Paparan Topik | Kemerdekaan RI

Mendur Bersaudara: Perekam Peristiwa Sejarah dan Pendiri Kantor Berita Foto IPPHOS

Mendur bersaudara adalah tokoh penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Dengan menggunakan kamera, keduanya memotret pertistiwa-peristiwa penting perjuangan bangsa Indonesia, mulai sebelum kemerdekaan hingga awal masa kemerdekaan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Patung Mendur bersaudara di Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Jumat (9/8/2019). Mereka adalah Frans Soemarto Mendur dan Alex Impurung Mendur yang mengabadikan sejumlah peristiwa sejarah penting Indonesia melalui kamera fotonya. Salah satu momen bersejarahnya adalah foto peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 saat Soekarno membaca teks proklamasi.

Fakta Singkat

IPPHOS:

  • Indonesia Press Photo Service merupakan kantor berita foto pertama di Indonesia

Didirikan:

  • 2 Oktober 1946

Pendiri:

  • Alexius Impurung Mendur, Frans Soemarto Mendur, Justus, Frans Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda

Sejumlah Foto Karya Alex Mendur dan Fransmendur:

  • Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
  • Ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta oleh Belanda saat Agresi II tahun 1949.
  • Rapat pertama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia pusat (KNIP) yang diketuai oleh Sutan Sjahrir pada 16 Oktober 1945.
  • Upacara pelantikan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950.
  • Panglima Jenderal Sudirman dipeluk Presiden Soekarno sekembalinya ke Yogyakarta pada Juli 1949 setelah selama tujuh bulan bergerilya.
  • Pertempuran para pemuda pejuang di jalan-jalan kota Surabaya pada 10 November 1945.

      “Pagi buta di bulan puasa, tepatnya pada 17 Agustus 1945, dua pemuda berjalan mengendap-endap dengan penuh keraguan. Berbekal kamera Leica dan roll film, mereka pergi ke kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur. Kediaman tersebut telah disiapkan sebagai tempat untuk melaksanakan peristiwa paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Mengabadikan momen politik yang begitu penting, membuatnya menjadi incaran  tentara Jepang. Hasil rekaman visual yang selamat menjadi sumber otentik bagi sejarah bangsa Indonesia”.

Penggalan cerita di atas merupakan kisah nyata dari perjuangan kakak-beradik, Alex dan Frans Mendur untuk mendapatkan dokumentasi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berkat jasa keduanya, kita saat ini dapat melihat foto otentik peristiwa tersebut, yang duplikatnya banyak beredar di media maupun buku-buku pelajaran sekolah dan sejarah. Tidak hanya itu, keduanya juga mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Banyak momen penting bersejarah lainnya yang tak luput dari hasil rekam visual Mendur bersaudara, di antaranya yang ikonik adalah pertemuan Soekarno dan Hatta, saat sang proklamator kembali dari pengasingan di Sumatera tahun 1942 dan berlabuh di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Kemudian, foto ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta oleh Belanda saat Agresi II tahun 1949.

Terdapat pula foto rapat pertama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia pusat (KNIP) yang diketuai oleh Sutan Sjahrir pada 16 Oktober 1945. Pada saat itu, KNIP diakui menjadi cikal bakal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Foto lainnya, yakni upacara pelantikan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950. Ada pula foto Panglima Jenderal Sudirman dipeluk Presiden Soekarno sekembalinya ke Yogyakarta pada Juli 1949 setelah selama tujuh bulan bergerilya, Selanjutnya, yang paling monumental adalah foto-foto pertempuran para pemuda pejuang di jalan-jalan kota Surabaya pada 10 November 1945.

Bila kita membuka lembar demi lembar arsip foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service), lembaga yang dibentuk Mendur bersaudara, tidak saja peristiwa-peristiwa politik dan perjuangan saja yang dapat kita lihat. Kita juga dapat menyaksikan banyak momen penting bersejarah bangsa Indonesia  dengan tema lainnya yang terdokumentasi.

IPPHOS

Foto kiri: Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda saat peristiwa Agresi II tahun 1949. Kanan: Panglima Jenderal Sudirman dipeluk oleh Presiden Soekarno sekembalinya ke Yogyakarta setelah pulang bergerilya.

