Paparan Topik | Hari Parlemen

Sejarah Konstitusi di Indonesia: Dari Lahirnya UUD 1945 Hingga Amendemen

Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia sepakat untuk menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti dan fungsinya. Sebagai konstitusi, UUD 1945 mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.

KOMPAS/danu kusworo

Para anggota MPR memenuhi ruang sidang utama gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/8/2000), pada hari pertama Sidang Tahunan MPR 2000. Banyaknya anggota yang melakukan interupsi mewarnai sidang ini. Mereka antara lain akan melakukan amendemen UUD 1945.

Fakta Singkat

Sejarah Lahirnya UUD 1945

  • UUD 1945 disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945
  • Naskah UUD 1945 meliputi Pembukaan dan pasal-pasal yang terdiri atas 71 butir ketentuan tanpa sebuah penjelasan
  • Dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946

Pemberlakuan UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

  • Lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, dan DPA) belum terbentuk
  • PPKI menetapkan Komite Nasional sebagai pembantu presiden
  • Indonesia dihadapkan pada revolusi fisik untuk mempertahankan negara
  • KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan GBHN

UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

  • UUDS disetujui pada 14 Agustus 1950 oleh DPR dan Senat RIS
  • Berlaku di seluruh wilayah Indonesia
  • Menganut sistem Kabinet Parlementer

Kembali ke UUD 1945 (5 juli 1959 – 1999)

  • Dekrit Presiden 5 Juli 1959
  • Dekrit dikeluarkan karena kegagalan Badan Konstituante menetapkan UUD baru pengganti UUDS 1950

Amendemen UUD 1945 di Masa Reformasi

  • Amendemen UUD 1945 pertama
  • Dilaksanakan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999
  • Diterapkan pada 9 pasal
  • Mencakup antara lain pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden
  • Amendemen UUD 1945 kedua
  • Dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000
  • Diterapkan pada 5 bab dan 25 pasal
  • Mencakup antara lain penguatan otonomi daerah, penguatan peran legislatif, HAM
  • Amendemen UUD 1945 ketiga
  • Dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR pada 1-9 November 2001
  • Diterapkan pada 23 pasal dalam 7 bab
  • Mencakup antara lain penguatan lembaga yudikatif, DPD, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi
  • Amendemen UUD 1945 keempat
  • Dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2001
  • Diterapkan pada 19 pasal
  • Mencakup antara lain tata cara pemakzulan presiden, peralihan kekuasaan presiden di masa darurat, jaminan atas hak pendidikan terhadap warga negara

UUD 1945 sebagai sebuah konsitusi, merupakan bagian tak terpisahkan dari jati diri Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi juga merupakan dokumen legal yang melahirkan identitas negara, piagam kelahiran bangsa Indonesia, cita-cita Indonesia merdeka, tujuan pembentukan pemerintah NKRI, beserta dasar negara.

Perjalanan konstitusi di Indonesia dimulai sejak satu hari setelah Ir. Soekarno mendeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan revolusi grondwet atau naskah yang kemudian dinamakan UUD 1945.

Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia, ada empat macam UUD dalam empat periode pergantian konstitusi dari awal mula Indonesia merdeka hingga sekarang. Keempat periode itu meliputi periode pertama berlaku UUD 1945, periode kedua berlaku Konstitusi RIS 1949, periode ketiga berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, dan periode keempat berlaku kembali UUD 1945 beserta Penjelasannya.

Setelah itu, UUD 1945 diubah berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dengan menggunakan naskah yang berlaku mulai 5 Juli 1959 sebagai standar dalam melakukan perubahan di luar teks yang kemudian dijadikan lampiran yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945.

Sejarah Lahirnya UUD 1945

Sebagai konstitusi negara Republik Indonesia, sejarah lahirnya UUD 1945 tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Setelah tiga setengah abad menjajah Indonesia, pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan mulailah pendudukan Jepang di Indonesia. Namun hanya tiga tahun berselang, kondisi Jepang terdesak oleh Sekutu.

Dalam kondisi tersebut, Jepang berusaha untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Janji kemerdekaan itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Koiso, pada tanggal 7 September 1944 berdasarkan keputusan Teikoku Gikai (Parlemen Jepang).

