Paparan Topik | Banjir Informasi

Jurnalisme Data Menghadirkan Jurnalisme Berkualitas

Tantangan jurnalisme pada era digital adalah menghadirkan jurnalisme berkualitas. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap konten berkualitas, salah satu upayanya dengan pendekatan jurnalisme data.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Awak media menyimak penjelasan Juru Bicara Penanganan Korona Achmad Yurianto terkait perkembangan kasus korona di Indonesia dan dunia di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (6/3/2020). Sebelumnya pemerintah telah melacak 25 orang yang berada dekat dengan pasien positif korona. Dari jumlah tersebut, 4 orang teridentifikasi melakukan kontak jarak dekat dengan pasien korona.

Fakta Singkat

Jurnalisme Data

  • Praktik jurnalisme data telah dimulai sejak 1821 pada surat kabar The Guardian
  • Pada tahun 1970-an muncul istilah “jurnalisme presisi” yang menjelaskan proses pengumpulan data secara ilmiah menggunakan statistik
  • Pada tahun 2000 istilah “jurnalisme data” pertama kali digunakan oleh seorang pengembang perangkat lunak (software developer) di surat kabar Washington Post, Adrian Holovaty.
  • The Guardian (2010) mulai menerbitkan jurnalisme data berdasarkan war logs, yakni sebuah pengungkapan besar-besaran ribuan catatan perang Afghanistan
  • Investigasi Panama Papers meraih penghargaan Pullitzer untuk kategori explanatory reporting, yang diumumkan pada 10 April 2017.
  • Panama Papers merupakan hasil investigasi organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), koran Jerman Süddeutsche Zeitung, dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia.

Pada era seperti saat ini, konten jurnalisme tidak hanya bersaing antarmedia tetapi bersaing dengan berbagi platform. Bahkan, saat ini setiap orang bisa menjadi produsen konten melalui akun media sosialnya.

Media digital identik dengan kecepatan, namun bagi industri media kecepatan harus diimbangi dengan keakuratan. Tolok ukur keakuratan berita yang diproduksi industri media salah satunya melalui temuan dari hasil proses pengolahan dan analisis data.

Jurnalisme berbasis data memiliki tantangan menjawab kebutuhan audiens yang memerlukan konten berkualitas. Saat ini terminologi konten dalam industri pemberitaan cakupannya lebih luas, tidak hanya berita yang taat unsur 5W dan 1H tetapi lebih jauh lagi adalah konten karya jurnalistik yang diproduksi berbasis pengolahan data.

Tantangan terbesar pada era ini adalah melawan hoaks. Praktik Jurnalisme Data merupakan salah satu upaya melawan hoaks. Dalam KBBI daring, hoaks diartikan sebagai informasi bohong. Karya jurnalistik dengan mendasarkan pada temuan melalui penelusuran dan pengolahan data dari sumber kredibel akan mampu menepis hoaks hingga saat ini masih beredar.

Jika merunut beberapa tahun lalu, salah satu karya jurnalistik berbasis data mengguncang perhatian global pada 2016. Karya jurnalistik tersebut membongkar kebocoran dokumen finansial terbesar dalam sejarah.

Kebocoran itu berasal dari dokumen firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama sehingga disebut sebagai ”Panama Papers”. Sedikitnya 140 politisi, termasuk 12 pemimpin dan mantan pemimpin negara, selebritas, dan bintang olahraga disebut dalam dokumen yang mengungkap aneka dugaan praktik skandal keuangan rahasia.

Tercatat 11,5 juta dokumen bocor, berisi informasi sejak 40 tahun lalu, dari 1977 hingga awal 2015. Nama-nama yang disebut dalam bocoran dokumen itu diduga terkait berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di sejumlah negara yang terkenal sebagai surga bebas pajak di luar negara para pihak yang disebut (Kompas, 5 April 2016).

Sejumlah dokumen yang bocor terdiri 4,8 juta surat elektronik (email), 3 juta database, kemudian 2,1 juta dokumen PDF, dokumen 1,1 juta foto, 320.000 dokumen teks.dan 2.000 lebih file lainnya. Jika ditotal kapasitas dokumen “Panama Papers” sebesar 2,6 terabyte (TB).

Temuan itu merupakan hasil investigasi organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), koran Jerman Süddeutsche Zeitung, dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. ICIJ menyatakan, dari dokumen-dokumen itu terungkap praktik-praktik yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam bisnis global.