IPPHOS

Para pemuda pejuang Indonesia tengah bertempur di jalan-jalan kota Surabaya pada 10 November 1945. Peristiwa itu kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.

IPPHOS

Rapat pertama Badan Pekerja KNIP, yang diketuai oleh Sutan Sjahrir pada 16 Oktober 1945.

Perjalanan Mendur Bersaudara

IPPHOS

Alex Mendur (kiri) dan Frans Mendur.

Alex Impurung Mendur atau lebih dikenal dengan Alex Mendur adalah anak pertama dari 11 bersaudara, dari pasangan Agustus Mendur dan Ariantje Mononimbar. Alex lahir pada tanggal 7 November 1907 di Kawangkoan, Kota Manado, Sulawesi Utara. Memasuki usia 15 tahun, pada tahun 1922, Alex merantau ke Batavia dan memulai belajar fotografi dari seorang fotografer Java Bode yang juga merupakan orang Minahasa, yakni Anton Najoan.

Setelah ia berguru dengan Anton Najoan, pada tahun 1930-an Alex Mendur menjadi juru potret di Luyks and Charls & van Es & Co, sebuah studio ternama di Batavia. Di samping sebagai fotografer studio, pada tahun 1932, ia juga menjadi jurnalis foto di suratkabar Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beld. Di koran De Java Bode, Alex merupakan satu-satunya fotografer berkebangsaan Indonesia di media berbahasa Belanda di Batavia tersebut.

Memasuki tahun 1936, Alex Mendur bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij di bagian publikasi dan reklame. Kemudian pada masa pendudukan Jepang, Alex tergabung dalam barisan propaganda Jepang. Ia mendapat tugas dari pemerintah Jepang sebagai kepala bagian fotografi kantor berita Domei, yang merupakan cikal bakal dari Kantor Berita Antara. Di sana, Alex mendapatkan kesempatan untuk mendokumentasikan beberapa rangkaian peristiwa yang dialami bangsa Indonesia. Setelah sekian lama berkarier di dunia fotografi, keahlian Alex Mendur kemudian ditularkan kepada sang adik, Frans Mendur.

Frans Soemarto Mendur lahir di Kawangkoan, Kota Manado, pada tanggal 16 April 1913. Frans pernah menempuh pendidikan sekolah dasar selama tujuh tahun di Hollandsch Inlandsch School (HIS). Menginjak usia remaja, tepatnya pada usia 14 tahun, Frans meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Pulau Jawa. Sesampainya di Kota Surabaya, ia diangkat menjadi anak oleh seorang keturunan Jawa yang bernama Soemarto. Oleh karena itu, disematkannya nama Soemarto pada nama tengah Frans Mendur.

Mendengar kabar bahwa adiknya berada di Surabaya, lantas membuat Alex pergi ke kota tersebut untuk menjemput Frans. Alex, kemudian mengajak Frans untuk ke Jakarta dan memperkenalkan kepada sang adik dunia fotografi. Alhasil, pada tahun 1935 Frans Mendur juga menjadi fotografer jurnalistik, yang mana ia mengirimkan hasil-hasil fotonya ke media cetak, seperti Wereldnieuws en Sport in Bleed, De Jawa Bode, dan beberapa harian kabar lainnya. Memasuki masa pendudukan Jepang, Frans pernah menjadi pewarta foto surat kabar milik pemerintahan Jepang, Djawa Shimbun Sha dan Asia Raya.

Foto Proklamasi Kemerdekaan

Sehari menjelang peristiwa kemerdekaan, tepatnya pada malam 16 Agustus 1945, Alex dan Frans mendapat kabar dari Zahrudi, kerabat mereka yang bekerja di kantor berita Domei. Zahrudi menyampaikan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan diadakan pada esok hari. Lantas, pada waktu subuh, sekitar pukul 05.00 pagi, mereka bergegas pergi menuju rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56.

