KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Salah satu petugas menggunakan kacamata pintar dalam pemeriksaan alat pemadam kebakaran dan penyelamatan korban di tengah konferensi IBM Think di Singapura, Rabu (13/9/2023). Kacamata dengan kecerdasan buatan ini dikembangkan oleh Singapore Civil Defence Force (SCDF), Infocomm Media Development Authority (IMDA), Home Team Science and Technology Agency (HTX), StarHub, dan IBM.
Fakta Singkat
Kecerdasan buatan:
Pengertian AI menurut UNESCO:
Sistem AI adalah sistem teknologi yang memiliki kapasitas untuk memproses informasi dengan cara yang menyerupai tindakan intelegensi.
Karakter penting AI:
kemampuannya untuk mempelajari lingkungannya atau suatu obyek dan kemampuannya mengambil keputusan serta mengoptimalisasi instruksi algoritmanya sendiri.
Pertama Kali Istilah AI:
1956, John McCarthy dari Universitas Dartmouth dalam pertemuan para ahli dalam membahas kemampuan berpikir mesin.
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Perkembangan terakhir Generative AI menarik perhatian banyak pihak, khususnya sejak diluncurkannya aplikasi ChatGPT pada November 2022.
Dalam waktu lima hari saja, teknologi ini telah diadopsi oleh khalayak umum, lebih cepat 66 kali dari Spotify yang diterbitkan di tahun 2008, juga jauh lebih cepat aplikasi lain layanan jasa teknologi digital lainnya, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Tiktok, dan lainnya.
Sejak peluncurannya hingga Desember 2023, ChatGPT telah digunakan oleh 180,5 juta pengguna. Teknologi AI dipercaya akan membawa perubahan besar dalam semua sektor dan lini industri, juga cara manusia hidup, bekerja, dan berelasi. Memahami teknologi ini dan memitigasi dampak-dampaknya menjadi sangat penting.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Artikel terkait
Memahami Arti Kecerdasan Buatan
AI merupakan terobosan besar dalam pengembangan komputer dan otomatisasi. Rony Medaglia dalam “Artificial Intelligence in Government” menjelaskan bahwa komputer bekerja dengan logika algoritma atau dengan melaksanakan sederet instruksi. Akan tetapi banyak hal dalam kecerdasan dan kemampuan manusia tidak dapat dengan jelas dituangkan ke dalam rangkaian instruksi yang jelas, seperti misalnya seorang anak yang belajar bersepeda.
Dalam kemampuan bersepada ada beragam konstruksi syaraf tubuh dan neuron yang bekerja dan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan ke dalam instruksi algoritmik. Hal ini yang menghambat proses otomatisasi dalam banyak hal. Akan tetapi, teknologi AI tidak memerlukan manusia untuk memberikannya serangkaian instruksi yang lengkap. AI dengan kemampuan machine learning-nya dapat mempelajari hal-hal yang berkaitan dan merangkai sendiri instruksi tersebut.
Philip C. Jackson dalam buku Introduction to Artificial Intelligence – Third Edition menyebutkan bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence ialah kemampuan mesin untuk melakukan hal-hal yang menurut orang memerlukan intelegensia.
UNESCO sendiri dalam dokumennya berjudul “Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence” menyebutkan bahwa sistem AI adalah sistem teknologi yang memiliki kapasitas untuk memproses informasi dengan cara yang menyerupai tindakan intelegensi, meliputi berpikir/berargumentasi (reasoning), mempelajari (learning), menangkap/memahami (perception), memprediksi (prediction), merencanakan (planning), dan mengontrol.
Sementara Russel dan Norvig dalam Artificial Intelligence: Modern Approach menjelaskan bahwa AI merujuk pada segala piranti yang mampu memahami lingkungannya dan mengambil tindakan-tindakan yang mengoptimalkan kemungkinan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Tiga definisi ini menunjukkan dua karakter penting dari AI yakni kemampuannya untuk mempelajari lingkungannya atau suatu obyek demi mendapatkan informasi dan kemudian mampu menentukan tindakan tertentu, atau dengan kata lain merangkai dan mengoptimalisasi instruksi algoritmanya sendiri.
Secara lebih spesifik, dunia akademis mengkategorikan kecerdasan buatan menjadi tiga kategori. Pertama ialah weak AI atau narrow AI, yakni kecerdasan buatan yang memiliki kapasitas sensor dan pengamatan untuk obyek tertentu dan mampu membantu kerja manusia untuk fungsi tertentu.
Kategori kedua adalah strong AI atau artificial general intelligence (AGI), yakni AI yang memiliki kecerdasan untuk mengolah data dari berbagai jenis obyek, memiliki kemampuan adaptasi, serta mampu melakukan pekerjaan yang kompleks.
