KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyerahkan laporan hasil pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR RI masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah dan mulai dibahas DPR bersama pemerintah pada April 2020 tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil selama dalam pembahasan.
Fakta Singkat
UU Cipta Kerja
Waktu Kerja
- Tetap, terdapat dua skema: 1) 7 jam per hari, 6 hari per minggu, 2) 8 jam per hari, 5 hari per minggu.
- Ditambah, pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama.
- Diubah, perkecualian diatur dengan PP (sebelumnya permen).
Kerja Lembur
- Diubah, maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu (sebelumnya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu).
Istirahat dan Cuti Tahunan
- Ditambah, ketentuan yang disebutkan menjadi syarat minimal yang mesti diberikan kepada buruh.
- Dibedakan, istilah “istirahat” dan “cuti”
- Dihapus, ketentuan tentang istirahat panjang (dapat diadakan sesuai ketentuan perusahaan).
Hari Libur dan Cuti Lainnya
- Tetap
Pada 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. UU tersebut kemudian ditandatangi oleh Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja memuat 186 pasal sepanjang 769 halaman dan 418 halaman penjelasan. Dengan melakukan deregulasi pada banyak bidang dengan teknik omnibus law, UU tersebut disusun untuk empat tujuan (Pasal 3 UU 11/2020).
Pertama, UU Cipta Kerja dibentuk untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMKM serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Kedua, UU ini dibentuk untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketiga, melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMKM serta industri nasional.
Keempat, UU Cipta Kerja disusun untuk menyesuaikan berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi serta kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.
Untuk mencapai tujuan di bidang ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru terhadap empat UU, salah satunya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 80 UU 11/2020). Dengan demikian, UU Cipta Kerja tidak meniadakan atau menghapus UU Ketenagakerjaan. Ketentuan dalam UU 13/2003 yang tidak disebutkan dalam UU 11/2020 dianggap masih berlaku (Pasal 81 UU 11/2020).
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LUKAS
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas bersama jajarannya untuk membahas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Presiden menegaskan bahwa secara umum UU Cipta Kerja bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi, Jumat (9/10/2020).
Waktu kerja
Berkaitan dengan waktu kerja, UU Cipta Kerja tidak membuat perubahan ketentuan. Ketentuan tentang waktu kerja dalam UU Cipta Kerja masih sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan waktu kerja dijelaskan dalam dua skema. Pertama, skema 6 hari kerja dalam 1 minggu dengan total 7 jam per hari dan 40 jam per minggu. Kedua, skema 5 hari kerja dalam 1 minggu dengan total 8 jam per hari dan 40 jam per minggu (Pasal 81 Angka 21 ayat 2 UU 11/2020).
UU Cipta Kerja hanya menambah ketentuan bahwa pelaksanaan jam kerja bagi pekerja atau buruh di suatu perusahaan diatur dalam suatu perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama (Pasal 81 Angka 21 ayat 4 UU 11/2020).
Ketentuan mengenai waktu kerja di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau bidang pekerjaan tertentu. Bidang-bidang tertentu tersebut sebelumnya diatur dengan keputusan menteri (kepmen) (UU 13/2003). Akan tetapi, UU Cipta Kerja mengubah penentuan sektor usaha sehingga ditentukan dengan peraturan pemerintah (PP) (Pasal 81 Angka 21 ayat 5 UU 11/2020).
Artikel Terkait
Lembur
Lembur dipahami sebagai pekerjaan yang dibuat melebihi ketentuan waktu kerja. Pemberi kerja yang memberikan kerja lembur pada karyawannya mesti membayar upah lembur. Berdasarkan UU 13/2003, diatur bahwa pengusaha perlu mendapatkan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan saat memberikan pekerjaan lembur. Selain itu, jumlah jam lembur juga tidak boleh melebihi ketentuan batas waktu kerja lembur.
