Paparan Topik | Kesehatan

Konsumsi Roti: Tren Bebas Gluten

Industri roti di Indonesia akhir-akhir ini semakin marak dengan banyaknya roti berlabel gluten free (bebas gluten). Secara sederhana label itu menjanjikan produk yang "lebih sehat".

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga memilih aneka roti di sebuah gerai di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Jumat (30/10/2020). Warga Ibukota memanfaatkan libur cuti bersama untuk berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan.

Fakta Singkat

Gluten
Gluten adalah salah satu jenis protein yang terkandung di dalam biji-bijian, seperti gandum dan barley atau jelai. Gluten juga dapat ditemukan di beberapa jenis makanan olahan, seperti pasta, roti, dan sereal.

Adonan Makanan
Gluten umumnya digunakan untuk memberikan tekstur kenyal dan elastis pada adonan makanan. Meski gluten tergolong aman dikonsumsi, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bila dikonsumsi secara berlebihan.

Guten Free
Diet bebas gluten atau gluten-free adalah pola makan di mana hanya mengonsumsi makanan yang tidak mengandung protein gluten. Diet bebas gluten bertujuan untuk mengobati penyakit celiac dan bermanfaat untuk orang yang mengalami sensitivitas gluten non-celiac.

Ukuran lebih sehat itu, antara lain, penggunaan tepung nongluten, rendah gula, maupun lemak tambahan. Selain itu, banyak juga yang tanpa telur, produk susu dan turunannya, pengawet, dan lainnya.

Semua bahan tersebut biasanya dipadu menjadi satu produk bertajuk bebas gluten. Harus diakui penampilannya sama menariknya dengan roti maupun kue berbahan tepung terigu atau gandum pada umumnya.

Menjalani hidup ala bebas gluten kini menjadi tren yang melanda dunia. Hal ini tak lepas dari kesadaran untuk hidup lebih sehat. Hanya saja, tidak sedikit yang melakukannya dengan cara menurut yang disukai saja.

Gluten adalah salah satu jenis protein yang terkandung di dalam biji-bijian, seperti gandum dan barley atau jelai. Gluten juga dapat ditemukan di beberapa jenis makanan olahan, seperti pasta, roti, dan sereal.

Tiga hal yang sering menjadi alasan banyak orang untuk menjalani pola makan atau diet ala bebas gluten.

Pertama, semakin populernya diet keto (rendah karbohidrat, tinggi lemak, dan sedikit protein), paleo (diet ala manusia gua, tinggi protein dan rendah karbohidrat). Banyak yang meyakini diet ini bisa menurunkan berat badan sekaligus menjadikan tubuh lebih bugar.

Kedua, kecenderungan yang membuat orang semakin berhati-hati terhadap efek samping gluten, antara lain, kembung, diare, dan berbagai ketidaknyamanan tubuh.

Ketiga, prevalensi penderita penyakit celiac yang terus menaik. Kondisi ini belum terlalu banyak terlihat di Indonesia. Di Amerika Serikat, setidaknya sekitar tiga juta penduduknya menderita penyakit ini. Penyakit ini terbilang cukup menyulitkan karena tidak mudah didiagnosa, dan pengobatannya bisa dibilang berlangsung seumur hidup.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Dreikorn Bread salah menu di Toko Roti Maison Weiner, Jakarta, Kamis (17/7/2020).

Roti Bebas Gluten

Pangan bebas gluten ternyata menjadi bisnis yang serius di sejumlah wilayah seperti Amerika Serikat, Australia, Eropa, dan Asia.

Industri roti di Asia bisa dibilang terus meningkat. Laporan riset pasar mordorintelligence.com menyebutkan, usaha bakery dalam periode 2020–2025 rata-rata pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR, Compound Annual Growth Rate) diperkirakan mencapai 8,33 persen. Sedangkan Eropa, dalam rentang 2016–2026, CAGR sekitar 11,1 persen.

Konsumen roti di sejumlah negara Asia, seperti Indonesia, memang banyak terpengaruh oleh selera Barat. Ini terlihat dari makin banyaknya produk roti artisan dengan aneka rasa yang inovatif, serta jenis roti berserat tinggi, bebas gluten, dan rendah lemak.

