Paparan Topik | Industri Properti

Jalan Panjang Mewujudkan Perumahan Rakyat di Indonesia: dari Sejarah, Program hingga Tantangan

Memiliki rumah adalah impian setiap orang. Namun, tidak semua orang mampu menjangkau kebutuhan primer tersebut. Kehadiran negara diperlukan agar masyarakat berkesempatan memiliki rumah yang nyaman, layak huni, dan terjangkau, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para pekerja merampungkan pembangunan sebuah kluster perumahan murah baru di kawasan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/6/2020). Perumahan yang menyasar konsumen pekerja banyak didirikan di kawasan ini. Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat menargetkan sebanyak 13 juta pekerja bisa menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat. Program ini ini diharapkan mengurangi angka kekurangan atau backlog rumah di Indonesia. Menurut data Kementerian PUPR, angka kebutuhan rumah atau backlog tahun 2019 mencapai 7,6 juta unit. Sementara itu realisasi program sejuta rumah tahun 2019 mencapai 1.257.852 unit. Terdiri dari 945.161 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 312.691 unit rumah untuk non MBR.

Fakta Singkat

Sejarah perumahan di Indonesia

  • Masa Pemerintah Hindia Belanda
  • Terbit Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (1934)
  • Perbaikan kampung dan penyuluhan tentang rumah sehat
  • Masa penjajahan Jepang
  • Kebijakan perumahan ditangani oleh Doboku
  • Masa kemerdekaan
  • Dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan (1947)
  • Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung

Program perumahan, antara lain,

  • Dibentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat pada 20 Maret 1951
  • Dibentuk Djawatan Perumahan Rakyat pada 25 April 1952
  • Proyek Muhammad Husni Thamrin (1966)
  • Dibentuklah Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) 1974
  • Didirikan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) pada 18 Juli 1974
  • Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana (2007)
  • Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) 2010
  • Program Sejuta Rumah (PSR) 2015

Regulasi terkait perumahan

  • UU 20/2011 tentang Rumah Susun
  • UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera)
  • PP 13/2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun
  • PP 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
  • PP 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat
  • PP 12/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Tantangan penyediaan perumahan, antara lain,

  • Akses terhadap pembiayaan perumahan terbatas
  • Keterbatasan anggaran
  • Tumbuhnya wilayah perkotaan yang tidak terstruktur (urban sprawl)

Dukungan terhadap program RPJMN 2020–2024

  • Alokasi bantuan pembiayaan perumahan melalui FLPP tahun 2021 sebanyak 157.500 unit
  • Target melalui FLPP tahun 2022 sebanyak 200 ribu unit

Rumah yang layak huni menjadi hal yang penting dan sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Selain menjadi tempat tinggal, rumah juga berfungsi antara lain sebagai tempat bekerja, belajar bagi anak-anak sekolah, tempat beribadah bahkan menjadi tempat isolasi mandiri bagi masyarakat yang terpapar virus Covid-19.

Namun kenyataannya, hingga saat ini masih terjadi ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Kemampuan masyarakat untuk menjangkau hunian layak masih sangat terbatas. Partisipasi swadaya masyarakat dalam menyiapkan rumah layak huni juga masih rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga Maret 2020, masih ada 16,4 juta backlog atau kebutuhan rumah di Indonesia atau 22,6 persen dari total rumah tangga. Mereka yang belum bisa tinggal di rumah milik sendiri itu, saat ini tinggal di rumah kontrakan, rumah dinas, atau di rumah orang tua maupun kerabat yang bebas sewa.

Adapun sebaran wilayah yang memiliki backlog terbesar ada di Jawa Timur. Dari 16,4 juta rumah tangga Indonesia yang belum tinggal di rumah sendiri, 19,1 persen di antaranya ada di wilayah tersebut. Terbesar selanjutnya adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.

Sementara itu, menurut data Kementerian PUPR tahun 2020, terdapat tiga juta rumah tangga di Indonesia masih menempati Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).

Padahal, perumahan layak huni bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28H yang berbunyi, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

Upaya mewujudkan perumahan rakyat yang layak huni, aman, dan terjangkau di Indonesia sebenarnya terus dilakukan sejak awal kemerdekaan hingga saat ini dengan beragam kebijakan dan program. Di sisi lain, usaha puluhan tahun pemenuhan kebutuhan dasar papan yang sehat dan terjangkau masih membutuhkan jalan panjang.

