Provinsi Bengkulu telah dipimpin oleh 12 gubernur dan pejabat gubernur. Gubernur pertama Bengkulu adalah Ali Amin (1968–1974).

Selanjutnya adalah Abdul Chalik (1974–1979), Suprapto (1979–1989), HA Razie Yahya (1989–1994), Adjis Achmad (1994–1999), A Djalal Bachtiar (1999), Hasan Zen (1999–2004), Seman Widjojo (2004–2005), Agusrin M Najamuddin (29 Nopember 2005–2011), H Junaidi Hamsyah (2012–2015), dan H Ridwan Mukti.

Saat ini, Gubernur Bengkulu dijabat oleh Rohidin Mersyah, menggantikan Ridwan Mukti yang terjerat kasus hukum pada tahun 2018. Adapun sejak Oktober 2019, Wakil Gubernur Bengkulu dijabat oleh Dedy Ermansyah.

Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota, 128 kecamatan dan 1.514 desa/kelurahan. Kesepuluh kabupaten/kota itu adalah Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kaur, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Muko Muko, dan Kabupaten Seluma.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pelantikan PLT Gubernur Riau dan Bengkulu – Wan Thamrin Hasyim (kiri) dan Rohidin Mersyah (kanan) mengucap sumpah jabatan dalam upacara Pelantikan Pelaksana Tugas Gubernur Riau dan Bengkulu di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12/2018). Presiden Joko Widodo melantik Wan Thamrin Hasyim sebagai Plt Gubernur Riau sisa masa jabatan 2014-2019 dan Rohidin Mersyah menjadi Plt Gubernur Bengkulu sisa masa jabatan 2016-2021.

Politik

Sepanjang sejarah pemilihan umum atau pemilu di Bengkulu, peta politik di daerah berlangsung dinamis. Wilayah ini boleh dikatakan sebagai lumbung suara nasionalis. Hanya pada Pemilu 1955, partai-partai Islam menonjol di wilayah Bengkulu. Kala itu, Bengkulu masih masuk Provinsi Sumatera Bagian Selatan.

Pada Pemilu 1955, tercatat ada 31 partai politik, organisasi, kelompok pemilih, dan peserta individual yang bertarung di Bengkulu yang memperebutkan 184.169 suara pemilih. Partai Masyumi menjadi partai yang paling banyak digandrungi oleh masyarakat Bengkulu.

Pada pemilu pertama itu, Partai Masyumi mengantongi 60.960 suara atau 40 persen lebih. Dari tiga kabupaten yang ada, Rejang Lebong kontributor terbesar kemenangan Partai Masyumi, yaitu 24.754 suara atau 40,6 persen. Disusul kemudian dari Kabupaten Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara.

Perolehan Partai Perti pada Pemilu 1955 mencapai 31.881 suara atau 21,3 persen, setengahnya perolehan Partai Masyumi. Kuatnya pengaruh Partai Perti di Bengkulu ini diperkirakan sebagai akibat dari kontak masyarakat Bengkulu dengan pemuka-pemuka agama Islam yang berasal dari Sumatera Barat, daerah kelahiran Partai Perti.

Sementara itu, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah partai Islam ketiga yang meraup 18.560 atau 12,4 persen suara. Para pemilih PSII ini terkonsentrasi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Selatan.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dipilih oleh 16.418 pemilih atau 10,9 persen. Pemilih partai yang berorientasi kepada kaum buruh-tani ini terkonsentrasi di Bengkulu Selatan. Sementara itu, perolehan PNI di Bengkulu hanya berkisar 3 persen lebih, sama seperti perolehan Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Partai-partai lain, seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Persatuan Tharekat Indonesia (PPTI), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), hanya berhasil mengumpulkan perolehan di bawah tiga persen. Adapun kontestan lainnya hanya mencatat perolehan suara di bawah satu persen.

Memasuki Orde Baru, Partai Golkar berhasil merebut panggung politik di Bengkulu. Eksistensi Golkar tak kunjung surut sejak tahun 1971–1997.

Pada Pemilu 1971, Golkar berhasil merebut suara terbanyak 154.805 (84,6 persen) di Bengkulu. Disusul oleh Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dengan perolehan 19.830 suara, Nahdlatul Ulama (5.607 suara), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sebanyak 5.282 suara.

Selanjutnya partai lainnya, yakni PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia), IPKI (Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan), PNI (Partai Nasional Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katholik, dan Murba hanya meraih suara di bawah 4.000.

Pada pemilu berikutnya, Golkar tetap mendominasi perolehan suara di Bengkulu. Tahun 1977, Golkar meraih 81,6 persen suara. Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya memang ada sedikit penurunan. Pasalnya, di beberapa kabupaten, dukungan terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai meningkat.

