Paparan Topik | Transportasi

Kebijakan Mobil Nasional dari Era Soeharto hingga Era Jokowi

Sudah lebih dari setengah abad bangsa Indonesia mengupayakan lahirnya mobil nasional yang dapat diproduksi massal dan menjadi simbol otomotif di tanah air. Berbagai inovasi dan perkembangan teknologi pun mewarnai usaha-usaha mencapai tujuan tersebut.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mobil listrik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Ezzy I dan Ezzy II dipamerkan di FX Plaza Sudirman, Jakarta, Selasa (29/4/2014). Kedua mobil listrik yang diproyeksikan menjadi mobil nasional tersebut akan menjalani tur dari Jakarta menuju Surabaya melalui Bandung dan Yogyakarta pada 2-6 Mei 2014.

Fakta Singkat

  • Mobil nasional kandungan komponen dalam negeri mencapai 80 persen.
  • Upaya melahirkan mobil nasional telah dimulai sejak dekade 1970-an.
  • Wujud mobil nasional pertama yang lahir adalah mobil Morina, Sena, dan Kijang.
  • Pada dekade 1990-an, juga lahir tiga wujud mobil nasional, yakni Maleo, Timor, dan Bimantara.
  • Menjelang akhir dekade 2000, lahir Esemka yang kemudian bertumbuh hingga sekarang sebagai salah satu cikal bakal mobil nasional. Mobil Esemka pertama adalah Kiat, yang diluncurkan pada 2010.
  • Pada 2019, Esemka meluncurkan mobil Bima varian 1.2 dan 1.3
  • Sejak memasuki dekade 2010-an, pemerintah Indonesia dan pihak swasta mulai aktif memasukkan wacana mobil nasional dalam koridor sumber energi listrik.
  • Salah satu perwujudan awal dari upaya pembangunan mobil listrik nasional adalah proyek Molina yang dijalankan oleh konsorsium lima perguruan tinggi negeri nasional.

Sejak dirintis lebih dari 40 tahun lalu, produk otomotif karya anak bangsa tak kunjung berjalan mulus. Belum ada satu produk otomotif pun yang diakui sebagai mobil nasional secara umum oleh masyarakat dan mampu mencapai produksi secara massal. Padahal, tak sedikit upaya berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, untuk mewujudkan hadirnya mobil nasional Indonesia.

Hingga saat ini, sudah lebih dari 15 calon mobil nasional pernah diluncurkan. Upaya menghadirkan produk berskala nasional itu dirintis mulai dari rancang bangun, produksi yang dilakukan putra bangsa, hingga produk yang diimpor lalu diberi nama yang sangat Indonesia. Namun, beragam upaya memproduksi massal mobil nasional tersebut belum bisa dikatakan sukses, kendati industri otomotif nasional didukung potensi sumber daya dan pasar yang besar.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mobil listrik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ezzy I dan Ezzy II, dipamerkan di FX Plaza Sudirman, Jakarta, Selasa (29/4/2014).  Mobil listrik tersebut diproyeksikan menjadi mobil nasional. Hilirisasi hasil riset agar bisa digunakan untuk industri diharapkan bisa tercapai seiring penyatuan Kementerian Riset dan Teknologi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam Kabinet Kerja.

Kriteria Mobil Nasional

Konteks pemahaman akan mobil nasional jelas berbeda dengan industri mobil di Indonesia secara keseluruhan. Merk otomotif asing kerap mengirimkan bahan baku mobil mereka, untuk kemudian dirakit dan disesuaikan kembali bagi pasar tanah air. Proses pembangunan tersebut, meski dilaksanakan dalam lingkup spasial Indonesia, tidak selalu memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai mobil nasional.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah mobil diartikan sebagai kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih. Sementara, istilah “nasional” dipahami sebagai suatu sifat kebangsaan, yang berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri dan meliputi suatu bangsa tertentu secara spesifik. Dalam konteks ini, mobil nasional dapat dimaknai sebagai produksi mobil yang secara otentik berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Dengan kata lain, “mobil nasional” adalah hasil karya anak bangsa sendiri dan oleh karenanya menjadi simbol otomotif yang identik bagi Indonesia sendiri.

