IPPHOS
May. Surono sebagai Komandan Bn. bersama Kapt. Marsudi sedang mempelajari Peta daerah gerombolan (1/1/1952).
Ide mendirikan negara Islam berasal dari Kartosuwirjo yang menyatakan perang suci melawan Belanda pada Agresi Militer I pada tahun 1947. Dia mendirikan basis-basis pertahanan di Jawa Barat yang mayoritas beragama Islam.
Penolakannya terhadap Perjanjian Renville diwujudkan dengan menolak pergi dari Jawa Barat yang saat itu dikuasai Belanda. Kartosuwirjo mengubah gerakannya menjadi pembentukan negara bernafaskan Islam. Pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) menjadi bentuk protes terhadap Belanda sekaligus Indonesia yang dinilai terlalu lunak. Kartosuwirjo kemudian diangkat menjadi imam dari NII.
Pengaruh Kartosuwirjo semakin besar terutama setelah mendirikan angkatan bersenjata untuk NII bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Tujuannya untuk memerangi pasukan TNI sehingga dapat memisahkan diri dari Negara Indonesia.
Ide Kartosuwirjo banyak didukung oleh daerah-daerah lain yang merasa kecewa terhadap Indonesia sehingga berkeinginan untuk melepaskan diri. Hal ini menjadi titik mula pemberontakan DI/TII yang berkembang tidak hanya di Jawa Barat namun menjalar hingga ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
DI/TII di Jawa Barat
25 Agustus 1948
Kartosuwirjo melalui Maklumat Nomor 1 mendeklarasikan “Negara Islam Indonesia (NII)” yang berbentuk Republik Islam di bawah kepemimpinan seorang Imam.
20 Desember 1948
Setelah Agresi Militer II Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 yang berhasil menguasai Ibu Kota Yogyakarta, Kartosuwirjo mengumumkan “Jihad Fi Sabilillah” terhadap Belanda. Kartosuwirjo juga menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia telah tamat. Sejak saat itu nama “Negara Islam Indonesia” diperkenalkan secara luas.
7 Agustus 1949
Pengaruh DI/TII yang berkembang di Jawa Barat mulai menyebar ke Jawa Tengah. Bertempat di Tasikmalaya, Jawa Tengah, Kartosuwirjo mengumumkan “Proklamasi Negara Islam Indonesia”.
15 Januari 1950
NII menyempurnakan angkatan perangnya guna menguasai beberapa wilayah untuk bergabung dengan negara buatan Kartosuwirjo. Pasukan ini diberi nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
8 Desember 1950
Komandan Divisi Siliwangi mengeluarkan Peraturan Panglima yang menggolongkan 16 organisasi terlarang di Jawa Barat yang masuk sebagai kategori gerombolan liar, salah satunya DI/TII.
14 Oktober 1958
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1958 yang isinya tentang penumpasan DI/TII. Salah satunya adalah rencana Kodam Siliwangi menerapkan taktik “Pagar Betis” yang melibatkan peran masyarakat secara luas.
Januari 1962
Kodam Siliwangi menjalankan Operasi Brata Yudha untuk memulihkan keamanan di Jawa Barat. Operasi ini bertujuan menemukan tempat persembunyian Kartosuwirjo.
4 Juni 1962
Kartosuwirjo pimpinan DI/TII dan proklamator NII ditangkap hidup-hidup oleh Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi pimpinan Letda Suhanda. Hal ini membuat pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah mulai teratasi setelah banyak yang menyerah.
DI/TII di Jawa Tengah
Januari 1950
TNI AD membentuk Gerakan Banteng Nasional dengan tujuan menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dan DI/TII di Jawa Barat.
Februari 1950
Komandan DI/TII daerah Bumiayu, Jawa Tengah, Wachid bersama 120 orang anak buahnya menyerah. Sedangkan Amir Fatah, pimpinan DI/TII Jawa Tengah, menyerah setelah melakukan pertemuan dengan perwakilan Kabinet Natsir.
30 Juli 1950
Pemerintah menumpas gerakan Angkatan Oemat Islam yang dipimpin Kyai Somalangu yang ingin membentuk NII di Jawa Tengah. Operasi ini berhasil setelah Kyai Somalangu beserta anak buahnya ditembak mati di daerah Kroya, Jawa Tengah.
1 April 1952
Operasi militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suadi Suromihardjo melakukan penyerangan dan pengepungan terhadap gerombolan Merapi-Merbabu Compleks yang merupakan simpatisan DI/TII Jawa Tengah.
9-11 Mei 1952
Satu batalion infanteri dan dua kompi pimpinan Letnan Kolonel A. Yani yang diberi nama pasukan Banteng Raiders, melakukan operasi di Markas Besar Semedo di tengah hutan daerah Tegal, Jawa Tengah, yang merupakan markas gerombolan DI/TII. Operasi ini berhasil membuat Jawa Tengah bersih dari teror DI/TII.
DI/TII di Aceh
23 September 1953
Gerakan DI/TII juga berkembang di Aceh, dipimpin oleh Tengku Moh. Daud Beureuh setelah menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII Kartosuwirjo.
21 September 1953
Pemberontakan DI/TII di asrama Brimob di Langsa, Aceh, dapat digagalkan setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Medan.
18 November 1953
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)/TNI mulai bergerak di bawah komando Kapten N.H. Sitorus untuk menumpas gerombolan DI/TII di Blangrakal, Aceh.
20 November 1953
Kesatuan-kesatuan APRI menuju Lapahan, Aceh untuk memerangi pemberontakan DI/TII. Operasi ini mendorong pemberontak melarikan diri.
