Kronologi | Hari Tani

Kebijakan Pangan dari Masa ke Masa

Sebagai negara agraris dengan wilayah yang relatif subur, pertanian menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, kesuburan alam tidak menjamin tercukupinya kebutuhan pangan. Beras sebagai makanan pokok masyarakat kerap menjadi persoalan. Sejak pemerintahan dibentuk, persoalan pangan menjadi masalah berkelanjutan. Kebijakan pangan pun terus dikeluarkan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Buruh mengaduk beras yang baru tiba di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta (10/2/2020). Badan Pusat Statistik mencatat produksi beras sepanjang tahun 2019 sebesar 31,31 juta ton; turun 7,75 persen dari produksi tahun sebelumnya yang mencapai 33,94 juta ton.

Kebijakan swasembada pangan sudah dicanangkan sejak era Presiden Soekarno. Saat itu orientasi kebijakan pangan pemerintah dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok, terutama beras. Kebijakan ini sesuai kondisi bangsa yang masih terpuruk.

Hingga 1970-an, pada era Presiden Soeharto, Indonesia merupakan pengimpor utama beras di pasar dunia. Setiap tahun rata-rata lebih dari 2 juta ton beras diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Swasembada beras tercapai pada tahun 1984 dengan produksi beras nasional 27 juta ton per tahun, di atas konsumsi dalam negeri sebesar 25 juta ton.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004, revitalisasi pertanian diperkuat dengan swasembada jagung dan palawija. Memasuki era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kebijakan pangan diprioritaskan pada swasembada padi, jagung, kedelai, dan gula.

1945


Program peningkatan produksi padi dicanangkan pemerintah. Program ini dilanjutkan pada tahun 1947 dan baru terlaksana pada tahun 1950 setelah situasi stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluhan pertanian. Program ini tidak berjalan karena keterbatasan dana. Pemerintah terpaksa mengimpor beras, dari 334.000 ton pada tahun 1950 menjadi 800.000 ton pada 1959.

1958


Pemerintah mencanangkan program intensifikasi dan pembukaan lahan yang dikenal dengan Padi Sentra untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Setahun kemudian, pada tahun 1959, pemerintah membentuk program yang dinamai Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM), untuk mewujudkan swasembada beras.

1961


Pemerintah membentuk Organisasi Pelaksana Swasembada Beras di Jawa Barat yang merupakan inovasi kelembagaan yang membangun rantai komunikasi antara pimpinan nasional, kepala desa, dan masyarakat. Pada saat itu, juga diluncurkan proyek Panca Usaha Lengkap yang dilaksanakan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) yang bekerja sama dengan Jawatan Pertanian Rakyat Karawang. Proyek ini berkembang menjadi Demonstrasi Massal yang selanjutnya menjadi Bimbingan Massal (Bimas).

1966


26 April 1966
Pemerintah membentuk Komando Logistik Nasional (Kolagnas) guna memperbaiki taraf hidup rakyat dengan jalan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, khususnya sandang dan pangan. Pada tanggal 12 Mei 1967, Kolagnas diganti menjadi Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan status lembaga pemerintah nondepartemen. Sejak saat itu, kewenangan pengelolaan bahan pokok terutama beras diserahkan kepada Bulog.

1968


11 Juli 1968
Pemerintah menerapkan program Bimbingan Massal Gotong Royong (Bimas GR) untuk meningkatkan produksi beras dengan memberi bantuan pupuk.

1969


1 Desember 1969
Program Bimas GR disempurnakan menjadi program Bimas Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keppres Nomor 95 Tahun 1969.

Tatang Sutiana sedang menjelaskan kisah perjuangan membangun sebuah Dem. Area (Areal percontohan) Kutagadok. Di sebelah kirinya, pakai peci adalah Abdulqoriem seorang kontak tani rekan seperjuangannya, sedang sebelah kanannya menenteng radio adalah Kepala Diperta Karawang, dan Nendar Sunardi (pakai topi) Pejabat Badan Pengendali Bimas sebagai pimpinan rombongan studitour. Di latar belakang adalah sawah Dem, area yang menghijau lebat. (KOMPAS/MJ KASIJANTO)

1971


3 September 1971
Pemerintah mencanangkan Program Diversifikasi Pertanian, yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan dan melepaskan ketergantungan penduduk pada padi, sehingga produksi padi diharapkan menjadi lebih stabil. Dalam tahun anggaran 1972/1973 dialokasikan sebanyak 175 unit produksi palawija yang mencakup area 3.450 ha.

