Paparan Topik | Banjir Informasi

Memahami Era Pascakebenaran (Post-Truth)

Seiring kemajuan digital dan teknologi informasi, publik tengah berada dalam era post-truth atau era pascakebenaran. Sebagai sebuah masa yang dipenuhi banjirnya informasi, publik harus tetap kritis dan rasional terhadap informasi yang diterima.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kaos sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta. (12/03/2018)

Fakta Singkat

  • Post-truth atau pasca-kebenaran adalah keadaan di mana manusia lebih reaktif terhadap hal-hal yang terkait perasaan dan keyakinan daripada fakta.
  • Istilah post-truth pertama kali muncul dalam tulisan Steve Tesich pada Januari 1992.
  • Dalam periode Agustus 2018 sampai dengan Maret 2020 telah ditemukan 5.156 konten hoaks.
  • Tiga unsur penting dalam post-truth adalah:
    1. arus informasi yang masif
    2. emosi mengalahkan fakta
    3. sensasi lebih menarik daripada esensi
  • Penanggulangan pandemi Covid-19 tidak bisa terlepas dari kondisi post-truth dengan peredaran narasi dan determinasi media sosial.
  • Dalam era post-truth, manusia tidak hanya berhadapan dengan pandemi, tapi juga infodemi.
  • Sejumlah solusi dilakukan Kominfo adalah meluncurkan platform Aduan Konten, pemblokiran dan pemantauan konten internet, dan peluncuran literasidigital.id

Data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) terkait isu hoaks atau “informasi bohong” menunjukkan dalam periode Agustus 2018 sampai dengan Maret 2020 terdapat 5.156 kasus temuan hoaks yang berhasil dideteksi. Jumlah terbanyak ditemukan pada April 2019 dengan 501 temuan hoaks dalam sebulan.

Jumlah isu hoaks pada 2019 relatif konstan cukup tinggi. Bahkan, sejak Februari 2019, temuan isu hoaks bulanan tidak pernah lebih rendah dari jumlah 260 isu. Dalam periode yang sama, isu hoaks pada kategori “Politik” menjadi yang terbanyak, jumlahnya mencapai 1.025 isu hoaks. Diikuti pula dengan jumlah hoaks pada kategori “Pemerintahan” yang mencapai 922 kasus dan “Kesehatan” sebanyak 853 temuan hoaks.

Tren isu hoaks setelah tahun politik 2019 tidak turun, tetapi justru meningkat hingga kini. Pada tahun 2021, Kominfo telah menghapus 565.449 konten di media sosial. Upaya penghapusa dilakukan karena konten-konten tersebut melanggar UU No 19/2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hingga awal tahun 2022, akumulasi jumlah isu hoaks dan konten negatif sejak Agustus 2018 telah bertambah hingga 9.546 temuan. Ini artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun terakhir, telah ditemukan 4.390 hoaks.

Selain hoaks, Kemenkominfo menemukan konten-konten penipuan pinjaman online dan konten radikalisme. Penyebaran konten negatif menjadi tantangan utama dalam perkembangan sektor-sektor digital.

Kehadiran hoaks sendiri tak lepas dari porsi minoritas masyarakat yang kerap menyebarkan berita bohong. Survei Kemenmominfo pada 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 11,9 persen responden mengaku pernah menyebarkan berita hoaks pada tahun 2021. Sementara 88,1 persen responden mengaku tidak pernah menyebarkan berita bohong.

Meski jumlahnya minor, namun dampak dari masyarakat yang menyebarkan konten hoaks bisa sangat besar. Selain itu, rasio tersebut juga justru meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, dimana pada tahun sebelumnya terdapat 11,2 persen yang mengaku pernah menyebarkan hoaks.

Meningkatnya isu hoaks yang beredar luas dan sangat cepat semakin menguatkan bahwa publik saat ini tengah berada dalam era pascakebenaran atau post-thruth. Informasi yang diterima melalui gawai dan media sosial dianggap seakan-akan semuanya benar.

