Paparan Topik

Di Balik Iuran Tapera, Jiwasraya, Asabri, dan Taspen

Di balik keberatan iuran Tapera, terdapat akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Buruh menyangkutkan poster kecaman saat berunjuk rasa di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (13/6/2024). Salah satu tuntutan mereka adalh Tolak rencana Tabungan Perumahan Rakyat. Mereka menganggap rencana tersebut akan membuat susah nasib buruh yang saat ini telah susah. Sejak direncanakan oleh pemerintah, gelombang aksi terus dilakukan sebagai bentuk penolakan. Program pemerintah tersebut akan memotong gaji pekerja 3 persen untuk program tabungan perumahan.

Fakta Singkat

Tabungan Perumahan Rakyat

  • Pelaksanaan Tapera diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh Presiden Joko Widodo.
  • Program Tapera merupakan turunan dari UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
  • Iuaran Tapera sebesar 3 persen dari penghasilan per bulan, bagi pekerja di perusahaan, sebesar 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen sisanya ditanggung pemberi kerja. Untuk pekerja mandiri, iuran 3 persen sepenuhnya menjadi tanggungan pekerja yang bersangkutan.
  • Hingga 2019, tingkat kekurangan (backlog) rumah mencapai 11,4 juta unit.
  • Laju kebutuhan rumah setiap tahun bertambah 800.000 unit seiring bertambahnya keluarga-keluarga baru.
  • Pemerintah memiliki catatan buruk mengelola dana publik secara bertanggung jawab, cotoh kasusnya adalah korupsi dana nasabah PT Jiwasraya, PT Asabri, dan PT Taspen.

Polemik Tabungan Perumahan Rakyat

Program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera terus menuai pro dan kontra. Rencana implementasi program ini, yang mewajibkan seluruh pekerja menjadi peserta, dinilai memberatkan pekerja dan perusahaan. Tak hanya itu, program ini juga dibayangi keraguan terkait efektivitasnya dalam mewujudkan mimpi masyarakat memiliki rumah.

Pelaksanaan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh Presiden Joko Widodo. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tapera, tujuan dari Tapera adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Program ini dilatarbelakangi oleh persoalan besar bangsa Indonesia, yaitu rendahnya akses kepemilikan rumah layak bagi jutaan keluarga. Hal ini disebabkan oleh kesenjangan antara kebutuhan hunian masyarakat yang tinggi dengan penyediaan pasokan rumah tinggal yang terbatas, serta harga rumah yang mahal.

Menurut data Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, angka backlog di Indonesia tahun ini sebesar 9,9 juta unit. Sementara laju kebutuhan rumah setiap tahun bertambah 800.000 unit seiring bertambahnya keluarga-keluarga baru.

Meskipun tujuan Tapera secara normatif baik, namun berbagai polemik pun muncul. Terutama terkait pasal wajib iuran sebesar 3 persen mulai 2027. Bagi pekerja di perusahaan, mereka wajib mengiur Tapera sebesar 2,5 persen dari upah. Sementara pemberi kerja berkontribusi 0,5 persen sisanya. Adapun untuk pekerja mandiri, iuran 3 persen dari penghasilan sepenuhnya menjadi tanggungan pekerja yang bersangkutan. Pemotongan upah atau penghasilan dilakukan per bulan.

Serikat pekerja keberatan dengan skema pemotongan gaji karena skema tersebut akan menambah beban potongan rutin yang telah ada. Tambahan pemotongan ini dikhawatirkan bisa memperburuk kondisi ekonomi pekerja, terutama para pekerja berpenghasilan rendah (Kompas, 30/5/2024).

Selain itu, pemenuhan hunian bukan menjadi kebutuhan yang mendesak bagi semua pekerja. Apalagi, dengan berbagai skema tersebut, pemerintah hingga saat ini belum dapat memberikan kepastian bahwa peserta Tapera akan mendapatkan rumah jika melakukan iuran dalam jangka waktu tertentu.

Sementara, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak kebijakan tersebut karena akan menambah beban pembiayaan. Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja ada jaminan hari tua, uang pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, dan pesangon. Jumlahnya semua itu kira-kira sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dan beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar (Kompas, 28/5/2024).

Di balik keberatan tersebut, terdapat akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat memiliki trauma dari program-program serupa di masa lalu yang berujung pada skandal korupsi dan penyelewengan dana.

Sebut saja kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Taspen atau Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri. Kasus-kasus ini tentu membekas di ingatan publik, menimbulkan keraguan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola dana publik secara bertanggung jawab.