Bicara soal gluten tidak bisa dilepaskan dari keberadaan gandum. Gandum merupakan tanaman yang sudah dikenal sejak lama. Tanaman ini diperkirakan sudah lebih dulu dibudidayakan dibanding padi dan jagung sekitar 10 ribu tahun lalu, di wilayah seperti Jordania, Lebanon, Turki, Syiria, Irak, dan Palestina. Dari waktu ke waktu bahan pangan ini berkembang ke India, China, Eropa, Amerika, dan Australia.

Negara Penghasil Gandum Dunia 2020 (dalam ratus ton)

No.

Negara

Produksi Gandum

1 China 134.250
2 India 107.860
3 Rusia 85.354
4 Amerika Serikat 49.691
5 Kanada 35.183
6 Australia 33.000
7 Ukraina 25.420
8 Pakistan 25.200
9 Turki 18.250
10 Argentina 17.630

Sumber : knoema.com, dikutip oleh Litbang Kompas/KPP

Kualitas gandum tidak lepas dari jenis dan lingkungan tumbuhnya. Umumnya ini terbagi atas dua golongan, yaitu gandum keras (hard wheat), dan gandum lunak (soft wheat). Dalam konteks musim tanam, ada juga jenis musim semi (spring wheat) dan musim dingin (cold wheat).

Negara yang memiliki areal panen dan produksi gandum tertinggi di dunia adalah India dan China, sementara eksportir utama adalah Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Uni Eropa.

Mengutip data knoema.com, produksi gandum China hingga tahun 2020 mencapai sekitar 134 ribu ton atau sekitar 20,6 persen produksi dunia. Berikutnya adalah India, Federasi Rusia, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

Maraknya pangan bebas gluten juga didukung oleh perkembangan teknologi yaitu micro encapsulation. Teknologi ini menghasilkan produk dengan karakteristik viskoelastisitas sebaik produk aslinya yang menggunakan tepung gandum yang mengandung gluten.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja usaha mikro kecil menengah (UMKM) pembuatan roti di kawasan Tanah Kusir, Jakarta, memproduksi donat sebelum didistribusikan ke warung-warung di seputaran Jakarta, Depok, dan Bogor, Rabu (6/1/2021). UMKM pembuatan roti yang telah berdiri sejak tahun 2008 ini, dalam sehari membuat sekitar 5000 donat dan 30 loyang brownies. UMKM menjadi salah satu target pemerintah sebagai penerima dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada 2021. Dari total anggaran PEN 2021 yang sebesar sebesar Rp 403,9 triliun, Rp 63,84 triliun diantaranya digunakan untuk mendukung UMKM dan BUMN.

Gandum Roti

Seperti padi dan jagung, gandum masuk dalam famili Poacea (Gramineae) dan bercabang ke dalam lebih dari 20 spesies. Pembagian spesiesnya didasari oleh tingkat ploidi, atau banyaknya genom (himpunan kromosom), yaitu diploid, tetraploid, dan hexaploid.

Umumnya keragamannya berupa gandum einkorn liar, emmer liar, dan hexaploid. Dari sinilah kemudian muncul jenis yang sering menjadi pangan sehari-hari. Beberapa di antaranya adalah makaroni dan spageti (Triticum durum), dan spelt (Triticum spelt). Jenis spelt ini banyak mengalami persilangan dan menjadi gandum roti (Triticum aestivum) yang banyak ditanam sampai sekarang.

Singkatnya, sekitar 95 persen tanaman gandum saat ini adalah Triticum aestivum yang menjadi bahan baku mi, roti, dan sisa lima persen ditanam sebagai Triticum durum untuk bahan pasta.

Manfaat lain yang bisa diperoleh dari gandum adalah sebagai bahan alkohol, pakan ternak, vitamin E dan asam lemak esensial.

Gandum dan Gluten

Gandum merupakan serealia sumber karbohidrat, yang mayoritas komposisi (karbohidrat)nya adalah pati. Jumlah pati yang terkandung dalam sebutir gandum mencapai sekitar 60–75 persen dari total bobot kering. Serealia lain sejenis gandum lainnya adalah rye, oat, dan barley.

Gandum memiliki karakteristik protein yang spesifik, yaitu gluten. Kandungan (gluten) ini mampu membentuk bahan olahan mengembang, kenyal, dan lengket. Ciri ini tidak ditemukan pada tepung serealia lain seperti padi dan jagung. Sebagai pangan (seperti roti, cake, biskuit, mi instan, dan lainnya) ,bahan ini juga menjadikan pangan olahan gampang diawetkan.