Kategori ketiga adalah superintelligence, yakni kecerdasan buatan yang memiliki kesadaran yang mandiri, kemampuan keceradasan pengolahan data yang melampaui manusia, mampu berkarya dengan inisiatif sendiri serta menyelesaikan persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh manusia.
Salah satu kesalahpahaman dan kebingungan yang sering terjadi adalah ketika membedakan algoritma pada umumnya dengan AI. Sebagai contoh, beberapa orang mungkin mengira bahwa chatbots (fitur percakapan) pada aplikasi e-commerce yang memberikan jawaban-jawaban khusus secara otomatis terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh konsumen maupun fitur serupa pada aplikasi layanan publik dapat dikategorikan sebagai AI.
Namun sebenarnya fitur percakapan tersebut belum tentu merupakan AI, melainkan hanyalah algoritma umum yang memberikan output berdasarkan input tertentu. Akan tetapi bila fitur percakapan tersebut memang diperlengkapi dengan teknologi machine learning yang membuatnya mampu mempelajari pola pertanyaan yang diberikan dan menghasilkan jawaban yang baru dari rangkaian informasi yang ada, barulah fitur tersebut dapat dikategorikan sebagai AI.
Dari contoh tersebut dapat dipahami perbedaan antara algoritma pada umumya dan AI. Algoritma umum merupakan sekumpulan aturan atau instruksi yang dirancang untuk memecahkan masalah tertentu atau melakukan tugas tertentu.
Mereka tidak belajar dari pengalaman mereka dan tidak beradaptasi dengan informasi baru kecuali mereka diperbarui atau dimodifikasi secara manual. Sebagai contoh, program kalkulator sederhana yang menambahkan dua angka adalah algoritma. Ini melakukan tugas tertentu yang telah ditentukan sebelumnya dan tidak memiliki kemampuan untuk belajar atau beradaptasi.
Di sisi lain, AI dapat dipahami sebagai serangkaian algoritma yang dapat belajar dari data dan memperbaiki diri seiring waktu. AI dapat beradaptasi dengan informasi baru tanpa diprogram secara eksplisit untuk melakukannya. Aspek pembelajaran ini adalah yang terutama membedakan AI dari algoritma sederhana.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pengunjung mencoba teknologi kecantikan Effaclar Spotscan atau pemeriksaan kesehatan kulit dengan bantuan alat kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dipamerkan di stan L’Oréal selama acara World Congress of Dermatology 2023 di Singapura 3-8 Juli 2023 lalu.
Sejarah Perkembangan AI
Sejarah perkembangan AI dapat dikelompokan ke dalam enam periode atau tahapan, yakni kelahiran AI (1943-1956), masa perkembangan awal (1957-1974), masa sepi pertama (1975-1980), masa perkembangan kedua (1981-1993), masa sepi kedua (1994-2007), dan masa perkembangan pesat (2008 – Sekarang).
Kelahiran AI (1943-1956)
Sejarah AI dapat ditelusuri hingga paruh awal abad 20, yakni sekitar tahun 1930-1940. Sejarah AI ini tidak terlepas dari sejarah pengembangan komputer. Dalam konteks Perang Dunia Kedua, ahli matematika dan password asal Inggris, Alan Turing, pada waktu itu mengembangkan sebuah mesin yang bertugas memecahkan kode komando militer Nazi Jerman, Enigma.
Kode Enigma yang dipakai militer Nazi Jerman waktu itu dapat berubah setiap waktu, dengan total kemungkinan 15,9 ribu triliun perubahan. Jika mengandalkan kemampuan manusia untuk memecahkan kode yang digunakan satu per satu, memecahkan satu kode memerlukan waktu yang lebih panjang dari menunggu punahnya kehidupan di bumi.
Alat yang dikembangkan oleh Alan yang dinamai Bombe itu mampu memecahkan password Enigma. Alat ini memiliki kapasitas kerja yang lebih cepat dan akurat dari kerja manusia.
Setelah perang berakhir, terinspirasi oleh pengalaman keberhasilan Bombe dalam memecahkan kode Enigma, Alan Turing menuliskan dalam sebuah artikel jurnal ilmiah berjudul “Computing Machinery and Intelligence” di tahun 1950.
Secara sederhana, tulisan ini mengangkat suatu pertanyaan penting, “Apakah mesin dapat berpikir?” Pertanyaan ini pula yang menjadi pencarian banyak ilmuan selanjutnya. Apakah mesin, dalam hal ini komputer, dapat berpikir sebagaimana manusia berpikir?
