Daerah

Kota Palu: Pusat Ekonomi yang Berjuluk “Mutiara di Khatulistiwa”

Kota Palu awalnya merupakan kota kecil yang menjadi pusat Kerajaan Palu. Kini, kota ini tumbuh pesat dan maju serta menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah kawasan timur Indonesia. Kota ini terkenal dengan julukan “Mutiara di Khatulistiwa”. Julukan itu datang dari Bung Karno saat menginjakkan kaki di Lembah Palu pada 10 Oktober 1957.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Tampak Gong Perdamaian Nusantara di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (20/12/2018).

Fakta Singkat

Hari Jadi 
27 September 1978

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 4/1994

Luas Wilayah
396,06 km2

Jumlah Penduduk
373.218 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Hadianto Rasyid
Wakil Wali Kota Reny A. Lamadjido

Instansi terkait
Pemerintah Kota Palu

Kota Palu adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis, Kota Palu terletak pada kawasan dataran lembah Palu dan teluk Palu sehingga wilayahnya terdiri dari lima bentang alam yang berbeda seperti pegunungan, lembah, sungai, teluk, dan lautan.

Palu ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan UU 13/1964. Kemudian seiring besarnya perannya di bidang pemerintahan dan pembangunan, Palu ditetapkan statusnya menjadi kota administratif berdasarkan PP 18/1978. Terakhir, pada tahun 1994, Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Palu melalui UU 4/1994 dengan wilayah meliputi kota administratif Palu dan  sebagian wilayah Kecamatan Tavaili.

Kota dengan luas wilayah 396,06 kilometer persegi ini, secara administratif terbagi dalam delapan kecamatan dan 46 kelurahan. Kota ini saat ini dipimpin oleh Wali Kota Hadianto Rasyid dan Wakil Wali Kota Reny A. Lamadjido.

Kota Palu merupakan salah satu kota tropis terkering di Indonesia dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Kota ini juga kerap dijuluki “Kota Lima Dimensi” karena lansekap alamnya yang lengkap meliputi lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk.

Palu juga diperkenalkan sebagai kota dengan julukan “Mutiara di Khatulistiwa”. Awalnya, julukan Mutiara di Khatulistiwa itu datang dari Bung Karno saat menginjakkan kaki di Lembah Palu pada 10 Oktober 1957.

Penobatan ini dikukuhkan lewat penandatanganan prasasti oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya, bersama Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola pada tahun 2016 lalu. Prasasti itu dipahat di atas batu dengan berat sekira 2 ton, panjang 1,5 meter dan tinggi 1,30 cm. Prasasti ini diletakkan di tengah Anjungan Nusantara, Pantai Talise Palu, di kota yang terletak tepat pada garis khatulistiwa.

Visi Pemerintah Kota Palu saat ini yakni “Membangun Kota Palu yang Mandiri, Aman dan Nyaman, Tangguh, serta Profesional dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Keagamaan.”

Dari visi tersebut, terdapat empat misi, yakni pertama, membangun perekonomian yang mandiri dan siap bersaing dalam perkembangan ekonomi regional dan global.

Kedua, membangun kembali tatanan lingkungan yang aman dan nyaman dengan dukungan infrastruktur yang berketahanan terhadap bencana.

Ketiga, mengembangkan sumber daya manusia yang tangguh menghadapi perkembangan global dan mampu beradaptasi terhadap bencana dan Covid-19. Keempat, menciptakan pemerintahan yang profesional dan selalu hadir melayani.

Sejarah pembentukan

Asal usul nama Palu adalah kata Topalu’e yang berarti tanah yang terangkat karena daerah ini awalnya lautan. Daerah ini pernah terjadi gempa dan pergeseran lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan tersebut terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Kota Palu.

Ada juga yang menyebutkan bahwa kata asal usul nama Kota Palu berasal dari bahasa Kaili, Volo, yang berarti bambu yang tumbuh dari daerah Tawaeli sampai di daerah sigi. Bambu sangat erat kaitannya dengan masyarakat suku Kaili karena ketergantungan masyarakat Kaili dalam penggunaan bambu sebagai kebutuhan sehari-hari mereka. Bambu kerapkali dijadikan sebagai bahan makanan (rebung), bahan bangunan (dinding, tikar, dll), perlengkapan sehari hari, permainan (tilako), serta alat musik (lalove).