Sejarah Singkat Kebijakan Perumahan di Indonesia

Konsep perumahan di Indonesia sejatinya telah dikenal sejak lama, bahkan sebelum kedatangan Belanda. Dalam buku Sejarah Perumahan Jejak Langkah Hunian Layak Indonesia (2019), disebutkan penataan perumahan pada kerajaan atau desa adat dapat ditelusuri dari situs-situs peninggalan Kerajaan Majapahit sampai Mataram, bahkan kampung adat yang masih terpelihara sampai sekarang, di antaranya di Toraja dan Flores.

Pada tahun 1924, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Burgelijk Woning Regeling atau Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau juga disingkat menjadi BWR. Peraturan ini mendorong penyediaan perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Saat itu, usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun perumahan yang layak huni adalah dengan melakukan perbaikan kampung dan penyuluhan tentang rumah sehat. Penanggulangan penyakit pes juga dilakukan di daerah perumahan kumuh.

Pelaksanaan dilakukan oleh Departement Van Verkeer en Waterstaat yang menangani perumahan rakyat (Volkshuisvesting) dan bangunan gedung/rumah negara/Pemerintah (Landsgebouwen) serta Pest Bestrijding untuk menangani wabah penyakit perkotaan.

Pada masa penjajahan Jepang, kebijakan perumahan ditangani oleh Doboku yang merupakan lembaga pengganti Departement Van Verkeer en Waterstaat. Sasaran kebijakan pada masa sebelum kemerdekaan ini masih terbatas untuk untuk pegawai negeri, rumah sewa, dan perbaikan lingkungan dalam rangka kesehatan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pekerja di perumahan sejahtera tapak Griya Andika di Jampang, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Minggu (13/9/2020). Pembeli perumahan ini mendapatkan fasilitas kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi dari pemerintah. Ada 571 unit rumah yang disediakan pengembang. Ada yang sudah jadi, sedang dibangun, maupun belum dibangun.

Pada masa kemerdekaan, kebijakan perumahan nasional dimulai pada tahun 1947 dengan dibentuknya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan. Salah satu tugas dan fungsinya adalah melakukan pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung. Namun saat itu, kondisi negara belum aman sepenuhnya sehingga pembangunan perumahan kurang dirasakan oleh masyarakat.

Pada 1949, undang-undang pembentukan kota ditetapkan. Undang-undang tersebut mendasari pembangunan Kebayoran Baru, pelopor pembangunan perumahan Indonesia.

Kemudian pada tanggal 25–30 Agustus 1950, diselenggarakan Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung. Kongres tersebut dihadiri oleh peserta dari 63 Kabupaten dan kotapraja, 4 provinsi, wakil dari Jawatan Pekerjaan Umum, utusan Organisasi Pemuda, Barisan Tani,  13 Pengurus Parindra, dan tokoh-tokoh perseorangan.

Dalam kongres tersebut, dibahas mengenai beragam persoalan perumahan, mulai dari pembangunan cepat, bahan untuk pembangunan perumahan rakyat, bentuk perumahan rakyat, kepentingan kesehatan dalam membangun rumah rakyat, pembiayaan perumahan, serta peninjauan peraturan-peraturan tentang ketentuan dalam mendirikan rumah dinas di kotapraja dan kabupaten dan persoalan persediaan tanah perumahan.

Kongres tersebut menghasilkan tiga keputusan. Pertama, setiap provinsi mengusahakan berdirinya perusahaan pembangunan perumahan rakyat. Kedua, dirumuskan norma dan syarat minimum perumahan rakyat dan segera ditetapkan dalam undang-undang. Ketiga, membentuk badan yang menangani pembangunan dan pembiayaan perumahan.

Kongres ini juga menjadi awal optimisme kemampuan pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi rakyat Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari sambutan Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta, “… tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa…”.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Suasana di perumahan sejahtera tapak Griya Andika di Jampang, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Minggu (13/9/2020). Pembeli perumahan ini mendapatkan fasilitas kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi dari pemerintah. Ada 571 unit rumah yang disediakan pengembang. Ada yang sudah jadi, sedang dibangun, maupun belum dibangun.

Program perumahan dari masa ke masa

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintahan dari masa ke masa terus melaksanakan beragam program perumahan agar masyarakat Indonesia mendapatkan hunian yang layak, aman, dan terjangkau seperti diamanatkan dalam UUD 1945.