Situs ICIJ mencontohkan, bocoran dokumen itu memuat upaya rahasia sejumlah pihak yang terkait dengan Presiden Rusia Vladimir Putin melalui sejumlah bank dan perusahaan gelap dengan aset senilai 2 juta dollar AS. Keluarga para pemimpin Partai Komunis di Tiongkok juga masuk dalam bocoran dokumen itu.

Data itu juga mencakup secara detail mulai dari sejumlah skandal besar pencurian emas di Inggris, praktik pencucian uang yang belum terungkap di Brasil, hingga penyuapan di lembaga sepak bola global FIFA.

Investigasi Panama Papers meraih penghargaan Pullitzer untuk kategori explanatory reporting, yang diumumkan pada 10 April 2017, di Columbia University Amerika Serikat. Investigasi ini melibatkan 370 jurnalis dari 76 negara yang diorganisasi oleh The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dengan menelisik 11,5 juta data dokumen. Dokumen ini pertama kali didapat oleh sebuah koran dari Jerman, SüddeutscheZeitung.

Di Indonesia, Tempo menjadi satu-satunya media yang menjadi mitra ICIJ dalam proyek Panama Papers. Menurut jurnalis senior Tempo, Wahyu Dhyatmika, pada awalnya yang diterima adalah data mentah dari surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung. (Kompas, 6 April 2016).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Dari kiri: Awak media televisi, dengan mengenakan masker, melaporkan langsung dari lokasi paling dekat berjarak sekitar 700 meter dari hanggar TNI Angkatan Udara Raden Sadjad, Kabupaten Natuna, tempat WNI dari Wuhan, China, menjalani observasi terkait virus korona (4/2/2020).

Sejarah Jurnalisme Data

The Data Journalism Handbook menyebutkan bahwa selama berabad-abad para jurnalis telah menggunakan data sebagai sumber informasi untuk membuat berita. Simon Rogers bahkan menyebutkan contoh pertama jurnalisme data telah dimulai sejak 1821 dalam laporan edisi pertama surat kabar The Guardian yang menyajikan tabel data tentang pendaftaran dan biaya siswa di sekolah Manchester. Menurut Rogers, letak perbedaannya hanya pada sumber data yang digunakan, saat ini jurnalis lebih banyak menggunakan data dari komputer dan internet.

Pelaporan jurnalistik dengan menggunakan data bukanlah hal yang baru. Simon Rogers mantan jurnalis data The Guardian yang kini bergabung dengan Google, menyebutkan perawat Inggris Florence Nightingale juga sebagai jurnalis data. Ninghtingale, yang bertugas dalam perang Inggris di Krimea, dulu Uni Soviet, sekarang Ukraina, merilis data jumlah kematian tentara Inggris dalam perang itu pada tahun 1858. Proses pengumpulan data yang kemudian dipublikasikan media merupakan bagian dari proses jurnalisme data.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an muncul istilah “jurnalisme presisi” yang menjelaskan proses pengumpulan data secara ilmiah menggunakan statistik. Data tersebut dianalisis dan dijadikan narasi dalam sebuah artikel berita.

Pada tahun 2000-an, istilah “jurnalisme data” mulai berkembang lagi untuk merujuk proses liputan berita berdasarkan statistik. Data inilah yang kemudian disajikan ke audiens melalui beragam bentuk seperti infografik, gambar, teks, video, peta atau bentuk apa pun yang sesuai dengan narasi data.

Istilah jurnalisme data pertama kali digunakan oleh seorang pengembang perangkat lunak (software developer) di surat kabar Washington Post, Adrian Holovaty yang mengungkap bagaimana data diatur dan diorganisasikan oleh media. Holovaty juga pernah menulis sebuah artikel di 2006 tentang bagaimana seharusnya situs-situs surat kabar perlu diubah.

Sekitar 2009, The Guardian telah meluncurkan kanal Datablog dalam situs online-nya. Jurnalis The Guardian memvisualisasikan pengeluaran para menteri di parlemen Inggris dan meluncurkan informasi ke publik tentang pengeluaran mereka di parlemen hingga saat ini.

Pada bulan Juli 2010, The Guardian mulai menerbitkan jurnalisme data berdasarkan war logs, sebuah pengungkapan besar-besaran ribuan catatan perang Afghanistan yang diterbitkan oleh Wikileaks. Howard menyoroti bagaimana situs wikileaks telah ikut mengubah bentuk jurnalisme dengan memberikan ruang bagi organisasi media (ruang berita) untuk mengadopsi model pelaporan dengan data-data tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan istilah jurnalisme data mulai meluas dan menjadi wacana utama pada 2014 dengan bermunculannya media-media berita online yang mengusung format jurnalisme data. Seperti FiveThirtyEight.com dan Vox.com, ProPublica.com, Appp3d.com dari The Mirror, QZ.com dari Atlantic Media Group, The Economist‟s DataBlog, The Guardian Datablog, The Upshot dari New York Times, Graphic dari Washington Post dan Die Zeit di Berlin.

