Paparan Topik

Pergeseran Media Arus Utama dan Meluasnya Ruang Media Baru

Masifnya perkembangan internet dan media sosial menggeser penggunaan dan popularitas media-media lama. Kultur masyarakat lisan dan beragamnya fitur menjadi beberapa pendorongnya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Suasana di ruang kontrol Kompas TV, Jakarta, saat berlangsung program berita Kompas Siang, Rabu (27/1/2016). Kompas TV yang mengawali siaran pada tahun 2011 sebagai televisi dokumenter kini fokus menjadi televisi berita.

Fakta Singkat

  • Media-media baru menawarkan berbagai fungsi sekaligus, seperti menjaga hubungan dengan keluarga dan teman, mengisi waktu kosong, hingga membaca berita baru.
  • Akar budaya masyarakat lisan, khususnya di Indonesia, membuat media baru yang mengedepankan citra visual, begitu mudah diterima luas.
  • Ruang media baru cenderung mematikan sikap reflektif dan pekat dengan kepentingan korporat, sehingga mengaburkan wujud interaksi sosial yang organik.
  • Sebanyak 67,1 persen dari total 8,10 miliar populasi manusia dunia telah menjadi pengguna internet. Sementara 62,6 persen telah menjadi pengguna media sosial.
  • Di Indonesia, jumlah pengguna internet mencapai 66,5 persen populasi penduduk. Sementara pengguna media sosial mencapai 49,9 persen.
  • Pergeseran media lama ke media baru digital dibuktikan lewat durasi penggunaan Aktivitas berinternet memakan waktu terlama masyarakat dunia (6 jam 35 menit), diikuti menonton televisi digital dan streaming (3 jam 8 menit), dan bermedia sosial (2 jam 20 menit).
  • Media sosial dengan pengguna terbesar adalah Facebook (3,06 miliar), diikuti Youtube (2,5 miliar), Instagram dan Whatsapp (2 miliar), serta Tiktok (1,58 miliar).
  • Di Twitter dan Youtube, hanya 5 dan 9 persen suatu topik hangat bertahan hingga minggu selanjutnya. Sementara di surat kabar, 50 persen dari lima berita terhangat bertahan hingga minggu selanjutnya.
  • Media lama mampu tetap berdiri dengan mengusung karakternya sendiri, seperti kedalaman data, bahasa yang berkualitas, dan analisa yang tajam.

Selama hampir 14 abad, media cetak menjadi sumber informasi dan perantara komunikasi utama bagi masyarakat dunia. Wujudnya terus berkembang, dari pahatan kayu, kertas-kertas yang dihasilkan mesin cetak, hingga surat kabar. Pada tahun 1906, variasi media mulai bertambah melalui siaran radio pertama.

Capaian tersebut tidak hanya memberikan wujud media baru kala itu, namun juga menjadi pintu awal bagi perkembangan pesat ragam bentuk media dengan bentuk komunikasi yang tak kasat. Kehadiran televisi pada tahun 1926, produksi massalnya sejak 1954, dan penemuan mesin pencari yang bisa menjelajah antar komputer pada 1990 menjadi lompatan-lompatan besar berikutnya.

Kini, masyarakat dunia telah melompat begitu jauh dan memasuki era dunia media yang sama sekali baru. Setelah pada tahun 1992 Chicago Tribune lahir sebagai media daring pertama, konsep dan bentuk media demikian kini mendominasi segala akses informasi dan komunikasi manusia (Kompaspedia, 28/6/2021, Perkembangan Platform Media Penyebaran Informasi).

Situs-situs berita digital berseliweran dengan jumlahnya yang mencapai ribuan. Di saat bersamaan, media sosial turut mengambil peran sebagai penyedia informasi arus utama. Sementara intensitas klik terhadap situs-situs di internet kian bertambah, oplah penjualan surat-surat kabar cetak konsisten menurun. Nasib serupa juga terjadi pada media-media seperti radio dan televisi.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pekerja memasang koran terbitan terbaru pada papan di Jalan Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Perkembangan teknologi dan media daring berpengaruh besar terhadap tren media cetak, seperti koran yang terus menurun pembacanya. Media cetak pun saat ini harus beradaptasi melalui berbagai cara untuk bertahan.