Perilaku menyebarkan informasi yang seakan-akan fakatanya benar tidak bisa dikontrol karena pada hakekatnya informasi yang diterima secara daring di gawai yang masuk melalui akun media sosial adalah hak individu. Upaya yang bisa dilakukan adalah literasi digital dan menghapus konten hoaks yang terlanjur dipublikasikan melalui media sosial. Dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika mengambil peran tersebut.

Baca juga: Banjir Informasi: Ladang Subur Tumbuhnya Hoaks

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2018). Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang damai dengan menolak segala kampanye hitam, ujaran kebencian, dan berita bohong atau hoax.

Apa itu post-truth?

Secara harafiah post-truth dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “pasca-kebenaran”. Dalam pemekanaannya, kedua kata tersebut menunjukkan sebuah momentum yang telah melampaui masa kebenaran yang dipenuhi tipuan dan tanpa kredibilitas. Pemahaman demikian adalah benar, namun konsepnya memiliki makna yang lebih dalam untuk dapat dipahami dan diketahui, baik etimologis maupun terminologis.

Pada Kamus Inggris Oxford, kata post-truth disebutkan menjadi “Word of The Year” pada tahun 2016. Kata-kata ini juga menjadi salah satu unsur istilah yang relatif baru dalam kebahasaan dunia.

Menurut kamus daring Oxford, post-truth didefinisikan sebagai “relating to circumstances in which people respond more to feelings and beliefs than to facts” (berkaitan dengan keadaan di mana manusia lebih reaktif terhadap hal-hal yang terkait perasaan dan keyakinan daripada fakta).

Pemahaman serupa juga diberikan oleh Kamus Inggris Cambridge. Post-truth didefinisikan  sebagai “a situation in which people are more likely to accept an argument based on their emotions and beliefs, rather than one based on facts” (situasi di mana orang lebih cenderung menerima argumen berdasarkan emosi dan keyakinan mereka, daripada argumen berdasarkan fakta).

Dari kedua keselarasan makna terminologi tersebut, dapat diambil tiga poin penting dalam definisinya. Yang pertama, post-truth merujuk pada kondisi atau keadaan terkait sikap kecenderungan manusia. Yang kedua, kecenderungan tersebut terletak pada unsur perasaan dan keyakinan yang menjadi lebih determinan dalam memberi pengaruh. Ketiga, gabungan antara faktor kondisi, keadaan, perasaan, dan keyakinan telah mengalahkan unsur fakta yang objektif.

Menurut Oxford, istilah post-truth sendiri pertama kali muncul dalam literatur melalui artikel yang dibuat oleh seorang penulis skenario berdarah Serbia-Amerika, Steve Tesich. Artikel tersebut dipublikasikan di majalah The Nation pada Januari 1992 dengan judul A Government of Lies. Melalui artikel tersebut, Tesich mengungkapkan pandangannya dimana skandal-skandal yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat justru mendorong rakyatnya untuk “berlindung” dari kebenaran.

Tesich berangkat dari Skandal Watergate yang melibatkan penipuan oleh Presiden Richard Nixon. Seluruh fakta yang menunjukkan keterlibatan kotor Nixon dalam keterpilihannya kembali sebagai Presiden. Mengetahui seluruh fakta tersebut, orang Amerika justru memilih meremehkan kebenaran yang tidak nyaman.

Skandal Iran/Contra di bawah Presiden Ronald Reagan juga menunjukkan sikap serupa. Tesich berpendapat bahwa Reagan tidak perlu berusaha keras untuk berbohong lagi. Sebab, hal tersebut menganggu perasaan bangga dan harga diri publik sebagai seorang warga Amerika.

Tesich mengakhiri tulisannya dengan membawa kesimpulan pada implikasi dari seluruh masalah kebenaran dan kredibilitas. Manusia kontemporer telah menjadi purwarupa dari wujud masyarakat yang tak lagi bisa memperoleh kebenaran dan harga diri. Menurutnya, kini manusia harus memilih antara kebenaran dan harga diri, dan muncul kecenderungan harus memilih salah satu. Lebih jauh, kecenderungan untuk memilih ini telah menjadi “mekanisme spritual” dalam diri manusia modern.

Tesich menulis: “… we have acquired a spiritual mechanism that can denude truth of any significance. In a very fundamental way we, as a free people, have freely decided that we want to live in some post-truth world” (… kita telah meraih mekanisme spiritual yang dapat menolak kebenaran apapun itu. Dalam cara yang sangat mendasar kita, sebagai masyarakat merdeka, telah dengan sukarela memilih untuk hidup di dunia pascakebenaran). Manusia kini hidup dalam dunia yang telah melampai pentingnya kebenaran.

Baca juga: Jurnalisme Data Menghadirkan Jurnalisme Berkualitas

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga melintasi mural yang dibuat untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat atau hoaks di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Senin (22/2/2021). Penyebar hoaks dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Post-truth dalam arus informasi

Dinamika era post-truth tak lagi semata berada pada dimensi politik dan kebangsaan suatu masyarakat, sebagaimana yang condong didefinisikan oleh Tesich tersebut. Lebih jauh, post-truth telah menjadi konsep yang umum dalam menunjuk pada fenomena kehidupan teknologi informasi yang kian memasuki relung-relung kehidupan harian manusia kontemporer.

Buku Post-truth dan (Anti) Pluralisme oleh Forum Mangunwijaya 2018 menuliskan bahwa kondisi post-truth kini sangat terafiliasi oleh teknologi informasi digital. Melalui sumber-sumber informasi yang tidak dapat terpetakan dan terus menerjang tanpa henti membuat manusia kebanjiran informasi.

Melalui keterbukaan yang masif, arus informasi bagaikan tsunami yang menerjang tanpa ada beton batas yang menyaring dan menjaganya untuk berada dalam konten kebenaran. Tsunami tersebut membuat manusia kebingungan menerima informasi, akibatnya hal tersebut melumpuhkan sikap kritis dan rasional.

Hal ini membuat masyarakat abad-21 cenderung mudah terpolarisasi. Arus informasi tersebut merusak integritas ruang publik. Sementara di satu sisi politik identitas dan konflik perebutan ruang publik kian menguat, di sisi lain ruang refleksi kian hilang. Akibatnya, relativitas akan konsep kebenaran menjadi begitu tinggi.

Dalam level ini, masyarakat sebagai audiens kian mudah dipengaruhi oleh narasi yang mampu mengeksploitasi emosi. Salah satu wujud konkretnya adalah viral menjadi lebih penting daripada kualitas kebenaran informasi dan pentingnya etika. Dalam wujud masyarakat demikian, jumlah hoaks, berita palsu, dan kebohongan yang berseliweran menjadi kian masif.

Unsur-unsur dalam post-truth

Definisi terhadap fenomena post-truth dari berbagai literatur mungkin kerap berbeda. Baik melalui literatur-literatur akademik maupun populer. Meski begitu, dapat ditemukan sejumlah unsur-unsur yang selaras dari tiap definisi tersebut. Unsur-unsur ini menjadi karakter identik dari era post-truth.

1.Tsunami informasi dan digitalisasi

Data distribusi hoaks di atas tak lepas dari masifnya tsunami informasi pada era serba digital kontemporer. Penyebaran hoaks tersebut, begitu juga dengan digitalisasi masif, telah menjadi indikaotr dari kecenderungan baru manusia modern secara umum dan masyarakat Indonesia kontemporer secara khusus. Dalam tren tersebut, penggunaan dan persentuhan masyarakat Indonesia terhadap teknologi digital dan konten internet kian meningkat.

Mengacu pada artikel Pertempuran Media Sosial oleh Savic Ali dalam buku Post-truth dan (Anti) Pluralisme, penetrasi penggunaan internet di Indonesia pada Januari 2018 telah mencapai 50 persen, dimana dari total populasi penduduk sebanyak 265,4 juta pada 2018, terdapat 132 juta di antaranya telah rutin terhubung dengan internet.

Sementara penetrasi terhadap media sosial telah mencapai 49 persen dengan jumlah populasi mencapai 130 juta penduduk pada 2018. Dalam rasio tersebut, sebanyak 45 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif smartphone, atau setara dengan jumlah 120 juta penduduk.