Terdapat empat kriteria bagi konsep mobil nasional. Kriteria ini menjadi indikator objektif untuk mengukur bagaimana suatu alat otomotif telah layak untuk disebut sebagai mobil nasional. Kriterianya adalah:

  1. Sebanyak 80 persen komponen untuk membuat kendaraan bermotor adalah komponen yang diproduksi di dalam negeri. Meski begitu, pada kelanjutannya, besaran angka ini tidak lagi menjadi acuan pokok.
  2. Keseluruhan rancangan mobil tersebut dibuat oleh warga negara sendiri (desain tidak diperhitungkan, kecuali perancangan struktur pembentuk desainnya).
  3. Produsen atau pemilik perakitan dan perancangan mobil tersebut adalah warga negara lokal (domestik).
  4. Menggunakan merek yang diciptakan sendiri dan belum pernah didaftarkan oleh pihak lain di Indonesia dan dimiliki oleh perusahaan atau warga negara Indonesia.
KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto hari Selasa (4/12/1990) menerima lima mobil Mazda MR (Mobil Rakyat)-90 dari pimpinan nasional Motor Co., yang akan disalurkan kepada yayasan-yayasan sosial yang dipimpin Kepala Negara. Penyerahan dilakukan Komisaris Nasional Motor Co., Hasjim Ning, yang didampingi Presiden Mazda Motor Corp, N. Furuta dan Presdir Nasional Motor Soebronto Laras di Bina Graha. Kepala Negara sedang mencoba salah satu MR-90, yang harganya Rp 20 juta on the road (dalam keadaan standar), dan 74 persen komponennya dibuat dalam negeri. Menurut Presiden, kalau memang benar mobil ini mobil rakyat, penurunan kendala dalam bentuk bea masuk dan pajak itu dapat dipertimbangkan.

Sejarah Mobil Nasional

Berbagai daya dan upaya telah dilakukan untuk melahirkan mobil nasional. Upaya tersebut menyangkut berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Catatan historis otomotif Tanah Air menunjukkan bahwa upaya melahirkan tersebut telah tercatat sejak lebih dari setengah abad yang lalu.

Era 1970-an

Awal keinginan memiliki mobil nasional, yaitu mobil murah buatan negeri sendiri, sebenarnya sudah mulai diupayakan dalam periode waktu tahun 1971 hingga 1976. Upaya perdana ini mampu melahirkan cikal bakal mobil nasional, meski perwujudannya masih terbilang sederhana dengan sejumlah komponen mesin utamanya juga bukan buatan lokal.

Terdapat tiga wujud mobil nasional yang mampu dibangun, yakni Morina (Mobil Rakyat Indonesia), Sena, dan Kijang yang pada waktu itu sudah boleh dikatakan cukup tangguh untuk pekerjaan-pekerjaan berat dan diubah untuk berbagai keperluan. “Tiga pendekar” mobil nasional yang penampilannya mirip “kotak sabun”, boleh pula dikatakan sebagai basic vehicle itu masih jauh dari kenyamanan berkendara.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan ketiga cikal bakal mobil nasional itu ternyata tidak semulus yang diperkirakan. Mobil Sena dan Morina tidak populer dan mengalami nasib buruk. Hanya Kijang yang mampu bertahan, meskipun ia sendiri sempat terseok-seok.

Pada tahun 1974, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan impor kendaraan utuh (completely built-up) dengan tujuan membangun industri otomotif dalam negeri. Hanya agen tunggal pemegang merek yang pada waktu itu berfungsi sebagai pabrik perakitan yang diizinkan mengimpor kendaraan dalam bentuk completely knocked-down (CKD) atau rakitan.

Pada tahun 1975, usaha pemerintah untuk melahirkan mobil nasional menunjukkan kemajuan. Toyota Kijang sempat dianggap sebagai ikon otomotif nasional. Meskipun berasal dari Jepang, pembuatan dan perakitan mobil ini seluruhnya dilakukan di Indonesia. Produksi pertama dibuat dalam dua jenis, yaitu jenis kendaraan niaga dan jenis kendaraan keluarga. Kijang pun direncanakan menjadi mobil resmi pemerintahan di tingkat pusat hingga daerah.

Setahun setelahnya, mobil Morina kembali muncul ke pasar. Kali ini, Morina terdiri atas nilai kandungan lokal 60 persen. Namun, kehadirannya hanya bertahan sekitar lima tahun dan akhirnya berhenti berproduksi.

Pada 1978, juga muncul Datsun Sena. Hampir separuh dari komponen kendaraan komersil ini dibuat di dalam negeri. Namun, layaknya para pandahulunya, perkembangan Sena pun tidak sesuai yang diharapkan.

KOMPAS/CHRYS KELANA

Prototype dari Datsun Sena (30/08/1978).

Era 1980-an

Dengan berbagai kebijakan yang digagas pemerintah, era tahun 1970-an dapat dikatakan sebagai awal perkembangan mobil nasional. Namun memasuki dekade 1980, pasar nasional secara tiba-tiba terbanting. Bahkan sejak dasawarsa tersebut, praktis tidak ada perkembangan yang berarti.

Kebijakan industri otomotif Indonesia yang umumnya didominasi produsen Jepang hanya berorientasi keuntungan dan penguasaan pasar. Tidak sedikit dari aktor produsen ini yang memiliki komitmen nyata untuk membangun industri otomotif nasional.

Era 1990-an

Menyerupai dekade 1970-an, era 1990-an ditandai dengan kehadiran tiga mobil nasional Indonesia, yakni Maleo, Timor, dan Bimantara. Meskipun pada akhirnya masing-masing tidak bertahan, namun kehadirannya berharga bagi industri mobil nasional.

Maleo

Kehadiran mobil ini dimulai pada tahun 1993. Waktu itu, pemerintah berkeinginan memiliki mobil nasional dalam artian suatu rancangan mobil yang dikembangkan dan diproduksi oleh rakyat Indonesia. Keinginan itu kemudian dirumuskan oleh suatu tim, dan selanjutnya diwadahi dalam Proyek Maleo.

Sebagai salah satu perusahaan yang memiliki sumber daya dalam bidang perancangan, saat itu, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), sekarang PT Dirgantara Indonesia (DI), ikut terlibat dalam perancangan mobil Maleo.

Pada 1996, Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie ikut terlibat langsung dalam Proyek Maleo. Ia membuat desain pertama mobil nasional tersebut. Proses perancangan maupun pembuatannya, termasuk uji coba, dilakukan di Indonesia dan finishing di Australia. Sedan berkapasitas 1200–1300 cc tersebut direncanakan menggunakan komponen lokal di atas 80 persen sehingga memenuhi kriteria mobil nasional.

Meski begitu, akhirnya rencana produksi massal Maleo urung dilaksanakan. Pemerintah memilih agar dana untuk proyek mobil ini dialihkan untuk membiayai proyek mobil nasional lainnya, yakni Timor.

Timor

Kehadiran mobil ini dimulai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. Kebijakan itu membuat sejumlah perusahaan besar berlomba membuat proyek mobil nasional, seperti grup Bakrie, IPTN, PT Timor Putra Nasional, dan PT Bimantara.

Pada Juni 1996, Pemerintah memperkuat posisi Timor sebagai cikal bakal mobil nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 42 yang mengizinkan PT Timor Putra Nasional mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk.

