Paparan Topik | Tahun Baru Imlek

Sejarah dan Filosofi Barongsai

Barongsai bagi masyarakat Tionghoa diyakini membawa keberuntungan dan menghalau keburukan. Pada masa lalu, popularitasnya sempat hilang selama tiga dekade, namun kini kembali populer pada saat Tahun Baru Imlek.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Barongsai menghibur tamu undangan dan anggota TNI AL seusai olahraga bersama di Dermaga Ujung Koarmada II, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (31/1/2023). Olahraga dalam rangka Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh tersebut dihadiri juga anggota Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan sejumlah tamu undangan. Dalam kegiatan tersebut dihibur pula oleh pertunjukkan barongsai. Kegiatan untuk memupuk rasa persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika kepada anggota TNI AL.

Fakta Singkat

  • Barongsai dikenal sejak masa Dinasti Chin 300-200 Sebelum Masehi
  • Istilah Barongsai hanya ada di Indonesia, tempat asalnya disebut Wu Shi dan internasional mengenalnya dengan Lion Dance
  • Kesenian Barongsai tenggelam dengan terbitnya Inpres No.16/1967
  • Barongsai tampil lagi secara terbuka di masyarakat umum setelah Reformasi melalui Keppres No.6/2000.
  • Barongsai menjadi salah satu alat kampanye politik pada pemilu tahun 1999

Istilah barongsai hanya ada di Indonesia. Di tempat asalnya di sebut Wu Shi, sementara di mancanegara dikenal dengan istilah Lion Dance. Dalam setiap pertunjukan, barongsai dimainkan oleh dua orang, satu orang sebagai kaki depan dan penggerak barong, sementara satu orang lagi sebagai kaki belakang dan tubuh barong.

Dalam aksinya, barongsai biasanya didampingi oleh tarian naga atau disebut liong yang merupakan rangkaian gerak oleh sembilan orang dengan permainan naga tiruan yang terbuat dari kain. Untuk mengiringi gerak langkah barong dan naga selalu diiringi oleh musik yang biasanya dimainkan oleh 10 orang (Kompas, 24 Agustus 2004, “Barongsai Nagasakti, Hanya Beramal dan Berkesenian”).

Kesenian ini sudah dimainkan di lingkungan istana di kawasan Cina daratan pada zaman peperangan antara tujuh negara yang  kemudian dipersatukan oleh Dinasti Chin sekitar tahun 300–200 SM.

Kesenian ini mulai populer pada zaman Dinasti Selatan dan Utara (Nan Bei) pada 420 – 589 Masehi. Saat itu, pasukan Raja Song harus menghadapi serangan pasukan gajah Fan Yang dari negeri Lin Y. Untuk mengusir pasukan gajah, dibuatlah tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan Raja Fan. Taktik ini ternyata berhasil maka kemudian barongsai menjadi sebuah simbol keberuntungan.

Di Indonesia barongsai dikenal bersamaan dengan keberadaan etnis Tionghoa di tanah nusantara. Pada era Orde Baru, terbit  Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang membatasi perayaan agama dan adat istiadat seperti barongsai, arak-arakan Toapekong, liong (naga) serta perayaan peh-cun atau perlombaan mendayung perahu naga. Inpres tersebut mengakibatkan kebudayaan masyarakat Cina di Indonesia termasuk barongsai dan liong (naga) hilang selama 32 tahun.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 yang memberikan kebebasan ekpresi ibadah dan kebudayaan Cina di Indonesia, barongsai muncul kembali tahun 1999 di acara Perayaan Imlek dan peresmian kegiatan pemerintahan (Kompas, 31 Juli 1999, “Barongsai, Sembunyi Selama 32 Tahun”).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga memberikan angpao kepada barongsai saat makan bersama dalam Perayaan Cap Go Meh di Kampung Pecinan Kapasan Dalam, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (26/2/2021). Pandemi membuat kegiatan saling berkunjung kini ditiadakan. Untuk tetap memupuk kerukukan warga, perayaan Cap Go Meh dimanfaatkan dengan makan bersama tetangga dan lomba kuliner pecinan.

Permainan Barongsai

Barongsai dimainkan oleh kelompok yang pandai kungfu seperti kelompok silat. Di Indonesia, yang utama adalah “Aliran Utara” yang disebut Bei Jing Shi dan “Aliran Selatan” yang disebut Nan Shi. Dahulu di Indonesia sempat berkembang aliran Utara, tetapi setelah menghilang tiga dekade dan muncul kembali barongsai mengikuti aliran selatan dengan sosok tokoh Wong Fei Hung atau dalam bahasa Mandarin disebut Huang Fei Hong alias Huang si Angsa Terbang (Kompas, 21 Januari 2004, “Barongsai Modern Warisan Wong Fei Hung”).

Barongsai yang berkiblat dari “Aliran Selatan” ini berpusat di Fo San Gunung Budha, Provinsi Guang Dong di sekitar Kota Guang alias Canton. Gerakan barongsai ini dikenal dinamis dan memiliki gaya sendiri dan tidak sekedar meniru yang ada di Beijing.

Setelah menghilang tiga dekade barongsai muncul lagi di Indonesia dengan modifikasi campuran  kepala barongsai yang dulu terbuat dari rotan sepuluh kilogram berganti dengan campuran bahan yang lebih ringan menjadi 3 kilogram.

Ukurannya lebih pendek dengan tampilan lebih manis karena antara pemain kepala dan ekor tidak terdapat jarak yang renggang sehingga lebih mudah berkoordinasi. Hal itu membuat gerakan lebih lincah dan gemulai secara serempak. Contohnya adalah gerak kaki, kepala, kedipan mata dan kibas ekor dapat dilakukan lebih mudah. Sesekali mulutnya menganga terutama saat mengejar hong bao (angpao).

Dahulu, pertunjukan barongsai harus selalu dibarengi dengan dua badut yang disebut Dai Ti Tou Fu atau Bi Lek, tetapi kini keberadaan badut tidak menjadi keharusan. Namun, pakem yang tidak boleh berubah adalah  perebutan sebungkal sawi hijau (cai bing) yang digantungkan di pucuk tiang besi.

Untuk menampilkan pertunjukan yang apik maka dibutuhkan kerjasama tim yang andal dengan menekankan pada kemampuan individu, tidak hanya mahir akrobat dan olah tubuh juga mampu memerankan tokoh barongsai.

Keserasian dan kerjasama antaranggota tim dalam posisi sejajar, yaitu tidak ada yang lebih bagus satu dengan lainnya, karena justru akan mengakibatkan ketimpangan permainan. Oleh karena itu, dibutuhkan jiwa yang sportif menerima perbedaan dan memiliki rasa seni tinggi sehingga dapat menciptakan gerakan barongsai yang apik dan menarik (Kompas, 4 Mei 2004, “Barongsai, Seni dan Kemajemukan”).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Barongsai Masuk Pasar – Pengunjung pasar memberikan angpao kepada pemain barongsai yang beratraksi di Pasar Modern BSD City, Tangerang Selatan, Sabtu (6/2/2016). Atraksi barongsai di pasar ini untuk menyambut dan memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek.

Filosofi Barongsai

Menurut adat istiadat penganut agama Khonghucu, selain dapat mendatangkan rezeki di tahun baru, barongsai yang tampil di depan klenteng berfungsi mengusir roh jahat. Dalam hal ini para pemain barongsai lebih dulu harus menjalani ritual thiam untuk menyucikan barongsai dari roh jahat sebelum dimainkan. Para pemain barongsai pun menyadari bahwa gerak-gerik barongsai merupakan bagian dari ritual, bahkan dahulu barongsai dan liong harus dibakar setelah dimainkan agar tidak ada roh jahat yang tinggal di dalamnya, tetapi kini barongsai tidak lagi dibakar.