1973


3 Juli 1973
Untuk mengantisipasi masalah krisis pangan akibat bencana kekeringan, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang di antaranya menyataka pembelian padi, gabah, dan beras oleh pemerintah untuk stok nasional dibatasi pada daerah-daerah pengadaan beras, yakni, Jatim, Jabar, Jateng, dan Sulawesi. Pemerintah juga menghapus larangan ekspor jagung dan ubi-ubian.

1974


28 Agustus 1974
Menteri Pertanian Toyib Handiwijaya menetapkan peningkatan luas area intensifikasi padi sawah untuk musim tanam 1974/1975 menjadi 3.408.000 dan dilaksanakan di 23 provinsi. Kebijakan ini dikeluarkan untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

1985


1 Agustus 1985
Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Tani (KUT), yang salah satu tujuannya untuk mempertahankan swasembada pangan. KUT adalah kebijakan kredit program yang dirancang untuk membantu petani yang belum mampu membiayai sendiri usaha taninya agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Dalam musim tanam 1985/1986, pemerintah menyalurkan Rp 80 miliar KUT.

Para petani di Bojonegoro, Jawa Timur, sedang menanami sawahnya, awal Januari 1986. Namun, sebagian besar petani Jawa Timur terlambat menerima Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai ganti kredit pola Bimas yang dihapus sejak 31 Oktober 1984. Akibatnya, banyak petani terjerat rentenir yang memberi pinjaman pupuk dengan pengembalian berupa gabah setelah panen. (KOMPAS/AR BUDIDARMA )

2000


11 Oktober 2000
Pemerintah meluncurkan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang menggabungkan seluruh kredit pertanian yang sebelumnya berupa KUT, Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) untuk unggas, tebu, dan nelayan, serta Kredit Koperasi Pengadaan Pangan. KKP berupa kredit modal kerja yang diberikan oleh bank pelaksana kepada petani, peternak, kelompok tani, dalam rangka pembiayaan intensifikasi tanaman pangan dan ternak. Dana yang disediakan sebesar Rp 2,1 triliun.

2002


31 Desember 2002
Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Inpres ini mencakup penetapan harga dasar pembelian gabah kering giling petani oleh Bulog sebesar Rp 1.725 per kg dan penetapan harga pembelian beras oleh Bulog sebesar Rp 2.790 per kg. Bulog juga menetapkan harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 1.230 per kg.

2003


24 Oktober 2003
Pemerintah mencanangkan tahun 2004 sebagai Tahun Padi Nasional. Pencanangan ini, berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menyukseskan program ketahanan pangan nasional.

30 November 2003
Perum Bulog menandatangani kontrak impor beras dari Thailand sebanyak 200.000 ton. Perum Bulog juga menyatakan akan tetap mengimpor beras pada bulan Januari dan Februari 2004. Alasannya, pengadaan dengan sistem imbal dagang itu untuk menjaga persediaan beras nasional, khususnya dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum 2004. Kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan petani, menyusul semakin terpuruknya harga gabah pada tahun 2003.

2004


11 Januari 2004
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi melarang sementara impor beras untuk menjaga kepentingan petani dan harga gabah di tingkat petani menjelang musim panen. Ketentuan mengenai pelarangan impor sementara beras itu ditetapkan dengan Surat Keputusan Menperindag Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras.

10 Juni 2004
Pemerintah memperpanjang larangan impor beras dari semula 1 Juli 2004 menjadi 1 Agustus 2004. Keputusan itu sebagai salah satu upaya melindungi harga gabah petani dalam negeri pada musim panen. Pemerintah juga menyediakan dana kredit ketahanan pangan (KKP) pada 2004 sebesar Rp 2,08 triliun. Dana itu dapat dipakai oleh semua petani di masing-masing daerah sesuai kebutuhan. KKP itu diberikan kepada petani yang tidak punya tunggakan kredit usaha tani (KUT). Dana tersebut bisa diterimakan melalui koperasi atau kelompok tani. Dana KKP itu akan mendapatkan subsidi delapan persen dari pemerintah. Bunganya akan dikurangi delapan persen dari suku bunga pasar.

