Paparan Topik | Kecerdasan Buatan

Kecerdasan Buatan: Peluang dan Urgensi Regulasi

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sudah semakin berkembang dan populer. Kecerdasan buatan dirasakan sangat membantu pekerjaan manusia dari berbagai sektor.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pelajar SMA Katolik Frateran melihat cerita bergambar yang dibuat dengan aplikasi berbasis kecerdasan buatan di Institut Sains dan Teknologi Terpadu Surabaya, Senin (10/6/2024). Dalam kesempatan tersebut pelajar yang hadir diberi pengetahuan dasar mengenai aplikasi-aplikasi yang menggunakan kecerdasan buatan. Selain itu pelajar juga diberi arahan untuk bijaksana dalam menggunakan aplikasi berbasis kecerdasan buatan. 

Fakta Singkat

  • Pengembang teknologi AI banyak melakukan adopsi kecerdasan buatan sebagai alat otomatisasi yang membantu tugas manusia.
  • Di Asia Tenggara, penanaman modal terbesar dalam pengembangan AI adalah di Indonesia dan Malaysia.
  • AI masih belum memiliki regulasi universal dalam pengelolaannya.
  • Regulasi atau payung hukum soal AI diperlukan untuk melindungi HAM, seperti penyebaran dan penyalahgunaan data.

Pengembang teknologi AI banyak melakukan adopsi kecerdasan buatan sebagai alat otomatisasi yang membantu tugas manusia. Amazon Web Services (AWS) pada Maret 2024 mengeluarkan hasil risetnya  tentang peran AI dalam pekerjaan manusia di masa mendatang.

Riset dengan judul “Accelerating AI Skills: Preparing the Asia Pacific Workforce for Jobs of the Future” memperlihatkan bahwa kebutuhan untuk pekerja yang mahir dalam menggunakan AI di kawasan Asia-Pasifik semakin meningkat, termasuk juga di Indonesia.

Diperkirakan dalam lima tahun ke depan, 98 persen perusahaan teknologi maupun non-teknologi di Indonesia akan menggunakan teknologi AI untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerjanya.

Dengan mulai banyaknya perusahaan yang sudah menggunakan dan mengimplementasikan AI, investasi ke AI juga mengalami perkembangan. Menurut laporan laman Pitchbook yang merupakan kanal investasi teknologi menjelaskan bahwa para investor bersemangat dalam terjun ke dunia AI.

Banyak perusahaan teknologi berkompetisi untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi tersebut. Pitchbook juga mengestimasikan bahwa startup yang mengembangkan AI meraup sebanyak 27 juta dolar AS dari investor di tahun 2023.

Statista memprediksi bahwa AI di pasar dunia akan mengalami lonjakan peningkatan pendapatan sampai hampir 2 kali lipat dibandingkan 2024. Lonjakan tersebut terus meningkat 100 persen tiap tahunnya. Dari sini terlihat bahwa semakin banyak investor yang menggelontorkan investasinya ke dunia AI.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Investasi AI

Di Indonesia, AI mengalami perkembangan yang sangat berkorelasi dengan pengguna internet. Di tahun 2023, terdapat 213 juta atau lebih dari 77 persen populasi Indonesia sudah menjadi pengguna internet. Start up (perusahaan rintisan) pun telah menggunakan teknologi AI dalam menunjang bisnis mereka.

Di Asia Tenggara, penanaman modal terbesar dalam pengembangan AI adalah di Indonesia dan Malaysia. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengatakan pada tahun 2023, Indonesia dan Malaysia masing-masing mendapatkan rata-rata pendanaan modal ventura (VC) sebesar 20 juta dolar AS. Negara Asia Tenggara lainnya berada di bawah kedua negara tersebut seperti Singapura (16 juta dolar AS), Thailand (12 juta dolar AS), Filipina (3 juta dolar AS), dan Vietnam (2,5 juta dolar AS).

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Meskipun begitu, banyaknya investor yang masuk ke Indonesia bisa saja menjadi boomerang bagi kita. Selain sisi positif, perkembangan AI juga bisa berdampak negatifnya.

Beberapa dampak negatif dari penyalahgunaan AI antara lain: penyalahgunaan data, dan pelanggaran privasi, dapat berdampak pada kerugian materi hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pendiri Mediawave PEMILU.AI Yose Rizal memaparkan cara kerja perangkat kecerdasan buatan untuk kampanye politik ketika Peluncuran PEMILU.AI di Djakarta Theatre, Jakarta, Kamis (20/7/2023). Sistem layanan PEMILU.AI yang berbasis kecerdasan buatan ini menjadi salah satu alternatif pilihan para pelaku kontestasi politik untuk berkampanye. 

Urgensi Regulasi

AI masih belum memiliki regulasi universal dalam pengelolaannya. Sam Altman, CEO dari Open AI (ChatGPT), mengatakan bahwa organisasi dan pemerintah perlu menyoroti dampak negatif dari AI. Sam juga mengatakan bahwa dirinya mendukung untuk pembuatan regulasi untuk AI. Tidak hanya Sam, ada pula Elon Musk (Tesla), Brad Smith (Microsoft), dan Sundar Pichai (Google) mendukung regulasi sebagai langkah penting dalam mengelola penggunaan dan pelaksanaan AI.

Regulasi AI yang dibuat nanti perlu untuk memastikan bahwa adanya perlindungan privasi dan keamanan data pengguna, mendorong transparansi, serta menghindari bias dalam algoritma AI.

Regulasi diperlukan untuk melindungi Hak Azasi Manusia, seperti penyebaran dan penyalahgunaan data. Regulasi juga harus mementingkan etika dalam menggunakan AI. Ketika etika dikedepankan, hal tersebut akan menjadi fondasi yang kuat serta membuat regulasi menjadi efektif.

Menurut kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional tentang Strategi Nasional Untuk Kecerdasan Artifisial, salah satu area fokus utama dalam strategi nasional adalah etika dan kebijakan. BPPT mengharapkan adanya pedoman dan kebijakan dalam menggunakan AI. Tidak hanya itu, diharapkan pemerintah juga perlu memperkuat hukum dalam penyalahgunaan teknologi. (LITBANG KOMPAS)

Artikel terkait