Alan Turing sendiri menuliskan, “Apabila sebuah mesin dapat berbincang dengan manusia dan dalam pembicaraan mereka tidak dapat kita pastikan apakah dia memang mesin, maka mesin ini sungguh telah memiliki kemampuan intelegensi manusia.” Hal ini yang lalu dikenal sebagai Alan Test.
Dua penemuan awal berkaitan dengan kecerdasan buatan terjadi pada tahun 1950 dan 1955. Pada tahun 1950 Claude Shnnon merancang sebuah sistem robot berbentuk tikus dengan kontrol jarak jauh. Robot tikus ini dapat menemukan sendiri jalan keluar dari labirin dan mengingat rute perjalanannya itu.
Sementara itu, pada 1955, Allen Newell, Cliff Shaw, dan Herbert Simon mengembangkan satu program bernama Logic Theorist. Program ini didisain untuk menyerupai kemampuan pemecahan masalah (problem solving) manusia.
Research and Development (RAND) Corporation dari Amerika Serikat mendanai program yang pertama kali dirancang untuk mampu menyerupai kecerdasan manusia ini. Meski demikian, kelahiran konsep kecerdasan buatan atau artificial intelligence baru dicetuskan di tahun berikutnya.
Tahun 1956, seorang asisten profesor bidang matematika dari Universitas Dartmouth, AS, John McCarthy, bersama dengan Marvin Lee Minsky dan Claude Elwood Shannon mengadakan suatu pertemuan di Universitas Dartmouth dengan mengundang berbagai ahli dan ilmuan yang memiliki interese sama untuk membahas persoalan kemampuan berpikir mesin tersebut.
Pada pertemuan inilah istilah artificial intelligence pertama kali digunakan dan mulai menjadi satu bidang keilmuan tersendiri. Mereka menuliskan demikian, “Manusia akan terus mencoba agar mesin dapat memahami bahasa, membentuk pemikiran abstrak, menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang kita miliki sekarang, bahkan menyempurnakan dirinya.” Pertemuan ini dianggap sebagai kelahiran kecerdasan buatan.
Masa Perkembangan Awal (1957-1974)
Dalam kurun waktu 1957 hingga 1974 terjadi perkembangan signifikan komputer dan peneilitian terkait kecerdasan buatan. Masa ini juga dikenal sebagai Masa Emas Sepuluh Tahun AI. Beberapa penemuan penting pada masa itu termasuk:
- Kisaran tahun 1950, Arthur Samuel dari IBM berhasil menciptakan program pemain catur. Program ini pertama kalinya mampu mencapai kemampuan manusia dan memadani para pemain catur.
- Tahun 1957, Frank Rosenblatt menciptakan “Perceptron”, yakni suatu sistem algoritma yang untuk pertama kalinya mampu mendefinisikan secara tepat jaringan saraf dua lapis.
- Tahun 1964, Daniel Bobrow menyelesaikan tesis doktoralnya di MIT “Input Bahasa Alami untuk Sistem Pemecahan Masalah Komputer”. Tesis ini ia kembangkan menjadi program pemahaman bahasa alami yang disebut “Student”.
- Tahun berikutnya, Joseph Weizenbaum mengembangkan program interaktif ELIZA yang dapat memulai percakapan tentang topik apa pun.
- Tahun 1966, SRI International berhasil merancang sebuah robot bernama Shakey yang mampu memikirkan gerakannya sendiri berdasarkan logika tertentu.
- Tahun 1969, Arthur Bryson dan Yu-Chi Ho mendefinisikan backpropagation sebagai metode optimasi sistem dinamis multi-tahap yang dapat digunakan dalam jaringan saraf tiruan multi-layer.
- Tahun 1969, Marvin Minsky dan Seymour Papert yang menuliskan Perceptrons: An Introduction to Computational Geometry di tahun 1969. Karya ini menjelakan keterbatasan model jaringan syaraf sederhana.
Masa Sepi Pertama (1975-1980)
Mulai tahun 1970-an, banyak orang mulai menyangsikan kemampuan pengembangan kecerdasan buatan. AI hingga masa ini yang hanya mampu mengerjakan tugas-tugas sederhana. AI tidak lebih dari pada alat permainan saja.
Dengan menurunnya kepercayaan, menurunlah antusiasme juga mengurangi dukungan kepada penelitian AI, baik itu finansial maupun dukungan lainnya. Lantas penelitian dan pengembangan AI semakin menurun pula.
Batasan dan kendala pengembangan teknologi AI pada masa ini terutama terletak pada fakta bahwa komputer pada tahap ini belum mampu menyimpan banyak informasi ataupun memprosesnya dengan cepat. Hal ini tentu membatasi kemampuan ‘berpikir’ AI, termasuk pemahaman common sense dan kemampuan inferensi.