Pada tanggal 1 Maret 1945, Saikoo Sikikan, Panglima Balatentara Dai Nippon di Jawa, mengeluarkan pengumuman yang berisi rencana pembentukan sebuah badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan.

Rencana tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 29 April 1945 melalui Maklumat Gunseikan (Komandan Angkatan Darat Jepang) Nomor 23 tentang pembentukan Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai yang kemudian dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Secara kelembagaan, BPUPKI dipimpin oleh KRT Radjiman Wediodiningrat selaku ketua (kaico), Raden Panji Soeroso selaku ketua muda (fuku kaico) yang kemudian diganti Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo, dan Itjibangase Yosio Tekisan selaku ketua muda (fuku kaico) dari perwakilan Jepang. Adapun anggotanya terdiri atas 60 orang anggota biasa ditambah tujuh orang perwakilan Jepang dengan status anggota istimewa.

Para anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945 oleh Letjen Yuichiro Nagano. Sehari setelah itu, BPUPKI langsung menggelar sidang yang membahas mengenai rancangan UUD.

BPUPKI mengadakan dua kali sidang. Sidang pertama diadakan pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon 6 Jakarta (sekarang gedung Pancasila). Sidang ini dikenal dengan rapat mencari Dasar Negara Indonesia.

Setelah masa sidang pertama, diadakan masa reses selama lebih dari satu bulan. Selama masa reses, panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang (Panitia Sembilan) dan diketuai oleh Soekarno ini merumuskan naskah Pembukaan atau Preambule UUD yang juga dikenal Mukaddimah dengan istilah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Bertempat di gedung Kantor Besar Jawa Hokokai, Lapangan Banteng, pertemuan tersebut dihadiri 38 peserta rapat.

Dalam rapat tersebut, panitia kecil menampung sebanyak 40 usulan dari anggota BPUPKI selama masa reses yang dapat dikelompokkan menjadi 32 hal. Usulan terbanyak, yakni dari 26 orang mengusulkan agar Indonesia merdeka segera dilaksanakan.

Sidang kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 10-17 Juli 1945. Pada sidang kedua itu, dibentuk Panitia Hukum Dasar yang bertugas membuat rancangan undang-undang dasar. Panitia tersebut beranggotakan 19 orang yang diketuai oleh Soekarno.

Panitia ini kemudian membentuk panitia kecil yang bertugas membuat  rumusan rancangan undang-undang dasar dengan memperhatikan hasil-hasil pembahasan dalam sidang-sidang BPUPKI serta rapat-rapat Panitia Hukum Dasar.

Panitia kecil terdiri atas tujuh orang, yakni Prof. DR Supomo sebagai  ketua dengan anggota Mr. Wongsonegoro, R. Sukardjo, Mr. A. Maramis, Mr. R. Pandji Singgih, H. Agus Salim, dan Dr. Sukiman.

Panitia kecil ini menyelesaikan pekerjaannya dan memberikan laporan tentang rancangan undang-undang dasar kepada Panitia Hukum Dasar pada 13 Juli 1945. Pasal-pasal dari undang-undang dasar sendiri berjumlah 42. Dari 42 ini ada lima yang masuk peraturan peralihan berhubung dengan keadaan perang dan satu pasal mengenai aturan tambahan. Setelah melalui beberapa kali sidang, pada 17 Juli 1945, BPUPKI menerima dan menyetujui rumusan tersebut menjadi rancangan undang-undang dasar.

Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas-tugasnya, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritu Zyunbi Iinkai. PPKI bertugas menyiapkan segala sesuatu tentang kemerdekaan. Panitia ini  beranggotakan 21 orang yang diketuai Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua.

.KOMPAS/DANU KUSWORO

Ketua MPR Amien Rais mengetok palu tanda ditundanya Rapat Paripurna BP MPR. Rapat Paripurna Badan Pekerja MPR dengan agenda mendengarkan laporan hasil amendemen UUD 45 dan Rancangan Ketetapan MPR yang seharusnya berlangsung Senin (31/7/2000), ditunda sampai Rabu (2/8/2000) karena ada persoalan di PAH II BP MPR yang belum dapat diselesaikan.

PPKI mulai melaksanakan tugasnya sejak 9 Agustus 1945 dan segera menyelesaikan segala permasalahan yang terkait dengan kemerdekaan, terutama persoalan undang-undang dasar yang sudah ada rancangannya. Sesuai dengan rencana, pada 24 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia dapat disahkan oleh pemerintah Jepang di Tokyo.

Namun, sebelum PPKI sempat melaksanakan sidang, terjadi insiden yang mengubah keadaan. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom yang menyebabkan Jepang terpaksa menyerah kepada Sekutu. Akibatnya, usaha pemerintah Jepang untuk menepati janji kemerdekaan Indonesia tidak mungkin lagi dilaksanakan.

Melihat situasi seperti itu, bangsa Indonesia dan golongan pemuda tidak tinggal diam. Sebelum Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu, atas desakan golongan pemuda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta.

Kendati bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, namun belum ada lembaga kekuasaan yang dapat mengatasnamakan negara saat itu. Satu-satunya lembaga kekuasaan yang ada dan diakui adalah PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Untuk mengubah sifat yang melekat pada lembaga itu sebagai lembaga bentukan Jepang menjadi badan nasional Indonesia, Soekarno selaku ketua menambah enam orang lagi anggotanya sehingga anggota PPKI yang semula berjumlah 21 orang menjadi 27 orang.

Badan ini segera menjadwalkan sebuah pertemuan pada 18 Agustus 1945 dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia hasil rumusan BPUPKI dengan beberapa perubahan dan penambahan.

Naskah UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI meliputi Pembukaan dan pasal-pasal yang terdiri atas 71 butir ketentuan tanpa sebuah penjelasan. Pengesahan UUD 1945 ditetapkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada sidangnya tanggal 29 Agustus 1945.

Konstitusi tersebut terbagi atas tiga bagian. Pertama, Mukaddimah Konstitusi yang dinamai bagian Pembuka. Kedua, Batang Tubuh Konstitusi yang terbagi atas XV Bab dalam 36 Pasal. Ketiga, bagian Penutup Konstitusi yang terbagi atas Bab XVI pasal 37 tentang perubahan Undang-undang Dasar, Aturan Peralihan dalam IV pasal dalam dua ayat.

Pembukaan dan pasal-pasal itu di kemudian hari baru diberi Penjelasan oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo. Selanjutnya, UUD 1945 dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946. Pembukaan dan pasal-pasalnya terdapat di halaman 45-48, sedangkan penjelasannya terdapat di halaman 51-56.

Pemberlakuan UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Sejak PPKI menetapkan UUD 1945, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut UUD 1945. Namun selama masa peralihan itu, pelaksanaan sistem pemerintah negara dan kelembagaan negara yang ditentukan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan seluruhnya.

Pada periode 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, dan DPA belum terbentuk. PPKI kemudian menetapkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai pembantu presiden sesuai pasal 4 aturan peralihan UUD 1945.

Dalam pelaksanaannya, KNIP yang semula menjadi pembantu presiden, sejak 16 Oktober 1945, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945.

Berdasarkan usul KNIP, sejak tanggal 14 November 1945, sistem Kabinet Presidensiil diganti dengan sistem Kabinet Parlementer. Kekuasaan pemerintah tidak dipegang oleh Presiden tetapi dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet.

Situasi tersebut membuat pelaksanaan UUD 1945 belum berjalan optimal saat itu. Di sisi lain, bangsa Indonesia juga sedang dihadapkan pada masa revolusi fisik untuk mempertahankan negara dari rongrongan penjajah yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dalam situasi tersebut, Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka dan masih belajar mempraktekkan penyelenggaraan, sempat terjadi ketidaksesuaian antara pelaksanaan sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang diatur dalam konstitusi.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)

Kendati Indonesia telah merdeka, pihak kolonial Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Melalui politik Devide et Impera, sejak tanggal 27 Desember 1949, Belanda membentuk negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memecah NKRI menjadi negara-negara bagian seperti Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Timur, dan Negara Pasundan.

Taktik dan strategi Belanda ini menjadikan negara-negara tersebut sebagai negara boneka yang bertujuan meruntuhkan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Sejalan dengan strategi tersebut, Belanda melancarkan Agresi I pada 1947 dan disusul dengan Agresi II pada 1948.