Berbekal lensa, kamera Leica, dan stok roll film yang dibawa, Frans beserta kakaknya, Alex berangkat dengan penuh pertimbangan. Hal tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan begitu hati-hati, supaya tidak terpergok patroli tentara Jepang yang begitu ketat. Hingga pada akhirnya mereka pun mulai yakin mengenai informasi yang disampaikan Zahrudi setelah melihat kerumunan orang yang berkumpul di rumah Soekarno.

Setelah beberapa jam menunggu, menjelang pukul 10.00 WIB, Soekarno-Hatta beserta tokoh nasional lainnya keluar dari rumah yang menjadi tempat perundingan sebelum dibacakan teks proklamasi. Masyarakat yang hadir meneriakkan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!”.

Teriakan massa pada saat itu mengiringi berkumandangnya naskah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno. Sontak, teriakan massa yang hadir semakin bergemuruh dan menggelegar untuk menyambut sebuah babak yang baru bagi tanah air tercinta.

Alex dan Frans yang berada dikerumunan tersebut tidak menyia-nyiakan kejadian yang berlangsung di depan mata mereka. Bermodalkan lensa, kamera, dan roll film yang dibawa, mereka mengabadikan peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut. Dalam peristiwa ini, tidak ada fotografer selain mendur bersaudara yang merekam detik-detik proklamasi.

IPPHOS

Bukti otentik sejarah Indonesia. Karya visual Frans Mendur, pembacaan teks proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno.

Frans berhasil menjepret beberapa beberapa momen dari kameranya, di antaranya saat Soekarno membacakan teks proklamasi, pengibaran bendera merah putih oleh anggota Pembela Tanah Air (PETA) Latief Hendradiningrat, dan suasana massa yang sedang menyaksikan detik-detik pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, tiga hasil foto yang telah disebutkan, masih ada kurang lebih sembilan foto lainnya yang menjadi bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan.

Setelah pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, upaya Mendur bersaudara belum usai begitu saja, sebab tentara Jepang memburu mereka. Alex berhasil tertangkap dan hasil fotonya yang masih dalam bentuk roll film berhasil dirampas oleh tentara Jepang.

Berbeda cerita dengan adiknya Frans Mendur, negatif foto miliknya masih bisa diselamatkan dengan mengubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Ketika tentara Jepang menginterogasinya, Frans Mendur mengaku kalau negatif foto sudah diambil oleh barisan pelopor.

Sulitnya situasi saat itu membuat berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya hanya diberitakan singkat di Harian Asia Raya , 18 Agustus 1945 tanpa disertai foto.

Foto-foto proklamasi kemerdekaan hasil jepretan Frans, yang sempat dikubur itu baru dipublikan pertama kali di halaman muka Harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, enam bulan pasca-kemerdekaan. Karya Frans tentu menjadi bukti otentik bagi sejarah bangsa dalam memproklamasi kemerdekaan.

IPPHOS

Karya foto Frans Mendur. Kiri: pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Kanan: suasana massa yang menyaksikan detik-detik pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Berdirinya Kantor Berita Foto IPPHOS

IPPHOS

Para pendiri IPPHOS berpose di depan kantor mereka. Dari kiri, Frans Umbas, Alex Mendur, Justus Umbas, dan Alex Mamusung.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Mendur bersaudara bergabung ke Harian Merdeka, surat kabar yang didirikan oleh BM Diah, Joesoef Isak dan Rosihan Anwar. Namun, baru delapan bulan bergabung dengan harian Merdeka, pada awal Oktober 1946, Mendur bersaudara memutuskan keluar dari kantor harian tersebut.

Mereka melanjutkan cita-citanya untuk mendirikan kantor berita foto indepeden. Alex dan Frans mengajak rekannya Umbas bersaudara, yakni Justus Umbas dan Frans “Nyong” Umbas serta Alex Mamusung dan Oscar Ganda untuk mendirikan IPPHOS.

Nama IPPHOS sendiri merupakan usul dari Frans Umbas yang idenya timbul setelah banyaknya wartawan asing yang datang ke kantor foto dan sering menyebutnya dengan sebutan Indonesia Press Photo. IPPHOS juga memiliki sebutan lain, yaitu perserikatan perniagaan Indonesia Press Photo Company Limited.