Hal ini karena untuk dapat mencapai kemampuan berpikir manusia, AI bukan hanya perlu sensor dan kemampuan bahasa natural. Ia perlu seperti manusia perlu mengumpulkan berbagai informasi dan pemahaman tentang dunia untuk dapat memahami “apa yang ia lihat” dan “apa yang ia katakan” dalam konteks pengetahuan tentang dunia tersebut.
Sebagai contoh, AI pada waktu itu tidak dapat menerjemahkan kalimat bahasa Inggris berikut dengan baik karena tidak memiliki pemahaman akan dunia atau konteks, “The pen was in the box; the box was in the pen.”
Tanpa pemahaman tersebut, AI akan langsung menerjemahkannya menjadi, “Pena ada di dalam box; box ada di dalam pena.” Padahal box tidak mungkin dimasukkan ke dalam pena. Kata ‘pen’ dalam frasa kedua mestinya diterjemahkan menjadi ‘kandang ayam’.
“Komputer masih sangat lemah, satu juta kali terbelakang untuk bisa menunjukkan tanda ‘kecerdasan’”, ujar murid doktoral dari McCarthy, Hans Moravec.
Masa Perkembangan Kedua (1981-1987)
Pada kisaran tahun 1980, penelitian terkait AI kembali tumbuh dan mendapat perhatian. Periode 1980 sampai 1993 ini dianggap sebagai masa perkembangan kedua AI.
Perkembangan ini dipantik oleh dua hal. Pertama ialah perkembangan dan perluasan metode-metode algoritma. Perkembangan ini amatlah penting bagi kemajuan komputer. Sumber kedua adalah meningkatnya pendanaan untuk pengembangan algoritma komputer tersebut.
Ada beberapa penemuan penting pada periode ini. Salah satunya adalah dikembangkannya teknik “deep learning” oleh John Hopfield dan David Rumelhart.
Metode ini membuat komputer dapat mempelajari suatu melalui pengalaman. Selain itu, Edward Feigenbaum memperkenalkan pula “expert system” yakni algoritma komputer yang coba menyerupai proses pengambilan keputusan oleh seorang ahli yang adalah manusia.
Perkembangan AI pada masa ini bukan hanya terjadi di Barat, melainkan juga di Asia Timur. Pemerintah Jepang pada masa itu menggelontorkan banyak dana untuk penelitian expert system dan penelitian terkait kecerdasan buatan lainnya sebagai bagian dari proyek riset Jepang bernama Fifth Generation Computer Project.
Sebagai catatan, dalam kurun 1982-1990, Pemerintah Jepang menginvestasikan hingga 400 juta USD untuk tujuan pengembangan revolusioner proses komputasi, logika pemrograman, dan kecerdasan buatan.
Masa Sepi Kedua (1988-1993)
Setelah melejitnya AI pada kurun 1980-1987, optimisme publik, perusahaan komersial dan investor, juga pemerintah merosot pada kurun 1988-1993 ini, seperti gelembung ekonomi yang pecah. Penelitian untuk pengembangan AI kembali menurun pada kurun waktu 1988-1993, demikian halnya dengan penemuan terkait pengembangan AI.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Masa Perkembangan Stabil (1994-2009)
Perkembangan signifikan kembali muncul pada kisaran tahun 1994-2009. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh peningkatan kapasitas dan kemampuan pemrosesan komputer.
Perkembangan yang terjadi pada tahap ini dapat dibagi ke dalam tiga kelompok penelitian AI. Pertama ialah mazhab simbolisme. Kelompok ini meyakini bahwa dasar utama dari kecerdasan buatan adalah logika matematis. Menurutnya, pengetahuan yang bersifat a priori dapat dijabarkan dalam susunan matematis bagi AI.
Pengetahuan a priori artinya ia bisa dilepaskan dari pengalaman nyata, seperti pemahaman matematis “dua tambah dua sama dengan empat” yang tidak perlu pengalaman untuk dapat dipahami.
Dengan kata lain, mazhab ini memandang bahwa AI adalah suatu program yang mampu menyerupai kecerdasan manusia dalam menggunakan pemahaman yang telah ada untuk membuat inferensi, perencanaan, perhitungan logis, pengambilan keputusan, dan sebagainya.
Dari mazhab ini muncul beberapa penemuan menakjubkan. Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya AI mengalahkan kecerdasan manusia dalam permainan catur. Juara dunia catur, Grand Master Gary Kasparov dikalahkan oleh Deep Blue yang dikembangkan oleh IBM. Deep Blue ini adalah program komputer yang mampu menjalankan permainan catur.