2005


11 Juni 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). RPPK merupakan rancangan yang mengintegrasikan sektor industri dan jasa dengan pertanian. Harapannya, akan muncul agroindustri yang bisa mengolah hasil pertanian sehingga mempunyai nilai tambah. Selain itu, nilai komoditas nantinya tidak akan lagi bergantung pada fluktuasi persediaan.

22 Juni 2005
Pemerintah melarang impor beras dari bulan Juni hingga bulan Desember 2005. Larangan impor itu akan diberlakukan pemerintah karena stok beras secara nasional dinilai cukup, bahkan surplus hingga 4,23 juta ton beras. Meski demikian, larangan impor bisa dicabut pemerintah jika dua syaratnya terpenuhi, yakni, harga rata-rata beras medium di atas Rp 3.500 per kilogram dan cadangan beras yang ada di gudang Perusahaan Umum Bulog kurang dari satu juta ton. Keputusan melanjutkan pelarangan impor beras diambil setelah evaluasi terhadap kondisi stok nasional dan prediksi kekeringan berkepanjangan yang akan melanda sentra-sentra pertanian di Indonesia.

9 September 2005
Pemerintah mengizinkan Perum Bulog mengimpor beras sekitar 250.000 ton sampai akhir tahun 2005, bersamaan dengan digulirkannya secara terus-menerus program beras untuk rakyat miskin. Izin impor beras yang hanya diberikan kepada Bulog itu dimaksudkan untuk menjaga keamanan pangan nasional sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2005.

Beras impor dari Thailand tersedia di salah satu kios di Pasar Senen, Jakarta Pusat (13/9/2005). Harga beras dari Thailand tersebut lebih mahal daripada beras dalam negeri. harga beras tersebut Rp 8.000 per kilogram sedangkan harga beras jenis pandan wangi dari dalam negeri hanya Rp 4.500 per kilogramnya. Meskipun demikian, ada beras import yang lebih murah dari beras dalam negeri, yaitu beras Vietnam, hanya Rp 3000 per kilogram. Kios tersebut tidak berani menyetok beras tersebut karena kualitas beras Vietnam tidak bagus. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

 

2006


30 Maret 2006
Pengadaan pangan nasional masih jauh dari prognosa. Untuk panen Februari–Maret 2006, Bulog menetapkan prognosa pengadaan gabah masuk 450.000 ton. Akan tetapi, sampai 28 Maret 2006, setoran gabah dari mitra kerja Bulog baru 157.627 ton lebih gabah kering giling. Sejauh ini, Bulog belum menentukan langkah apa yang akan dilakukan apabila pengadaan gabah tetap seperti sekarang. Pemasukan gabah per 28 Maret 2006 akan semakin jauh apabila dibandingkan dengan prognosa pengadaan pangan nasional (dalam negeri) tahun 2006 yang berjumlah 2,1 juta ton.

1 September 2006
Pemerintah memutuskan akan mengimpor beras sebanyak 210.000 ton. Beras impor ini tidak akan dilempar ke pasar, melainkan digunakan untuk mengembalikan cadangan beras pemerintah di Badan Urusan Logistik atau Bulog ke tingkat persediaan yang aman sebesar 350.000 ton. Keputusan mengimpor beras tersebut didorong oleh anjloknya persediaan cadangan beras pemerintah akibat pasokan ke berbagai daerah yang dilanda bencana alam.

8 September 2006
Komisi IV DPR menolak tegas rencana pemerintah mengimpor beras. Sebagai gantinya, Komisi IV DPR mengusulkan dua solusi. Kedua solusi itu adalah mencabut Inpres No. 13/2005 tentang Harga Pembelian Pemerintah atau memberikan insentif harga kepada Bulog. Komisi IV DPR tidak akan mengizinkan Bulog menggunakan APBN-P 2006 untuk mengimpor beras, tetapi hanya untuk pembelian beras di dalam negeri saja.