Dalam sejarahnya, Kota Palu sekarang bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, dan Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru.

Hal itu disebutkan dalam buku “Citra Kota Palu dalam Arsip” yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (2015) dan buku “Asal-Usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe” yang ditulis oleh Zaenuddin HM (2013).

Lebih jauh disebutkan bahwa masyarakat dari empat kampung itu membentuk satu Dewan Adat yang disebut “Patanggota”. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat kaitannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu kemudian menjadi salah satu kerajaan dikenal dan sangat berpengaruh.

Sebelum Hindia Belanda datang ke wilayah Tanah Kaili (Donggala-Palu), bangsa Portugis telah lebih dahulu mengadakan hubungan dagang dengan raja-raja suku Kaili sekitar abad ke-16. Kedatangan bangsa Portugis ke Tanah Kaili itu berlangsung damai dan melalui jalur perdagangan.

Bukti-bukti peninggalan bangsa Portugis di wilayah Tanah Kaili antara lain berupa bentuk dan model pakaian. Sampai sekarang, model dan bentuk pakaian yang mempunyai persamaan dengan pakaian Portugis masih dapat dijumpai pada masyarakat Kaili yang berdomisili di wilayah bekas Kerajaan Kulawi.

Sementara Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado pada 1868. Pada 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu. Mereka menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu, ia digantikan oleh Raja Jodjokodi. Kemudian pada 1 Mei 1888, Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan perjanjian dengan raja-raja lain. Kerajaan yang pertama-tama melakukan penandatanganan perjanjian dengan Belanda adalah Kerajaan Donggala bernama Lassa Benawa Sanga Laa Daeng Palona pada tahun 1854. Kemudian dengan Kerajaan Parigi ditandatangani Kesepakatan Panjang (Lange Kontrak) pada tahun 1863 dan Kesepakatan Singkat (Korte Verklaring) ditandatangani pada 1917.

Adapun Kerajaan Palu, sejak 1796 hingga 1960, telah dipimpin oleh 11 raja, yakni Pue Nggari (Siralangi) 1796-1805, I Dato Labungulili 1805-1815, Malasigi Bulupalo 1815-1826, Daelangi 1826-1835, Yololembah 1835-1850, Lamakaraka 1850-1868. Kemudian, Maili (Mangge Risa) 1868-1888, Jodjokodi 1888-1906, Parampasi 1906-1921, Djanggola 1921-1949, dan Tjatjo Idjazah 1949-1960. Setelah Raja Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja di wilayah Palu.

Setelah kerajaan ditaklukan pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk Kesepakatan Panjang (Lange Kontruct) yang akhirnya diubah menjadi Kesepakatan Pendek (Karte Vorklaring) hingga ditetapkan sebagai daerah administratif berdasarkan nomor 21 tanggal 25 Februari 1940.

Di masa pendudukan Belanda, Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Onder Afdeling, antara lain Onder Afdeling Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yakni Swapraja Palu, Swapraja Dolo, dan Swapraja Kulawi.

Kemudian di masa Jepang, Kota Donggala merupakan kedudukan Jepang yang berpangkat Ken Kanrikan, yang membawahi tiga tempat bunken Kanrikan yaitu Donggala, Palu, dan Parigi. Bunken kanrikan Palu membawahi tiga kerajaan, yaitu Palu, Sigi, dan Kulawi.

Selama pendudukan Jepang di Donggala dan Palu, peranan raja-raja hanya sekedar membantu pemerintah Jepang. Para raja diperalat untuk mengerahkan tenaga rakyat untuk bekerja demi kepentingan penyediaan perbekalan perang.

ROSA MARUNDUH

Lesung batu yang ditemukan di desa Watunonju kecamatan Biromaru dekat Palu (Kab. Donggala) sedang sebelah kanan salah satu patung batu besar (megalitik) di kecamatan Lore Selatan Kabupaten Poso. Ekskavasi Desember yang akan datang akan menentukan asal-usul dan usia peninggalan purbakala di Sulawesi Tengah ini.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian, dibentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai PP 23/1952. Seiring perbaikan susunan ketatanegaraan RI oleh pemerintah pusat, disesuaikan pula dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecahan dan penggabungan pengembangan daerah.

