KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Sejumlah layang-layang menghiasi langit pantai timur Pangandaran dalam Pangandaran International Kite Festival, Sabtu (13/7/2019). Ajang ini untuk mempromosikan destinasi wisata dan budaya di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Layang-layang adalah permainan tradisional yang sudah ada sejak sebelum masehi, dan tersebar di berbagai negara. Permainan ini menghibur berbagai lapisan masyarakat, dari anak-anak maupun dewasa. Selain itu, berbagai lomba kreativitas pembuatan layang-layang unik diselenggarakan di berbagai festival layang-layang.
Setiap daerah memiliki ciri khas dan tradisi menerbangkan layang-layang dengan ritual masing-masing dan umumnya mengikuti kearifan lokal daerahnya. Seperti di Muna, Sulawesi Tenggara, warga akan menaikkan layang-layang selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panennya. Anak-anak petani di Bali, diminta bermain layang-layang sebagai bagian dari cara menjaga padi yang sudah menguning, agar tidak terserang hama atau dimakan burung. Tradisi memancing ikan dengan layang-layang juga masih dilakukan oleh nelayan di Sulawesi Tenggara, tradisi ini disebut ngalaya. Tradisi ngalaya ini masih dilakukan nelayan di Toronipa, Konawe, Sulawesi Tenggara, sebagai salah satu kearifan lokal warganya untuk mengambil ikan seperlunya, untuk dijual atau dikonsumsi sendiri secukupnya. Di Kalimantan Barat layang-layang dikenal dengan nama kelayang, di Aceh bernama geulayang, sedangkan di Minangkabau disebut langlang.
Dalam sejarah perkembangannya, layang-layang sudah dikenal di Cina lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Sekitar 500 tahun sebelum Masehi, Jenderal Han Hsin dari Dinasti Han menerbangkan layang-layang untuk mengukur seberapa jauh pasukannya harus menggali terowongan untuk mencapai pusat kota tempat musuhnya berada. Perkiraan akurat ini membantu Jenderal Han Hsin mengalahkan musuh-musuhnya dalam berbagai pertempuran pada masa itu. Dari negeri Cina, layang-layang kemudian menyebar ke Korea, Jepang, kemudian ke negara-negara di Asia Tenggara.
Namun, penelitian Wolfgang Bieck asal Jerman yang dilakukan pada 1997 di Muna, menghasilkan kesimpulan bahwa layang-layang pertama kali dikenal di Indonesia lebih awal, yakni sejak 6.000 tahun lalu. Penelitian Bieck berdasarkan gambar cadas prasejarah di dinding Goa Sugi Patani, Desa Liang Kabori, Muna, Sulawesi Tenggara, yang berusia 4.000–40.000 tahun silam. Di dalam goa tersebut, ada gambar seseorang menerbangkan layang-layang. Bieck menerbitkan hasil penelitiannya menjadi buku berjudul The First Kiteman pada 2003.
Layang-layang dalam lukisan di gua tersebut diyakini merupakan layang-layang yang sama dengan tradisi layang-layang Muna yang dilestarikan turun temurun hingga sekarang, yaitu Layang-layang Kaghati. Dalam bahasa setempat, kaghati artinya daun. Daun yang digunakan untuk membuat layang-layang adalah daun kolope yang sudah kering.
Pada Juni 1752, Benjamin Franklin dan Alexander Wilson menggunakan layang-layang untuk mempelajari cuaca. Mereka menerbangkan layang-layang dengan menggantungkan sebuah kunci logam pada talinya saat cuaca mendung. Keduanya membuktikan bahwa petir membawa muatan listrik yang dapat diserap bumi dan dinetralisir tanah. Temuan inilah yang kemudian menjadi dasar alat penangkal petir.
Pada tahun 1994, Endang W Puspoyo, seorang pecinta layang-layang di Indonesia, mulai mengumpulkan dan mengoleksi layang-layang dari berbagai daerah, dalam dan luar negeri. Ia kemudian mendirikan Museum Layang-layang di Jakarta Selatan. Koleksi layang-layang museum ini mencapai 500 buah, namun karena keterbatasan ruang, yang diperagakan sekitar 150 buah, yang dipajang secara bergantian setiap tiga bulan. Pada 21 Maret 2003, museum ini dibuka untuk umum dan ditunjuk sebagai salah satu destinasi wisata oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Museum Layang-layang ini tidak hanya menyediakan ruang pamer layang-layang, namun juga membuka kursus dan pelatihan pembuatan layang-layang, pembuatan keramik, pembuatan batik, dan tari jawa. Pada masa pandemi ini, museum ini juga beberapa kali mengadakan tour virtual untuk anak-anak sekolah, yang tidak bisa berkunjung langsung, karena pembatasan mobilitas di Jakarta.
Layang-layang juga bisa menjadi alat diplomasi, saat Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri India Narendra Modi pada 30 Mei 2018, menerbangkan layang-layang bersama, dalam pameran India-Indonesia Kite Exhibition di Monumen Nasional. Pameran yang digelar sebagai salah satu rangkaian acara dalam pertemuan bilateral kedua negara untuk kemitraan strategis, yang diselenggarakan di Istana Merdeka, Jakarta.
Festival layang-layang diadakan selain untuk melestarikan permainan tradisional ini, atau dalam rangka promosi suatu obyek wisata agar turis lebih banyak berkunjung. Berbagai festival layang-layang biasanya selain mengadakan lomba aduan, juga diadakan lomba menerbangkan layang-layang dengan berbagai kreasi bentuk. Semakin unik dan tinggi tingkat kesulitan pembuatannya, maka peluang untuk menang semakin besar.
Berikut berbagai layang-layang dalam ragam peristiwa di masyarakat yang terekam dalam arsip Kompas.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
La Masili, penerbang layang-layang tradisional kaghati kalope yang terbuat dari daun kolope dari Desa Wara, Raha, Sulawesi Tenggara, Jumat (3/3/2017).
KOMPAS/JOHNNY TG
Beberapa anak dengan serius mendengarkan petugas Museum Layang-layang menjelaskan berbagai ragam layang-layang yang ada di museum tersebut, Selasa (9/3/2004). Museum yang berdiri pada 21 Maret 2003 dan berlokasi di Jalan Haji Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu memiliki sekitar 400 koleksi layang-layang.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pengunjung melihat beraneka jenis layang-layang koleksi Museum Layang-layang di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, Minggu (25/8/2013). Museum tersebut menyimpan beragam jenis layang-layang dari sejumlah negara. Pengunjung museum dapat mengikuti pelatihan mewarnai dan membuat layang-layang.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Anak-anak antusias mewarnai layang-layang di Museum Layang-layang di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, Minggu (22/11/2020). Museum ini kembali dibuka untuk umum dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mengantisipasi penularan Covid-19. Museum ini menyimpan koleksi sekitar 500 layang-layang beragam bentuk dan ukuran dari sejumlah daerah di Nusantara dan beberapa negara.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Suparno (39) membuat layang-layang di Dusun Besalen, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (3/8/2020). Dalam sehari, warga difabel itu dapat membuat lima layang-layang yang dijual Rp20.000–Rp75.000 per buah. Selama pandemi, permintaan layang-layang buatannya justru meningkat tiga kali lipat dibandingkan saat musim kemarau pada tahun sebelumnya.
KOMPAS/DANU KUSWORO
Puluhan mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (6/8/2003), menuntut pendidikan gratis bagi rakyat dan menolak penyelenggaraan Pemilu 2004. Mereka menuliskan tuntutan itu di kertas layang-layang dan menerbangkannya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Ramos menata layang-layang bergambar calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Jumat (20/6/2014). Layang-layang untuk menyemarakkan pemilu presiden itu dijual dengan harga Rp 60.000 hingga Rp 100.000 per buah.
KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS
Sawah menjadi salah satu tempat favorit bagi anak-anak untuk bermain layang-layang, seperti di Desa Rancakasumba, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/2/2009).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Anak-anak di kawasan Pantai Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, memanfaatkan banyaknya angin dari laut untuk bermain layang-layang, Minggu (27/7). Memasuki puncak musim kemarau yang disertai musim angin merupakan waktu yang disukai anak-anak untuk bermain layang-layang.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak-anak bermain layang-layang di sawah di Desa Sendang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (25/7/2015). Mereka beradu kreativitas dengan membuat sendiri layang-layang sesuai keinginan, baik bentuk maupun warnanya. Selain itu, mereka menambahkan bunyi-bunyian di layang-layang.
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI
Layangan Barong dalam lomba layangan lokal Sanur International Kite Festival 2017 di Pantai Mertasari, Bali, Sabtu (5/8/2017) sore.
KOMPAS/M SYAIFULLAH
Layang-layang berpakaian adat Madura menjadi salah satu perhatian peserta Festival Layang-layang International Kalimantan di Pantai Manggar, Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (21/2/2010). Festival yang selain dikuti ribuan warga Balikapan, juga dihadiri peserta luar negeri dari 15 negara.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Layang-layang berbagai ukuran dan bentuk menyemarakkan langit kawasan Monumen Nasional (Monas), pada ajang Festival Layang Layang Internasional XIX, di Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2013). Acara yang berlangsung hingga Minggu (1/12/2013) ini diselenggarakan oleh Yayasan Masyarakat Layang-Layang Indonesia bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta, menghadirkan 150 pelayang berasal dari 15 provinsi di Indonesia dan 18 pelayang mancanegara.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo bersama Perdana Menteri India Narendra Modi bermain layang-layang, disaksikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, di kawasan Monas, Jakarta, Rabu (30/5/2018). Kunjungan Perdana Menteri Narendra Modi ke Indonesia dalam rangka menyongsong 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-India pada 2019.
Referensi
- Puspoyo, Endang W. 2004. Layang-layang Indonesia. Jakarta: Museum Layang-Layang Indonesia, Merindo, dan Q Communication.
- “Goa Prasejarah: Jejak Purba Layang-Layang Muna”. Kompas, 18 Juni 2011, hlm 14.
- “Sosok: La Masili – Menduniakan Layang-layang “Kolope””. Kompas, 28 April 2017, hlm 16.
- “Menjaring Kearifan dengan Pancing Layangan”. Kompas, 26 September 2021, hlm C.