Setahun setelahnya, anak dari Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, mengakuisisi Divisi Produksi KIA (Sephia) melalui PT Timor Putra Nasional untuk dijadikan mobil sedan Timor. Mobil Timor merupakan sedan pertama berteknologi injeksi, diluncurkan dengan beberapa varian seperti kelas 1300 cc dan kelas 1500 cc.

Hadirnya mobil Timor menimbulkan kontroversi dan banyak tekanan dari luar negeri, termasuk oleh pihak World Trade Organization (WTO). Alasan utama kontroversi adalah hubungan dekatnya produk ini dengan Soeharto. Seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, maka hilang pula seluruh rencana besar pembangunan mobil nasional.

Bimantara

Selain Timor, rupanya ada merek mobil lain yang diproyeksikan menjadi mobil nasional. Pada tahun 1995–1996, di bawah naungan PT Citramobil Nasional milik Bambang Trihatmodjo, berhasil diluncurkan sejumlah seri mobil sedan dan truk angkutan. Salah satu serinya adalah Bimantara Cakra, mobil seri sedan yang diluncurkan pada tahun 1995-1997 dengan melakukan rebranding dari seri Hyundai Accent generasi pertama.

Selain itu, Bambang sendiri juga sudah menyiapkan langkah untuk memproduksi generasi kedua Bimantara yang keseluruhannya dibuat dengan komponen lokal di atas 80 persen. Kehadiran Bimantara ini sendiri untuk menyaingi mobil Timor dan PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto. Namun, proyek ini akhirnya harus terhenti karena krisis moneter.

KOMPAS/BANU ASTONO

Mobil sedan Timor 1.500 cc DOHC injection, pada acara peluncuran hari Jumat , 11 April 1997 di Jakarta.

Era 2000-an

Memasuki era tahun 2000-an, upaya memproduksi kendaraan secara mandiri muncul kembali. Inisiatif rintisan mobil nasional lebih banyak dilakukan kalangan swasta dan masyarakat. Beberapa rintisan mobil nasional ini mengklaim diri mengadopsi setidaknya 60 persen komponen yang diproduksi di dalam negeri.

Sejak tahun 2002, beberapa mobil karya anak bangsa bermunculan, baik yang masih berupa prototipe maupun yang sudah diuji coba, seperti Gea, Arina, Tawon, Komodo, Esemka Dikdaya, Kiat Esemka (Esemka Rajawali), dan beberapa mobil listrik.

Kehadiran mobil karya pelajar SMK dari Solo, Jawa Tengah, dengan merek Kiat Esemka (Esemka Rajawali) pada tahun 2010, menjadi titik terang lahirnya kembali mobil nasional. Jika lolos dalam uji emisi, mobil tersebut berhak mendapatkan sertifikat uji tipe yang diterbitkan Kementerian Perhubungan.

Selanjutnya, sertifikat itu menjadi dasar untuk memproduksinya secara massal. Namun mobil yang sempat menjadi kendaraan dinas Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo, perkembangannya masih mengalami kendala.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sukiyat, Pelopor Mobil Kiat Esemka (27/1/2012)

Pasca-2010

Dekade waktu ini diawali dengan situasi yang baik terhadap pasar otomotif nasional. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukkan, sejak 2007 hingga 2011, penjualan mobil di Indonesia tumbuh sekitar 26 persen. Selama 2011 saja, 837.948 unit mobil telah diproduksi di Indonesia melalui Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) asing yang ada.

Lebih lanjut, total ekspor dalam bentuk utuh/completely built-up pada tahun yang sama mencapai 107.932 unit, berbeda dengan nilai impornya yang hanya 76.173 unit. Ini menunjukkan bahwa industri dan pasar otomotif di nusantara sedang pada masa jaya-jayanya.