29 November 1953
Pemberontakan di Aceh berakhir setelah APRI berhasil mengambil alih Kota Geumpang, Aceh. Kota ini merupakan kota terakhir yang dikuasai kelompok DI/TII.
8 Mei 1962
Pangdam Iskandar Muda Kolonel M. Yasin melakukan pendekatan terhadap Daud Beureuh, sehingga Aceh dapat kembali masuk dalam Negara Indonesia.
DI/TII di Sulawesi Selatan
Desember 1949
Kahar Muzakar mengajukan permintaan kepada Letnan Kolonel Mokoginta dari Komisi Militer agar Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) masuk ke dalam Divisi Hasanuddin. Kahar Muzakar sebagai Letnan Kolonel akan menjadi pemimpinnya, dan anggota-anggotanya diakui sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS)/TNI. Namun, rencana ini ditolak sehingga timbul kekecewaan dari KGSS.
1 Juli 1950
Kolonel Kawilarang dari kesatuan APRIS mengeluarkan dekrit yang mengatakan KGSS sebagai organisasi terlarang setelah Kahar Muzakar menyatakan bergabung dengan DI/TII.
6–18 Juni 1956
Angkatan perang melakukan Operasi Musafir yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Andi Mattalata untuk memberantas DI/TII yang berpusat di Awo Komplex.
1 Juni 1957
Angkatan perang membentuk Komando Daerah Sulawesi Selatan untuk memulihkan daerah ini dari pemberontakan DI/TII.
17 April 1958
Kahar Muzakkar bersama DI/TII menyatukan diri dengan PRRI/Permesta sehingga timbul banyak pemberontakan di daerah Sulawesi Selatan.
10 Januari 1959
Kahar Muzakkar mengerahkan pasukan DI/TII untuk menyerang Kota Malili sehingga dapat dikuasai selama tiga hari.
27 April 1959
Kodam Hasanuddin melancarkan Operasi 45 untuk mengatasi pemberontakan baik secara militer maupun penyadaran agar mereka kembali kepada pemerintahan RI yang sah.
Juli 1959
Operasi Penyadaran agar kembali ke pemerintahan Indonesia yang sah, dilaksanakan. Banyak anggota DI/TII yang meninggalkan kesatuannya dan menyatakan bergabung dengan Indonesia.
12 September 1959
Kodam Hasanuddin berhasil menangkap Bahar Mattaliu, orang kedua DI/TII Sulawesi Selatan. Banyak pengikutnya menyerah.
3 Februari 1965
Tempat persembunyian Kahar Muzakkar ditemukan oleh Peleton Peltu Umar Sumarna dari Batalyon Kujang. Kahar Muzakkar tertembak mati sehingga gerombolan DI/TII di Sulawesi Selatan dapat ditumpas.
DI/TII di Kalimantan Selatan
1949
Letnan Dua Ibnu Hajar yang menjabat sebagai Komandan Kompi Pengawal Garnisun/Basis Komando Banjarmasin, resmi diakui sebagai TNI karena kedudukannya dalam Perang Kemerdekaan di Kalimantan.
1950
Ketika Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS)/TNI dibentuk, sering terjadi bentrokan antara bekas KNIL dengan pasukan Ibnu Hajar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hal ini membuat Ibnu Hajar dipindahtugaskan sebagai hukuman. Ibnu Hajar yang kecewa melarikan diri ke hutan dan mendirikan organisasi Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT). Dia melancarkan propaganda untuk menciptakan sentimen negatif terhadap pemerintah pusat dalam rangka mencari dukungan.
25 Oktober 1954
Operasi besar-besaran di Pegunungan Barabai dan Amandit dilakukan karena organisasi KRYT telah banyak melakukan pemberontakan dan menindas masyarakat setempat.
3 Mei 1956
Letnan Kolonel Hasan Basry menyampaikan seruan pemerintah kepada para gerombolan KRYT untuk kembali kepada masyarakat. Seruan tersebut mendapatkan tanggapan positif dengan menyerahnya beberapa anggota KRYT.
Oktober 1956
Penyerahan diri gerombolan KRYT secara besar-besaran, termasuk Ibnu Hajar. Ia menyerukan kepada para anak buahnya untuk menyerahkan diri kepada pihak tentara.
2 Februari 1957
Ibnu Hajar yang sebelumnya menyerahkan diri kepada pemerintah, melarikan diri bersama 70 orang anak buahnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak memenuhi janji memberikan jaminan kepada anggota KRYT yang menyerah.
Agustus 1958
Ibnu Hajar berusaha mengadakan hubungan dengan Kahar Muzakkar dari DI/TII untuk memperkuat kedudukannya.
20 Oktober 1958
Operasi yang dilancarkan oleh TNI menyebabkan kedudukan Ibnu Hajar semakin terdesak. Untuk membangkitkan moral gerombolan, Ibnu Hajar mengubah nama KRYT menjadi DI/TII Divisi Lambung Mangkurat “Republik Islam Indonesia Kalimantan”.
23 November 1959
Posisi gerombolan DI/TII yang dipimpin Ibnu Hajar semakin terjepit akibat operasi TNI. Banyak dari anak buahnya yang ditangkap maupun menyerahkan diri.
1963
Ibnu Hajar menyerah setelah banyak anak buahnya ditangkap TNI. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati atas Ibnu Hajar.
Referensi
- Abdullah, Taufik & Lapian, A.B. (ed.). 2013. Indonesia dalam Arus Sejarah 6: Perang dan Revolusi. Jakarta: Kemendikbud.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Pusat Sejarah TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. Jakarta: TNI.
- Pusat Sejarah TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid III 1960-1965. Jakarta: TNI.
Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru