Foto

Pesona Kain Lurik Warisan Budaya

Lurik termasuk kain unik yang mempunyai corak perulangan raut garis yang mewarnai perjalanan peradaban bangsa Indonesia dan menjadi warisan budaya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Perajin memilih benang untuk bahan baku kain tenun lurik yang dijual di Pasar Masaran, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (23/1/2014) pagi. Pasar itu menjadi tempat tujuan untuk mencari bahan baku serta menjual kain hasil tenunan bagi para petenun di kawasan sentra industri tenun lurik tersebut.

Kain lurik atau lorek yang berpola dominan perulangan raut garis mempunyai makna simbolis khas bagi orang Jawa. Lurik terus melewati masanya. Dari lurik produksi tenun gendong tradisional (karena salah satu kayu yang membuat tarikan kencang diletakkan di belakang punggung seperti digendong) kini tergusur lurik produksi tustel atau cacah yang dikenal dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun mesin.

Klaten dikenal akan produksi kain tenunnya yang khas, yaitu lurik. Kain bermotif garis-garis ini banyak diproduksi di Kecamatan Cawas dan sekitarnya, terutama Pedan. Cawaslah yang menjadi basis petenun kecil yang memiliki satu atau dua tustel (alat tenun), sedangkan para pengepul atau “juragan” lurik tinggal di Kecamatan Pedan (“Desa Wisata: Berwisata ke Desa Lurik Di Cawas,” Kompas Jateng, 28 Oktober 2009). Selain motif garis, dikenal pula motif danliris atau gerimis berupa garis putus-putus halus.

Dahulu petenun hanya membuat lurik kasar yang digunakan untuk kain gendong atau serbet, kini petenun yang hampir seluruhnya ibu-ibu mulai beralih menenun kain lurik untuk busana. Hal ini dikarenakan mata rantai yang panjang dari industri tenun lurik hingga ketangan konsumen, perjalanan itu dimulai dari pemasok limbah benang, pengumpul limbah benang, pengurai benang, dan pengepul benang. Setalah itu, proses berikutnya petenun, pengepul lurik, toko, penjual lurik skala besar, dan konsumen.

Plataran Pasar Masaran di Desa Mlese, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten menjadi salah satu tempat transaksi penjualan lurik dari petenun kepada pengepul lurik dan tempat penjualan bahan baku untuk membuat lurik.

                                                              KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pewarnaan Lurik Cawas.

                                                       KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Wignyo Susanto, usia 84 tahun. Ia lebih banyak berperan sebagai tukang jemur benang. Menjadi karyawan tertua di rumah produksi Kurnia Lurik.

                                                             KOMPAS/AGUS SUSANTO

Proses pemintalan benang bahan baku kain lurik.

                                                   KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja memintal benang yang akan digunakan sebagai bahan pembuat kain lurik di sentra industri Kurnia Lurik, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (18/6/2009). Industri lurik yang berdiri sejak tahun 1962 tersebut hingga saat ini masih bertahan memproduksi kain lurik dan bisa menghidupi 50 karyawannya. Dalam sebulan, industri rumah tangga tersebut bisa menghasilkan 4.000 meter kain lurik, yang per meternya dijual seharga Rp23.000.

                                                    KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Wasir (70) dan Sastro Welas (65) saat melakukan penyucukan. Mereka mengabdikan hidupnya menjadi petenun selama lebih dari 25 tahun.

                             KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pekerja memilih benang yang disusun menjadi motif tenun pada usaha tenun lurik Kurnia di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (13/5/2016). Tenun lurik yang diproduksi selanjutnya dipasarkan ke sejumlah daerah dengan harga berkisar Rp30.000 — Rp50.000 per meter. Sebagian kain tenun lurik tersebut juga digunakan untuk pakaian seragam Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

                                                   KOMPAS/AGUS SUSANTO

Teropong atau Sekoci Lurik Cawas.

                                          KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pekerja mengoperasikan alat tenun bukan mesin untuk menghasilkan kain tenun lurik di Kecamatan Pedan, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (23/1/2014). Sejumlah industri tenun tradisional di kawasan sentra penghasil kain tenun lurik tersebut terus berupaya bertahan di tengah membanjirnya produk tenun buatan pabrik modern di pasaran.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Suminah, usia 67 tahun, lebih dari 20 tahun mengabdikan hidupnya dengan menenun lurik.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Contoh kain tenun lurik di Kecamatan Pedan, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (23/1/2014). Sejumlah industri tenun tradisional di kawasan sentra penghasil kain tenun lurik tersebut terus berupaya bertahan di tengah membanjirnya produk tenun buatan pabrik modern di pasaran.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Yusuf menata kain lurik yang diproduksi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin di rumahnya di Dusun Cabean, Desa Mlese, Cawas, Klaten, Jawa Tengah.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pedagang kain tenun lurik Giyem (62) menggunakan becak untuk membawa kain yang telah dibelinya dari para penenun di Pasar Masaran, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (23/1/214) pagi. Pasar itu menjadi tempat tujuan bagi para penenun untuk menjual hasil karya mereka sekaligus mencari bahan baku untuk menghasilkan kain tenun lurik.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Transaksi antara petenun dan pengepul kain lurik di Pasar Masaran, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (23/1/2014) pagi. Pasar itu menjadi tempat bagi para petenun menjual hasil karya mereka sekaligus mencari bahan baku untuk menghasilkan kain tenun lurik.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pedagang menawarkan bahan tenun lurik di Pasar Pedan, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (24/10/2007). Produksi tekstil tradisional seperti lurik semakin terdesak oleh kain impor yang semakin murah. Untuk itu, perlu dukungan semua pihak untuk membangkitkan kembali kebanggaan terhadap produk dalam negeri.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Memakai bahan lurik.

Foto lainnya dapat diakses melalui http://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.