Gluten merupakan campuran protein glutenin dan gliadin. Kandungan inilah yang mampu memerangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan. Ciri lainnya adalah bersifat hidrofilik, atau merenggangkan ikatan antarmolekul sehingga air akan masuk dalam molekul pati. Kandungan gluten bisa mencapai seperlima dari total protein yang terdapat dalam tepung serealia seperti gandum.

Kandungan Mineral Sejumlah Serealia (per 100 gram, kadar air 12 persen)

Komoditas Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Kalsium (mg)
Gandum 0,41 0,10 5,1 30
Sorgum 0,38 0,15 4,3 25
Beras (pecah kulit) 0,41 0,04 4,3 33
Jagung 0,38 0,20 3,6 26
Jewawut 0,42 0,19 1,1 35

Sumber: Gandum, Peluang dan Pengembangan di Indonesia (Balitbang Pertanian, 2016), dikutip oleh Litbang Kompas/KPP

Mutu produk yang dihasilkan bergantung pada kualitas terigu. Gluten bersama pati gandum akan membentuk struktur dinding sel yang menghasilkan remah produk. Hal ini yang membedakan gandum dengan serealia lain seperti jagung sorghum, jewawut, dan padi. Sifat yang spesifik ini yang kemudian sering menjadi masalah bagi mereka yang menderita alergi (atau intoleransi) terhadap gluten.

Gluten dan Bebas Gluten

Menurut pakar food science and nutrition Dr. Zuraidah Nasution, STP., M.Sc., bahan baku yang tidak mengandung gluten adalah sejumlah serealia, umbi, maupun legume (kacang-kacangan) di luar keluarga gandum, oat, barley, rye, serta varietas persilangannya. Contohnya, beras, sagu, singkong, ubi jalar, kentang, kedelai, dan jagung serta turunannya.

Tidak jarang dikenal juga istilah rendah gluten. Kriteria yang membedakan rendah, dan tanpa gluten adalah jumlah gluten yang terkandung dalam pangan olahan. Klaim ‘bebas gluten’ berarti hanya boleh mengandung maksimal 20 mg gluten per kilogram. Sementara rendah gluten, antara 21 sampai dengan 100 mg gluten per kilogram produk.

Kriteria itu juga ditegaskan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, bahan bebas gluten bisa dibilang cukup melimpah di pasaran. Beberapa di antaranya adalah tepung beras, beras merah, gaplek, mocaf (modified cassava flour atau tepung singkong yang dimodifikasi), hunkwe, ketan putih, ketan hitam, sagu putih, sagu ambon, kentang, dan talas. Selain itu, ada juga tepung almon, garut, sorghum, dan kelapa.

Klaim Bebas Gluten dan Rendah Gluten

Berdasarkan Lampiran VIII Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan,

1. Klaim “bebas gluten” atau klaim “rendah gluten” hanya dapat dicantumkan
pada Pangan Olahan yang telah memenuhi persyaratan.

2. Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dibuat dengan menggunakan bahan baku sebagai berikut:

  • Bahan baku yang secara alami tidak mengandung gluten seperti beras,
    jagung, sagu, ubi kayu/singkong, ubi jalar, kentang, kedelai, dan
    turunannya; dan/atau
  • Bahan baku dari serealia yang secara alami mengandung gluten seperti gandum (semua spesies Triticum, seperti durum wheat, spelt, dan khorasan wheat), rye, barley atau oat atau varietas persilangannya dan turunannya yang telah diproses untuk mengurangi kandungan gluten

KOMPAS/AHMAD ARIF

Pati sagu setelah melalui pemrosesan di pabrik PT ANJAP, Selasa (4/9/2018). Pati sagu bebas gluten dan memiliki indeks glikemik rendah.

Gluten dan Celiac

Secara medis, gluten sebetulnya tidak berdampak apa-apa sepanjang orang yang bersangkutan sehat. Yang sering menjadi masalah adalah mereka yang memang mengalami gangguan kesehatan.

Gangguan ini bermula dari sistem imun yang memberikan reaksi setelah mengonsumsi gluten yang bisa merusak lapisan usus dan menghambat penyerapan nutrisi (malabsorpsi nutrisi). Beberapa contoh gangguannya adalah diare, lemas, hingga anemia.