Elvanto (26), pekerja swasta di Jayapura, misalnya, ia merasa kebutuhan hunian kerap menjadi tantangan pekerja untuk dipenuhi di era sekarang. Model pembiayaan dari pemerintah dengan skema iuran ini, bagi Elvanto, bisa jadi akan memudahkan pekerja yang tidak mampu untuk memiliki rumah (Kompas, 30/5/2024).

Meski demikian, Elvanto tidak memungkiri jika muncul keraguan dari kelompok pekerja, apalagi seusai ikut menyaksikan diskusi dunia maya yang memunculkan banyak reaksi negatif. Apalagi, sebagian kalangan pekerja juga mengkhawatirkan kembali isu penyimpangan dana seperti yang terjadi di Jiwasraya dan Asabri.

Keraguan senada juga diungkapkan Olivia Agata Mananohas (25), pekerja swasta di Surabaya, yang mempertanyakan efektivitas program Tapera.  Sebab, sejarah program sejenis di Indonesia sudah sering kali menunjukkan birokrasi dan korupsi yang menghambat realisasi manfaat bagi masyarakat. Tanpa transparansi yang jelas, akan ada risiko dana yang dikumpulkan tidak digunakan sesuai dengan tujuan utamanya (Kompas, 3/6/2024).

Ia juga menghitung, dengan potongan 3 persen terhadap gaji Rp 8 juta per bulan, akan terkumpul senilai Rp 2,88 juta setahun. Dengan kata lain, dana yang terkumpul selama 20 tahun sebesar Rp 57 juta.

“Memang harga tanah dan rumah setelah 20 tahun berapa? DP (uang muka) Rp 57 juta mana ada harganya? Saya curiga, Tapera itu hanya cara untuk menambah pendapatan negara yang minus karena disedot IKN dan tikus-tikus berdasi,” tuturnya.

Skandal Keuangan Asuransi Jiwasraya

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) didirikan pada tahun 1859 dengan nama Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatchappij van 1859 (NILLMIJ). Perusahaan ini merupakan perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia dan pernah menjadi salah satu BUMN terbesar di Indonesia.

Sebagai salah satu BUMN dan lembaga asuransi terbesar di negeri ini, kejatuhan Jiwasraya mengejutkan banyak pihak. Menurut Badan Pemerikasa Keuangan (BPK), Jiwasraya telah merugikan negara Rp 16,81 triliun. Kerugian negara tersebut terdiri atas kerugian dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana sebesar Rp 12,16 triliun.

Kerugian terjadi karena kesalahan tata kelola dan sejumlah kecurangan terkait pengelolaan produk simpanan JS Saving Plan. Dana yang dihimpun dari JS Saving Plan diinvestasikan pada instrumen saham dan reksa dana berkualitas rendah dan tidak sesuai ketentuan, yang pada akhirnya tidak memberikan keuntungan bagi Jiwasraya.

Jika dirunut, sejak awal tahun 2000-an, perusahaan ini telah menunjukkan tanda-tanda bermasalah. Pada tahun 2002, BUMN asuransi itu dikabarkan sudah mengalami kesulitan keuangan. Namun, alih-alih memperbaiki diri, berdasarkan audit investigasi BPK, sejak 2006 Jiwasraya justru merekayasa laporan keuangan dengan mencatatkan laba semu untuk menutupi permasalah keuangan (Kompas, 24/2/2020).

Kemudian pada tahun 2014, di tengah kondisi keuangan yang semakin kronis, Jiwasraya menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepak bola dunia, Manchester City. Dalam kurun waktu dua tahun, Jiwasraya menggelontorkan dana hinggga Rp 13,5 miliar.

Pada tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi, jauh melampaui bunga deposito dan obligasi. Produk ini bagaikan jebakan madu bagi nasabah, menjanjikan keuntungan tinggi namun menyimpan risiko besar. Dana dari produk ini kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Kantor Pusat PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di jalan IR. H. Juanda, Jakarta, Kamis (9/1/2020). Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan terhadap PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2018 menemukan kejahatan korporasi dalam pengelolaan perusahaan yang berakibat pada kerugian secara internal dan kerugian negara. Kementerian BUMN mendukung pembongkaran kasus Jiwasraya oleh Kejaksaan Agung dan BPK serta akan tetap fokus menyehatkan perusahaan tersebut.