Hadirnya Media-Media Baru

Media sosial secara masif dan konsisten telah melampaui fungsi asalinya, sebagai wadah untuk bersosial dalam komunikasi dan interaksi. Lebih daripada itu, kehadirannya telah menciptakan ruang-ruang baru yang sama sekali berbeda.

Tidak hanya untuk menjalin relasi sosial, jejaring media sosial juga berkembang menjadi ruang informasi, hiburan, dan penyediaan pengetahuan—fungsi-fungsi yang sebelumnya diemban secara parsial oleh media-media konvensional. Kapasitas multi-fungsi demikian menjadikan hidup bermedia sosial kian niscaya bagi manusia modern.

Saat ini, masyarakat dunia mengenal beberapa media arus utama yang biasa melekat dalam kehidupan harian. Sebut saja Instagram, Tiktok, X (dulunya dikenal sebagai Twitter), Youtube, Whatsapp, Facebook, Telegram, Threads, hingga Pinterest.  

Mengacu pada data We Are Social dalam laporan Digital 2024: April Global Statshot Report, hingga April 2024, sebanyak 5,44 miliar manusia di seluruh dunia telah menjadi pengguna internet. Jumlah ini setara dengan 67,1 persen dari total 8,10 miliar populasi manusia dunia.

Di saat bersamaan, jumlah pengguna media sosial di dunia mencapai 5,07 miliar manusia atau setara dengan 62,6 persen total populasi dunia. Jumlah ini bahkan meningkat pesat sebesar 259 juta dari periode yang sama pada tahun 2023.

Dari berbagai media sosial yang tersedia, Facebook memiliki basis pengguna terbesar dengan mencapai 3,06 miliar pengguna di seluruh dunia. Angka ini lantas diikuti oleh Youtube (2,5 miliar), Instagram dan Whatsapp (2 miliar), serta Tiktok (1,58 miliar). Secara rata-rata, seorang pengguna internet menggunakan 6-7 media sosial berbeda tiap bulannya.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data teraktual pada Januari 2024, jumlah pengguna internet mencapai 185,3 juta manusia atau setara dengan 66,5 persen dari total populasi penduduknya. Angka ini meningkat 1,5 juta dari tahun sebelumnya pada periode yang sama.

Sementara terkait penetrasi ke media sosial, 139 juta masyarakat telah menjadi pengguna aktif. Angka ini setara dengan 49,9 persen atau hampir setengah dari total populasi Indonesia. Meski begitu, bila ditelisik lebih rinci, sebanyak 126,8 juta pengguna media sosial di Indonesia berusia 18 tahun ke atas yang mencapai 64,8 persen dari total populasi pada usia tersebut.

Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam rentang usia 16-64 tahun, mencapai 90,9 persen dari total 185,3 juta pengguna internet. Di peringkat berikutnya, ada Instagram (85,3 persen), Facebook (81,6 persen), Tiktok (73,5 persen), Telegram (61,3 persen), dan X atau Twitter (57,5 persen).

Selain itu, yang juga menarik adalah bervariasinya fungsi media sosial bagi para penggunanya. Sebagaimana namanya, media sosial memiliki fungsi utama sebagai penghubung bagi jejaring manusia. Meski begitu, fungsi demikian meluas seiring dengan perkembangan fitur, kemajuan teknologi, dan meningkatnya dependensi manusia terhadap gawai dan internet.

Hal ini tampak dari bervariasinya alasan masyarakat dalam menggunakan media sosial. Dalam riset We Are Social terhadap masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia, lima alasan utama untuk menggunakan media sosial tampak dalam data berikut.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Persebaran data tersebut menunjukkan luasnya fungsi media sosial masa kini yang mampu memenuhi berbagai alasan penggunaannya oleh masyarakat. Melampaui fungsi semata sebagai sarana untuk menjaga hubungan sosial, media sosial juga mewujud sebagai sumber informasi teraktual, sarana hiburan, dan sumber kreativitas atau inspirasi.