Program perumahan murah di Indonesia berawal dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada Agustus 1950 di Bandung. Salah satu hasil kongres tersebut adalah mencanangkan Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai perintis rumah murah di Indonesia.

Melalui SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada tanggal 25 April 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tugas pokoknya, antara lain, menyusun konsep kebijakan perumahan dan mengatur penyelenggaraa pembiayaan pembangunan perumahan.

Sebelumnya, pada tanggal 20 Maret 1951 dibentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Rakyat. Kemudian dibentuk Yayasan Kas Pembangunan (YKP).

Hingga tahun 1961, yayasan ini mampu membangun 12.460 unit rumah. Namun karena kesulitan keuangan akhirnya lahirlah Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Proyek perumahan di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Sabtu (2/10/2020). Kawasan tersebut tumbuh menjadi kawasan hunian yang ditandai dengan banyaknya proyek perumahan. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), masih ada kekurangan rumah sekitar 11,4 juta unit rumah dan tambahan kebutuhan 800.000 unit rumah per tahun. Kondisi tersebut menjadikan sektor perumahan masih menarik bagi penyedia pembiayaan.

Pada 1966, Gubernur Jakarta Ali Sadikin memprakarsai Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Proyek tersebut untuk memperbaiki kampung kumuh agar layak huni. Proyek yang juga dinamakan Kampung Improvement Program (KIP) kemudian menjadi proyek nasional di tahun-tahun berikutnya.

Karena kebutuhan rumah yang semakin besar, kemudian disepakati adanya pembentukan badan lain yang bertugas memberi pengarahan secara menyeluruh, agar program perumahan segera tercapai. Pada tahun 1974 kemudian dibentuklah Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Badan ini berfungsi merumuskan garis-garis kebijaksanaan dan petujuk pelakanaan bidang pengembangan dan pembinaan perumahan di samping koordinasi dan pengawasan.

Bank Tabungan Negara (BTN) kemudian ditunjuk sebagai Bank Hipotik Perumahan. Dengan posisinya itu, BTN bisa memberikan KPR kepada para peminat rumah dengan suku bunga yang disubsidi.

Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) baru berdiri pada tanggal 18 Juli 1974, dengan Ir. Radinal Moochtar sebagai Direktur Utamanya. Pembiayaan bersumber dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Pada waktu itu, pembangunan masih dipusatkan di sekitar Jabodetabek.

Meskipun Perumnas sudah dicanangkan sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno, namun pembangunan Perum Perumnas baru dimulai pada era Presiden Soeharto, yakni pada tahun kedua Pelita II. Sasarannya adalah masyarakat kota, dengan presentasi 80 persen keluarga berpenghasilan rendah, 15 persen keluarga menengah, dan 5 persen yang berpenghasilan tinggi.

Untuk memenuhi pemerataan pembangunan, Perumnas kemudian menetapkan kebijakan untuk membangun di 77 kota. Ke-77 kota tersebut terdiri dari 27 ibu kota provinsi, 33 pusat pengembangan wilayah, dan 17 ibu kota kabupaten yang bukan pusat pengembangan wilayah namun berpenduduk 10 ribu orang.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara proyek pembangunan apartemen Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Jumat (19/3/2021). Pemprov DKI sebelumnya menargetkan pembangunan 232.214 unit rumah susun sederhana milik dengan uang muka Rp 0. Namun dengan alasan terdampak pandemi Covid-19, kini target itu diusulkan direvisi menjadi 10.460 unit saja. Untuk realisasi hunian DP Rp 0 itu, per 5 Maret 2021, data dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta menyebutkan, hunian DP Rp 0 yang dibangun BUMD di Nuasa Pondok Kelapa sebanyak 780 unit.

Pada 1980, terdapat pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat yang mengatur model rumah sederhana. Selain itu Keputusan Menteri (Kepmen) PU No.1/KPTS/1989 terbit untuk mengatur tentang Program Kaveling Siap Bangun.

Kemudian Keppres 14/1993 tentang Tabungan Perumahan PNS terbit yang kemudian diubah dengan Keppres 46/1994 dengan judul yang sama. Disusul dengan dibentuknya Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS ) sebagai pelaksana pengelolaan dana tabungan.

Pascareformasi demokrasi pada tahun 1998, usaha untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat masih terus berjalan. Hanya saja, program-program pembangunan perumahan ini tidak semasif pada era Orde Baru.