27 November 2006
Pemerintah mengubah orientasi penyusunan kebijakan mengenai beras dari berbasis harga menjadi nonharga. Kebijakan nonharga difokuskan pada penjabaran langkah konkret untuk meningkatkan produktivitas padi tanpa menyinggung harga gabah atau beras yang sedang membaik. Kebijakan tersebut merupakan kelanjutan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 2005 soal Kebijakan Perberasan yang merinci soal harga gabah dan beras.

27 Desember 2006
Izin untuk mengimpor 500.000 ton beras selama periode Januari–Maret 2007 diterbitkan. Dari jumlah itu, 308.000 ton di antaranya akan masuk melalui tiga pelabuhan di Pulau Jawa. Sementara itu, 192.000 ton beras diimpor melalui 10 pelabuhan di Pulau Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Papua, dan Maluku serta ditargetkan tiba paling akhir 30 Maret 2007.

2007


14 Januari 2007
Pemerintah membuka keran impor benih padi hibrida untuk mencapai target kenaikan produksi beras nasional tahun 2007 sebanyak 2 juta ton. Volume benih padi hibrida impor dari China, India, dan Filipina bisa mencapai 1.000–1.200 ton.

16 Januari 2007
Areal tanam padi hibrida terkait program pengawalan diperluas dari 19.000 hektar menjadi 50.000 hektar. Dengan penambahan ini, total luasan lahan padi hibrida bisa di atas 100.000 hektar atau diharapkan bisa menyumbang 20 persen dari target kenaikan produksi beras 2 juta ton tahun 2007.

18 April 2007
Pemerintah menerbitkan surat edaran bersama atau SEB antara Menteri Pertanian, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengenai metode pemilihan dan penunjukan langsung pengadaan benih bagi petani. SEB itu dikeluarkan karena munculnya kekhawatiran para pejabat daerah dalam pengadaan benih melalui mekanisme penunjukan langsung.

Pekerja lahan mengawinkan galur jenis BR (jantan) dan A-25 (betina) di lahan produksi benih hibrida Balai Besar Penelitian Padi di Subang, Jawa Barat (19/6/2007). Pengawinan dengan alat peniup tepung sari tersebut dilakukan untuk menghasilkan benih hibrida unggulan. (KOMPAS/RIZA FATHONI)

2008


2 Februari 2008
Pemerintah menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp 13,7 triliun untuk menstabilisasi harga bahan pokok pangan. Untuk subsidi pangan, pemerintah mengeluarkan Rp 3,6 triliun, yakni, penambahan subsidi beras bagi rakyat miskin Rp 2,6 triliun; melanjutkan operasi pasar minyak goreng Rp 0,5 triliun; serta bantuan langsung bagi perajin tempe dan tahu Rp 0,5 triliun.

14 Februari 2008
Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar menginstruksikan jajaran divisi regional dan subdivre Bulog untuk membeli gabah dan beras petani yang harganya di bawah harga pembelian pemerintah atau HPP tahun 2007 sesuai Inpres Nomor 3 Tahun 2007.

2 Maret 2008
Departemen Pertanian menyusun kerangka kebijakan untuk mendorong investasi seluas-luasnya pada subsektor tanaman pangan, yang selama ini menjadi basis usaha petani kecil. Selain mendongkrak produksi, juga memanfaatkan momentum gejolak pangan dunia agar bisa menjadi eksportir.

11 April 2008
Pemerintah menetapkan, izin ekspor diberikan kepada Bulog bila stok beras pemerintah lebih dari dua juta ton. Perizinan dibagi dua, yaitu izin ekspor beras khusus, seperti beras organik, hanya dapat dilakukan jika ada rekomendasi Departemen Pertanian (Deptan). Adapun untuk beras umum atau beras yang bisa dikonsumsi secara massal, izin ekspor diberikan jika ada rekomendasi Deptan dan Tim Stabilisasi Harga.