Selain itu, angka-angka demikian juga memberikan arti yang signifikan bagi situasi dewasa ini. Pengguna internet dan media sosial telah menjadi mayoritas di dunia, menunjukkan bahwa konektivitas digital merupakan suatu keniscayaan.

Lebih dari sekedar angka, realitas demikian juga menjadi pendorong bagi terciptanya suatu bentuk masyarakat media yang sama sekali baru.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Siswa SD Negeri Joglo 76, Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, membaca koran bersama dalam rangka ikut merayakan Hari Pers Nasional di halaman sekolah mereka, Selasa (9/2/2010). Kegiatan ini dinilai pihak sekolah sebagai bentuk kampanye membudayakan gemar membaca sejak dini serta menjadikan koran sebagai salah satu sumber informasi yang bermanfaat.

Tergesernya Media Konvensional

Pada taraf lebih lanjut, kapasitas multi-fungsi lewat berbagai tawaran fitur dan pilihan yang mudah dijangkau ini mendukung media sosial menjadi media arus utama dewasa kini. Media-media arus utama lama mulai tergeser karena keterbatasan fitur atau manfaat yang diberikan, juga aksesibilitas yang terbatas.

Hal ini secara kasat tampak dari waktu harian masyarakat yang digunakan untuk menggunakan berbagai opsi media. Platform yang memiliki konektivitas dengan internet menarik durasi konsumsi yang lebih tinggi dibanding media-media konvensional.

Di peringkat teratas, menurut laporan Digital 2024: April Global Statshot Report, internet menjadi platform yang paling lama digunakan per harinya oleh masyarakat dunia, mencapai waktu 6 jam 35 menit. Angka ini bahkan mencapai dua kali lipat dari durasi menonton acara televisi per harinya yang mencapai 3 jam 8 menit. Perlu dicatat bahwa menonton televisi dalam konteks ini tidak hanya mengacu pada acara televisi konvensional, namun juga tontonan acara streaming dan broadcast yang terkoneksi dengan internet.

Sementara di peringkat durasi selanjutnya, ada aktivitas menggunakan media sosial (2 jam 20 menit), membaca buku daring maupun cetak (1 jam 39 menit), mendengarkan musik streaming (1 jam 24 menit), dan mendengarkan radio (49 menit). Urutan yang serupa juga ditunjukkan oleh masyarakat media di Indonesia.

Grafik: 

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pada taraf lebih lanjut, ketimpangan durasi penggunaan antara media baru dan lama menunjukkan bagaimana yang terakhir disebutkan kian tersudut dan tergantikan. Ketika alasan penggunaan internet dan media sosial kian bervariasi, durasi penggunaannya pun menjadi semakin besar.

Alhasil, durasi tersebut turut merenggut waktu yang selama ini digunakan untuk mengonsumsi media-media lama seperti buku, radio, koran, dan televisi. Masing-masing industri pada media ini pun harus menavigasi kembali strategi bisnis mereka untuk tetap bertahan di tengah gempuran digitalisasi.

KOMPAS/MEDIANA

Suasana area duduk di kantor Facebook Indonesia (18/5/2018).

Nasib Industri Media Lama

Industri perbukuan mengalami kemerosotan yang tajam sejak pandemi Covid-19. Krisis kesehatan dan pembatasan mobilitas mendorong kebutuhan dan ketergantungan yang kian besar terhadap teknologi digital.

Mengacu pada Kompaspedia (10/5/2023, Hari Buku Nasional: Dinamika, Peluang, dan Tantangan Perbukuan di Indonesia), situasi demikian menghantam penerbit arus utama maupun alternatif. Survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020 menemukan bahwa 58,2 persen penerbit mengeluhkan penjualan yang turun lebih dari 50 persen sejak sebelum pandemi. Banyak penerbit harus berhenti mencetak buku baru dan fokus menjual stok di gudang.