Pada tahun 2000, Ditjen Pengembangan Permukiman bekerjasama dengan UNDP melaksanakan proyek INS/00/003 (CoBild) untuk pemberdayaan masyarakat dalam penataan permukiman. Hingga akhirnya pada tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana. Rumah itu ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan maksimum Rp5,5 juta per bulan.

Namun, program tersebut macet pada tahun 2013 atau setelah enam tahun digulirkan. Sebenarnya, sejak 2010, pengembang sudah menghentikan pembangunan proyek rumah susun sederhana milik bersubsidi (rusunami) atau rumah sejahtera susun bersubsidi.

Pada tahun 2010, lahir program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Program FLPP ini diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan menengah bawah (MBM) dalam menjangkau harga rumah.

Pemerintah melalui Kemenpera dan bekerja sama dengan Bank BTN akan memberikan subsidi kepada masyarakat berdasarkan daya beli atau penghasilan masyarakat bukannya pada harga jual rumah. Dalam kesepakatan bersama ini, ruang lingkup bantuan FLPP dalam rangka pengadaan perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera, ini meliputi empat hal, antara lain, KPR Sejahtera Tapak, KPR Sejahtera Susun, KPR Sejahtera Syariah Tapak, dan KPR Sejahtera Syariah Susun.

Berdasarkan kesepakatan dan perjanjian kerjasama ini, Kemenpera dan Bank BTN sepakat untuk memfasilitasi MBM dan MBR dalam pemilikan rumah melalui penerbitan KPR Sejahtera dengan tingkat suku bunga yang dibebankan pada MBM dan MBR lebih kecil dari 10 persen (single digit).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para pekerja merampungkan pembangunan sebuah kluster perumahan murah baru di kawasan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/6/2020).

Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 April 2015 juga mencanangkan program untuk menyediakan tempat tinggal layak, yaitu Program Sejuta Rumah (PSR). Dalam program tersebut, pemerintah menargetkan pembangunan satu juta unit rumah bagi masyarakat yang terbagi dalam dua sektor, yakni rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 70 persen dan sisanya 30 persen adalah rumah untuk non MBR.

Selama periode 2015–2018, unit rumah yang terbangun 3.542.318 unit rumah dengan komposisi 70 persen rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 30 persen rumah non-MBR. Pada tahun 2015 capaian PSR sebanyak 699.770 unit rumah, 2016 (805.169 unit rumah), 2017 (904.758 unit rumah), 2018 (1.132.621 unit rumah). Adapun di tahun 2019 capaian PSR melonjak menjadi 1.263.634 unit rumah.

Presiden Joko Widodo lalu meneruskan program PSR kembali di periode kedua pemerintahannya, yaitu 2020–2024. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat di tahun 2020, diperoleh capaian sebanyak 956.217 unit rumah. Sedangkan capaian PSR per 30 Juli 2021 telah tercapai 515.107 unit, yang terdiri 451.506 unit rumah MBR dan 63.601 unit rumah non MBR dari target 1.105.000 unit. Adapun total secara keseluruhan capaian Program Sejuta Rumah mulai tahun 2015 hingga Juli 2021 ini sebanyak 6.286.274 unit

Kemudian pada tanggal 20 Mei 2020, Presiden Jokowi menandatangani PP 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Melalui Tapera itu, setiap pemberi kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta kepada BP Tapera. Adapun pekerja mandiri harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera.

Berbagai program seperti pembangunan rumah susun, rumah khusus, rumah swadaya, penyaluran bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) rumah bersubsidi, kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi serta dukungan pemerintah daerah dan sektor swasta melalui CSR terus dilaksanakan. Kebijakan di sektor perumahan juga terus dipermudah dengan penyederhanaan pengusulan bantuan perumahan melalui aplikasi Sistem Bantuan Perumahan (SIBARU).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pekerja merampungkan pembangunan komplek perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sesuai rencana strategis 2020-2024, menargetkan penyediaan 5 juta unit rumah. Rinciannya, sebanyak 900.000 unit merupakan rumah bersubsidi yang dibiayai melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan subsidi bantuan uang muka.

