Foto

Tradisi Memasak dengan Bakar Batu Warga Papua

Dalam sejarahnya bakar batu merupakan pesta daging babi sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan dan simbol solidaritas yang sangat kuat. Sekarang dalam pesta bakar batu, mereka tak melulu bakar babi, tapi juga bakar ayam. Boleh jadi, ini menjadi bukti lain dari tingginya toleransi masyarakat Papua.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Prosesi menjelang bakar batu.

Tradisi bakar batu dilakukan untuk mengumpulkan warga satu kampung dan prajurit perang untuk bersama-sama bersyukur dan berbahagia bagi masyarakat Papua. Tradisi bakar batu mempunyai nama yang berbeda pada tiap-tiap daerah yang menyelenggarakan. Nama-nama tradisi bakar batu di antaranya adalah, di Paniai dinamakan Gapila, di Wamena dinamakan Kit Oba Isogoa, dan di Jayawijaya dinamakan Barapen.

Kerja sama menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan dalam tradisi memasak dengan cara bakar batu. Semua warga terlibat, tua atau muda, lelaki atau perempuan melaksanakan tugasnya. Mulai dari memanaskan batu, mencari ilalang dan daun pisang, menggali lubang, hingga menata bahan makanan dan batu panas dalam proses memasak dilakukan lewat kerja sama.

Bakar batu merupakan proses memasak dengan metode pemasakan lambat (slow cook). Batu sebagai sumber panas, ilalang untuk mencegah makanan gosong, dan bahan makanan ditata sedemikian rupa di sebuah lubang di tanah. Asap putih menguar di udara saat proses memasak mulai dilakukan.

Ritual bakar batu atau dalam bahasa Amungme disebut jelabugobin itu diawali kaum lelaki yang membuat lubang dengan diameter sekitar 1–2 meter dan kedalaman sekitar 1 meter. Kemudian, mereka memanah babi dan membersihkannya, dilanjutkan dengan mengumpulkan dan membakar batu sekitar 1–2 jam. Namun, sekarang di sejumlah tempat, pesta bakar batu sudah tidak lagi hanya dengan bahan baku daging babi, tapi juga menyediakan daging ayam yang akan disuguhkan untuk mereka yang tidak bisa makan babi. Sementara kaum perempuan membersihkan sayur-mayur dan umbi-umbian. Setelah semua bahan siap, tokoh agama berdoa untuk memberkati kegiatan dan makanan yang ada, serta mengucapkan syukur.

Selanjutnya, laki-laki dan perempuan mengalasi lubang dengan daun pisang. Secara bertahap, mereka memasukkan sayur-mayur diikuti umbi-umbian dilapisi daun pisang, lalu ditimpa batu panas yang dibungkus daun. Berikutnya masukkan babi atau daging ayam, ditimpa lagi batu panas berbungkus daun, lalu masukkan ayam, ditimpa kembali dengan batu panas berbungkus daun, dan terakhir ditutup daun pisang.

Setelah semua makanan masak dalam waktu sekitar 2 jam, satu per satu bahan makanan itu dibongkar. Semua makanan dibagikan ke setiap pengunjung dan mereka makan bersama di sekitar lubang bakar batu tersebut.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG

Pekatnya kabut di Kanero, Distrik Bokoneri, Kabupaten Tolikara, Papua, pada Kamis (6/3/2008) terusir oleh hangatnya semangat pesta dan kepulan asap tungku pembakar batu. Pagi itu, ratusan orang berkumpul, menyiapkan pesta untuk menyambut para petinggi negeri dari Jakarta.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG

Pekatnya kabut di Kanero, Distrik Bokoneri, Kabupaten Tolikara, Papua, pada Kamis (6/3/2008) terusir oleh hangatnya semangat pesta dan kepulan asap tungku pembakar batu. Pagi itu, ratusan orang berkumpul, menyiapkan pesta untuk menyambut para petinggi negeri dari Jakarta.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Ratusan pengungsi melakukan upacara bakar batu sebagai bentuk kekerabatan sekaligus penerimaan warga yang datang di halaman gedung posko pengungsian, Kabupaten Timika, Papua, Rabu (22/11/2017). Konflik bersenjata yang terjadi di tiga kampung di Distrik Tembagapura, Timika, membuat warga harus mengungsi meninggalkan kampung mereka.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Mengambil Batu Dari Pembakaran

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Warga menyiapkan santap siang dalam upacara Tea Bel yang diikuti komunitas masyarakat Ohoivut dan Nufit di Ohoi Faan, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, Rabu (28/10/2015). Makanan yang disiapkan adalah pangan lokal yang dimasak dengan cara bakar batu. Dalam upacara itu, mereka sepakat untuk menjadi sedarah.

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Warga di Papua menggelar prosesi bakar batu untuk menyambut Ramadhan 1437 Hijriah di Kota Jayapura, Minggu (5/6/2016). Bahan makanan yang digunakan mereka adalah ayam, jagung, singkong, ubi, dan sayur-sayuran.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga suku Amungme saat menggelar upacara bakar batu di Lapangan Pasar Lama Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (8/10/2021). Upacara bakar batu ini menjadi simbol kebersamaan dan keterbukaan sesama warga.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga gotong royong bakar batu dalam pengukuhan Subdewan Adat Daerah Suku Asa Aspalek, Suku Yeleas II, dan Suku Walom Hiluka di Kampung Yeleas, Distrik Tangma, Yahukimo, Papua, Kamis (3/5/2012). Selain ritual adat, tradisi bakar batu juga biasa dilakukan sebagai upacara menyambut tamu.

KOMPAS/JANNES EUDES WAWA

Sejumlah ibu di Ransiki, ibu kota Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat, sedang mengambil daging ayam yang siap makan yang dimasak melalui proses pembakaran batu, Sabtu (31/10/2015). Memasak makanan melalui bakar batu adalah tradisi yang berkembang pada masyarakat Papua.

KOMPAS/KORANO NICOLASH LMS

Sekelompok Masyarakat adat Wamena yang berada di sentani Jayapura, Papua, menagambil daging dengan alat penjapit bambu seusai dibakar di atas tumpukan batu di Lapangan Sepakbola Sentani, Senin (15/8/2005) siang. Acara ini berlangsung guna menyongsong Perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Hadir pada acara tersebut Tokoh Adat, Kapolda Papu, Irjen Sumantyawan dan Gubernur Papaua, JP Salossa.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menikmati Kebersamaan lewat Bakar Batu. Makan Bersama.