“Industri buku mengalami kerontokan. Kultur membaca belum tumbuh kuat di masyarakat. Ketika Covid-19 berdampak pada bidang ekonomi, otomatis buku menjadi barang tersier (bukan utama),” ungkap Candra Gautama, Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia dikutip Kompaspedia.

Hal serupa juga ditampakkan negara tetangga Malaysia. Pada tahun 2020, jumlah anggota Asosiasi Penerbit Buku Malaysia turun dari hampir 230 anggota menjadi hanya sekitar 100 anggota. Sebanyak 10 persen dari sekitar 3.000 toko buku juga terpaksa tutup pada 2020, dan 15 persen lainnya diprediksi tutup pada tahun 2021.

Tantangan serupa juga dialami oleh industri radio—yang tingkat durasi konsumsinya oleh masyarakat dunia berada di peringkat keenam dengan hanya 49 menit per hari. Apalagi melalui kehadiran bentuk-bentuk baru media suara seperti podcast dan streaming musik yang mudah diakses dengan internet tanpa mengandalkan keterbatasan siaran.

Mengacu Kompas.id (5/9/2021, Eksistensi Radio Menghibur Pendengar di Era Digital), persoalan ini dijawab oleh industri media melalui akomodasi terhadap media digital. Kini telah muncul berbagai layanan streaming dan aplikasi radio sebagai inovasi industri yang berhasil memperoleh penerimaan besar dari masyarakat. Pada tahun 2021 saja, mayoritas pendengar radio yang berusia 16-64 tahun mengakses siaran radio melalui layanan streaming setiap bulannya.

Sementara surat kabar dan majalah, sebagai bagian dari media cetak, secara lebih kasat juga mengalami tantangan. Hadirnya sumber-sumber berita yang lebih mudah diakses, murah, dan teraktual membuat kedua macam media ini tersingkir. Ketika jumlah pembaca dan pembeli konsisten menurun, kedua sumber pendapatan utama pun juga terperosok jatuh, yakni sirkulasi media dan pendapatan iklan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Analisis Pemantauan KPI Staf analis memonitor siaran televisi nasional di ruang Analisa Pemantauan Langsung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jakarta, Kamis (23/2/2023). Rata-rata penetrasi digital secara keseluruhan sekitar 81 persen yang menunjukkan masyarakat telah melengkapi siaran televisi digital secara mandiri. Komposisi pemulihan kepemirsaan televisi dari kelas sosial, untuk keluarga dengan penghasilan tinggi, menengah, dan rendah terlihat sudah relatif normal. 

Kompaspedia (28/6/2023, Perkembangan Bisnis Pers di Era Modern) mencatat bahwa dalam lima tahun (2018-2022), pendapatan sirkulasi surat kabar jatuh dari 56,148 juta dolar menjadi USD 47,109 juta dolar AS. Diprediksi, pada tahun 2023 angka tersebut turun menjadi 45,563 juta dolar AS.

Di saat bersamaan, pendapatan media cetak dari iklan turun dari 40,924 juta dolar AS pada 2018 menjadi 26,799 juta dolar AS pada 2022. Pada tahun selanjutnya, angka tersebut diprediksi akan menyentuh 25,394 juta dolar AS.

Sepinya minat pada produk-produk cetak demikian berdampak sangat signifikan dan mendorong perusahaan-perusahaan media pers pada keterbatasan dua opsi, tutup sama sekali atau mencoba peruntungan dengan tranformasi digital.

Sedikit berbeda dengan beberapa media arus utama lainnya, televisi membuktikkan diri masih eksis dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat digital. Hal ini tentunya dibarengi dengan respon cepat industri pertelevisian dalam mengakomodasi migrasi TV analog ke layanan TV digital.

Pemerintah Indonesia sendiri secara eksplisit mendorong masyarakat untuk segera beralih ke siaran TV digital seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk TV analog berada pada pita 700 MHz yakni pita yang sama dengan layanan internet.