Data pertumbuhan jumlah pengakses internet berimplikasi pada perubahan tren masyarakat dalam menyerap informasi. Hal ini ditunjukkan melalui survei yang digelar Kominfo terhadap 10.000 responden di lebih dari 500 kota Indonesia pada 2021. Masyarakat Indonesia kini lebih banyak menggali sumber informasi dari media sosial dengan porsi 73 persen. Sedangkan sumber informasi dari televisi sebanyak 59,7 persen dan berita daring atau online 26,7 persen.

Berangkat dari kedekatan relasi pada dunia digital dan internet tersebut, kebebasan dalam penyebaran narasi dan informasi menjadi kian terbuka. Pada tahun 2020 saja, data yang dilansir Konsultan Digital David Sayce menunjukkan bahwa tiap menitnya terdapat 350.000 tweet baru di platform media sosial Twitter. Dalam sehari, jumlahnya bahkan bisa mencapai 500 juta tweet. Tiap tweet ini sendiri, tentu membawa wujud informasi yang unik dan tersendiri. Artinya, dalam sehari penuh dengan hanya mengeksplorasi media Twitter saja, seorang manusia modern dapat bersentuhan dengan jutaan informasi.

Situasi demikian pun menghadirkan konsep yang disebut David Suwignyo dalam pendahuluan buku  Post-truth dan (Anti) Pluralisme sebagai “tsunami informasi”. Derasnya terjangan informasi dalam tsunami tersebut, telah menenggelamkan dan menghayutkan manusia. Mereka tidak lagi sempat untuk mengambil ruang aman dan mengambil nafas sebagai filter informasi. Padahal, nafas tersebut diperlukan untuk mengambil jarak dari informasi yang diperoleh dan merefleksikannya terlebih dahulu.

Alih-alih mengambil jeda dan jarak, manusia yang baru saja memperoleh informasi baru justru segera diterjang lagi dengan informasi baru lainnya. Dampaknya, manusia terpojok dalam situasi kebingungan dalam tsunami infromasi. Sikap kritis dan rasional mereka terguncang. Hal ini akhirnya berujung pada rentannya esensi kebenaran dalam jaring informasi yang berimplikasi lebih jauh pada kemunculan unsur-unsur post-truth atau pascakebenaran.

2. Emosi mengalahkan fakta

Budi Hardiman dalam buku Aku Klik maka Aku Ada menuliskan kondisi post-truth sebagai berikut: “Frasa haus kebenaran menjadi kurang tepat untuk saat ini. Untuk para pengguna gawai saat revolusi digital kata yang lebih tepat adalah haus informasi”. Pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana Hardiman dengan cukup keras menunjukkan relativitas dan kedangkalan kebenaran dalam era post-truth. Bahkan tak hanya itu, kebutuhan manusia itu sendiri terhadap kebenaran turut menjadi dangkal. Prioritas saat ini justru pada perolehan informasi itu sendiri, bukan pada kebenarannya.

Hal demikian kemudian berkesinambungan dengan intensifikasi prasangka negatif, sebagaimana dituliskan Haryatmoko dalam artikel Era Post-truth dan Prasangka Negatif masih dalam buku yang dimuat oleh Forum Mangunwijaya 2018. Menurut Haryatmoko, prasangka negatif terlalu awal tumbuh dalam kehidupan yang langka akan fakta dan kebenaran.

Apa yang disebutkan oleh Hadriman dan Haryatmoko tersebut, begitu lekat dengan elemen emosi yang kian menyubordinasikan elemen fakta. Dalam masyarakat yang lelah terhadap banjir informasi, tawaran konsumsi, gegap gempita iklan, dan persaingan dalam memberi pendapat daring, individu akhirnya menyaring sendiri informasi yang ia ingin peroleh. Sayangnya, kerap kali informasi yang dikumpulkan tersebut terbatas pada perasaan, emosi, dan keyakinan mereka. Lebih konkret lagi, dalam akses internet, manusia punya kecenderungan untuk hanya bergulat pada informasi yang sesuai dan mendukung subjektivitas dan preferensi kesukaan informasi di internet.