Regulasi terkait perumahan

Kebijakan pemerintah dalam pengadaan hunian untuk rakyat telah diatur dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang yang terdiri dari 17 bab, 167 pasal disertai lampiran ini mengatur antara lain ketentuan umum; asas, tujuan dan ruang lingkup, pembinaan, tugas dan wewenang, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman hingga ketentuan penutup.

Dalam UU tersebut, disebutkan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berasaskan pada, antara lain, kesejahteraan, keadilan dan pemerataan, keefisienan dan kemanfaatan, keterjangkauan dan kemudahan, kemandirian dan kebersamaan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian dan keberlanjutan, keselamatan, keamanan, ketertiban, serta keteraturan.

Terdapat lima kebijakan umum pembangunan perumahan dalam UU tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

Kedua, ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan. Ketiga, mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

Selanjutnya, keempat, memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan kelima, mendorong iklim investasi asing.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pembangunan proyek rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jalan Inspeksi BKT, Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (6/4/2020). Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta membangun 10 rusunawa baru tahun 2020 dengan total keseluruhan sebanyak 5.835 unit dengan jumlah 31 menara. Ditargetkan, 10 rusunawa yang dibangun selesai pada tahun 2021.

Disebutkan pula enam tujuan diselenggarakannya perumahan dan kawasan permukiman. Pertama, memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Kedua, mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama MBR.

Ketiga, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di Kawasan perkotaan maupun Kawasan perdesaan.

Keempat, memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Kelima, menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Keenam, menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Salah satu hal khusus yang diatur dalam UU ini adalah keberpihakan negara terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam hal ini, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR dengan memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.

Kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu, dengan memberikan kemudahan, berupa pembiayaan, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keringanan biaya perizinan, bantuan stimulan, dan insentif fiskal.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pekerja dalam pembangunan proyek rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jalan Inspeksi BKT, Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (6/4/2020). Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta membangun 10 rusunawa baru tahun 2020 dengan total keseluruhan sebanyak 5.835 unit dengan jumlah 31 menara. Ditargetkan, 10 rusunawa yang dibangun selesai pada tahun 2021.

Tantangan dan dukungan penyediaan perumahan 2021-2022

Penyediaan perumahan di Indonesia masih menghadapi tantangan seperti disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Tantangan itu baik dari sisi permintaan maupun di sisi pasokan.

Di sisi permintaan, akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan masih terbatas, terutama untuk menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Hal itu diindikasikan dengan rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap PDB Indonesia masih di bawah 3 persen (2017) dan cukup tertinggal dibandingkan Malaysia yang sudah mencapai 38,4 persen. Selain itu, fasilitas pembiayaan tersebut belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat berpenghasilan tidak tetap dan bagi yang membangun rumah secara swadaya.

Salah satu tantangan dalam perluasan akses tersebut adalah belum mapannya pasar pembiayaan primer dan sekunder perumahan termasuk masih terjadinya maturity mismatch sumber pembiayaan.

Maturity mismatch adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan situasi ketika ada keterputusan antara aset jangka pendek perusahaan dan kewajiban jangka pendeknya. Ketidaksesuaian jatuh tempo juga dapat terjadi ketika instrumen lindung nilai dan jatuh tempo aset yang mendasarinya tidak sejajar.

Kebijakan pemerintah dalam pemberian kemudahan dan bantuan belum berjalan optimal dan berkelanjutan karena sangat tergantung pada ketersediaan anggaran pemerintah. Pada sisi lainnya jumlah bantuan yang diberikan belum proporsional dengan besar pendapatan penerima yang beragam.

Pada sisi pasokan, lokasi rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung tersebar serta menjauh dari pusat kota sehingga menyebabkan tumbuhnya wilayah perkotaan yang tidak terstruktur (urban sprawl). Kondisi tersebut disebabkan oleh manajemen lahan untuk perumahan yang belum efektif serta tidak terintegrasinya perumahan dengan sistem transportasi publik dan infrastruktur dasar permukiman.

Di samping itu, pembinaan dan pengawasan di bidang perumahan dan kawasan permukiman perlu ditingkatkan untuk menjamin keandalan dan tertib bangunan dalam rangka mengurangi risiko terhadap bencana, serta mencegah tumbuhnya permukiman kumuh.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah berkomitmen dengan program sejuta rumah dan bantuan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah sampai tahun 2024. Tahun ini, bantuan pembiayaan perumahan sekitar Rp19 triliun dan tahun 2022 ditingkatkan menjadi Rp28,2 triliun.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga telah mewajibkan pengembang membangun rumah bersubsidi yang layak huni serta menerapkan teknologi informasi untuk memantau kualitas bangunan rumah bersubsidi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kompleks perumahan bersubsidi yang tengah dibangun di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sesuai rencana strategis 2020-2024, menargetkan penyediaan 5 juta unit rumah. Rinciannya, sebanyak 900.000 unit merupakan rumah bersubsidi yang dibiayai melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan subsidi bantuan uang muka.