Migrasi ke TV digital akan menghemat penggunaan pita frekuensi tersebut, membuat pita frekuensi TV analog menjadi lowong, sehingga juga meningkatkan pemanfaatan sinyal 5G untuk internet. Hal ini memungkinkan korporasi-korporasi acara TV konvensional untuk menayangkan acara TV secara digital.

Migrasi analog ke digital juga akan mendorong multiplier effect di bidang ekonomi digital. Diperkirakan, akan tercipta penambahan 181 ribu usaha baru, 232 ribu lapangan pekerjaan baru, Rp77 triliun peningkatan pajak dan PNBP, dan Rp443.8 triliun peningkatan kontribusi pada PDB nasional (Kompaspedia, 30/7/2021, Siaran TV Digital: Teknologi, Tahapan, dan Proses Migrasi Siaran Televisi Digital).

perkembangan-platform-media-penyebaran-informasi

Infografik: Muhammad Taufik Al Asy’ari

Pergeseran Media Arus Utama

Strategi dan navigasi bisnis industri media konvensional bukanlah penyebab utama pergeseran arus utama terjadi. Sebaliknya, kebutuhan akan konseptualisasi strategi dan navigasi bisnis merupakan konsekuensi dari pergeseran yang terjadi. Lantas apa faktor pendorong dari pergeseran yang terjadi?

Kemajuan industri, dari revolusi industri pertama hingga kelima jelas menjadi penyebab utama. Revolusi menghadirkan bentuk-bentuk teknologi baru dalam kehidupan manusia. Otomatisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan digitalisasi, tidak hanya memudahkan pekerjaan manusia, namun juga menyebabkan bentuk-bentuk ketergantungan baru.

Meski begitu, melampaui persoalan kemajuan teknologi semata, ada sebab-sebab kemajuan media digital tersebut dapat diterima dengan mudah, termasuk bagi masyarakat Indonesia.

Christian Fuchs dalam buku Digital Democracy and the Digital Public Sphere: Media, Communication and Society menyebutkan bahwa media digital tengah menghadirkan demokratisasi masif bagi seluruh masyarakat. Penguasaan atas informasi, pengetahuan, dan kabar hangat tidak lagi dapat dikendalikan oleh tangan-tangan tertentu.

 Persebaran akses informasi yang kian merata membuka pintu atas ruang komunikasi dan pengetahuan yang lebih terbuka bagi masyarakat. Ruang demikian mengandung wujud-wujud ekspresi yang lebih beragam dan bebas, lepas dari media konvensional yang selama ini dominan. Dalam tataran ini, Fuchs menilai media digital sebagai “ruang publik” baru.

Di saat bersamaan, penyebaran demokratisasi tersebut terjadi dengan begitu murah dan mudah. Internet dan gawai menjadi modal mutlak yang kian waktu dapat digapai oleh hampir seluruh masyarakat dunia. Aksesibilitas pada komunikasi dan informasi disambut meriah masyarakat dunia yang secara bersamaan, menanggalkan dominasi ekslusif media lama, namun masuk pada dominasi media-media baru.

Selain itu, Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia juga menekankan pesona visual yang ditawarkan oleh media-media arus utama baru. Gambar bergerak yang diiringi dengan suara dinilainya lebih mudah untuk diterima secara kreatif oleh masyarakat, apalagi bila dibandingkan dengan pesona kata-kata tertulis atau suara semata.

Pesona media baru ini secara khusus sesuai dengan masyarakat Indonesia yang memiliki akar budaya komunikasi lisan. Pertemuan dan tatapan langsung menunjukkan kebutuhan visual, sementara percakapan lisan menandakan pentingnya aspek suara atau bunyi dalam komunikasi. Media sosial dengan gambar dan video mendukung nilai lisan tersebut, dibandingkan hanya kata dan paragraf sebagaimana masyarakat yang mengandalkan komunikasi cetak layaknya surat.