Mazhab kedua adalah pendekatan sistem neuron atau koneksionisme. Pendekatan koneksionisme dapat dipahami sebagai simulasi dan pemahaman kecerdasan manusia yang tersusun oleh jaringan saraf otak. AI yang dibangun dengan sistem ini dimaksudkan untuk menemukan pola sendiri yang diperoleh dari jaringan banyak data. Dari model inilah kelak berkembang deep learning.
Buah-buah perkembangan AI dari penelitian mazhab ini ada banyak, termasuk di antaranya ialah penemuan ‘Perceptron’ oleh Frank Rosenblatt (1957) yang diikuti oleh penerbitan ‘Perceptrons: An Introduction to Computational Geometry’ oleh Marvin Minsky dan Syemour Papert (1969); Pengembangan back-propagation oleh David Rumelhart, Geoffrey Hinton, dan Ronald Williams (1989); Penelitian Yann LeCun di Bell Labs tentang algoritma back-propagation pada jaringan saraf multi-lapis (1989) yang berhasil menciptakan sistem pengenalan kode pos tulis tangan; Pengembangan konsep jarngan saraf Long Short-Term Memory oleh Sepp Hochreiter dan Jürgen Schmidhuber (1997) yang menjadi cikal bakal sistem rekognisi tulisan tangan dan suara.
Mazhab ketiga disebut sebagai mazhab behaviorism. Bersamaan dengan perkembangan robotik, kelompok ini meyakini bahwa kecerdasan buatan yang sejati memerlukan tubuh seperti layaknya manusia.
Robot yang memiliki sensor, kemambuan bergerak, bertahan hidup dan berinteraksi dengan manusia adalah bentuk kecerdasan buatan yang mereka idealkan.
Kelompok ini juga berangapan bahwa kecerdasan buatan mestilah didasarkan dari kecerdasan yang paling dasar, mulai dari gerak dan interaksi seperti makhluk hidup, dan bukan hanya kemampuan pemahaman abstrak.
Bagi mereka, kecerdasan pada manusia itu sendiri merupakan hasil proses evolusi yang panjang, bermula dari kecerdasan yang paling sederhana dan konkret, baru menjadi kecerdasan yang kompleks seperti saat ini.
Dengan kata lain yang perlu diteliti adalah bagaimana kecerdasan dalam tindak-tanduk (behavior) manusia dipahami dan disimulasikan oleh kecerdasan buatan tersebut. Salah satu perusahaan yang menggeluti penelitian kecerdasan buatan dengan model ini adalah Boston Dynamics.
Masa Perkembangan Pesat (2010 – Sekarang)
Dalam satu dasawarsa terakhir, perkembangan kecerdasan buatan sangatlah mengaggumkan. Salah satu momentumnya adalah kemenangan Watson, program kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh IBM untuk menjawab pertanyaan dalam bahasa alami pada acara kuis kecerdasan Amerika Serikat di tahun 2011.
Ia mengalahkan dua juara manusia dan memenangkan hadiah sebesar 1 juta dolar Amerika. Momentum penting lainnya ialah pengembangan sistem AlexNet, yakni suatu sistem “deep learning” yang memiliki jaringan neural dengan banyak lapis.
Perkembangan AI yang mencengangkan pada tahap ini tentunya banyak dipengaruhi oleh perkembangan komputer sejak milenium kedua (tahun 2000) seperti kemampuan pengolahan data processor dan memori komputer.
Namun selain itu juga didukung oleh perkembangan berbagai sistem rekognisi. Lima sistem pengenalan atau recognisi berhasil dikembangkan hingga menerupai kecerdasan manusia, bahkan beberapa melampaui kemampuan manusia, pada kurun waktu 1998 hingga 2020.
Hal ini meliputi sistem pengenalan tulisan tangan, sistem pengenalan suara bicara, sistem pengenalan gambar, sistem pemahaman bacaan, hingga pemahaman bahasa.
Selain itu, kemampuan kecerdasan buatan juga didukung oleh berlimpahnya data yang kini dimungkinkan berkat perkembangan internet dan penggunaan luasnya oleh masyarakat. Keberlimpahan data dalam periode big data ini yang memungkinkan proses machine learning untuk pengembangan kecerdasan buatan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Suasana penyelenggaraan Alibaba Cloud Global Summit 2023 di Kota Hangzhou, China, Selasa (26/9/2023). Dalam kesempatan itu, Alibaba Cloud, perusahaan teknologi digital dari Alibaba Group yang memiliki layanan komputasi awan, meluncurkan sejumlah layanan berbasis kecerdasan buatan. Layanan itu berupa aplikasi pencarian cerdas, komputasi cerdas, dan pelatihan untuk percepatan pengambilan keputusan.
Artikel terkait
Perkembangan Generative AI
Contoh aplikasi teknologi AI yang disebutkan di awal, ChatGPT merupakan salah satu perkembangan termutakhir dari teknologi ini. Ia dikenal sebagai Generative AI.