Kehadiran mobil Kiat Esemka yang telah memasuki generasi produksi ketiganya pada 2012. Wali kota Solo pada masa itu, Joko Widodo, bahkan menggunakan mobil tersebut sebagai mobil dinasnya. Mobil dengan klasifikasi sport utility vehicle (SUV) tersebut lantas dipatenkan secara resmi pada 1 Mei 2013. Meski begitu, setelah sempat bermasalah dengan emisi yang dikeluarkan, pasca tahun 2013 nama Kiat Esemka berangsur-angsur menghilang.

Pada 2012 tersebut, Kiat Esemka tidak sendirian. Berbagai upaya desain dan rekayasa otomotif turut dilakukan oleh berbagai pihak dalam negeri. Embrio mobil karya anak bangsa tersebut seperti Komodo (PT Fin Komodo), Tawon (PT Sumber Gasindo Jaya), GEA (PT Inka), Arina (UNS, Semarang), Mobira (PT Sarimas Ahmadi Pratama), dan Mahator (PT Maha Era Motor).

Selain itu, berita baik juga datang dari Boyolali, Jawa Tengah. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo datang langsung untuk meresmikan pabrik mobil PT Solo Manufaktur Kreasi atau biasa dikenal sebagai Esemka. Peresmian pabrik tersebut juga dibarengi dengan peluncuran produk buatan Esemka, yakni mobil Bima 1.2 (1.200 cc) dan Bima 1.3 (1.300 cc).

Kandungan lokal dari mobil Bima sendiri mencapai 62 persen. Mobil Bima berbadan pick-up ini memiliki tujuan fungsionalitas sebagai mobil niaga. Dalam produksi massal pertamanya, Esemka menargetkan produksi hingga 3.000 unit. Masing-masing varian mobil Bima menggunakan bahan bakar minyak standar.

Pada momen yang bersamaan, Esemka juga memperkenalkan varian mobil Garuda. Berbeda dengan Bima, Garuda 1 diklasifikasikan sebagai mobil SUV. Mobil ini dilengkapi dengan mesin berkapasitas 2.000 cc dan ground clearance yang tinggi. Tenaga Garuda 1 bersumber pembakaran diesel.

Hingga kini, kehadiran Bima oleh Esemka dapat dikatakan yang paling berhasil dibandingkan mobil-mobil nasional lain yang pernah ada. Dengan banderol sebesar Rp 125 juta, mobil ini telah diproduksi dan dipasarkan sejak peluncurannya pada 2019. Meski terkesan senyap, pasar mobil Bima telah mencakup wilayah Jawa dan Sumatera, di mana hingga Februari 2021 jumlah unit terjual mencapai 300 unit.

Sementara untuk mobil Garuda 1 sendiri hingga kini belum sampai pada tahap produksi. Humas Esemka, Sabar Budi menjelaskan bahwa juga belum ada rencana untuk melakukan produksi lebih lanjut. Alasan utama yang disampaikan adalah pandemi Covid-19 yang menganggu operasional di pabrik perakitan sekaligus penjualan. “Belum tahu (kapan produksi), karena kondisi pandemi produksi dihentikan,” ucap Sabar.

KOMPAS/SRI REJEKI

Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo menerima mobil jenis sport utility vehicle (SUV) produksi siswa sekolah menengah kejuruan di Kota Solo, bekerja sama dengan Kiat Motor, Klaten, Senin (2/1/2012). Mobil itu akan digunakan sebagai mobil dinas Wali Kota dan Wakil Walikota.

Industri Mobil Nasional Berbasis Listrik

Pada dekade kedua abad-21, tampak model inovasi mobil nasional yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Ihwal listrik sebagai sumber energi terbarukan kian mendapatkan perhatian.

Produksi mobil nasional tak lagi semata perihal jadi, namun juga menyangkut soal akomodasi teknologi listrik. Hal ini selaras dengan tren global yang mengadopsi berbagai sumber energi terbarukan sebagai bentuk respon naiknya harga minyak dan pemanasan global.