Selain itu, Ariel juga menyoroti bagaimana penerimaan masif atas media digital membuka ruang bagi redefinisi komposisi budaya populer di tengah masyarakat. Budaya populer ia definisikan sebagai ragam bentuk praktik komunikasi dan konsumsi atas suatu produk (gambar, suara, dan lain-lain) atau wacana yang tersebar secara luas, mudah diakses, dan menarik bagi massa.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Salah satu proses produksi konten untuk live TikTok yang dilakukan oleh Tim Medsos Harian Kompas di Jakarta, Rabu (5/4/2023). Dengan beragam konten yang ditawarkan, kanal media sosial terus berkembang untuk menjalin interaksi dan meraih audiens terutama generasi muda di era digital seperti saat ini.

Kehadiran media baru mampu mendefinisikan secara otonom apa “yang-populer” di tengah masyarakat, tanpa kekangan penguasa ataupun industri di baliknya. Hal ini terbukti dalam riset yang dilakukan oleh Pew Research Center.

Dari riset tersebut, didapati bahwa topik-topik yang mendapat perhatian di media sosial berbeda sama sekali dengan berita dan isu yang diangkat oleh media arus utama lama. Tak hanya itu, masing-masing ruang media sosial juga menunjukkan perhatian atas isu berbeda yang menunjukkan perbedaan pangsa pasar dari tiap ruang publik digital tersebut.

Dari durasi 29 minggu yang dipantau, keselarasan topik hangat yang diperbincangkan publik Twitter dan media konvensional hanya terjadi dalam empat minggu. Angka keselarasan demkian masih lebih tinggi di ruang Youtube, yakni delapan dari 29 minggu. Analisis Pew Research Center menggarisbawahi hal ini sebagai bebasnya media-media arus utama baru dari ketergantungan pemberitaan media massa lama.

Perbedaan karakter dan minat tiap media juga tampak lewat periode waktu hangatnya suatu topik bertahan. Di media sosial, cerita dan berita begitu mudahnya mencapai viralitas dan topik hangat, namun di saat bersamaan juga begitu cepat meredup dan terlupakan. Situasi inilah yang tidak ditemukan di pemberitaan surat kabar.

KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI 

Diela Maharanie melalui akun Twitter miliknya pada Selasa (28/7/2022) menunjukkan aset NFT Kompas edisi tahun 1993, tentang kasus Marsinah.

Di Twitter, Pew Research Center menemukan bahwa hanya 5 persen cerita hangat bisa bertahan hingga minggu berikutnya. Di blog dan Youtube, angka ini lebih tinggi meski tetap menunjukkan kecenderungan yang serupa, yakni 13 persen dan 9 persen. Sementara di surat kabar, 50 persen dari lima berita terhangat bertahan hingga minggu selanjutnya.

Berbagai kemudahan, instanitas, dan familiaritas yang diusung oleh media sosial menarik generasi baru untuk meninggalkan media-media arus utama. Apalagi, selama ini media sosial memang dirancang untuk dapat menarik pengguna agar semakin lama dan betah mengonsumsi aplikasi media sosial. Hal ini membuat audiens, terutama generasi muda, cenderung enggan melangkah lebih jauh dalam mengakses berita melalui peramban (browser) ataupun membuka portal berita.

Di sisi lain, strategi perusahaan pers membuat aplikasi khusus bagi pembaca terbukti kurang efektif. Ketika media sosial sangat sarat informasi menarik dan dapat menawarkan interaksi langsung, aplikasi berita digital hanya meladeni satu fungsi, yakni menyajikan berita. Tak ayal, selain sebagai sumber hiburan, media sosial juga menjadi sumber rujukan berita yang utama.

Facebook menjadi pilihan teratas bagi semua golongan usia untuk mencari rujukan berita. Survei DNR 2023 menemukan bahwa Facebook dipilih oleh 41 responden sebagai kanal penyalur berita sehari-hari. Demografi pengguna Facebook sendiri didominasi oleh generasi milenial muda (usia 25-34 tahun) dan juga generasi Z (usia 18-24 tahun) (Kompas.id, 1/8/2023, Media Sosial Menjadi Rujukan Berita Para Audiens Muda).