22 April 2008
Berlakunya harga pembelian pemerintah sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2008 untuk harga beras sebesar Rp 4.300 per kilogram menyebabkan petani harus menanggung ongkos karung sebesar Rp 90 per buah. Pada harga pembelian lama, tanpa biaya karung karena gratis disediakan Bulog.

11 November 2008
Pemerintah menambah alokasi pupuk urea bersubsidi untuk musim tanam rendeng, atau musim hujan, November–Desember 2009 sebanyak 200.000 ton. Penambahan pupuk urea itu untuk menutupi kekurangan kebutuhan pupuk urea di 20 provinsi, antara lain, untuk Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, dan Sulawesi Selatan. Dengan adanya tambahan urea 200.000 ton, total alokasi pupuk urea bersubsidi tahun 2008 menjadi 4,5 juta ton.

2009


18 Maret 2009
Pemerintah membuka kesempatan bagi swasta untuk mengekspor beras. Keputusan ini untuk menyeimbangkan perdagangan komoditas beras dalam hubungan dengan negara produsen beras lain. Selama ini, Indonesia mengimpor beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri sebesar 12.000 ton per tahun. Untuk menyeimbangkan neraca perdagangan, Indonesia mengekspor beras sebanyak 100.000 ton tahun ini. Jenis beras yang diekspor hanya terbatas pada beras premium, termasuk beras unggul, beras lokal dan daerah, dan beras bersertifikat. Pemerintah juga hanya memperkenankan ekspor beras dari tiga pelabuhan untuk memaksimalkan pengawasan, yakni pelabuhan di Jakarta, Surabaya, dan Makassar.

25 April 2009
Pemerintah Indonesia memperpanjang kesepakatan impor beras dengan Vietnam hingga tahun 2012. Kesepakatan yang tertuang dalam nota kesepahaman antarpemerintah kedua negara ini mewajibkan Vietnam mencadangkan beras 1 juta ton untuk Indonesia. Kesepakatan efektif berlaku 1 Januari 2010 – 31 Desember 2012.

6 Juni 2009
Pemerintah menetapkan kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan sebagai dasar pemantapan ketahanan pangan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pelestarian sumber daya alam. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009.

2010


27 Februari 2010
Pemerintah menargetkan, hingga tahun 2014 tercapai swasembada lima komoditas pangan meliputi beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi. Untuk mencapai target itu, dilakukan revitalisasi fungsi koordinasi, perencanaan, dan implementasi kebijakan pangan Dewan Ketahanan Pangan Nasional.

7 Juni 2010
Kementerian Pertanian mewajibkan semua petani di seluruh Indonesia mendaftarkan usaha taninya kepada bupati/wali kota apabila mereka mau menanam komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau, dan sorgum. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 39 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.

2011


14 Maret 2011
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengembangkan dan mengupayakan budidaya produk pertanian hasil rekayasa genetika. Keputusan itu diambil untuk menjaga keamanan pangan dan mengurangi ketergantungan negara akan impor.

Kehadiran padi transgenik memberi harapan baru dalam meningkatkan produksi padi (13/7/1996). Teknologi pemuliaan konvensional saja mungkin sulit meningkatkan produksi padi yang bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. (KOMPAS/KARTONO RYADI)

15 Mei 2011
Pemerintah melalui perusahaan badan usaha milik negara memutuskan menyewa sawah milik petani untuk ditanami padi. Kebijakan terobosan ini dilakukan dalam rangka membantu Perum Bulog mendapatkan beras produksi dalam negeri untuk cadangan nasional.

2014


5 November 2014
Presiden Joko Widodo menargetkan swasembada pangan, terutama beras, jagung, dan kedelai, terwujud dalam kurun waktu tiga tahun. Peningkatan produksi akan digenjot sehingga dalam dua tahun impor komoditas tersebut, khususnya beras, bisa dihentikan. Untuk mewujudkan target ini, pemerintah akan membangun 25–30 waduk dalam kurun waktu lima tahun.

2015


17 Maret 2015
Pemerintah mengumumkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 menggantikan Inpres No. 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres perberasan itu antara lain memuat tentang kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras.

2018


24 September 2018
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan penggunaan tanah.

Referensi

Buku

Penulis
Rendra Sanjaya
Editor
Inggra Parandaru