Pada perayaan Tahun Baru Imlek selalu dimeriahkan dengan barongsai dan permainan liong (naga), yaitu binatang legenda seperti ular raksasa yang dapat terbang. Tidak hanya di klenteng kini dilakukan di banyak tempat dalam menyambut awal tahun. Dalam kepercayaan Cina, naga adalah lambang keagungan hingga jubah raja-raja selalu bergambar raja hingga tempat tidur raja disebut ranjang naga.

Pertunjukan barongsai pada malam Tahun Baru Imlek sangat penting bagi masyarakat Tionghoa karena memiliki mitologi yang harus dipersiapkan dengan berbagai tradisi, konon dapat mengusir binatang buas (nian) yang sering mengganggu manusia di malam Tahun Baru.

Pada masyarakat Tionghoa di Semarang, Jawa Tengah biasanya sebelum pertunjukan dimulai, topeng barongsai disembahyangkan dahulu di klenteng dan diberi (tempel) Hoo, kertas kuning bertuliskan aksara Cina yang dipercaya dapat memberikan keselamatan (perlindungan) pada yang memakainya di dahi.

Menurut mitologi, barongsai merupakan jelmaan dewa untuk melindungi hasil bumi, mendatangkan kesejahteraan, dan menghindari manusia dari malapetaka. Dewa memberi petunjuk pada manusia agar membuat kostum dan topeng berkepala singa yang diiringi dengan pukulan gendang agar menggangu pendengaran binatang buas atau nian. Perpaduan topeng dan musik yang keras membuat nian ketakutan sehingga tidak lagi mengganggu hasil bumi manusia .

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Atraksi barongsai dari Kelompok Kong Ha Hong menghibur pengunjung Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (17/2/2018). Selain untuk menarik minat warga agar mengunjungi Ancol, pertunjukan tersebut digelar dalam rangka menyambut Imlek 2569.

Barongsai memiliki makna:

  • Membuang energi negatif, melalui suara-suara yang ramai, nyaring dan keras energi negatif hilang dan muncul energi positif
  • Mengusir roh halus. Barongsai diyakini mampu mengusir roh jahat keluar dari lokasi yang diinginkan sehingga mendukung bisnis menjadi lebih sukses.
  • Membawa keberuntungan. Pertunjukan barongsai diyakini akan membawa keberuntungan karena mengusir energi negatif dan roh jahat.

Dilihat secara fisik  barongsai tradisional memiliki lima warna dasar yaitu hitam, putih, merah, kuning dan hijau yang masing-masing warna memiliki simbol dan makna sendiri.

Warna

Unsur kehidupan Mitologi Kerajaan Sam Kok

Simbol

Makna

Simbol

Makna

Kuning Bumi (pusat) Kegembiraan, keindahan, keberuntungan Huang Zhong Keadilan dan pengetahuan
Merah Api (selatan) Keberuntungan, kegagahan, keceriaan Kwang kong Kebahagiaan dan kemakmuran
Hijau Kayu (timur) Kemakmuran, keharmonisan, kesehatan Zhao Yun Patriotik
Hitam Air (utara) Kematian dan kegagahan Zhang Fei Sengit, kasar, pemarah, galak
Putih Logam (barat) Kematian dan kegagahan Ma Chao

Sumber: Kajian Sekolah Tinggi Desain (STD) Bali, 2018

Topeng barongsai menggambarkan tiga temperamen, yaitu:

  1. Liu Pei barongsai berwarna kuning dan bulu tengkuk putih
  2. Kwan Ong berwajah merah dengan bulu tengkuk hitam
  3. Zhang Fei, berwarna hitam dan biru dengan bulu tengkuk hitam dan biru.