KOMPAS/MADINA NUSRAT

Dunia siap menyambut teknologi jaringan generasi ke 5 atau 5G, dan masing-masing perusahaan penyedia teknologi jaringan pun mempertunjukkan kemampuannya di Mobile World Congress 2019 dii Barcelona, Spanyol, 25-28 Februari 2019. Di Indonesia, teknologi jaringan 5G ini dibangun oleh PT Telekomunikasi Indonesia bekerja sama dengan Huawei selaku perusahaan penyedia teknologi, dan Cisco selaku penyedia perangkat lunak untuk mendukung teknologi 5G.

Risiko Media Sosial sebagai Ruang Korporat

Meski demikian, di saat bersamaan, pergeseran arus utama media juga harus dihadapi secara skeptis dan berhati-hati. Terjadinya pergeseran yang masif dan terlalu cepat mendorong sikap konsumsi buta terhadap media. Audiens pengguna terfokus pada berbagai hiburan dan kemudahan yang digunakan, terfokus pada realitas baru yang disajikan layar gawai, sehingga lupa akan realitas sejati yang sejatinya dapat ditelisik.

Budi Hardiman dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital mengingatkan akan pentingnya kehati-hatian, kesadaran, dan daya kritis pada hal tersebut. Cepatnya tsunami informasi di media-media arus utama baru membuat manusia tenggelam dalam lautan informasi––menciptakan kewalahan dalam melakukan kurasi atas apa yang benar dan salah. Dalam kondisi demikian, daya kritis atas berita dan cerita sulit dihidupkan.

Pada taraf lebih lanjut, Hardiman menuliskan bahwa lingkungan media baru mematikan sikap reflektif menjadi sikap refleks. Banjir cerita dan berita spektakular, sensasional, dan kontroversial mendorong audiens untuk secara refleks merespon apa yang mereka konsumsi. Merespon menjadi begitu mudahnya, mulai dari munculnya perasaan, mengetikkan komentar, repost atau retweet, hingga sekedar memberi like atau tanda suka. 

Hal-hal demikian juga tidak lepas dari perkembangan media baru yang kian menunjukkan diri sebagai ruang korporasi. Secara kasat, kehadirannya memang memungkinkan ruang baru berinteraksi dan bersosialisasi. Bahkan, ruang ini dinilai menjadi pengganti ruang-ruang publik konvensional, layaknya taman dan plaza, dan media arus utama lama yang menawarkan komunikasi dan informasi.

Namun, dalam konteks terkini, ruang tersebut justru semakin mengokohkan status sebagai ruang yang bernuansa korporat. Di balik ragam aktivitas yang dilakukan, media sosial justru jauh dari giat organik berinteraksi, bermain, dan bersosialisasi. Tujuan atas akumulasi bisnis memenuhi giat-giat baru dalam media sosial.

Alih-alih menjalin koneksi dengan teman dan keluarga, media baru menawarkan diri sebagai platform di mana semua orang/organisasi dapat mempublikasikan konten seluas mungkin, jauh di luar jaringan kontak langsung. Apalagi, hal ini juga diikuti dengan tumbuhnya ekonomi kreator. Sebagai contoh, dinding-dinding Instagram dan Facebook begitu penuh dengan iklan atau unggahan bersponsor. Begitupun situs-situs pemberitaan.

Di TikTok, algoritma menyambungkan aliran konten yang mengalir di timeline, dibanjiri dengan konten-konten video singkat kreator dan pemengaruh yang meraup ratusan juta dari tiap unggahan. Selain itu, sejak Elon Musk membeli Twitter dan mengubahnya menjadi X, platform tersebut menunjukkan gelagat menjadi layanan berbayar yang mensyaratkan pembayaran demi bisa beinteraksi.

Pada akhirnya, ruang virtual ini bukanlah ruang alami manusia untuk bekerja, bersosialisasi, dan bermain. Kendati begitu, ketiganya malah telah menjadi kebiasaan dominan masyarakat bermedia sosial.