Istilah Generative AI, atau dalam bahasa Indonesia Kecerdasan Buatan Generatif, merujuk pada jenis kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan untuk menciptakan konten baru, baik itu dalam bentuk teks, gambar, musik, atau bahkan kode pemrograman, yang sebelumnya tidak ada.
Jadi letak kekhususan dan keunggulannya adalah kemampuannya untuk menghasilkan output baru, alih-alih sekedar menganalisis atau mengolah data yang ada.
Lebih lanjut, Generative AI tersebut dibedakan dari sistem AI tradisional yang hanya memiliki kemampuan deskriptif. Artinya, ia hanya dapat menganalisis data dan memberikan wawasan, prediksi, atau keputusan berdasarkan data tersebut, tanpa menghasilkan data atau konten baru.
Istilah ‘GPT’ pada nama aplikasi ChatGPT itu sendiri merujuk pada algoritma khusus jenis Generative AI yang dikembangkan oleh perusahaan OpenAI bernama generative pretrained transformer.
Generative berarti ia mampu memproduksi teks atau kode baru. Pretrained berarti algoritma ini menjalani proses pelatihan awal di mana ia dipaparkan pada beragam sumber informasi untuk dapat mempelajari berbagai pengetahuan dan pola-polanya. Sementara, kata transformer merujuk pada jenis arsitektur jaringan saraf yang digunakan oleh model ini (dikembangkan oleh Google).
Perkembangan Generative AI memang relatif baru. Sebelum gemparnya masyarakat umum dengan ChatGPT, pada tahun 2021 telah ada teknologi Generative AI bernama GitHub Copilot yang membantu kerja para pengembang piranti lunak (software) dalam penyusunan kode pemrograman.
Satu tahun berikutnya ChatGPT, lalu Dall-E muncul sebagai sistem generative AI yang melayani kebutuhan publik lebih luas, karena kemampuannya dalam memproduksi kalimat dan gambar.
KOMPAS/HELENA F NABABAN
Penumpang hendak memasuki Stasiun Takanawa Gateway, Tokyo, Rabu (15/11/2023). Sebagai salah satu stasiun baru dalam lintas pelayanan Yamanote Line di Tokyo, Jepang, Stasiun Takanawa Gateway hadir dengan menerapkan teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi. Di minimarket di stasiun itu pembeli bisa memilih dan membayar sendiri barang yang dibeli. Kecerdasan buatan diterapkan untuk memindai perilaku pembeli dan cara membawa barang-barang. Cara ini juga untuk menggantikan keberadaan petugas kasir dan petugas keamanan.
Penggunaan AI di Berbagai Bidang
Kemajuan artificial intelligence dibarengi dengan perluasan penggunaannya di berbagai bidang. Su Jun, seorang professor dari Universitas Tsinghua yang meneliti dampak pengembangan AI bagi masyarakat menjelaskan bahwa berdasarkan luasan obyek sasarannya, bidang penggunaan AI dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan atau kategori.
Pertama ialah penggunaan AI di ranah individu. Kedua ialah penggunaan AI untuk keperluan organisasi dan industri. Ketiga dalah penggunaan AI pada tatanan pemerintahan dan tananan ekonomi secara keseluruhan. Pada setiap tingkatan tersebut, penggunaan AI beraneka ragam.
Di ranah individu, penggunaan AI meliputi teknologi pengidentifikasian biologis, teknologi bionik, penggunaan generative AI oleh individu untuk pencarian informasi dan percakapan, algoritma rekomendasi.
Di ranah industri dan organisasi, penggunaan AI meliputi teknologi pemantauan proses industri, pembelajaran jarak jauh, kendaraan tanpa pengendara atau mobil nirawak, teknologi pengobatan klinis yang akurat.
Di level masyarakat umum atau pemerintahan, penggunaan AI termasuk smart city, pusat data seluruh industri atau sektor tertentu, pemerintah digital (e-government).
Detail tentang aplikasi atau penggunaan AI ini tentu akan berkembang seiring perkembangan inovasi di bidang AI, tetapi tingkatan sasaran penggunaan AI tersebut tetaplah berada pada tiga kategori tersebut. Beberapa mungkin memiliki aplikasi yang luas meliputi ketiganya sekaligus, seperti Generative AI ChatGPT.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Data jumlah paten terdaftar yang dihimpun oleh Our World in Data (Universitas Oxford) menunjukkan bidang-bidang di mana teknologi AI banyak dikembangkan.
Bidang piranti personal dan komputer, bidang telekomunikasi, dan bidang bisnis merupakan bidang-bidang yang mengalami peningkatan jumlah paten terdaftar terbanyak dalam kurun waktu sepuluh tahun, yakni 2010-2020.