Selanjutnya, pemerintahan Swapraja dihapuskan dengan keluarnya sejumlah peraturan, yaitu UU 1/1957, UU 29/1959, serta UU 13/1964 tentang Terbentuknya Dati I Provinsi Sulteng dengan Ibu Kota Palu.

Palu kemudian ditetapkan menjadi kota administratif  pada tanggal 27 September 1978 berdasarkan PP 18/1978. Palu merupakan kota ke-10 yang ditetapkan menjadi kota administratif. Kemudian dalam perkembangannya, berdasarkan UU 4/1994, Mendagri Yogi S Memet meresmikan kota administratif Palu menjadi Kotamadya Palu.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah Iksam, Kamis (11/10/2018), menunjukkan koleksi keramik dari zaman VOC yang pecah akibat terkena gempa. Meski demikian, secara umum bangunan dan koleksi museum lainnya tidak mengalami kerusakan.

Geografis

Letak geografis Kota Palu berada pada koordinat 0º,36” – 0º,56” Lintang Selatan dan 119º,45” – 121º,1” Bujur Timur. Kota ini berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat, Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur dan Selat Makassar di sebelah barat dan utara.

Wilayah Kota Palu seluas 395,06 km2 atau sekitar 0,64 persen dari total wilayah Sulawesi Tengah. Dari luas tersebut, Kecamatan Mantikulore tercatat sebagai kecamatan terluas, yakni 206,80 km2 atau sebesar 52,35 persen dari total luas wilayah Kota Palu. Sedangkan Palu Barat tercatat sebagai kecamatan dengan luas wilayah terkecil, yaitu hanya 8,28 km2 (2,10 persen).

Kota Palu merupakan “Kota Lima Dimensi” yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Selain itu, Palu juga dilewati oleh garis khatulistiwa, yang menjadikan kota ini sebagai salah satu kota tropis terkering di Indonesia dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun.

Letak Kota Palu berbentuk memanjang dari timur ke barat yang terdiri dari dataran rendah, dataran bergelombang, dan dataran tinggi. Dataran Kota Palu dikelilingi oleh pegunungan dan pantai. Peta ketinggian mencatat 376,68 km (95,34 persen) wilayah Kota Palu berada pada ketinggian 100-500 mdpl dan hanya 18,38 km terletak di dataran yang lebih rendah.

Palu akrab dengan bencana. Dengan mengutip Gegar Prasetya dalam Natural Hazard (2001) menyebutkan, Teluk Palu dan pesisir barat Sulawesi pernah dilanda tsunami 18 kali sejak tahun 1800. Masyarakat Palu juga mengenal istilah “bompatalu” atau pukulan gelombang laut tiga kali dan nalodo yang kini dikenal sebagai likuefaksi.

Kota Palu merupakan wilayah yang dilalui oleh delapan aliran sungai, yakni Sungai Palu, Sungai Lewara, Sungai Pondo, Sungai Kawatuna, Sungai Watutela, Sungai Taipa, Sungai Pantoloa, dan Sungai Tawaeli.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Nelayan dengan perahu menangkap ikan dan udang di perairan keruh sekitar muara Teluk Palu, Kota Palu, Sulteng, Minggu (28/3/2021). Air keruh tersebut mengalir dari Sungai Palu dengan kandungan lumpur atau material lainnya ke teluk. Hal itu mengancam ekosistem Teluk Palu.

Pemerintahan

Ketika berstatus sebagai kota administratif, Palu pernah dipimpin oleh H. Kisman Abdullah untuk periode 1978-1986 dan diteruskan oleh Sahbuddin Labadjo untuk periode 1986-1994.

Kemudian sejak berdiri otonom sebagai kotamadya pada tahun 1994, Palu pernah dipimpin oleh Ruly Arifuddin Lamadjido sebagai Wali Kotamadya Palu untuk masa bakti 1995-2000, sesuai surat keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 131.52-191 tanggal 29 September 1995.

Setelah Rully Lamadjido, Kota Palu dipimpin Baso Lamakarate bersama wakilnya Suardin Suebo untuk periode 2000-2004. Pada 2004 Baso Lamakarate meninggal dunia. Posisinya lalu digantikan oleh wakilnya, Suardin Suebo sejak 17 Mei 2004 hingga12 oktober 2005.

Wali Kota selanjutnya adalah Rusdy Mastura dan wakilnya, Suardin Suebo (2005-2010). Rusdy Mastura terpilih kembali menjadi Wali Kota Palu untuk periode keduanya setelah memenangkan Pemilihan Wali Kota Palu pada 2010. Adapun wakilnya adalah Mulhanan Tombolotutu  (2010-2015).

Pada 19 Oktober 2015, setelah berakhirnya masa pemerintahan Rusdy Mastura-Mulhanan Tombolotutu, Moh Hidayat Lamakarate ditunjuk menjadi Pejnabat Wali Kota Palu hingga 17 Februari 2016. Kemudian, sejak 17 Februari 2016 hingga 17 Februari 2021, Kota Palu dipimpin Hidayat-Sigit Purnomo Said.

Bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Hidayat-Sigit pada 17 Februari 2021, Gubernur Sulawesi Tengah menunjuk Sekretaris Kota (Sekkot) Palu, Asri L Sawayah sebagai Pelaksana Harian (Plh) Wali Kota Palu hingga Wali Kota Palu dan Wakil Wali Kota Palu terpilih, Hadianto Rasyid dan Reny A Lamadjido dilantik pada 26 Februari 2021.

Pada pemilihan Wali Kota Palu 2020, Hadiyanto Rasyid menggandeng Reny Lamadjido sebagai wakilnya. Pasangan dengan nomor urut 02 itu berhasil meraih perolehan suara sah sebanyak 64.249 suara, mengalahkan tiga pasangan calon lainnya, yakni pasangan nomor urut 01 Aristan-Wahyudin dengan hasil perolehan suara sah sebanyak 28.390 suara, pasangan nomor urut 03 Hidayat-Habsa 30.372 suara dan pasangan nomor urut 04 Imelda-Arena dengan hasil perolehan suara sah sebanyak 37.650 suara.

Secara administratif, Kota Palu terdiri dari 46 kelurahan yang terbagi dalam delapan wilayah kecamatan. Keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Palu Barat, Tatanga, Ulujadi, Palu Selatan, Palu Timur, Mantikulore, Palu Utara, dan Kecamatan Tawaeli.

Dalam mendukung jalannnya roda pemerintahan, Kota Palu didukung oleh 5.999 pegawai negeri sipil (PNS) di tahun 2020. Dari total PNS tersebut, terbanyak berada di golongan III, yakni 3.407 pegawai, kemudian golongan IV 1.468 orang,  golongan II 1.088 orang dan golongan I 36 orang.

Adapun berdasarkan tingkat pendidikan, sebanyak 65,71 persen pegawai negeri sipil di Kota Palu merupakan lulusan tingkat Sarjana/Doktor/Ph.D, namun masih ada 0,25 persen pegawai yang merupakan lulusan SD.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Tampak surat suara yang telah disortir dan dilipat oleh sejumlah petugas dari KPU di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (24/11/2020). Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2020 dibayangi kekhawatiran penularan Covid-19.

Politik

Peta perpolitikan di Kota Palu dalam tiga pemilihan umum (pemilu) legislatif menunjukkan dinamisnya pilihan rakyat terhadap partai politik. Hal ini terbukti dari hasil pemilihan anggota DPRD, dimana tidak satupun partai politik yang mendominasi parlemen (DPRD II Kota Palu).

Di Pemilu Legislatif 2009, komposisi DPRD Kota Palu terdiri dari Fraksi Golkar tujuh anggota, disusul Fraksi Demokrat enam anggota, Fraksi PKS tiga anggota, Fraksi Palu Ngataku delapan anggota dan Fraksi Persatuan Amanat Bangsa sebanyak enam anggota.