UU Cipta Kerja memperpanjang batasan waktu lembur bagi pekerja. Sebelumnya, ketentuan waktu kerja lembur paling banyak adalah 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu (Pasal 78 UU 13/2003). Ketentuan tersebut diubah menjadi paling lama 4 jam dalam 1 hari dam 18 jam dalam 1 minggu (Pasal 89 Angka 22 ayat 1 UU 11/2020).
Perubahan ketentuan lebih lanjut tentang waktu kerja lembur dan upah lembur juga ikut diubah oleh UU Cipta Kerja. Sebelumnya, ketentuan lebih lanjut mengenai waktu lembur dan upah kerja lembur ditentukan oleh kepmen. UU Cipta Kerja mengubah penentuannya menjadi PP (Pasal 81 Angka 22 ayat 4 UU 11/2020).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
ILUSTRASI. Pekerja lembur dalam proyek pancangan fondasi jalan tol Bekasi- Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Makasar, Jakarta Timur, Kamis (16/4/2015). Tol Becakayu akan dibangun sepanjang 21 kilometer dan dirancang untuk mengurai kemacetan di Jalan Raya Kalimalang yang terjadi tiap hari.
Istirahat dan cuti tahunan
Pekerja dan buruh berhak mendapatkan empat jenis waktu istirahat dan cuti, yakni istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti tahunan, dan istirahat panjang.
UU Cipta Kerja mengubah ketentuan terkait istirahat dan cuti tahunan yang sebelumnya tercantum dalam Pasal 79 Ayat 3 UU 13/2003. Menurut UU Cipta Kerja, jenis-jenis istirahat dan cuti beserta ketentuan yang disebutkan pada Pasal 79 UU 13/2003 merupakan syarat wajib “paling sedikit” yang mesti diberikan kepada buruh (Pasal 81 Angka 23 Ayat 2 UU 11/2020). Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat ditambah dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja.
Terkait definisi cuti dan istirahat, UU Cipta Kerja membuat pemisahan definisi yang lebih tegas sehingga kedua istilah tersebut tidak dipertukarkan (Pasal 81 Angka 23 ayat 1 UU 11/2020).
Istirahat antara jam kerja
Istirahat antara jam kerja tidak diubah dalam UU Cipta Kerja. Sama seperti ketentuan dalam UU 13/2003, istirahat antara jam kerja diatur sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus dan waktu tersebut tidak termasuk hitungan jam kerja (Pasal 81 Angka 23 Ayat 2 UU 11/2020).
Istirahat mingguan
Perubahan ketentuan terdapat pada peraturan istirahat mingguan. Sebelumnya, ditentukan adanya dua skema istirahat mingguan. Pertama, skema 1 hari istirahat mingguan untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, skema 2 hari istirahat mingguan untuk skema 5 hari kerja dalam 1 minggu (Pasal 79 Ayat 2 Huruf b UU 13/2003).
UU Cipta Kerja hanya mengatur adanya satu skema ketentuan istirahat mingguan, yakni 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu (Pasal 81 Angka 23 Ayat 2 UU 11/2020). Padahal, di pasal sebelumnya, UU Cipta Kerja juga mengatur adanya dua skema waktu kerja, yakni 6 hari kerja dalam 1 minggu dan 5 hari kerja dalam 1 minggu (Pasal 81 Angka 21 Ayat 2 UU 11/2020).
Cuti tahunan
UU Cipta Kerja tidak mengubah, tetapi sekadar memisahkan pengaturan cuti tahunan yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 79 Ayat 2 Huruf c UU 13/2003.
Pada aturan sebelumnya, cuti tahunan ditentukan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Dalam aturan yang baru, ketentuan tentang cuti tahunan dibuat dalam ayat terpisah (Pasal 81 Angka 23 Ayat 3 UU 11/2020).
Ketentuan lebih lanjut tentang cuti tahunan ini selanjutnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 81 Angka 23 Ayat 4 UU 11/2020).
Istirahat panjang
Istirahat panjang tidak lagi ditentukan secara perinci dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya, ditentukan tiga hal terkait istirahat panjang.