Data berikut ini menunjukkan bahwa bidang-bidang tersebut pulalah yang mengalami perkembangan penggunaan teknologi AI terpesat dalam kurun waktu 2010-2020.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Mempertimbangkan Dampak AI
Karena kemampuannya yang menyerupai kecerdasan manusia, AI dapat membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan manusia.
Bahkan, pada beberapa segi mungkin telah melampaui kecerdasan manusia, dibarengi dengan penggunaannya yang luas di berbagai bidang,
Persoalan dan perdebatan yang muncul dari isu dampak AI ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni persoalan positif dan persoalan normatif.
Kata ‘positif’ di sini bukan merupakan lawan kata dari ‘negatif’, melainkan merujuk pada persoalan dampak AI pada kehidupan masyarakat sebagaimana adanya, tanpa penilaian baik-buruk dan tanpa pertimbangan etis harus bagaimana ditanggapi.
Kata ‘positif’ tersebut berasa dari bahasa Latin ‘positare’ yang berarti ‘meletakan’, artinya halnya diletakkan sebagaimana adanya, bukan untuk dipertimbangkan ‘harus bagaimana’.
Sementara itu, persoalan normatif mempertimbangkan baik-buruknya penggunaan AI dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini barulah pertimbangan ‘positif-negatif’ dilakukan. Sebagai catatan, perbedaan ini adalah kategori perspektif perbincangan tentang AI, sementara pada kenyataannya keduanya dapat berkaitan dengan satu persoalan yang sama.
Dalam perbincangan dan penelitian positif (non-normatif) tersebut dibahas misalnya bagaimana AI mungkin mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja; bagaimana AI mampu meningkatkan keberhasilan kegiatan belajar-mengajar; bagaimana AI mampu memprediksi bencana dan kriminalitas, serta menyajikan saran migtigasi dan penanganannya; bagaimana AI berdampak pada tingkat lapangan pekerjaan; bagaimana AI membantu pendeteksian penyakit, mitigasi, serta pengobatannya yang terkonstumisasi, dan sebagainya.
Dalam berbagai bidang, secara umum dapat dikatakan bahwa kecerdasan buatan berpotensi meningkatkan efisiensi kerja secara dramatis. Ia dapat melengkapi pekerjaan manusia, juga mengambil alih tugas yang repetitif atau berbahaya.
Hal ini membuat manusia dapat mengalihkan tenaga, waktu, dan perhatiannya untuk pekerjaan yang lebih membutuhkan kemampuan manusia (tugas yang melibatkan kreativitas dan empati di antaranya) dan yang sesuai dengan interese pribadi.
Penelitian dari PwC menunjukkan fakta adanya perbedaan besarnya dampak AI pada berbagai wilayah ekonomi dunia. China dan Amerika Utara diprediksi menjadi wilayah yang memperoleh pertumbuhan ekonomi terbanyak dari perkembangan teknologi AI.
Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya penelitian dan pengembangan AI di dua wilayah tersebut, diikuti oleh aplikasi yang masif oleh berbagai industri, dan ditopang oleh peraturan perundang-undangan yang memang lebih cenderung mendukung pengembangan AI dan penerapannya daripada kebijakan keamanan yang ketat seperti di wilayah Eropa.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Selain dampaknya pada berbagai lini kehidupan dan ragam sektor industri, AI membawa persoalan etis yang luas. Mulai dari apakah otonomi manusia dapat dijaga di tengah perkembangan pesat AI; apakah AI membawa tatanan masyarakat yang lebih adil dan inklusif, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu saja; apakah AI membawa kemajuan pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan; bagaimana privasi data dipastikan, dan sebagainya.
Salah satu contoh persoalan yang ramai diperbincangkan adalah tentang lapangan pekerjaan. Sebagai contoh, penelitian dari lembaga konsulan investasi dan finansial, PwC menunjukkan bahwa AI akan diestimasikan akan menggantikan pekerjaan hingga 7 juta lapangan pekerjaan di Inggris pada kurun waktu 2017 hingga 2037,
Namun pada saat yang sama memunculkan 7,2 juta lapangan pekerjaan baru. Meskipun menghasilkan lapangan pekerjaan baru, transisi dari hilangnya pekerjaan dan munculnya pekerjaan baru ini akan membawa dampak sosial dan ekonomi yang luas.
Orang yang tidak mendapatkan pendidikan atau pelatihan cukup mungkin tidak akan mampu memperoleh peluang pekerjaan baru tersebut. Di sinilah letak persoalan etisnya, keadilan sosial.