Kemudian di Pemilu Legislatif 2014, anggota parlemen Kota Palu terdiri dari Golkar (6 orang), Demokrat (3 orang), PKS (3 orang), Gerindra (6 orang), Hanura (4 orang), PAN (4 orang), PDI-P (3 Orang), PKB (3 orang) dan Partai Restorasi Pembangunan (3 Orang).

Terakhir di Pemilu Legislatif 2019, Gerindra meraih kursi terbanyak di parlemen yaitu sebanyak enam kursi, disusul Golkar lima kursi. Selanjutnya PKS, Hanura, dan Nasdem masing-masing sebanyak empat kursi. Sedangkan fraksi Demokrat, PDIP, PKB, dan PAN masing-masing mendapatkan tiga kursi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ajakan untuk menyukseskan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 dengan penuh kedamaian dan tanpa berita bohong bertebaran di berbagai daerah, salah satunya di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10/2018). Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu serentak pada 17 April 2019 mendatang. Pada kesempatan itu, pemilih harus mencoblos lima kertas suara untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD tingkat 1 dan tingkat 2, Dewan Perwakilan Daerah, serta presiden dan wakil presiden.

Kependudukan

Kota Palu dihuni oleh 373.218 jiwa pada tahun 2020 menurut hasil Sensus Penduduk 2020. Dibandingkan dengan sensus sebelumnya, jumlah penduduk Kota Palu terus meningkat. Dalam jangka waktu 10 tahun, yaitu tahun 2010 hingga 2020, jumlah penduduk Palu bertambah sekitar 35 ribu jiwa.

Dari jumlah tersebut, penduduk laki-laki tercatat sebanyak 187.389 orang, atau 50,20 persen dari jumlah penduduk keseluruhan. Sementara jumlah penduduk perempuan sebanyak 185.829 orang, atau 49,80 persen dari penduduk total penduduk Kota Palu. Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Kota Palu sebesar 100,84.

Kota Palu masih dalam masa bonus demografi karena 71,31 persen penduduknya masih berada di usia produktif (15-64 tahun). Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 yang masih 68,96 persen.

Namun di sisi lain, seiring angka harapan hidup yang makin meningkat, persentase penduduk usia lanjut juga mengalami peningkatan. Persentase penduduk di atas 60 tahun di Kota Palu meningkat menjadi 25.818 jiwa atau 6,91 persen dari 4,22 persen hasil Sensus Penduduk 2010.

Dengan luas wilayah 395,06 km², maka setiap kilometer persegi wilayah di Kota Palu rata-rata ditempati penduduk sebanyak 944,71 orang.

Masyarakat Kota Palu sangat heterogen. Penduduk yang menetap di kota ini berasal dari berbagai suku seperti Bugis, Toraja, dan Mandar yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Gorontalo, Manado, Jawa, Arab, Tionghoa, dan Kaili yang merupakan suku asli dan terbesar di Sulawesi Tengah.

Di samping itu, Kota Palu menjadi tambatan bagi para imigran, baik dari wilayah Pulau Sulawesi maupun yang berlayar dari Pulau Jawa. Akan tetapi diaspora yang dilakukan pendatang tidak melunturkan kebudayaan asli Kota Palu karena masih kuatnya pengaruh Suku Kaili di sini.

Dari status pekerjaan utama, penduduk di Kota Palu didominasi oleh buruh/karyawan/pegawai, yakni sebesar 53,65 persen (99.521 orang).

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Seorang anggota Komunitas Pusaka Tadulako memperlihatkan guma, sejenis parang yang dipakai sebagai senjata perang, dalam pameran senjata tradisional di Markas Komando Resor Militer 132/Tadulako, Kota Palu, Sulteng, Minggu (5/9/2021). Guma dipakai para panglima perang dan prajurit serta rakyat pada era kerajaan sebagai senjata utama berperang, termasuk melawan penjajah.