Pertama, istirahat panjang diberikan sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama. Kedua, pekerja/buruh yang telah mengambil istirahat panjang tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun (Pasal 79 Ayat 2 Huruf d UU 13/2003). Ketiga, istirahat panjang hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan tertentu yang ditentukan oleh keputusan menteri (Pasal 79 Ayat 4 dan 5 UU 13/2003).
UU Cipta Kerja mengalihkan kebijakan pemberian istirahat panjang kepada perusahaan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 81 Angka 23 Ayat 5 UU 11/2020). Selain itu, penentuan perusahaan yang dapat memberikan istirahat panjang diubah sehingga menjadi ditentukan oleh PP (Pasal 81 Angka 23 Ayat 6 UU 11/2020).
Artikel Terkait
Hari libur dan hak cuti lain
Selain ketentuan istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, istirahat panjang, dan cuti tahunan, UU 13/2003 mengatur beberapa cuti lain, yakni cuti atau kesempatan ibadah agama, cuti haid, cuti hamil-melahirkan, hak menyusui, serta hari-hari libur resmi. Seluruh ketentuan ini diatur pada Pasal 80-85 UU 13/2003. UU Cipta Kerja tidak menyebutkan satu pun dari pasal-pasal tersebut. Hal itu berarti bahwa ketentuan dalam Pasal 80-85 UU 13/2003 tersebut masih berlaku.
Melaksanakan ibadah agama
Pasal 80 UU 13/2003 mengatur bahwa pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah seturut kewajiban agama yang dianut oleh pekerja/buruh tersebut.
Cuti haid
Pasal 81 UU13/2003 mengatur tentang cuti haid. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua selama masa haid tersebut. Pada Pasal 81 Ayat 2 UU 13/2003 dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama.
Cuti melahirkan
Pasal 82 UU 13/2003 mengatur tentang hak istirahat bagi perempuan yang melahirkan. Pada ayat 1 pasal tersebut disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saat melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Lebih lagi pada ayat 2 disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan dan bidan.
Hak menyusui
Pasal 83 UU 13/2003 mengatur tentang hak pekerja/buruh perempuan untuk menyusui anaknya. Disebutkan bahwa pengusaha mesti memberikan kesempatan sepatutnya untuk pekerja/buruh perempuan untuk menyusui anaknya jika hal itu mesti dilakukan selama waktu kerja.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
ILUSTRASI. Buruh perempuan makan siang bersama saat jam istirahat di Kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (3/9/2015).
Upah penuh saat cuti
Upah penuh saat cuti diberikan oleh perusahaan terhadap penggunaan hak istirahat mingguan, cuti tahunan, istirahat panjang, pelaksanaan ibadah, serta cuti melahirkan/keguguran (Pasal 84 UU 13/2003). Oleh karena itu, cuti atau istirahat karena haid tidak ditentukan sebagai cuti yang berhak mendapat upah penuh, melainkan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 81 Ayat 2 UU 13/2003).
Hari libur resmi
Di luar cuti-cuti dan waktu istirahat di atas, Pasal 85 UU 13/2003 menyebutkan peraturan tentang hari-hari libur resmi. Pada hari-hari libur resmi, pekerja/buruh tidak wajib bekerja.
Akan tetapi, pengusaha dapat mempekerjakan pekerja atau buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan kerja.
Jenis atau sifat pekerjaan yang memungkinkan untuk mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari libur ditentukan lebih jauh dengan keputusan menteri (Pasal 85 Ayat 4 UU 13/2003). Ditentukan pula bahwa mereka yang dipekerjakan pada hari libur resmi berhak mendapatkan upah kerja lembur (Pasal 85 Ayat 3 UU 13/2003). (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Referensi
- UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, DPR RI
- UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, DPR RI
- “Keterangan Pers Presiden RI Terkait Undang-Undang Cipta Kerja”, Istana Bogor, 9 Oktober 2020, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.