Pada 2017, Jiwasraya diketahui kembali melalukan rekayasa pembukuan. Saat itu, Jiwasraya mampu membukukan laba Rp 2,4 triliun. Tetapi laba itu dianggap BPK tidak wajar karena terdapat kecurangan pencadangan Rp 7,7 triliun.

Berlanjut ke tahun 2018, Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar klaim 711 nasabahnya sebesar Rp 802 miliar. Jiwasraya akhirnya juga membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 15,3 triliun.

Pada September 2019, aset saham yang dimiliki Jiwasraya menyusut hingga 62,6 persen. Dari Rp 6,63 triliun pada 2017 menjadi Rp 2,48 triliun. Kemudian pada November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 triliun.

Dalam investigasi yang dilakukan BPK, terungkap 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional tahun 2014-2015. Temuan tersebut mengungkapkan, 95 persen dana investasi Jiwasraya ditempatkan di saham ‘gorengan’. Total dana yang diinvestasikan di saham ‘gorengan’ tersebut diperkirakan mencapai Rp 5,7 triliun atau 22,4 persen dari total investasi Jiwasraya.

Tidak hanya itu, sekitar 98 persen dari dana investasi di reksadana atau senilai Rp 14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk.

Akibat dari buruknya pengelolaan dana, puluhan ribu nasabah, yang merupakan pemegang polis di perusahaan asuransi negara ini, tidak dapat mengklaim produk asuransi yang telah mereka bayar. Jiwasraya tercatat menjadi perusahaan dengan gagal bayar polis terbesar dalam sejarah asuransi Indonesia.

Dalam kasus tersebut, terdapat total enam terdakwa. Mereka adalah Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018; Hendrisman Rahim, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018; Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya; Joko Hartono Tirto, Direktur PT Maxima Integra; Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama Hanson International Tbk (MYRX); Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Keenamnya divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Korupsi Asabri

Tak berselang lama dari terbongkarnya skandal keuangan asuransi Jiwasraya, korupsi kembali menjerat perusahaan plat merah PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Berdasarkan catatan BPK, korupsi dana Asabri menggerogoti dana pensiun prajurit senilai total Rp 22,78 triliun, melampaui nilai korupsi Jiwasraya (Kompas, 31/5/2021).

PT Asabri didirikan pada tahun 1971 sebagai bentuk jaminan sosial bagi prajurit TNI, Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan. Awalnya, PT Asabri hanya mengelola dana pensiun, namun seiring waktu, layanannya diperluas untuk mencakup asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan.

Skandal korupsi PT Asabri terbongkar pada tahun 2020. Namun, dari hasil investigasi yang dilakukan BPK, kecurangan dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri telah berlangsung sepanjang 2012-2019, melibatkan para petinggi PT Asabri. Modus operandi yang digunakan terbilang kompleks, mulai dari transaksi fiktif, di mana dana Asabri diinvestasikan pada saham dan reksa dana bodong, manipulasi harga saham, hingga suap dan gratifikasi.

Dana PT Asabri bersumber dari dua program peserta Asabri, yakni Tabungan Hari Tua dan dana Program Akumulasi Iuran Pensiun (AIP). Dana itu berasal dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN di Kementerian Pertahanan yang dipotong 8 persen per bulan. Rinciannya, Dana Pensiun 4,75 persen dari gaji pokok, dan THT 3,25 persen gaji pokok, yang dikumpulkan untuk simpanan oleh PT Asabri.

Berdasarkan temuan dalam persidangan, kasus ini bermula ketika Direktur Utama, Direktur Investasi, dan Direktur Keuangan serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat dengan pihak luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio PT Asabri pada rentang tahun 2012-2019.

Mereka menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi. Manipulasi harga ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja portofolio Asabri yang seolah-olah terlihat baik.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kesibukan petugas melayani nasabah yang hendak mengajukan klaim maupun pembaruan data diri di Kantor Cabang Utama PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) di Gedung Asabri, Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (15/1/2020). Nasabah PT Asabri adalah para prajurit TNI, anggota Polri, PNS Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan POLRI.

Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri kemudian saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh Heru, Benny, dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama dengan direksi PT Asabri, sehingga saham tersebut seolah-olah bernilai tinggi dan likuid. Padahal transaksi tersebut hanya transaksi semu untuk menguntungkan Heru, Benny, dan Lukman serta merugikan investasi Asabri. Hal tersebut dikarenakan PT Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga perolehan saham tersebut.

Untuk menghindari kerugian PT Asabri menjual kembali saham tersebut dengan Nomine Heru, Benny, dan Lukman, serta dibeli lagi oleh PT Asabri oleh manajer investasi yang dikendalikan Heru dan Benny.