Wajah barongsai yang asli, yaitu telinga seperti kerang, alis seperti ikan dan pipi seperti ular dengan topeng seperti binatang dewa.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kelompok Barongsai Kong Ha Hong mempertontonkan atraksi di hadapan pengunjung Mal Pondok Indah, Jakarta, Minggu (7/2/2016). Selain untuk menarik minat warga agar mengunjungi mal, pertunjukan tersebut digelar dalam rangka menyambut tahun baru Imlek 2567.

Perjalanan Barongsai di Indonesia

Pada awalnya setelah kemerdekaan, kepercayaan dan tradisi masyarakat etnis Cina saat itu dapat berjalan. Namun pada 1967, Jendral Soeharto saat itu Pejabat Presiden menetapkan Instruksi Presiden Inpres No. 16/1967 yang membatasi kegiatan budaya Tionghoa.

Dalam Inpres ini, ibadah Tionghoa dan tata caranya harus dilakukan dalam lingkup internal keluarga dan perorangan, tetapi tidak mengurangi cara ibadat Konghucu. Perayaan pesta agama dan adat istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan secara mencolok di depan umum, sehingga perayaan tahun baru Imlek dilarang di depan umum termasuk Cap Go Meh hingga tarian barongsai dan liong. Tidak hanya itu, koran-koran yang beraksara Cina juga dilarang terbit bahkan sekolah atau tempat belajar yang menggunakan bahasa dan kebudayaan Cina ditutup.

Namun demikian, warga Tionghoa masih melakukan kegiatan ibadah dan ritual mereka secara tertutup dan pada perayaan Imlek kesenian liong dan barongsai diadakan di ruang-ruang tertutup dan eksklusif. Di Semarang, meski selama 32 tahun dilarang, masih terdapat enam group besar barongsai, yaitu Djin Hoo Tong, Hoo Haap, Dharma Asih, Porsigap, Budi Luhur, dan Ju Djie. Pada masa Orde Baru, mereka hanya tampil di upacara klenteng seperti pada peringatan datangnya Sampoo Tay Jien ke Semarang.

Setelah Orde Baru runtuh, Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 dan menerbitkan Keppres No. 6/2000. Akhirnya warga Tionghoa dapat merayakan kembali kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanpa harus meminta izin khusus, bukan hanya ibadah, kesenian bahkan terbit koran berbahasa mandarin (Kompas, 22 Januari 2001, “Penghapusan Diskriminasi Bukan Sekedar Barongsai dan Imlek”).

Dengan demikian tradisi dan ritual etnis Tionghoa makin terbuka dan menjadi bagian dari kemajemukan budaya. Sehingga semangat masyarakat Tionghoa kembali bangkit dengan identitas mereka yang asli, maka terbentuklah kelompok pemain barongsai bagai cendawan pada musim hujan di berbagai daerah.

Masyarakat Tionghoa melanggengkan Barongsai melalui group atau sanggar yang terus berlatih bermain hewan lengenda Cina tersebut. Bahkan, di beberapa kota tertentu yang mayoritasnya masyarakat Tionghoa, barongsai menjadi kegiatan ekstra kurikuler sekolah.

Pemerintah pun mengakui dan mengangkat kesenian Barongsai dengan mengadakan kompetisi barongsai. Salah satunya pada Juli 2001, diadakan Barongsai Open Tournament di Gelanggang Olah Raga (GOR) Yadora Semarang untuk memperebutkan Piala Bergilir Gubernur Jawa Tengah dan Piala Tetap Kepala Polda Pangdam IV/Diponegoro, Ketua DPRD dan Kepala Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

Semangat membangkitkan kembali Barongsai membuat kompetisi tersebut diikuti oleh 33 peserta, dengan menghadirkan tokoh dari Beijing dan juga Pelatih Kepala Tim Barongsai Oriental Circus Taman Safari (Kompas, 9 Juli 2011, “Semarak, Kejuaraan Terbuka Barongsai”).