Sebagai perwujudan dari hal tersebut, pada 2012 pemerintah mendorong jenis mobil listrik sebagai mobil nasional. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi menargetkan bisa memproduksi mobil listrik sampai 10.000 unit pada tahun 2014. Target yang akhirnya tidak tercapai itu disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta.

Optimisme terhadap industri mobil listrik dengan identitas nasional juga disampaikan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan pada Juli 2012. Ia yakin bahwa mobil listrik Indonesia bisa mengalahkan mobil listrik produksi Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. ”Kita baru mulai, Jepang dan negara lain juga baru mulai,” katanya.

Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan ditetapkannya program mobil hemat energi dan harga terjangkau. Ke depannya, program tersebut akan menjadi fondasi bagi struktur industri komponen otomotif nasional. Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Budhi Dharmadi menyampaikan bahwa program ini akan meningkatkan kemandirian nasional dan bersaing dengan produk mobil impor sejenis.

Salah satu wujud berkembangkan inovasi mobil listrik nasional adalah lewat proyek Mobil Listrik Nasional atau dikenal sebagai Molina. Kehadiran proyek mobil listrik ini terus dikembangkan, dimana proyeknya sendiri telah dimulai sejak tahun 2012.

Pengembangan Molina merupakan hasil konsorsium dari lima perguruan tinggi negeri nasional, yakni Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Teknologi Bandung di Jawa Barat, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Universitas Sebelas Maret di Jawa Tengah, dan Institut Tenologi Sepuluh November (ITS) di Jawa Timur.

Konsorsium ini sendiri dibentuk oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendorong pembangunan mobil listrik nasional secara efektif dan produktif. Masing-masing perguruan tinggi dinilai memiliki keunggulan dalam proyek otomotif terkait. Meski belum memberikan hasil nyata secara kolektif, namun masing-masing perguruan tinggi tampak telah menunjukkan kemajuan dalam pembangunan Molina oleh tim internalnya.

Pada pertengahan tahun 2019, berita baik juga datang dari ITS. Lembaga pendidikan tinggi ini, melalui para insinyurnya, berhasil meluncurkan mobil sport dengan sumber energi listrik. Mobil tersebut dinamai “Lowo Ireng Reborn”.

Peluncuran sekaligus pengujiannya dilakukan dalam kegiatan Jambore Kendaraan Listrik Nasional, pada 28 Agustus 2019 — 3 September 2019. Kehadiran Lowo Ireng Reborn menjadi perwujudan industri mobil listrik yang mulai bernafas di tanah air.

“Kami ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa ada riset mobil listrik yang sudah ada hasilnya. Ada kendaraan listrik buatan dalam negeri,” kata Direktur Pusat Unggulan Iptek–Sistem dan Kontrol Otomotif ITS, Muhammad Nur Yuniarto. Nur juga menyampaikan bahwa riset akan mobil listrik di Indonesia sudah sangat berkembang. Meski begitu, setelah peluncurannya pada 2019, nama Lowo Ireng tidak lagi terdengar.

Usaha untuk mengisi industri mobil dengan energi terbarukan secara nyata turut dihidupkan oleh pemerintah. Setahun setelah peluncuran Lowo Ireng dan dua varian mobil Esemka, pemerintah Indonesia menetapkan target agar 20 persen produksi otomotif nasional sudah berbasis kendaraan emisi karbon rendah. Target tersebut ditetapkan terwujud pada 2025.

Kendaraan beremisi karbon rendah meliputi mobil listrik berbasis baterai, hibrida, dan plug in hybrid atau baterainya dapat diisi ulang menggunakan sumber daya listrik eksternal. Pengembangan kendaraan listrik ini ada di dalam peta jalan industri otomotif. Peta jalan tersebut sudah selesai disusun pemerintah. Komitmen pemerintah untuk mendorong pengembangan riset kendaraan listrik juga telah diwujudkan melalui Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) Tahun 2017–2045.