Media sosial justru menjauhi dimensi “sosial”-nya. Bukan lagi menghubungkan pengguna dengan orang atau komunitas seperti dulu, media sosial kini lebih banyak mendekatkan penggunanya dengan merek, pemengaruh (influencer), kreator konten, atau pihak-pihak yang ingin “menjual” sesuatu  (Kompas.id, 24/7/2023, Media Sosial yang Semakin Tidak ”Sosial”).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pegawai menawarkan baju melalui siaran langsung (live streaming) via akun instagram di salah satu toko di ITC Kuningan, Jakarta, Sabtu (22/1/2022). Konten audiovisual semakin mendominasi unggahan pengguna media sosial. Startegi pemasaran ini terbukti dapat mempertahankan bisnis konveksi di tengah sepinya penjualan melalui gerai toko. Omzet toko dalam sebulan mencapai Rp 200 juta. Akun sosial media toko tersebut telah diikuti ribuan pelanggan yang berbelanja tiap kali siaran langsung dilakukan.

Menghadapi Pergeseran Media

Masifnya invasi media baru, banyak ramalan bermunculan akan kematian media-media lama. Sebut saja ramalan Philip Meyer, profesor emeritus University of North Carolina, Amerika Serikat, dalam buku The Vanishing Newspaper yang memprediksi kematian surat kabar tahun 2043 atau sekitar 20 tahun ke depan (Kompaspedia, 28/6/2024, Tantangan Industri Surat Kabar).

Meski demikian, media-media lama tersebut masih memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Radio yang susah diramalkan mati sejak abad ke-20 akibat kehadiran TV, masih hidup dan tersiar di berbagai telinga manusia kota. Televisi dan buku mampu bertahan dengan kompromi pada digitalisasi.

Sementara surat kabar masih menjadi sumber informasi yang kredibel bagi masyarakat. Di tengah cepat dan masifnya arus informasi, surat kabar mampu menyajikan pemberitaan yang kredibel dan mendalam.

Hasil survei Litbang Kompas 25 Januari–4 Februari 2023 menunjukkan bahwa 70,2 persen responden mengaku masih memercayai pemberitaan di media formal. Sebagai perbandingan, hanya 20,9 persen yang menaruh kepercayaan terhadap media sosial.

Di saat bersamaan, Kate Knibbs dalam artikel After Threads, There Has To Be a ‘New Twitter’ Moratorium di Wired mengingatkan perlunya masyarakat internet untuk menarik garis batas. Memiliki multiplatform media sosial bukanlah kultur kehidupan yang berkelanjutan. Korporasi media sosial terus melahirkan fitur-fitur baru, bersamaan juga dengan platform baru.

Knibbs mengingatkan, masyarakat yang terus terangsang untuk mengikuti tren menggalakkan ajakan untuk sadar dan berhenti.  Pada akhirnya, manusia memerlukan pengalaman ruang berjejaring sosial yang lebih bermakna.

Pergeseran media-media baru bukanlah akhir dari media lama. Di tengah kehidupan informasi yang serba cepat namun rapuh, media-media lama dapat fokus pada nilai-nilai seperti analitis, komentar yang tajam, penggunaan bahasa yang berkualitas, investigasi yang menyeluruh, dan kedalaman data.

Persaingan atas kecepatan informasi sudah pasti tak terkejar. Itulah sebabnya media-media lama tidak perlu berkompetisi di wilayah tersebut dan berkonsentrasi pada wilayahnya sendiri. Pada akhirnya, di tengah hiruk pikuk informasi dan pergeseran yang masif, manusia masih memerlukan ruang aman yang organik sebagai oase kesegaran yang bermakna. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Heryanto, A. (2018). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Fuchs, C. (2023). Digital Democracy and the Digital Public Sphere: Media, Communication and Society. New York: Routledge.
  • Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: PT Kanisius.
Arsip Kompas
Internet

Artikel terkait