Kantor berita IPPHOS yang didirikan pada tanggal 2 Oktober 1946 merupakan kantor berita foto yang pertama di Indonesia, yang saat diresmikan memiliki dua biro foto, yaitu di Jakarta dan Yogyakarta.

Kantor berita IPPHOS di Jakarta waktu itu menempati sebuah gedung bekas Belanda, Fermount & Cuipers yang beralamatkan di Jl. Molenvliet Oost yang sekarang menjadi Jl. Hayam Wuruk No. 30, Jakarta. Sedangkan, di Kota Yogyakarta kantor IPPHOS, berada di Jalan Sayyidan Yogyakarta, yang berada di rumah seorang pendeta yang berasal dari Minahasa, Johan Enos Jacob.

Karena IPPHOS merupakan lembaga swasta yang independen, segala biaya operasional dibiayai sendiri oleh para pegiat IPPHOS. Meskipun IPPHOS pro terhadap Republik Indonesia, mereka tidak terikat oleh kementerian negara apapun. Kadang berbagai cara dilakukan supaya IPPHOS tetap bertahan sebagai kantor berita independen. Oleh karenanya, selain liputan jurnalistik, mereka juga menerima jasa dokumentasi potret untuk berbagai acara, seperti perkawinan, pesta, peresmian usaha, dan dokumentasi keluarga.

Salah satu cara unik yang dilakukan dalam mencari dana, IPPHOS pernah meminta kepada Sultan Hamengku Buwono IX untuk memperoleh hak membuat, memperbanyak, dan menjual foto-foto Sultan yang merupakan hasil karya mereka. Lebih parahnya lagi, Justus dan Frans “Nyong” Umbas rela berjualan sayur-mayur untuk menambah pemasukan kantor. Hal ini harus mereka lakukan karena pemasukan dari reportase tak bisa diharapkan, serta demi menambal kas kelembagaan IPPHOS sendiri.

IPPHOS

Foto-foto IPPHOS yang bertema olahraga dan keagamaan. Kiri: upacara penyerahan bendera PON dan bendera Merah Putih oleh Presiden Soekarno di Istana Yogyakarta tanggal 8 September 1948. Kanan: Masyarakat tengah melaksanakan Sholat Idul Fitri di Lapangan Banteng, Jakarta tahun 1953.

IPPHOS sendiri memiliki visi, yaitu “berawal dan berakhir dengan foto”.  Sedangkan, misinya adalah “memberikan penerangan kepada masyarakat, baik dalam maupun luar negeri berupa gambar potret perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mengikuti arus perpolitikan pemerintah Indonesia”.

Selain terjun ke arah reportase politik dan kenegaraan, foto IPPHOS mencakup ke bidang olahraga, sosial, seni, dan budaya. Mereka berusaha membangun narasi lewat foto yang berguna untuk meninggikan citra Indonesia yang usianya masih relatif muda kala itu.

Pada masa berdirinya, IPPHOS juga pernah menerbitkan sebuah majalah bergambar yang bernama Ipphos Report yang terbit pertama kali pada 2 Oktober 1948. Majalah bergambar ini memiliki jargon “Untuk Pembangunan Semesta”. Majalah IPPHOS terbit tiap tengah bulan. Adapun tujuan dari adanya majalah ini sebagai media penerangan dalam perjuangan bangsa dan menyebarluaskan hasil karya foto IPPHOS.

Setelah runtuhnya kekuasaan Orde Lama dan beralihnya ke masa Orde Baru, IPPHOS mulai kehilangan pamornya dan hal-hal yang berbau Sukarno dibabat habis oleh pemerintahan Soeharto. Sensor, tekanan, dan intimidasi akhirnya membunuh aktivitas Mendur bersaudara beserta kawan-kawannya. Setelah 50 tahun berkiprah di negeri ini, kantor berita IPPHOS akhirnya tutup.

Akhir Cerita Mendur Bersaudara

Frans Mendur wafat di Jakarta pada 24 April 1971 dalam usia 58 tahun, setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Sumber Waras, Jakarta. Fotografer pengabadi momen proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Sedangkan kakaknya, Alex Mendur menghembuskan nafas terakhir pada Desember 1984 dan dimakamkan di TPU Pandu, Bandung.