Setelah mobil Bima terinisiasi, Esemka pun berencana untuk membawa langkah mobil nasional menuju industri inovatif mobil listrik. Rencana ini akan dilangsungkan pada pagelaran Indonesia International Motor Show di Jakarta pada `pertengahan Februari 2023 mendatang. Rencananya, mobil listrik yang dihadirkan Esemka akan memiliki basis dari Neta V, sebuah mobil listrik yang diproduksi di Thailand.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Produk mobil listrik turut meramaikan sejumlah stan dalam pameran otomotif Indonesia International Motor Show (IIMS) Hybrid di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (15/4/2021). Pameran yang dibuka oleh Presiden Jokowi secara virtual karena masih dalam masa pandemi. Pameran berkonsep hybrid yang tersebut berlangsung hingga 25 April 2021 yang dapat dikunjungi baik secara daring maupun luring.

Ragam Proyek Mobil Nasional

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, embrio mobil nasional silih berganti dalam catatan sejarah otomotif Indonesia. Berbagai upaya tersebut, meski mampu memberikan kelahiran, namun begitu berat untuk mencapai tahap pengembangan. Akhirnya, kehadiran prototipe maupun wujud mobil jadi buatan anak bangsa tersebut gagal mencapai pasar.

Berikut rangkuman nama-nama mobil nasional, termasuk detail kehadirannya masing-masing, yang mayoritas hanya bertahan dalam periode waktu yang singkat.

Perjalanan Industri Mobil Nasional (Mobnas)

Tahun Dirintis Nama Produsen Keterangan
1976 Morina PT Garmak Motor Mobil pikap yang diproduksi dan dipamerkan dalam Pekan Raya Jakarta. Sejumlah komponen seperti bodi, sasis, aki, dan ban sudah dibuat di dalam negeri.
1978 Sena PT Indokaya Nissan Motors Kendaraan komersil yang separuh komponennya dibuat di dalam negeri. Perakitan dilakukan oleh PT Zastam Motors.
1993 Maleo PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Kandungan lokal ditargetkan 60-70 persen. Semula prototipe mobil ini akan diluncurkan tahun 1997, namun terhenti akibat krisis moneter.
1994 Beta 97 PT Bakrie Motor Diperkirakan mampu memiliki kandungan lokal hingga 60 persen. Kelanjutan pengembangan dan produksi juga terganjal krisis moneter.
1996 Timor PT Timor Putra Nusantara Ditargetkan memenuhi kandungan lokal 60 persen selama tiga tahun, mendapatkan izin impor utuh dari KIA Motors (Korea Selatan).
1996 Bimantara PT Bimantara Mobil Timor Menggandeng Hyundai (Korea), kemunculannya bersamaan dengan Timor, dengan nama produk Bimantara Cakra.
1998 Perkasa PT Wahana Perkasa Autojaya Memiliki kandungan lokal sedikitnya 90 persen. Sempat dipakai oleh TNI, Polri, serta sejumlah kecil perusahaan jasa transportasi, namun terhenti akibat krisis.
1998 Marlip Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Merupakan mobil listrik dengan target kandungan lokal mencapai 70 persen. Pengembangannya dicanangkan hingga 2010, sumber energinya akan disempurnakan tahun 2014.
1999 Kancil PT Karunia Abadi Niaga Citra Indah Lestari Lulus uji kelayakan dari Kementerian Perhubungan. Sempat diproduksi lebih kurang 125 unit. Produksi mobil Kancil awalnya bertujuan menggantikan bajaj di Jakarta.
2002 Gea PT Industri Kereta Api (INKA) Lulus uji kelayakan dari Kementerian Perhubungan. Mobil berbahan bakar gas ini sudah pernah diuji coba tiga bulan, menempuh jarak 10.000 kilometer di Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, dan Magetan, Jawa Timur.
2006 Arina Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Memiliki kandungan lokal sedikitnya 90 persen. Mulai diperkenalkan secara luas pada tahun 2010.
2007 Tawon PT Super Gasindo Jaya Lulus uji kelayakan dari Kementerian Perhubungan. Diperkirakan memeiliki kandungan lokal 90 persen dan akan diproduksi tahun 2011.
2009 Komodo PT Fin Komodo Teknologi Sebuah mobil offroad Indonesia yang menakjubkan. Mobil ini dapat melintasi hutan sejauh 100 kilometer selama 6-7 jam hanya dengan bahan bakar lima liter. Perlengkapan lainnya di antaranya fitur self-recovery sehingga anti-terguling. Begitu terguling mobil ini akan kembali ke posisi yang stabil. Komodo adalah kendaraan segala medan .
2009 Esemka Digdaya SMK Negeri 1 Singosari, Malang, Jawa Timur Mengandung komponen lokal 60 persen.
2010 Kiat Esemka SMK Negeri 2 Surakarta dan SMK Warga Solo Kandungan komponen lokal 80 persen. Sempat diuji coba di jalan raya oleh Wali Kota Solo, Joko Widodo. Sudah menjalani uji emisi dan kelayakan bahkan memperoleh sertifikat paten, namun akhirnya meredup.
2012 Mobil Listrik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)  dan LIPI Hasil kerjasama dua instansi pemerintah
2014 Sinosi Universitas Negeri Jember Hasil karya mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Jember
2014 Tucuxi, Selo, dan Gendhis Ricky Elson Mobil listrik buatan Ricky Elson, WNI yang bekerja di salah satu perusahaan Jepang. Didukung oleh Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Menteri BUMN.
2019 Lowo Ireng ITS Para insinyur ITS membangun mobil listrik yang lantas dinamai Lowo Ireng Reborn. Mobil ini dipamerkan sekaligus diuji coba dalam Jambore Kendaraan Listrik Nasional pada 28 Agustus-3 September 2019.
2019 Bima (1.2 dan 1.3) dan Garuda 1 Esemka Garuda 1 hanya dipamerkan, tanpa pernah sampai tahap produksi. Sementara varian Bima berhasil masuk dalam pasar nasional dan menjangkau Pulau Jawa dan Sumatera.