Ruang lingkup jurnalisme yang digerakkan oleh data pun semakin berkembang dan menuntut kemampuan atau skill teknologi aplikasi olah data statistik mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks.

Sebuah studi dilakukan Boyles dan Meyer dengan mewawancarai 18 jurnalis pemimpin redaksi surat kabar di Amerika Serikat terkait tren jurnalisme data. Hasilnya cukup menarik bahwa jurnalisme data diprediksi akan menjadi sebuah rutinitas media, bukan lagi bidang khusus jurnalisme seiring dengan makin tingginya tuntutan akan skill mengolah dan menganalisis data bagi jurnalis.

Media yang bergerak di bidang pemberitaan semakin menunjukkan usaha yang konsisten terhadap aktivitas jurnalisme data dengan melakukan perubahan struktur organisasi demi mengakomodasi kemampuan jurnalis di bidang ini.

Salah satu karya jurnalistik data yang melibatkan proses investigasi mendalam, misalnya pada liputan “Panama Papers”. Dalam sebuah wawancara dengan mantan Head of Data di The Guardian Helena Bengtsson, pengolahan data “Panama Papers” membutuhkan penyimpanan dengan enkripsi khusus dan dalam kapasitas yang besar. Pengolahannya pun melibatkan tim yang tidak sedikit. Peliputan seperti ini, tidak mungkin bisa dilakukan tanpa perkembangan teknologi dan keterampilan dari wartawan yang meliput.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Deretan mikrofon milik para jurnalis diletakkan di depan pengeras suara dalam sebuah acara konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (27/5/2021).

Definisi Jurnalisme Data

Fenomena big data telah menarik perhatian bagi kalangan terutama para praktisi dan akademisi bidang jurnalisme terkait dampak perubahan yang berimplikasi pada tren karya jurnalistik. Kehadiran jurnalisme data baik dalam konteks istilah (terminology) maupun definisi konsep juga mengalami perdebatan. Ada banyak istilah, definisi, dan cara memahami jurnalisme data yang saling tumpang tindih, sehingga sulit mencapai satu definisi yang mencakup semuanya.

Istilah jurnalisme data seringkali tumpang tindih dengan sejumlah istilah lain yang lebih dulu muncul. Seperti jurnalisme berbasis data (data-driven journalism), laporan berbasis komputer atau disingkat CAR (Computer Assisted-Reporting), jurnalisme presisi (precision journalism), jurnalisme komputasi (computation journalism), jurnalisme pemrograman (programing journalism), dan jurnalisme algoritmik (algorithmic journalism).

Tumpang tindih istilah ini berimplikasi pada sulitnya mendapatkan satu ontologi yang umum terkait konsep jurnalisme data.

Beragam istilah dan definisi yang muncul secara umum mengacu pada perubahan proses produksi berita, penekanan pada peran data sebagai sumber tambahan dalam proses pengumpulan informasi yang membutuhkan skill dan keahlian khusus dalam mengumpulkan dan menyusun data, serta terpenting proses produksi berita berdasarkan analisis data.

Jurnalisme data umumnya didefinisikan sebagai jurnalisme yang berbasis pada sekumpulan besar data (big data). Paul Bradshaw dalam The Inverted Pyramid of Data Journalism (2011) menjelaskan jurnalisme data tidak lain adalah hal-hal mendekati data atau sebuah aktivitas kompilasi data. Data menjadi sumber dalam jurnalisme data atau juga sebagai alat yang bisa digunakan dalam membuat berita, atau sekaligus kedua-duanya yakni sebagai sumber dan alat.

Thomas Schulsze dalam Data Journalism, Millennials & Social Networks: What does Data Journalism Mean for Journalists? menyebutkan kalangan akademisi mendefinisikan jurnalisme data sebagai kegiatan pengumpulan, analisis, dan penyiapan informasi digital untuk tujuan publikasi jurnalistik.

Lebih jauh, Schulsze menyimpulkan jurnalisme data tidak lain adalah bentuk khusus dari laporan investigasi yang menggunakan data sebagai sumber informasi dan aplikasi data statistik untuk mengembangkan laporan dan disajikan dengan visual.