Keadaan ini mengundang campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga kemudian dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang diselenggarakan pada 23 Agustus sampai 2 November 1949.

Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan Republik Indonesia, aliansi untuk permusyawaratan federal (Bijeenkomst voor federal Overleg atau BFO) yang dipimpin Sultan Hamid II, dan delegasi pemerintah Belanda yang dipimpin Mr. JH Van Maarseveen serta Komisi PBB untuk Indonesia.

Rancangan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dirumuskan oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO dalam KMB serta diparaf pada tanggal 29 Oktober 1949. Naskah Konstitusi RIS meliputi Mukaddimah, 197 pasal, dan lampiran pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat menurut Pasal 51 Konstitusi.

Konstitusi RIS tersebut diberlakukan secara resmi pada 27 Desember 1949 setelah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah memberikan persetujuan. Dasar hukum pemberlakuan Konstitusi RIS dalam bentuk Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 No. 48 (Lembaran Negara 50-3).

Berlakunya Konstitusi RIS untuk Negara Republik Indonesia Serikat tidak menghapuskan berlakunya UUD Republik Indonesia (UUD 1945). Namun, UUD 1945 hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia di Yogyakarta dengan Presiden Mr. Moh. Asaat.

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

Negara federal RIS hanya berlangsung singkat, sekitar delapan bulan. Beberapa negara bagian RIS menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin meluas, maka diselenggarakan pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur, dan Mansur dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950, diadakan konferensi antara wakil-wakil RIS dan dicapai kesepakatan yang kemudian disebut dengan Piagam Persetujuan.

Piagam Persetujuan itu berisi kesediaan bersama dalam membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan penyempurnaan Konstitusi RIS dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI, proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) RI. Untuk itu, dibentuk panitia yang bertugas menyusun rancangan UUDS. Panitia ini menghasilkan naskah rancangan UUDS yang setelah diperbaiki oleh pemerintah RIS dan pemerintah RI disampaikan kepada BP KNIP RI dan DPR serta Senat RIS.

Dalam sidang yang diselenggarakan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS Republik Indonesia. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman Soepomo pada 15 Agustus 1950.

Dengan berlakunya UUDS 1950, Konstitusi RIS dan UUD 1945 yang berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia tidak berlaku lagi. Pemberlakuan UUDS 1950 itu merujuk pada pasal 190, pasal 127 a, pasal 191 ayat (2) konstitusi RIS yaitu pasal-pasal tentang perubahan Undang-undang Dasar. Dengan Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 (Lembar Negara Republik Indonesia Serikat 1950 No. 56) secara resmi UUDS 1950 berlaku sejak 17 Agustus 1950.

Berbeda dengan Konstitusi RIS 1949, yang tidak sempat membentuk konstituante, dalam UUDS 1950 merealisasikan pasal 134, dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Pemilihan umum ini dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950.

Pemilihan umum pertama di Indonesia kemudian diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam Dewan Konstituante yang akan membentuk Undang-Undang Dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Selanjutnya, UUDS 1950 berlaku di seluruh wilayah Indonesia dari tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959. UUDS 1950 menganut sistem Kabinet Parlementer dan Demokrasi Liberal. Presiden sebagai kepala negara bukan Kepala Pemerintahan.

Kembali ke UUD 1945 (5 juli 1959 - 1999)

Dalam perkembangannya, Konstituante sebagai Dewan Penyusun Undang-Undang Dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun 1959 belum berhasil membuat undang-undang dasar baru. Pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah mencapai suara dari jumlah anggota Konstituante. Keadaan ini jika diteruskan akan menemui jalan buntu dan dianggap membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan Negara.

Di samping itu, selama berlakunya UUDS 1950, terjadi ketidakstabilan pemerintahan. Pergantian kabinet terjadi sebanyak tujuh kali karena dijatuhkan DPR. Sistem Kabinet Parlementer pun dianggap gagal.

Atas kondisi tersebut, maka pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang diumumkan secara resmi di Istana Merdeka Jakarta. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisikan tiga hal, yakni menetapkan pembubaran Konstituante, menetapkan UUD 1945 berlaku kembali terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, serta menetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya pembetukan MPRS dan DPAS.

Dekrit ini mendapat dukungan sebagian besar rakyat Indonesia. Melalui Dekrit ini, terjadi perubahan ketatanegaraan Indonesia, yakni naskah Undang-Undang Dasar 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasca berlakunya kembali UUD 1945, dalam kurun waktu 5 Jul 1959 sampai 11 Maret 1966, terjadi beberapa peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pertama, MPRS mengangkat Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Kedua, pecahnya peristiwa G30S/PKI.

Ketiga, peristiwa Tritura atau tiga tuntutan rakyat, yakni bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan turunkan harga-harga atau perbaikan ekonomi. Keempat dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan Supersemar 1966 yang dianggap sebagai lahirnya Orde Baru.

Selanjutnya, beberapa kejadian penting dalam pelaksanaan UUD dalam kurun waktu kedua ketika memasuki masa Orde Baru. Sidang Istimewa (SI) MPRS 1967 menarik kembali mandat presiden dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Sidang Umum MPRS 1968 lalu mengangkat Soeharto sebagai Presiden Tetap sampai terpilihnya Presiden hasil Pemilu 1971. MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sampai MPR hasil Pemilu 1971 terbentuk. Sidang Umum MPR 1973 menetapkan GBHN dan memilih Presiden serta Wakil Presiden.

Masa Orde Baru berakhir pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Presiden Soeharto dan digantikan Presiden BJ Habibie.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam proses amendemen Undang-Undang Dasar 1945 juga aktif meminta masukan dari berbagai lapisan masyarakat dan organisasi di masyarakat (11/04/2002). Untuk itu, beberapa waktu yang lalu MPR misalnya, meminta masukan dari Kontras, YLBHI, dan lain-lain.

Amendemen UUD 1945 di Masa Reformasi

Sejak pertama kali dicetuskan pada 1945 hingga berakhirnya Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno, kemudian berlanjut masa Orde Baru yang dikendalikan Presiden Soeharto selama 32 tahun, UUD 1945 sama sekali belum pernah diamandemen.

Baru pada era Reformasi setelah Soeharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998, dilakukan perubahan dalam sistem perpolitikan di Indonesia, termasuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Hal ini disebabkan oleh pasal-pasal di UUD 1945 yang dinilai memberikan kekuasaan terlalu besar kepada presiden. Peristiwa ini sekaligus meruntuhkan mitos bahwa UUD 1945 bernilai sakral dan menjadi titik awal momentum upaya perubahan terhadap UUD. Sejak itulah, konstitusi mengalami sejumlah amendemen hingga membentuk wujudnya saat ini.

Amendemen atau perubahan pada prinsipnya bertujuan mengubah/menambah, atau mengurangi pasal-pasal tertentu terhadap dokumen resmi. Amendemen terhadap UUD 1945 berarti mengubah konstitusi yang menjadi landasan hukum bernegara di Indonesia.

Amendemen UUD 1945 diadakan dengan aturan atau kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yakni tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, serta penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal atau batang tubuh.

Amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR. Proses perubahan lalu dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal yang lebih sulit untuk memperoleh kesepakatan.

Secara umum, dalam empat kali amendemen, ada 75 pasal yang diubah. Beberapa poin krusial yang diubah antara lain penghapusan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, juga kekuasaan presiden yang kala itu berwenang menerbitkan Undang-Undang.

Beberapa lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, dan Bank Sentral juga dilahirkan melalui amendemen UUD 1945.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Rapat Paripurna Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan agenda mendengarkan laporan hasil amendemen UUD 1945 dan Rancangan Ketetapan MPR yang seharusnya berlangsung Senin (31/7/2000), ditunda sampai Rabu karena ada persoalan di  Panitia Ad Hoc II BP MPR yang belum dapat diselesaikan.

Amendemen UUD 1945 pertama berlangsung pada Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999. Amendemen ini diterapkan pada 9 Pasal dari 37 Pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21.

Amendemen pertama menyangkut lima persoalan pokok, yakni lembaga pemegang kekuasaan membuat undang-undang, masa jabatan presiden, hak prerogatif presiden, fungsi menteri dan perubahan redaksional.

Amendemen UUD 1945 kedua berlangsung pada Sidang Tahunan MPR pada 7-18 Agustus 2000. Amendemen kedua meliputi 25 pasal dan 5 bab.