Barongsai pun hidup kembali dan telah menjadi bagian dari setiap perayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, baik dalam kehidupan sehari-hari juga tampil dalam kegiatan bersifat nasional. Bahkan, diadakan Festival Barongsai tingkat Nasional yang memperebutkan Piala Bergilir Presiden dan Piala Tetap Menteri Pemuda dan Olahraga. Hal ini menunjukkan eksistensi barongsai telah diakui secara resmi oleh pemerintah. Pemenang kompetisi Barongsai tingkat nasional akan menjadi wakil Indonesia untuk tampil di tingkat internasional.

Dahulu bermain Barongsai biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berlatih seni bela diri selama bertahun-tahun karena harus melakukan gerakan yang sulit seperti atlet. Berbeda dengan saat ini yang cukup waktu dua bulan untuk berlatih memainkan barongsai, bahkan oleh mereka yang bukan keturunan Tionghoa. Pertunjukan Barongsai pun hanya ada pada perayaan Imlek dan untuk kompetisi antarperguruan bela diri.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Atraksi Barongsai menghibur penumpang kereta commuter line di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Selasa (5/2/2019). Pada momen libur tahun baru Imlek 2570 PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI) turut memeriahkannya dengan menghadirkan pertunjukan Barongsai di Gerbong Commuter Line dan meluncurkan Kartu Multi Trip (KMT) edisi Imlek Tahun 2019.

Pertunjukan barongsai di Indonesia telah mengalami pergeseran adat istiadat dalam penggunaannya, yakni mulai merambah kepentingan komersial. Karena itu, muncul penilaian dari sebagian masyarakat bahwa barongsai telah kehilangan makna sakralnya, gerakan-gerakannya sudah tidak sesuai lagi dengan pakemnya  karena ditujukan untuk mencari uang dan bukan lagi bagian dari religi masyarakat (Kompas, Selasa, 28 Januari 2003, “Kesenian Barongsai Kehilangan Makna Sakral”).

Tidak dapat dapat dimungkiri pertunjukan barongsai sangat disukai masyarakat sehingga orang beramai-ramai datang untuk menontonnya. Di satu sisi kesenian ini menjadi simbol keberpihakan pada etnis Tionghoa hingga sering digunakan untuk menarik perhatian masyarakat.

Dalam kancah politik nasional, barongsai pernah dijadikan untuk menarik perhatian massa, yakni pada Deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Surakarta pada Mei 1998 dan menjadi pertunjukan saat kampanye PAN dalam Pemilu 1999.

Setelah itu muncullah barongsai pada kampanye partai politik lain seperti PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Barongsai menjadi pertunjukan yang sangat menarik bagi khalayak umum dengan seringkali mampu mengumpulkan banyak massa yang rela menontonnya. Hal itu menjadi peluang bagi partai politik ketika berkampanye, baik saat pilkada maupun pemilu, yang terkadang menggunakan barongsai untuk menarik massa. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Barongsai Nagasakti,Hanya Beramal dan Berkesenian”, Kompas, Selasa 24 Agustus 2004, hlm. 8
  • “Barongsai, Sembunyi Selama 32 Tahun”, Kompas, Sabtu, 31 Juli 1999, hlm. 16
  • “Barongsai Modern Warisan Wong Fei Hung”, Kompas, Rabu, 21 Januari 2004, hlm. 19
  • “Barongsai, Seni dan Kemajemukan”, Kompas, Selasa, 4 Mei 2004, hlm. 8
  • “Penghapusan Diskriminasi Bukan Sekedar Barongsai dan Imlek”, Kompas, Senin 22 Jan 2001, hlm. 18
  • “Semarak, Kejuaraan Terbuka Barongsai”, Kompas, Senin, 9 Juli 2011, hlm. 20
  • “Kesenian Barongsai Kehilangan Makna Sakral”, Kompas, Selasa 28 Jan 2003, hlm. 21