Karakter atau kecenderungan demikian menjadi salah satu ciri utama dari post-truth, dimana berujung pada kian berjaraknya manusia dengan inisiatif verifikasi informasi. Hal demikian dapat dijelaskan dengan hakikat kekuatan sentimen dan emosi dalam memengaruhi dan mendorong manusia. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Haryatmoko, keduanya memiliki daya yang lebih kuat ketimbang rasio. Kehadiran rasio atau akal budi hanya sebatas memberikan informasi terhadap sebuah objek fakta dan hubungannya.

Namun, apabila objek fakta tersebut tidak membangkitkan dorongan pada faktor emosi, maka semua fakta tersebut akan sia-sia. Argumen dengan landasan paling rasional pun akan mungkin untuk ditolak. Dampaknya, manusia hanya akan bereaksi dan mendapat dorongan pada hal yang selaras dengan sentimennya, entah itu benar ataupun bohong.

Kondisi demikian ada pada tataran psikologis manusia. Namun, kehadirannya kian kuat dan berdampak seiring pengaruh media sosial. Menurut Hardiman, kedangkalan pada media sosial tidak berusaha untuk membangun koherensi logis (hubungan rasional antara informasi), dan justru mengutamakan konten-konten menarik yang mendukung sentimen pemirsanya.

3.Elemen sensasi di atas esensi

Unsur pertama dan kedua saling berhubungan erat dan turut menghadirkan kadar pengaruh pada unsur ketiga: selebrasi di atas esensi. Poin ini sangat erat dengan tulisan Hardiman yang menjelaskan kedangkalan pada media sosial dan menghilangkan koherensi logis. “Sensasi lebih penting daripada koherensi,” tulisnya. Hardiman ingin menekankan bahwa dalam arus konten yang serba cepat, media sosial mengedepankan sensasi untuk memperoleh daya tarik dan daya jual yang lebih kuat. Koherensi dianggap tidak menarik.

Selaras dengan Hardiman, Marz Wera dalam artikel akademik Meretas Makna Post-Truth: Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial, dan Populisme Agama menuliskan, kini soal eksistensi lebih dapat memesona manusia daripada perihal yang esensial. Hal-hal yang punya nilai pesona, genit, dan sensitif cenderung lebih diagungkan. Sebaliknya, sesuatu yang kritis justru dihindari karena dianggap kaku dan membosankan. Hasilnya, perihal selebrasi dan selebritis kian mendapat perhatian dalam gelagat hidup manusia modern.

Karakter bisnis media sosial yang mengejar selling dan daya tarik, ditambah kecenderungan psikologis manusia, menjadi pemicu utama dari unsur ini. Akhirnya, kian marak fenomena pamer kemewahan, atau dalam bahasa populer disebut sebagai “flexing”. Kehadiran media sosial dan kedangkalannya menjadi wadah sesuai bagi para manusia untuk terjun dalam selebrasi pameran pesona dirinya.

Martani Huseini (Kompas.id, 22/05/2022, Menangkal Fenomena ”Post-truth” dan ”Flexing” di Era Pemasaran Digital) menuliskan indikator dari kondisi ini adalah kemunculan sejumlah kasus. Mulai dari kasus terkait platform trading saham (Binomo, DNA Pro, Robo Trading), pinjol (pinjaman sistem online yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan), dan masih banyak lainnya. Semua kasus itu melibatkan aktivitas flexing untuk menarik banyak orang dalam putaran bisnis penipuannya.

Strategi bisnis tersebut berhasil. Pada tahun 2021 saja, Binomo menjadi aplikasi finansial dengan jumlah unduhan terbanyak keempat di Indonesia. Berdasarkan data dari situs Binomo, terdapat setidaknya 866.000 pengguna aktif setiap harinya. Status ilegal Binomo tak cukup mendorong daya kritis para penggunanya yang telah terdorong oleh ambisi dan pengaruh emosional dari flexing kekayaan oleh satu figur terkait.