Sementara itu, Parasie dan Dagiral menyebutnya dengan istilah Computer Assisted-Reporting (CAR) atau programming journalism. Sejak 2013, CAR telah dikenal sebagai bagian dari disiplin ilmu jurnalisme yang penting. Elemen data dan program komputer tidak hanya sekedar bagian integral penting dari jurnalisme, melainkan bahan mentah sekaligus alat (tools) bagi visualisasi berita, kreativitas untuk khalayak dan juga berpotensi ekonomi (revenue) bagi sebuah media pemberitaan.

Penelitian mereka terkait jurnalisme berbasis data dan kepentingan publik di kalangan jurnalis di Chicago US, menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara metode kerja jurnalisme CAR terhadap kontribusi jurnalisme dengan kepentingan publik. Data diasumsikan dapat membantu jurnalis mengatur agenda politik melalui pengungkapan isu-isu publik.

Istilah lain yang merujuk pada jurnalisme data, yakni jurnalisme presisi (precision journalism) yang dikenalkan oleh Philip Meyer: ”..it means treating journalism as if it were a science, adopting a scientific method, scientific objectivity, and scientific ideals..”.

Jurnalisme presisi bertujuan untuk menyajikan laporan berita dengan topik-topik yang lebih ilmiah, yang mungkin sulit diakses. Menurut Meyer, dengan menggunakan dan mengadopsi metode penelitian sosial dalam mengumpulkan dan mengolah data melalui aplikasi program komputer dapat meningkatkan ketepatan, kedalaman dan akurasi berita.

Penggagas sekaligus editor kanal Datablog media daring The Guardian, Simon Rogers, memberikan definisi yang lebih khusus dengan menekankan pada penyajian berita dengan beragam gaya visualisasi data, berupa narasi teks yang panjang ataupun angka-angka dalam grafik atau infografik.

Lebih jauh, Rogers menekankan pentingnya kemampuan menghimpun dan menyeleksi data, menganalisis dan menjadikan data sebagai hal yang sederhana dan mudah dipahami sekaligus juga penting bagi khalayak.

Terkait epistemologi jurnalisme data, berdasarkan kajian-kajian penelitian terdahulu Borges-Rey menggagas dua pendekatan yang bisa memberikan pemahaman lebih jauh, yaitu newshound paradigm dan techie paradigm.

Pendekatan newshound merujuk pada perspektif tradisi jurnalisme investigasi (investigative/muckraking journalism), yakni data merupakan komponen alat bukti dalam pemberitaan.

Sementara, pendekatan techie lebih mengacu pada logika komputasi, sebuah model jurnalisme kolaborasi antara profesi jurnalis, programer dan data analis.

Lebih jauh, penelitian Borges-Rey dalam penelitiannya di Inggris menunjukkan umumnya jurnalis data di London dalam menjalankan tugasnya bergerak antara dua pendekatan tersebut sesuai kebutuhan antara keterampilan jurnalistik dan ilmu komputer.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Plt Direktur Utama PT PLN Sripeni Inten Cahyani memberikan penjelasan kepada para wartawan seusai pertemuan dengan anggota DPR Komisi VII di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (6/8/2019). Pertemuan tersebut terkait dengan padamnya aliran listrik yang terjadi pada Minggu (4/8/4019) lalu di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Sripeni menyampaikan bahwa pemulihan telah sepenuhnya dilakukan dan pihaknya meminta waktu untuk melakukan investigasi mengenai penyebab kejadian padamnya listrik tersebut.

Tahapan Jurnalisme Data

Proses Jurnalisme data dikemukakan Philip Meyer dan Paul Bradshaw yang dikutip Thomas Schulze (2015) dalam “Data Journalism, Millennials, and Social Networks”, terdiri dari: Collecting (Proses Pengumpulan Data), Cleaning (Proses Pembersihan Data), Analyzing (Proses Analisa Data), Context (Proses Penyesuaian Konteks), Reducing and Combining (Proses Pengurangan dan Penggabungan), dan Communicating (Proses Penyajian Data).

Collecting (Proses Pengumpulan Data)

Dalam proses pengumpulan, data yang digunakan oleh media berita untuk diolah menjadi jurnalisme data bisa didapatkan melalui dua sumber, yakni data primer yang yang dikumpulkan langsung oleh tim redaksi, serta data sekunder yang didapatkan dari pihak ketiga yang telah menyediakan data untuk diolah.

Cleaning (Proses Pembersihan Data)

Data yang didapatkan pertama kali merupakan data mentah (raw data) yang hanya menyajikan hasil dari data yang dikumpulkan. Data mentah, baik yang didapatkan melalui data primer atau sekunder, belum disajikan secara terstruktur dan terperinci sehingga masih berupa angka yang acak dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, proses pembersihan dan penyaringan data mentah perlu dilakukan untuk mempermudah jurnalis dalam membaca data yang telah didapatkan.