Kementerian PUPR menganggarkan dan memfasilitasi berbagai kebijakan untuk kemudahan memperoleh rumah bagi MBR melalui program bantuan perumahan, antara lain, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Pada tahun 2021 Kementerian PUPR mengalokasikan bantuan pembiayaan perumahan untuk memfasilitasi sebanyak 157.500 unit melalui FLPP. Berdasarkan data per 18 Agustus 2021, realisasi penyaluran FLPP sudah mencapai 115.355 unit rumah atau sebesar 73,24 persen. Untuk SBUM yang ditargetkan 157.500 unit sudah mencapai 84.777 unit atau 54,54 persen, dan BP2BT mencapai 167 unit rumah.

Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan total Rp28,2 triliun untuk target 200 ribu unit melalui FLPP. Sementara sambil menunggu beroperasinya BP Tapera pemerintah berkomitmen untuk terus melanjutkan FLPP sampai 2024. Hal ini mengingat sampai tahun tersebut diperkirakan masih banyak MBR di luar ASN dan TNI/POLRI yang belum jadi anggota BP Tapera.

Untuk mengajukan permohonan subsidi FLPP, masyarakat dapat mengunduh aplikasi SiKasep (Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan) melalui PlayStore. Dengan menggunakan SiKasep, masyarakat akan secara daring terhubung dengan pemerintah, bank pelaksana, dan pengembang dengan menggunakan sistem host to host.

Untuk proses verifikasi pengguna, SiKasep terhubung langsung ke Kementerian Dalam Negeri yang sekaligus telah terkoneksi dengan data FLPP yang dikelola oleh BLU PPDPP sehingga subsidi dapat tepat sasaran.

Ketentuan untuk mendapat subsidi FLPP, meliputi kepemilikan rumah tapak atau rumah susun, suku bunga 5 persen, masa subsidi 20 tahun, subsidi bantuan uang muka (SBUM) Rp4 juta, uang muka 1 persen, harga jual sesuai Kepmen PUPR dan bebas PPN sesuai Peraturan Menteri Keuangan. (LITBANG KOMPAS)

Sumber: Kanal Youtube Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 8 Juli 2020

Referensi

Arsip Kompas
  • “Sejuta Rumah untuk Rakyat”, Kompas, 23 April 2015, hlm. 07
  • “Perumahan Rakyat: Menanti Langkah”, Kompas, 16 November 2019, hlm, 13
  • “Kebijakan Diharap Tepat Sasaran”, Kompas, 25 Februari 2019, hlm. 13
  • “Properti Terimpit Covid-19”, Kompas, 11 Mei 2020, hlm. 09
  • “Wujudkan Hunian Nyaman bagi Warga Indonesia”, Kompas, 12 Agustus 2020, hlm. A
  • “Memampukan Penyedia Perumahan”, Kompas, 07 September 2020, hlm. 06
  • “Perumahan: Menanti Keberpihakan”, Kompas, 15 Oktober 2020, hlm. 09
  • “Perumahan: Menggerakkan Properti”, Kompas, 04 Maret 2021, hlm. 09
  • “Angin Segar dengan Catatan”, Kompas, 05 Maret 2021, hlm. 13
  • “Perumahan: Tren Pasar Properti Membaik”, Kompas, 27 Mei 2021, hlm. 09
  • “Properti: Menuju Rumah Rakyat”, Kompas, 24 Agustus 2021, hlm. 10
  • “Kolaborasi untuk Bangun Rumah”, Kompas, 25 Agustus 2021, hlm. 09
  • “Amankan Kebutuhan Lahan”, Kompas, 28 Agustus 2021, hlm. 13
Buku dan Jurnal
Aturan
  • UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
  • UU 20/2011 tentang Rumah Susun
  • UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera)
  • PP 13/2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun
  • PP 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
  • PP 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat
  • PP 12/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
  • Perpres 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020–2024