Dalam kasus penipuan bisnis pola digital semacam ini, para pelaku beraksi dengan flexing harta dan kehidupannya. Melalui konten seksi dan sensasional tersebut, audiens termanipulasi bahwa kekayaan dan kesuksesan dapat dicapai dengan turut menjadi bagian dalam menggunakan platform yang ditawarkan.

Manipulasi akan turut diperkuat dengan menggandeng artis dan pesohor yang menamakan diri sebagai “influencer” dan/atau “endorser” pada konteks pemasaran daring. Akhirnya, berbagai pihak tersebut harus berhadapan dengan aparat hukum dan masuk dalam ranah pidana.

Kehilangan esensi dan pengagungan perihal eksistensi juga tampak dari kasus penghadangan truk oleh sejumlah remaja yang berujung kematian. Demi konten di media sosial, remaja-remaja nekat untuk menghadang truk yang sedang melaju di jalan. Jika selamat tanpa luka dan bisa membuat truk terhenti, ia akan dianggap berhasil. Sejumlah kasus bahkan berujung pada kematian penghadangnya. Sambil merekam aksi untuk konten kanal media sosial, hal ini dilakukan demi unjuk keberanian, eksistensi, dan motivasi ”viral”.

Salah seorang supir truk yang pernah dihadapkan dengan pengalaman tersebut menyatakan bahwa aksi nekat menghentikan truk dapat berujung maut dan membahayakan pengendara lain. Bukan mereka saja, pengguna jalan lain juga. Bisa saja sopir truk ditangkap, diamuk massa, dan dituduh membunuh. Padahal sebagai pengemudi truk tidak mudah mengendalikan truk bertonase berat atau sumbu tiga, apalagi jika harus mengerem mendadak. Sistem pengereman truk tidak bisa dilakukan dari jarak sangat dekat, apalagi ada muatan yang sangat berat. (Kompas, 08/06/2022, Hilang Nyawa Demi Konten).

Menurut Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, orientasi pada konten seperti demikian dilakukan demi memperoleh apresiasi publik dari sisi keberanian pelaku. Masyarakat dalam era post-truth turut memungkinkan lahirnya demand bagi konten-konten seperti ini. Selebrasi atas pesona keberanian telah mematikan daya kritis para pelaku penghadang truk.

Baca juga: Pentingnya Memenuhi Hak Keterbukaan Informasi Bagi Publik

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga melintasi mural berisi anjuran warga untuk hati-hati dengan hoaks di jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Minggu (11/6/2021). Penyebaran berita hoaks dan perundungan siber yang tinggi menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keadaban yang rendah di dunia maya.

Pandemi Covid-19 dan post-truth

Keberlangsungan dan keberlanjutan era post-truth turut masuk dan melalui periode pandemi Covid-19. Kehadiran pandemi pada awal tahun 2020 lalu ini menjadi ujian penanganan post-truth sekaligus sarana dalam menunjukkan hadirnya fenomena tersebut secara riil pada masyarakat digital. Hoaks, narasi negatif, dan informasi salah berseliweran pada topik-topik terkait Covid-19, seperti soal dampak virus, sumber kehadian virus, penyembuhan, teori konspirasi, dan vaksinasi.

Dalam kondisi demikian, Whatsapp menjadi media penyebaran hoaks pandemi yang begitu dominan. Salah satu yang sempat begitu ramai beredar adalah terkait penyuntikkan vaksinasi yang disampaikan telah membunuh anak kecil. Selain itu, informasi mengenai vaksin Covid-19 dapat mengubah DNA seseorang turut ramai beredar. Narasi-narasi demikian Itu membuat masyarakat menjadi ragu untuk menerima vaksin.

Menurut Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Satari dalam acara yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia, Sabtu (22/1/2022), kedua informasi tersebut sama sekali salah. Usai dikaji oleh Komnas KIPI dan Komda KIPI, kematian anak yang dilaporkan tersebut sama sekali tidak terkait dengan pemberian vaksinasi Covid-19. Sementara terkait dampaknya pada DNA, Hindra menegaskan bahwa materi dari vaksin tidak akan pernah dapat masuk ke inti sel tempat DNA berada (Kompas, 26/01/2022, Melawan Hoaks Vaksinasi Covid-19 Pada Anak).