Data yang akan digunakan dalam jurnalisme data akan melalui proses cleaning terlebih dahulu, agar data dapat lebih mudah digunakan. Seperti dalam model jurnalisme data. Proses cleaning bertujuan agar data menjadi format yang dapat dipertukarkan (interchangeable format) sehingga data dapat digunakan oleh siapa saja. Penyaringan informasi juga bertujuan untuk menemukan pola dan anomali yang tersembunyi di balik data-data.

Analysing (Proses Analisis Data)

Setelah mendapatkan sumber data dengan format yang dapat diakses oleh program penyaring data seperti Excel, maka hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah tentang bagaimana cara mengurutkan data (sorting) sesuai perintah tertentu, menyaring data (filtering) agar data yang muncul hanya pada bagian yang diinginkan, dan sebagainya. Proses ini masuk ke dalam proses analisa data (analysing).

Context (Proses Penyesuaian Konteks)

Proses penyesuaian konteks adalah proses menentukan sudut pandang yang sesuai dengan hasil data yang telah didapatkan. Dalam proses ini juga tim redaksi menarik cerita dari dalam data dan menginterpretasikan data tersebut agar dapat dimengerti oleh pembaca.

Reducing and Combining (Proses Pengurangan dan Penggabungan)

Proses pengurangan data atau data reduction adalah proses mengurangi jumlah informasi yang ada dalam suatu data. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah bahan informasi yang didapatkan atau dengan mengambil bagian dari data lain untuk melengkapi informasi yang ada.

Communicating (Proses Penyajian Data)

Proses penting dalam indikator proses jurnalisme data adalah bagaimana data yang telah dikumpulkan dapat divisualisasikan secara menarik dan mudah dimengerti oleh pembaca. Sebab dengan menggunakan visualisasi yang baik, yakni dengan mengombinasikan grafik yang menarik dan narasi editorial yang jelas, maka isu dan cerita yang ada dalam data dapat tersampaikan secara jelas dan mudah dimengerti oleh pembaca.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Dua orang jurnalis melakukan aksi teaterikal tentang kekerasan yang menimpa rekan mereka pada unjuk rasa Tolak Kekerasan Pada Jurnalis di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). Aksi tersebut dipicu oleh kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepada rekan mereka Nurhadi dari Tempo saat melakukan tugas jurnalistik pada Sabtu (27/3/2021). Mereka menuntut semua yang terlibat dalam kasus tersebut diusut dan mendapat hukuman sesaui peraturan hukum yang berlaku.

Penerapan Jurnalisme Data

Dunia guncang ketika International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) merilis ”Panama Papers”, bocoran dokumen firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama. Ada lebih dari 11 juta dokumen yang bocor, berisi beragam praktik keuangan rahasia yang dilakukan sejumlah pemimpin negara, selebritas, politisi, dan taipan, dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Didirikan tahun 1997 oleh wartawan AS, Charles Lewis, ICIJ merupakan jaringan global yang melibatkan 190 jurnalis investigatif berasal dari lebih dari 65 negara. Mereka berkolaborasi menciptakan apa yang disebut ”jurnalisme pengawas” (watchdog journalism) lintas batas.

Globalisasi, digitalisasi, dan perkembangan lainnya telah menciptakan ancaman bukan saja pada kemanusiaan, tetapi juga pada fungsi jurnalisme itu sendiri. Keterbatasan sumber daya manusia dan finansial di satu sisi, dan semakin canggihnya praktik-praktik kejahatan di sisi lain, membuat media telah kehilangan fungsinya sebagai ”mata dan telinga” bagi dunia.

Yang terjadi justru media-media terkemuka menutup biro-biro luar negeri, memotong anggaran perjalanan wartawan, bahkan membubarkan desk maupun tim investigasi.

Itu sebabnya, ICIJ mencoba membangun kolaborasi para jurnalis dari media terkemuka antarnegara menjadi sebuah tim solid untuk membongkar kejahatan lintas batas. Tim ini mengedepankan kerja sama dan melupakan rivalitas, untuk ”menampilkan laporan multimedia yang memenuhi standar dan akurasi yang tinggi”.

Konsorsium ICIJ memfokuskan perhatian pada isu yang melampaui batas negara, seperti kejahatan lintas batas, korupsi, dan akuntabilitas kekuasaan. (LITBANG KOMPAS)