Pada Pemilu 1982, perolehan PPP kembali naik. Saat itu, PPP mampu meraih 26,2 persen suara. Golkar, kendatipun masih menguasai sebagian besar pemilih (70,6 persen), di beberapa kabupaten seperti Bengkulu Utara, Renjang Lebong, dan Kota Bengkulu mulai tersaingi PPP.

Pada Pemilu 1987, Golkar mampu mengembalikan kejayaannya pada tahun 1971. Golkar meraih kemenangan hingga 84,8 persen dan memupuskan geliat PPP selama ini. Bahkan PPP pada pemilu kali ini hanya mampu meraih 10,3 persen.

Penurunan suara PPP tidak hanya semata-mata disebabkan oleh semakin menguatnya penguasaan Golkar. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era ini justru menunjukkan kemajuan. Jika pemilu sebelumnya partai bercorak nasionalis ini hanya mampu mengumpulkan tiga persen pemilih, pada Pemilu 1987 justru mendekati lima persen.

Pada Pemilu 1992, Golkar masih tetap memenangkan pemilu dengan perolehan 535.169 suara. Sedangkan PDI menggeser kedudukan PPP di tempat kedua dengan meraih 52.189 suara (8 persen). Sedangkan perolehan suara PPP lagi-lagi menurun dengan perolehan 35.830 suara.

Geliat PDI ini tampaknya tak lepas dari kemunculan sosok putra-putri mantan Presiden Soekarno dalam kancah perpolitikan. Nama Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra turut membangkitkan sentimen sebagian masyarakat Bengkulu yang merasa memiliki hubungan primordial.

Lima tahun kemudian, dalam Pemilu 1997, Golkar meraih 94,8 persen suara. Proporsi ini merupakan pencapaian tertinggi yang pernah diraih Golkar selama mengikuti pemilu di Bengkulu.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Hari pertama kampanye Pemilu 1999 di Ibu Kota Jakarta, Kamis (19/5/1999) meriah dengan pawai dari partai politik peserta pemilu. Panitia Pemilihan Daerah tingkat I (PPD I) DKI mengadakan karnaval kendaraan hias partai politik peserta pemilu untuk berpawai di lima wilayah Jakarta.

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang diikuti munculnya era kebebasan politik mengubah peta politik Bengkulu. Golkar yang sebelumnya menjadi pemenang utama panggung politik Bengkulu, kini ditinggalkan sebagian besar pemilihnya.

Pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil mematahkan dominasi Golkar di Bengkulu dengan meraih 30,05 persen suara. Dari empat daerah, PDI-P menang di dua kabupaten dan satu kota, sedangkan Partai Golkar hanya memperoleh 28,9 persen dari total suara dan merebut satu kabupaten. Perolehan suara PPP justru turun drastis dan hanya memperoleh 8,1 persen suara.

Pada Pemilu 2004, Partai Golkar berhasil menguasai Bengkulu dan hanya menyisakan satu kabupaten, yaitu Bengkulu Selatan, untuk kemenangan PDI-P. Waktu itu secara administratif Bengkulu telah mengalami pemekaran daerah dari tiga kabupaten dan satu kota menjadi delapan kabupaten dan satu kota.

Partai lainnya, Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 7,9 persen suara. Disusul Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendapat 2,6 persen suara, dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendapat 1,8 persen suara.

Pada Pemilu 2009, Bumi Rafflesia dikuasai oleh Partai Demokrat dengan memperoleh 168.963 suara atau 19,96 persen. Kemenangan Demokrat ini tidak terlepas dari naiknya eksistensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara nasional, Partai Demokrat juga menjadi pemenang pemilu legislatif.

Pada Pemilu 2014, Nasdem berhasil menggeser posisi Demokrat dan menguasai Bengkulu. Nasdem meraih 14,15 persen dari total perolehan suara di Bengkulu.

PDI-P kalah tipis dengan suara 119.224 (13,88 persen), disusul Partai Gerindra dengan 108.737 suara (11,77 persen). Lainnya, Golkar dengan 92.625 suara, PAN dengan 92.713 suara, dan PKB dengan 81.490 suara.

Sedangkan Demokrat hanya meraup 74.441 suara (8,06 persen), di bawah perolehan suara yang dikumpulkan oleh PKS sebanyak 75.776 suara (8,2 persen).

Dengan perolehan tersebut, empat parpol, yaitu Nasdem, PDI-P, Gerindra, dan PAN berhasil meloloskan masing-masing satu kursi di parlemen.

Pada Pemilu 2019, PDI-P menang di Bengkulu dengan meraup 137.006 suara  atau 13,88 persen dari total perolehan suara. Disusul Golkar dengan perolehan 136.581 suara (13,84 persen), Gerindra 130.846 suara (13,26 persen), dan PAN 121.990 suara (12,36 persen). Keempat parpol tersebut masing-masing mendapatkan satu kursi di DPR.