Terdapat sejumlah topik misinformasi lain yang kerap ditampilkan dalam media-media digital terkait asal daripada virus Covid-19. Termasuk seperti narasi “virus korona disebarkan oleh Zionist”, “virus korona adalah pembalasan Uni Eropa atas Brexit”, “virus korona merupakan tentara Allah untuk membalas kekejaman terhadap Muslim Uighur”, dan lainnya. Hal-hal demikian sama sekali tidak memiliki koherensi logis maupun medis (Kompas.id, 19/11/2022, Peredaran Hoaks Semakin Dahsyat Selama Pandemi Covid-19).

Kehadiran jumlah misinformasi, hoaks, dan konten negatif dalam era post-truth semasa pandemi begitu masif. Hanya dalam waktu satu tahun (Januari 2020 – Februari 2021), hoaks terkait Covid-19 mencapai 893 kasus. Pada tahun 2020, ditemukan 2.298 konten hoaks dalam topik-topik umum. Namun, jumlah tersebut didominasi oleh konten hoaks Covid-19 sebanyak 788 konten.

Lebih jauh lagi, Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menegaskan bahwa pemasalahan hoaks ini tidak dapat sebatas dipahami secara kuantitatif dari jumlahnya, melainkan juga pada dampaknya. Sejumlah dampak masif dari hoaks Covid-19 adalah konflik antara masyarakat dan tenaga kesehatan, ketidakpercayaan publik, minimnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan, dan keraguan terhadap vaksin dari China. Hal-hal demikian justru hanya berdampak pada makin sulitnya penanganan terhadap pandemi (Kompas.id, 02/03/2021, Hoaks Merajalela di Masa Pandemi).

Buku Indonesia Menghadapi Pandemi: Kajian Multidisiplin Dampak Covid019 pada Peradaban mencatat bahwa masyarakat begitu mengandalkan medium digital sebagai informasi pandemi. Sebanyak 37 persen masyarakat mengandalkan Whatsapp sebagai saluran informasi. Dilanjutkan oleh penggunaan media pemberitaan daring (16,7 persen), Twitter (13,5 persen), dan Facebook (12,5 persen). Dari rasio tersebut, jumlah terpaan hoaks terbanyak ditemukan di Whatsapp hingga mencapai 78,5 persen.

Masih dalam sumber yang sama, dituliskan bahwa pandemi pada umat manusia kali ini berbeda. Umat manusia tidak hanya berhadapan dengan pandemi, tapi juga infodemi. Apabila pada sejarah pandemi lalu manusia justru dirundung dalam kecemasan yang sunyi, kini semua justru mernjadi serba berisik ebrkat platform media sosial. Para pesohor dan influencer berlomba untuk menyebarkan informasi yang kerap kali belum tentu terverifikasi kebenarannya, namun dipercaya khalayak karena popularitas mereka. Di Indonesia sendiri, masih begitu secara tercatat sejumlah artis yang terlibat dalam penyeberan dan produksi hoaks terkait informasi Covid-19.

Baca juga: Perkembangan Platform Media Penyebaran Informasi

Infografis: Melawan Hoaks

Solusi menghadapi Post-truth

Segala pemaparan dan data tersebut kemudian diikuti oleh pernyataan Savic Ali yang mengutip Malcom X sebagai berikut: “The media is the most powerful entity on earth, because they control the monds of the masses”. Kapasitas media daring begitu besar dan kian besar bagi manusia kontemporer. Ditambah pula dengan daya kritis yang kian tereduksi dan kehadiran hoaks yang dapat hilir-mudik dengan begitu terbuka. Oleh karenanya, diperlukan solusi konkret yang menyeluruh terkait berbagai dimensi ini.

Mengacu pada artikel Harari (21 Adab untuk Abad 21) yang mendorong individu-individu untuk membangun kesadaran otentik diri dan keluar dari apa yang ia sebut sebagai “mesin cuci otak”. Harari menyampaikan bahwa media-media digital dan narasi yang kerap digencarkan oleh masyarakat kontemporer telah mencuci otak individu termasuk karakter kritis, kehendak diri, dan rasionalitas. Ia menyampaikan bahwa pada porsi ini, akademisi dapat terlibat aktif dalam usaha pembebasan manusia.