Sumber: Litbang Kompas diolah dari Gaikindo dan arsip pemberitaan Kompas

Artikel Terkait

Referensi

Arsip Kompas

• Kompas. (1996, Februari 29). PT Timor Putra Nasional Ditunjuk Jadi Produsen Industri Mobil Nasional. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
• Kompas. (2012, September 10). Kontroversi Masih Terjadi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 18.
• Kompas. (2012, Januari 26). Mobil Kiat Esemka Jadi Industri Rakyat. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 18.
• Kompas. (2012, Januari 13). Semangat Tinggi, Usia Pendek. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 38.
• Kompas. (2012, Januari 13). Setelah Mobil Esemka Menyengat, Lalu Apa? Jakarta: Harian Kompas. Hlm 33.
• Kompas. (2013, Agustus 1). Kemandirian Otomotif Diperlukan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 19.
• Kompas. (2018, Agustus 10). Mobil Listrik Perlu Komitmen. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 13.
• Kompas. (2019, Juli 19). Lowo Ireng Reborn ITS Siap Diuji Kendara. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 14.
• Kompas. (2020, November 13). Mobil Ramah Lingkungan Dikembangkan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 10.
• Kompas.id. (2019, September 9). Bima dan Garuda, Mobil Pertama Buatan Esemka. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/video/2019/09/09/bima-dan-garuda-mobil-pertama-buatan-esemka

Internet
  • Esemka. Diambil kembali dari esemkaindonesia.co.id: https://esemkaindonesia.co.id/produk/bima12
  • Molina UNS. (2013). Pengembangan Mobil Listrik di UNS. Diambil kembali dari molina.ft.uns.ac.id: https://molina.ft.uns.ac.id/about.aspx
  • Gaikindo, Aisi, dan laman sejumlah produsen mobil dan motor nasional