Akibat tindakan tersebut, dana pensiun yang seharusnya digunakan untuk membiayai kehidupan para pensiunan, terhambat dan tertunda pembayarannya akibat kerugian yang dialami PT Asabri. Hal ini menyebabkan kesulitan finansial bagi para pensiunan dan keluarga mereka, terutama bagi mereka yang mengandalkan dana pensiun.

Pada 2021, Kejaksaan Agung menetapkan 9 orang sebagai tersangka utama kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi PT. Mereka adalah Adam Rahmat Damiri, Direktur Utama Asabri 2011-2016; Sonny Widjaja, Dirut Asabri 2016-2020; Bachtiar Effendi, Direktur Keuangan Asabri 2008-2014; Hari Setianto, Direktur Asabri 2013-2019; Ilham W Siregar, Kepala Divisi Investasi Asabri 2012- 2017 Lukman Purnomosidi, Direktur Utama PT Prima Jaringan; Jimmy Sutopo, Direktur PT Jakarta Emitmen Investor Relation.

Kemudian, terdapat dua tersangka lainnya, yakni Benny Tjokrosaputro selaku Direktur PT Hanson International dan Heru Hidayat selaku Direktur PT Trada Alam Minera serta Direktur PT Maxima Integra. Keduanya juga berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Korupsi Taspen

Selanjutnya ada skandal korupsi PT Taspen atau Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri. Modusnya pun terbilang mirip dengan Jiwasraya dan Asabri, yaitu dana nasabah digunakan untuk investasi fiktif atau bodong.

Berdiri sejak 1963, PT Taspen merupakan BUMN yang bergerak di bidang asuransi, tabungan hari tua, dan dan pensiun pensiun untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), kecuali untuk ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan. Taspen bertujuan untuk menjadi jaring pengaman finansial bagi para ASN di masa pensiun.

Sayangnya, dana pensiun yang seharusnya dikelola secara profesional dan akuntabel untuk memberikan jaminan hari tua bagi para pensiunan justru menjadi objek penyelewengan dana.

Kasus korupsi Taspen mencuat ke publik pada awal Maret 2024, ketika Menteri BUMN Erick Thohir mencopot Antonius Nicholas Stephanus Kosasih dari jabatan Direktur Utama Taspen. Pencopotan ini merupakan buntut dugaan korupsi dalam kegiatan investasi fiktif yang ada di PT Taspen.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Direktur Utama PT Taspen (Persero) Antonius Nicholas Stephanus Kosasih saat meninggalkan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, setelah menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Selasa (7/5/2024). Antonius Nicholas Stephanus Kosasih diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi investasi fiktif di PT Taspen (Persero) tahun 2019.

Dugaan korupsi ini terkait dengan investasi senilai Rp 1 triliun yang dilakukan pejabat di PT Taspen pada tahun anggaran (TA) 2019. KPK menduga investasi tersebut fiktif dan merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

KPK saat ini masih terus melakukan investigasi untuk mendalami kasus korupsi ini. Sejauh ini, terdapat dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Antonius NS Kosasih, mantan Dirut Taspen, dan Dirut PT Insight Investments Management Ekiawan Heri Primaryanto. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
Arsip Kompas
  • “Jiwasraya, Nasibmu Kini,” Kompas, 9 Januari 2020.
  • “Mengembalikan Kepercayaan Publik,” Kompas, 24 Februari 2020.
  • “Tapera, Pertaruhan Dana Rakyat,” Kompas, 11 Juni 2020.
  • “Kecurangan pada Pengelolaan Dana Asabri Rugikan Negara Rp 22,78 Triliun,” Kompas, 31 Mei 2021.
  • “Kasus Dugaan Korupsi Asabri Memasuki Babak Baru,” Kompas, 12 Agustus 2021.
  • “Serius Mau Tapera, Setelah Kasus Taspen, Asabri, dan Jiwasraya?” Kompas, 30 Mei 2024.
  • “Program Tapera Dikhawatikan Jadi Harapan Palsu dan Bebani Pekerja,” Kompas, 30 Mei 2024.
  • “Pekerja-Pengusaha di Sejumlah Daerah Tolak Tapera,” Kompas, 30 Mei 2024.
  • “Suara Warga Terkait Tapera,” Kompas, 3 Juni 2024.
  • “Krisis Hunian di Balik Rencana Program Tapera,” Kompas, 5 Juni 2024.
Internet

Artikel terkait