Menurut Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI,FINASIM, ahli alergi dan imunologi klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, gluten banyak mengandung pemicu alergi (alergen) sehingga ada sebagian masyarakat yang mengalami intoleransi (gluten).

Selain itu, ada juga yang mengalami penyakit celiac, yaitu sebuah kondisi yang lebih serius dari intoleransi tersebut. Sementara itu, anak-anak dengan gangguan autisme juga biasanya harus menghindari bahan ini. Selain gluten, mereka juga mesti menghindari kasein, atau protein susu dan olahannya seperti es krim, keju, mentega, yoghurt, dan pangan lainnya yang berbahan susu.

Dampak gluten terhadap kesehatan tak lepas dari sejarah penyakit coeliac, atau yang kini sering disebut celiac. Penyakit ini sudah dikenal sejak abad kedua. Adalah Samuel Jones Gee, seorang dokter Inggris yang bekerja di Hospital for Sick Children di Great Ormond Street, London, yang dianggap sebagai pelopor penemu penyakit itu.

Penyakit yang juga sering disebut Gee-Herter ini pada mulanya hanya diketahui sebagai gangguan pencernaan seperti diare dan ruam kulit, tetapi tidak diketahui persis apa penyebab utamanya. Selain orang dewasa, penderitanya kebanyakan anak-anak dan banyak yang meninggal karenanya.

Rata-rata Konsumsi per kapita Tepung Terigu 2016-2020

Jenis Makanan 2016 2017 2018 2019 2020 Rata-rata Pertumbuhan (%)
Konsumsi Seminggu (kg/kap/minggu 0,045 0,050 0,051 0,049 0,047 1,29
Konsumsi Setahun (kg/kap/tahun) 2,346 2,586 2,638 2,536 2,455 1,29

Sumber: Statistik Konsumsi Pangan, Kementerian Pertanian 2020, dikutip oleh Litbang Kompas/KPP

Tahun 1887, Gee memperkenalkan istilah celiac. Istilah ini biasanya mengacu pada reaksi yang menyebabkan pencernaan menjadi sensitif setelah mengonsumsi sesuatu. Menurutnya, penyakit ini bisa diatasi melalui pola makan (diet) namun tidak menyebut spesifik bagaimana bentuknya.

Sekitar tahun 1920-1930-an, dua dokter spesialis anak Sidney Haas dan Guido Fanconi, banyak melakukan percobaan berupa diet ketat konsumsi pisang, pure tomat atau kentang, sejumlah buah-buahan lain dan sayuran. Hasilnya dianggap cukup berhasil karena banyak yang kemudian kondisi kesehatannya membaik.

Misteri celiac perlahan mulai mulai terkuak oleh sejumlah riset Wim Karel Dicke. Sekitar tahun 1950-an dokter Belanda yang pernah menjabat direktur Rumah Sakit Anak Juliana di The Hague, Belanda, ini menyatakan gandum sebagai faktor pencetus celiac. Dicke juga mencoba menu yang intinya mengurangi sejumlah jenis gandum, termasuk rye dan oat, dan memperbanyak pisang, sayur-sayuran, dan daging.

Termasuk dalam percobaan tersebut adalah pengalaman warga selama Perang Dunia II (1944–1945) di mana sering terjadi krisis roti. Semua ini ternyata membuahkan hasil yang baik pada sejumlah pasien celiac. Saat itu disimpulkan bahwa penyebab utama penyakit ini adalah sifat ‘racun’ yang ada di dalam gluten (atau sejenis komponen protein) yang banyak terdapat di gandum.

Dalam perjalanannya penyakit celiac juga sering disebut sebagai celiac sprue atau gluten-sensitive enteropathy. Istilah enteropathy biasanya mengacu pada kondisi kebocoran usus, peradangan mukosa, gangguan penyerapan (malabsorption), dan peradangan sistemik.

Sejumlah referensi yang membahas gaya hidup ala bebas gluten mengingatkan kita, apakah betul-betul perlu, atau hanya mengikuti hal yang banyak dilakukan orang lain.

Jika sehat-sehat saja, tidak perlu menjalani diet khusus seperti penderita celiac. Karena, pada dasarnya konsep bebas (gluten) ini adalah kebutuhan konsumen yang memerlukan penanganan. (LITBANG KOMPAS)