Caranya adalah dengan menjadi vokal dan lantang dalam debat publik dan terlibat menyuarakan topik-topik yang sedang menjadi arus utama. Oleh karena perubahan selera media dan cara penyampaian, akademisi didorong untuk mengembangkan kemampuan kritis dalam metode penyampaian. Dengan begini, tak hanya dapat menghadirkan poin objektif dalam informasi yang beredar di dunia daring, namun juga mendorong akademisi untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang lebih inklusif.

Untuk mengatasi era post-truth ini, juga diperlukan sosok makro dan berkuasa seperti pemerintah. Kemenkominfo sendiri secara konkret telah membentuk portal khusus bernama Aduan Konten. Tujuannya dari portal ini adalah memberikan wadah dan fasilitas bagi masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam membendung arus hoaks maupun konten negatif lainnya. Caranya sendiri adalah dengan melaporkan konten-konten yang tak sesuai ke portal Aduan Konten, untuk nantinya diteruskan ke pihak berwajib.

Aduan Konten telah diluncurkan pada Agustus 2017. Hingga bulan Desember 2018, portal Aduan Konten telah memperoleh laporan konten terorisme/radikalisme sebanyak 497 kali. Pemberdayaan masyarakat secara langsung turut menjaga karakter kritis dalam menyadari dan memahami konsep konten negatif maupun hoaks. Dari sini, Kominfo pun turut aktif dalam melakukan pemblokiran serta penghapusan konten maupun sumber konten negatif yang tidak sesuai.

Mengacu kembali pada buku Indonesia Menghadapi Pandemi: Kajian Multidisiplin Dampak Covid019 pada Peradaban, literasi digital di akar rumput adalah salah satu kunci utama dalam mengontrol era post-truth. Literasi digital ini tak hanya dalam melakukan debunking (pembantahan) hoaks saja, tetapi juga edukasi terus menerus dalam menggunakan media sosial dan menghadapi arus informasi. Terkait ini, diperlukan penyesuaian format-format yang disukai masyarakat (seperti poster maupun slogan) agar tepat sasaran.

Kominfo sendiri telah secara konkret menggalang pelaksanaan literasi digital dengan meluncurkan literasidigital.id. Melalui sumber daring tersebut, Kominfo menghadirkan secara gratis berbagai produk penulisan objektif untuk membimbing individu dalam era post-truth ini. Masyarakat dapat mengakses dan mengunduh panduan-panduan tersebut secara gratis dan memperoleh informasi yang telah ditampilkan dalam rupa e-book (buku elektronik).

Hadir topik-topik seperti “Kumpulan Ulasan Politik, Ekonomi, dan Gaya Hidup Era Digital”, “Literasi Digital Keluarga”, “Keamanan Siber untuk E-Commerce”, dan lainnya. Dengan tampilan yang menarik dan aksesibilitas yang inklusif, masyarakat dapat melalui era post-truth dengan pedoman objektif dan fondasi yang lebih rasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Ali, S. (2018). Pertempuran Media Sosial. Dalam F. M. 2018, Post-Truth dan (Anti) Pluralisme (hal. 167-169). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Forum Manguwijaya. (2018). Post-Truth dan (Anti) Pluralisme. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
  • Harari, Y. N. (2020). 21 LESSONS : 21 Adab Untuk Abad 21 . Jakarta: Globalindo.
  • Prasetyantoko, et al. (2020). Indonesia Menghadapi Pandemi: Kajian Multidisiplin Dampak Covid-19 Pada Peradaban. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Tanuredjo, B. (2021). Negara Bangsa di Simpang Jalan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arsip Kompas
Internet
Jurnal
  • Tesich, S. (1992). A Government of Lies. The Nation.
  • Wera, M. (2020). Meretas Makna Post-Truth: Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial, dan Populisme Agama . Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat Vol. 07, No. 1, 3-34.