Indeks Pembangunan Manusia
81,70 (2021)

Angka Harapan Hidup 
71,09 tahun (2021)

Harapan Lama Sekolah 
16,28 tahun (2021)

Rata-rata Lama Sekolah 
8,36 tahun (2021)

Pengeluaran per Kapita 
Rp 14,89 juta (2021)

Tingkat Pengangguran Terbuka
8,38 persen (2020)

Tingkat Kemiskinan
6,80 persen (2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Palu terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. IPM Kota Palu meningkat dari 78,10 pada tahun 2011 menjadi 81,70 pada tahun 2021. Selain itu, dalam rentang itu pula status pembangunan manusia Kota Palu mengalami lompatan status. Saat ini, pembangunan manusia di daerah ini masuk klasifikasi “sangat tinggi” dan tertinggi kedua setelah Kota Makassar di Pulau Sulawesi.

Menurut komponen pembentuk IPM, tercatat capaian angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita disesuaikan, masing-masing 71,09 tahun, 16,28 tahun, 8,36 tahun, dan Rp 14,89 juta.

Menurut data dari BPS Kota Palu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Palu pada periode Agustus 2020 tercatat sebesar 66,46 persen. Angka ini meningkat dibandingkan periode Agustus 2019.

Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kota Palu pada Agustus 2020 tercatat sebesar 8,38 persen, meningkat jika dibandingkan TPT pada Agustus 2019 sebesar 6,32 persen. TPT Kota Palu tersebut lebih tinggi dari TPT Sulawesi Tengah pada 2021 yang hanya sebesar 3,73 persen.

Sementara angka kemiskinan di Kota Palu pada tahun 2020 tercatat sebesar 6,80 persen atau sebanyak 26,89 ribu orang. Angka kemiskinan tersebut paling rendah diantara kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Tampak kamar-kamar hunian sementara penyintas gempa dan tsunami di Kelurahan Talise, Kecamantan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Kamis (3/6/2021).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 284,77 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 886,42 miliar (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp 112,97 miliar  (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-4,54 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp 24,17 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp 60,89 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Perekonomian Kota Palu berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB) tahun 2020 tercatat sebesar Rp 24,17 triliun. Dari total PDRB itu, perekonomian Kota Palu masih didominasi oleh sektor konstruksi. Kontribusi sektor ini mencapai 19,41 persen dari total PDRB pada 2020.

Di urutan berikutnya, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib memberikan kontribusi sebesar 14,74 persen sedangkan di urutan ketiga adalah sektor informasi dan komunikasi sebesar 10,20 persen.

Sektor lain yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Kota Palu adalah perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 9,70 persen, jasa pendidikan 7,90 persen, transportasi dan pergudangan 6,44 persen, serta pertambangan dan penggalian 6,09 persen.

Berdasarkan data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu, jumlah perusahaan industri besar dan sedang tercatat sebanyak 1.860 perusahaan pada tahun 2020. Dari jumlah perusahaan tersebut, tenaga kerja yang terserap sebanyak 9.339 orang.

Kota Palu saat ini juga menjadi salah satu kawasan ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia bagian Timur. Kawasan yang diharapkan sebagai penggerak ekonomi di Sulawesi dan Indonesia timur ini diresmikan pada 27 September 2017 lalu. KEK Kota Palu ini terdiri dari tiga zona yaitu zona industri, zona logistik, dan zona pengolahan ekspor.

Luas lahan yang disediakan untuk KEK seluas 1.520 hektare di Kecamatan Palu Utara, yang meliputi Kelurahan Pantoloan, Baiya, dan Lambara. Dari luas lahan KEK tersebut, kawasan industri seluas 700 ha, kawasan perumahan 500 ha, kawasan pendidikan dan penelitian 100 ha, kawasan komersial 100 ha, kawasan olahraga 50 ha, kawasan pergudangan 50 ha, serta kawasan perkebunan dan taman 20 ha.

Dari sisi penerimaan, data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 menunjukkan pendapatan Kota Palu mencapai Rp 1,28 triliun. Penyokong utama pendapatan Kota Palu pada 2020 berasal dari dana perimbangan dari pemerintah pusat. Alokasi dana tersebut mencapai Rp Rp 886,42 miliar dari total pendapatan Kota Palu. Kemudian, disusul oleh pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp Rp 284,77 miliar dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 112,97 miliar.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Tampak produk dari sejumlah UMKM yang dipajang untuk ditinjau Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Palu, Sulteng, Jumat (7/1/2022).