Pasal-pasal tersebut yakni Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18C, Pasal 19, Pasal 20 (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26 (2) dan (3), Pasal 27 (3), Pasal 28 poin A-J, Pasal 30, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 39C.

Pasal-pasal yang diubah dan ditambahkan mengatur mengenai pemerintah daerah, wilayah negara, DPR, WNI/penduduk, hak asasi manusia (HAM), Hankam, lambang negara dan lagu kebangsaan.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Bambang Pranoto (kiri), Amin Aryoso (kedua dari kanan), dan Imam Mundjiat (kanan) memberikan keterangan pers soal amendemen ketiga dan rancangan amendemen keempat UUD 1945, di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (15/7/2002).

Amendemen UUD 1945 ketiga dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001. Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 23 Pasal dalam 7 Bab.

Pasal-pasal yang mengalami perubahan dan penambahan, yaitu Pasal 1 (2) dan (3), Pasal 3 (1) (3) dan (4), Pasal 6 (1) dan (2), Pasal A (1) (2) (3) (5), Pasal 7A, Pasal 7B (1) s/d (7), Pasal 7C, Pasal 8 (1) dan (2), Pasal 11 (2) dan (3), Pasal 17 (4), Pasal 22C (1) s/d (4), Pasal 22D (1) s/d (4), Pasal 22E (1) s/d (5), Pasal 23 (1) s/d (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E (1) s/d (3), Pasal 23F (1) dan (2), Pasal 23G (1) dan 2, Pasal 24 (1) dan (2), Pasal 24A (1) s/d(5), Pasal 24B (1) s/d (4), dan Pasal 24C (1) s/d (6).

Amendemen ketiga berkenaan dengan 16 persoalan pokok, yaitu kedaulatan rakyat; tugas MPR; syarat-syarat presiden dan wakil presiden; pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; pemberhentian presiden; presiden berhalangan tetap; kekosongan wakil presiden; perjanjian internasional; kementerian negara; DPD; pemilihan umum; APBN, pajak,dan keuangan negara; BPK; kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung; serta Komisi Yudisial/Mahkamah Konstitusi.

Terakhir, amendemen UUD 1945 keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002. Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 19 Pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan.

Pasal-pasal yang terkena amendemen ialah Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37.

Pasal-pasal yang diubah dan ditambahkan mengatur tentang MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden, mekanisme pemilihan jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, persetujuan pembuatan perjanjian internasional, penghapusan DPA, penetapan mata uang dan pembentukan bank sentral, badan-badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan hak dan kewajiban warga negara dalam hal pendidikan dan kebudayan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “18 Agustus 1945: Hari Yang Bersejarah Di Pejambon”, Kompas, 16 Agustus 1975, hlm. 04
  • “Urgensi Amendemen UUD 1945”, Kompas, 30 Juni 1998, hlm. 4
  • “MPR Menyetujui Amandemen UUD 1945”, Kompas, 19 Oktober 1999, hlm. 013
  • “Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Semangat Membatasi Kekuasaan Presiden”, Kompas, 20 Oktober 1999, hlm. 19
  • “Perubahan UUD 1945”, Kompas, 03 April 2000, hlm. 04
  • “UUD 1945, Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua * Hasil Sidang Tahunan MPR 2000”, Kompas, 21 Agustus 2000, hlm. 30
  • “Perubahan Ketiga UUD 1945 (Lanjutan)”, Kompas, 31 Oktober 2001, hlm. 08
  • “Amandemen Ke-4 UUD 1945”, Kompas, 16 April 2002, hlm. 04
  • “Amandemen Keempat UUD 1945: Kegamangan Menuju Terminal Akhir”, Kompas, 01 Juli 2002, hlm. 27
  • “Tantangan Republik Konstitusional”, Kompas, 18 Agustus 2007, hlm. 06
  • “Fenomena Bola Salju Amendemen Kelima UUD 1945”, Kompas, 28 Agustus 2019, hlm. 06
  • “Risiko Bola Liar di Tengah Jalan Amendemen”, Kompas, 03 September 2021, hlm. 03
  • “Amendemen Kelima UUD NRI”, Kompas, 06 September 2021, hlm. 06
Aturan