Kependudukan

Populasi penduduk Provinsi Bengkulu pada tahun 2019 tercatat sebanyak 1.991.838 jiwa menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Jumlah penduduk tersebut terendah kedua di Pulau Sumatera setelah Provinsi Bangka Belitung.

Masyarakat Bengkulu adalah masyarakat multietnis. Selain suku Rejang, Mukomuko, Lembak, dan Pekal yang banyak bermukim di wilayah tengah dan utara; juga ada suku Serawai, Kaur, Pasemah, Suban di wilayah selatan; serta Enggano di Pulau Enggano.

Adapun Melayu Bengkulu banyak berdiam di Kota Bengkulu dan daerah pesisir. Selain suku asli, juga ada suku pendatang yang memang telah lama tinggal di Bengkulu, seperti Jawa, Sunda, Minang, Madura, dan Batak.

Meskipun mayoritas beragama Islam, secara historis masyarakat Bengkulu pernah dipengaruhi nilai-nilai kepercayaan lain, baik animisme, Buddha, maupun Hindu. Sebagai daerah yang subur, daerah ini memiliki berbagai kelompok etnis yang terdiri dari banyak marga, dengan sistem bahasa, seni tradisi, kegiatan ritual keagamaan, dan kekerabatan yang unik.

Secara demografis, berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah warga yang berasal dari suku Rejang, Serawai, dan Jawa merupakan tiga kelompok etnis terbesar, tetapi tidak ada yang dominan.

Secara geografis, suku Rejang dominan di wilayah utara Bengkulu, sementara Serawai di wilayah selatan. Suku Jawa dan beberapa suku bangsa lainnya banyak tinggal di wilayah utara. Sebagian datang melalui program transmigrasi sejak zaman Hindia-Belanda.

Bahasa daerah yang digunakan di Bengkulu beragam, di antaranya bahasa Melayu Bengkulu, Rejang, Serawai, Pasemah, Kaur, Enggano, dan Indonesia.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Anak muda Bengkulu dari Sanggar Sasabila memainkan seni dol pada pembukaan “Festival Bumi Rafflesia 2011” di Pantai Panjang, Sabtu (28/5/2011). Seni perkusi tersebut salah satu kesenian Bengkulu yang masih bertahan dan sering dimainkan sampai sekarang.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
71,21 (2019)

Harapan Lama Sekolah 
13,59 tahun (2019)

Rata-rata Lama Sekolah 
8,73 tahun (2019)

Tingkat Kemiskinan
15,03 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,334 (Maret 2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
3,22 persen (Februari 2020)

Angka Harapan Hidup 
69,21 tahun (2019)

Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Bengkulu terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Hal itu tampak dari meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bengkulu. Sejak 2018, IPM Bengkulu masuk dalam kategori tinggi. Pada tahun 2019, IPM Bengkulu mencapai 71,21.

Seiring membaiknya IPM tersebut, indikator harapan lama sekolah (HLS) tercatat telah mencapai 13,59 tahun dan rata-rata lama sekolah (RLS)  8,73 tahun, serta usia harapan hidup meningkat menjadi 69,21 tahun pada tahun 2019.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Bengkulu ini terus menurun dalam lima tahun terakhir. Tahun 2015, angka pengangguran tercatat masih 4,91 persen. Lima tahun kemudian, yakni Maret 2020, angka kemiskinan tinggal 3,22 persen. Provinsi Bengkulu berhasil menurunkan angka pengangguran terendah se-Sumatera dan terendah ketiga nasional.

Tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu menurun baik dari sisi jumlah maupun persentasenya, kecuali pada Maret 2016 dalam empat tahun terakhir.

Penduduk miskin di Provinsi Bengkulu pada bulan Maret 2020 tercatat sebanyak 302.579 orang atau 15,03 persen, naik sebesar 277 orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2019 yang sebesar 302.302 orang atau 15,23 persen. Penambahan ini menjadikan Bengkulu sebagai provinsi termiskin di Sumatera.

Persentase penduduk miskin di Provinsi Bengkulu didominasi kemiskinan di wilayah perkotaan yaitu 14,77 persen atau 98.550 orang pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2020 sebesar 15,16 persen atau 204.029 orang.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Seorang anak ditimbang di Posyandu Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Bengkulu, Jumat (14/12/12). Pelayanan posyandu yang digelar sebulan sekali ini menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak di masyarakat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 872,26 miliar (2019)

Dana Perimbangan 
1,47 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
4,96 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 36,21 juta/tahun (2019)

Inflasi
2,91 persen (2019)

Nilai Ekspor
8,96 juta dolar AS (Juli 2020)

Nilai Impor
0,29 juta dolar AS (Juli 2020)

Ekonomi

Secara makro, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu dalam 10 tahun terakhir berfluktuasi. Tiga tahun terakhir (2017–2019), laju pertumbuhan ekonomi daerah ini  berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2019, ekonomi Bengkulu tumbuh sebesar 4,96 persen, di bawah rata-rata nasional (5,06 persen).

Produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Bengkulu meningkat setiap tahunnya. Pada 2017, PDRB Bengkulu masih sebesar Rp 42,07 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 46,36 triliun pada 2019.

Struktur perekonomian Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 28,14 persen; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 15,12 persen; administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar 10,04 persen; transportasi dan pergudangan sebesar 8,40 persen; dan jasa pendidikan sebesar 6,20 persen.

Sedangkan dari sisi pengeluaran masih didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga serta impor barang dan jasa yang masing-masing sebesar 64,06 persen dan 61,31 persen.

Dibanding provinsi lain di Pulau Sumatera, PDRB per kapita Bengkulu terendah kedua setelah Provinsi Aceh. Tahun 2019, angkanya mencapai Rp 36,2 juta.

Perkebunan menjadi salah satu sektor yang memengaruhi perekonomian Bengkulu. Sektor ini menjadi mata pencarian sebagian besar masyarakat. Setidaknya ada lima komoditas unggulan provinsi dalam sektor ini, yaitu kopi, kelapa sawit, karet, kakao, dan Lada.

Provinsi Bengkulu juga memiliki potensi yang cukup besar pada sub sektor perikanan, Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, potensi perikanan tangkap mencapai 900 ribu ton per tahun. Akan tetapi, hingga saat ini Produksi perikanan laut di Provinsi Bengkulu baru mencapai 65.755 ton pada tahun 2017. Rata-rata peningkatan produksi perikanan laut dari tahun 2000 sampai dengan 2017 sebesar 7,02 persen. Sedangkan dari kontribusi ekonomi, sektor perikanan di provinsi baru mencapai 6,6 persen.

Pada 2019, pemerintah Provinsi Bengkulu terus mendorong pengembangan Pelabuhan Baai Bengkulu menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan tersebut diharapkan mampu menjadikan Bengkulu sebagai tujuan investasi masa depan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Wisatawan mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu, Jumat (8/12/2017). Saat diasingkan oleh Belanda di Bengkulu, Bung Karno menempati rumah tersebut pada kurun waktu 1938–1942. Saat ini, rumah yang masih dalam kondisi terawat tersebut menjadi salah satu obyek wisata sejarah andalan Bengkulu.

Bengkulu juga memiliki beragam destinasi pariwisata. Utamanya wisata alam, wisata kebangsaan, wisata sejarah kolonial, wisata budaya, serta destinasi khas berupa tempat perajin batik kain besurek dan kopi Bengkulu yang sudah mulai dikenal khalayak luas.

Menurut data dari Pemerintah Bengkulu, setidaknya ada 207 destinasi wisata alam dan 39 destinasi situs bersejarah.

Beberapa objek wisata yang menjadi andalan Bengkulu adalah Benteng Marlborough, Pantai Air Bengkenang, Pantai Sungai Suci, Pantai Padang Betuah, Pantai Pasir Panjang, Pantai Paderi, dan Rumah Pengasingan Soekarno yang menjadi salah satu saksi perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Di Bengkulu, wisatawan juga dapat melihat Rafflesia Arnoldi di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), pusat pelatihan gajah (PLG), Konservasi flora Rafflesia Arnoldi di kawasan Kepahiang dan Padang Guci Kabupaten Kaur. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Empat Kursi DPR di Bengkulu Dibagi Rata *Pemilihan Umum 2004”. Kompas, 03 Februari 2004.
  • “Peta Politik Pemilihan Umum Provinsi Bengkulu * Pemilihan Umum 2004”. Kompas, 03 Februari 2004.
  • “Peta Politik: Bengkulu * Lumbung Nasionalis yang Cair”. Kompas, 11 Februari 2009.
  • “Lubuk Kecik Buayo Banyak”. Kompas, 11 Februari 2009.
  • “Hasil Pemilu: Bengkulu * Pilihan Politik Cair Lumbung Nasionalis”. Kompas, 27 Mei 2009.
  • “Konsolidasi Demokrasi Bengkulu (1): Kuatnya Hasrat Kekuasaan Politik”. Kompas, 10 Juli 2012.
  • “Singkirkan Keterasingan *Indonesia Satu”. Kompas, 10 Februari 2014.
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung

Penulis
Antonius Purwanto

Editor
Ignatius Kristanto