Di sektor pariwisata, Kota Palu terkenal dengan keindahan wisata baharinya. Selain itu, ada pesona budaya dan peninggalan sejarah yang juga layak untuk dikunjungi.

Untuk wisata bahari, Kota Palu memiliki pantai, antara lain Pantai Talise, Pantai Pantoloan, Pantai Tanjung Karang, Pantai Taipa, Pantai Kaluku, Pantai Sivalenta, Pantai Tambu, dan Pantai Boneoge.

Palu juga memiliki Tugu perdamaian atau dikenal juga dengan nama Tugu Nosarara Nosabatutu yang artinya bersaudara dan bersatu. Tugu ini berada di ketinggian 1.000 kaki di atas permukaan laut.

Di Kota Palu, juga terdapat sebuah bangunan peninggalan kerajaan di Tanah Kaili yang bernama Souraja atau saat ini dikenal dengan cagar budaya Banuaoge. Souraja berarti rumah raja yang dibangun pada 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Amir Pettalolo, menantu dari Raja Palu Yodjokodi yang memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Palu dari Siranindi ke Lere.

Untuk wisata religius sendiri, Palu memiliki dua makam dari tokoh agama Islam yakni makam Abdullah Raqie atau dikenal Datok Karamah dan makam pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia timur Alkhairaat Idrus Bin Salim Al Jufrie.

Kota Palu juga memiliki Museum Sulawesi Tengah. Di tempat ini disimpan secara apik 7.457 benda museum yang terdiri dari koleksi geologika, biologika, etnografika, historika, numismatika, fisiologika, keramologika, seni rupa, teknologika dan arkeologika.

Untuk mendukung wisata di Kota Palu, pada tahun 2020, terdapat akomodasi hotel sebanyak 116 unit, dengan 7 unit hotel bintang dan 109 unit hotel non bintang.  Adapun jumlah kamar, baik pada hotel bintang maupun non bintang adalah 2.526 unit.

Sementara itu, jumlah tamu asing dan tamu dalam negeri yang datang ke hotel berbintang di Kota Palu terus menurun sejak tahun 2017 hingga tahun 2020. Dari total 295.639 orang di tahun 2017 menjadi 70.756 orang di tahun 2020.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Anak-anak bermain dengan mobil mainan di Anjungan Pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (3/3/2017). Tempat menjadi wahana bagi warga untuk bercengkerama bersama keluarga.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Palu, Dulu Gersang Kini Makin Hijau”, Kompas, 12 Oktober 1994, hlm. 17
  • “Mendagri Resmikan Kotamadya Palu”, Kompas, 13 Oktober 1994, hlm. 20
  • “Terjadi di Palu. Diajukan, Dua Paket Bakal Calon Wali Kota”, Kompas, 23 Agustus 1995, hlm. 15
  • “Ruly, Anak Gubernur yang Jadi Wali Kota Palu”, Kompas, 09 Oktober 1995, hlm. 14
  • “Tula Bala’a”, Setelah Lama”, Kompas, 03 April 2002, hlm. 25
  • “Kota Palu *Otonomi Daerah”, Kompas, 11 September 2001, hlm. 08
  • “Mereka Belum seperti Warga Kota *Otonomi Daerah”, Kompas, 11 September 2001, hlm. 08
  • “Strategi Pemerintahan: Bangun Kota Tanpa Korban * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 10 Juli 2015, hlm. 22
  • “Pantai Talise, Atmosfer Kota Palu”, Kompas, 19 Maret 2017, hlm: 09
  • “Pelajaran dari Tsunami Palu * Mitigasi dan Adaptasi Bencana”, Kompas, 26 September 2019, hlm. 10
  • “Kerentanan Kota Palu Yang Diabaikan”, Kompas, 03 Februari 2020, hlm. D
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 13/1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah Undang-Undang No. 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 7) Menjadi Undang-Undang
  • UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 4/1994 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu
  • UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
  • PP 18/1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Palu

Editor
Topan Yuniarto