Atas jasa-jasanya mengabadikan peristiwa-peristiwa penting bersejarah, beberapa penghargaan pernah diterima awak IPPHOS. Tahun 1951 Pemerintah Indonesia menganugerahkan bintang jasa kepada Alex Mamusung berkat liputan pertempuran empat hari Pasukan RIS dengan tentara KNIL dan Angkaran Darat Belanda.

Kemudian pada tahun 2009 dan 2010, pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menganugrahi almarhum Alex dan Frans Mendur penghargaan Bintang Jasa Utama dan Bintang Mahaputra Nararya sebagai jurnalis foto pada masa revolusi.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013 juga meresmikan Tugu Mendur Bersaudara dan museum foto yang didirikan di tanah leluhur keluarga Mendur di Kecamatan Kawangkoan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. (LITBANG KOMPAS)

Referensi
  • Kusrini. 2013. Memaknai Identitas Bangsa: Kajian Foto Karya Frans Soemarto Mendur. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institus Seni Indonesia Yogyakarta.
  • Soerjoatmodjo, Y. 2013. IPPHOS Remastered Edition. Jakarta: Galeri Fotografi Jurnalistik Antara.
  • Presetyadi, Kristian Oka. “Kerja Sunyi Mendur Beraudara Abadikan Proklamasi”. Kompas, ( 2019 Agustus 19)
  • Aprillia, L. (2014, Oktober 19). Mengenal Mendur Bersaudara. Dipetik Desember 2, 2019, dari https://www.kompasiana.com/hayley.will/54f95609a3331112678b4e9d/mengenal-mendur-bersaudara.
  • Halim, D. (2018, Agustus 18). Kisah Mendur Bersaudara, “Kucing-kucingan” dengan Jepang demi Abadikan Proklamasi. Dipetik Desember 2, 2019, dari https://nasional.kompas.com/read/2018/08/18/07070091/kisah-mendur-bersaudara-kucing-kucingan-dengan-jepang-demi-abadikan?page=all.
  • Khalika, N. N. (2018, Mei 26). Mendur Bersaudara: Penggagas Kantor Berita Foto Independen IPPHOS. Dipetik Desember 3, 2019, dari https://tirto.id/mendur-bersaudara-penggagas-kantor-berita-foto-independen-ipphos-cKFK.
  • Aprillia, L. (2014, Oktober 19). Mengenal Mendur Bersaudara. Dipetik Desember 2, 2019, dari https://www.kompasiana.com/hayley.will/54f95609a3331112678b4e9d/mengenal-mendur-bersaudara.
  • Halim, D. (2018, Agustus 18). Kisah Mendur Bersaudara, “Kucing-kucingan” dengan Jepang demi Abadikan Proklamasi. Dipetik Desember 2, 2019, dari https://nasional.kompas.com/read/2018/08/18/07070091/kisah-mendur-bersaudara-kucing-kucingan-dengan-jepang-demi-abadikan?page=all.
  • Khalika, N. N. (2018, Mei 26). Mendur Bersaudara: Penggagas Kantor Berita Foto Independen IPPHOS. Dipetik Desember 3, 2019, dari https://tirto.id/mendur-bersaudara-penggagas-kantor-berita-foto-independen-ipphos-cKFK.
  • Rondonuwu, C. (2017, Agustus 17). Alex dan Frans Mendur: foto-foto Proklamasi yang ‘masih tercecer’. Dipetik Desember 3, 2019, dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-40945409.
  • Rundjan, R. (2019, 12 2). Mendur Bersaudara Menangkap Peristiwa Sejarah. Diambil kembali dari https://historia.id/politik/articles/mendur-bersaudara-menangkap-peristiwa-sejarah-DAoBX: https://historia.id/politik/articles/mendur-bersaudara-menangkap-peristiwa-sejarah-DAoBX
  • Sari, D. P., & Yuliantri, R. D. (2016, Juli 15). Majalah Bergambar IPPHOS Report Tahun 1952-1956.

Penulis
Eristo Subyandono
Muhammad Huseun Yordan

Editor
Topan Yuniarto