Di sisi lain, AI juga sangat berkaitan dengan persoalan privasi data personal. Algoritma AI memerlukan data untuk belajar dan membuat keputusan yang semakin akurat.
Namun, proses pengumpulan data ini seringkali melibatkan informasi pribadi yang sensitif, mulai dari data lokasi, preferensi pribadi, hingga kebiasaan penggunaan internet.
Masalah privasi ini menjadi sangat kritis ketika data tersebut tidak hanya digunakan untuk meningkatkan layanan, tetapi juga untuk tujuan-tujuan lain seperti target iklan, analisis perilaku, atau bahkan pengawasan yang tidak etis, baik oleh pihak yang tidak berwenang maupun oleh negara itu sendiri.
Pada tahun 2022 Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan dokumen “Principles for the Ethical Use of Artificial Intelligence in the United Nations System” yang menjadi pedoman etika bagi PBB dan negara-negara anggotanya dalam penggunaan AI pada setiap tahapan pengembangannya.
Dokumen ini merupakan kelanjutan dari Ethics of AI recommendation yang diterbitkan UNESCO. Prinsip-prinsip yang diajukan oleh PPB sebagai dasar etika penggunaan AI meliputi sepuluh prinsip, yakni (1) non-maleficence (tidak menyebabkan bahaya); (2) tujuan, kebutuhan, dan proporsionalitas yang terdefinisikan; (3) keselamatan dan keamanan; (4) keadilan dan non-diskriminasi; (5) sustainability (kesesuaian dengan pembangunan berkelanjutan); (6) hak privasi, perlindungan data, dan tata kelola data; (7) otonomi manusia dan pengawasan; (8) transparansi dan keterjelasan (explainability); (9) tanggung jawab dan akuntabilitas; serta (10) inklusi dan partisipasi.
Memastikan perkembangan AI membawa dampak baik bagi masyarakat secara inkluif dan tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya. Kesesuaian dengan prinsip-prinsip etis menjadi tanggung jawab semua pihak mulai dari industri pengembang dan pengguna, juga pemerintah dan masyarakat umum. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Jackson, P.C. (2019). Introduction to Artificial Intelligence: Third Edition. Dover Publications.
- Russel, S. & Norvig, P. (2020). Artificial Intelligence: A Modern Approach – Fourth Edition. Pearson.
- Yang Zhenghong (2021). Pengantar teknologi kecerdasan buatan. Qīnghuá University Press.
- Badan Riset dan Inovasi Nasional. (2021). Prosiding Use Cases Artificial Intelligence Indonesia – Embracing Collaboration for Research and Industrial Innovation in Artificial Intelligence.
- Oxford Insights. (2022). Government AI Readiness Index 2022.
- Stanford University. (2022). Artificial Intelligence Index 2023.
- UN Office for Information and Communications Technology. (15 Maret 2021). A Framework for Ethical AI at the United Nations.
- (20 September 2022). Principles for the Ethical Use of Artificial Intelligence in the United Nations System.
- (2023). Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence.
- Fuhrer, C. (2023). Intelligence Artificielle : que dit la recherche récente ? Une approche combinée bibliométrique et textuelle. Management & Avenir, 5(137), hlm 89-111.
- Medaglia, R., Gil-Garcia, J. R., & Pardo, T. A. (2023). Artificial Intelligence in Government: Taking Stock and Moving Forward. Social Science Computer Review, 41(1), hlm 123-140.
- Su Jun, Wei Yuming, Huang Cui (2021). Kerangka analisis terpadu dampak sosial kecerdasan buatan berdasarkan ekologi pemandangan. Sains dan Manajemen Sains dan Teknologi, 42(05), hlm 3-19.
- “Memaknai kecerdasan buatan dalam goresan peradaban,” id, 10 November 2023.
- “The brief history of artificial intelligence: The world has changed fast – what might be next?” Oxford University – Our World in Data, 6 Desember 2022.
- “The History of Artificial Intelligence,” Harvard University, 28 Agustus 2017.
- “History of A.I.: Artificial Intelligence,” Live Science, 26 Agustus 2014.
- “Apa itu Kecerdasan Buatan?” – Sejarah Singkat Kecerdasan Buatan,” Zhihu, 26 Maret 2023.
- “Chat GPT: Achieving 100 Million Users in Just 2 Month — A Deep Analysis,”
- “Symbolic vs Connectionist A.I,”
- “What is generative AI,” McKinsey, 19 Januari 2023.
- “What is the impact of artificial intelligence AI on society,” Bernard Marr.
- “Artificial intelligence is transforming our world — it is on all of us to make sure that it goes well,” Oxford University – Our World in Data, 15 Desember 2022.
- “Sisi Gelap Kecerdasan Buatan Generatif,” id, 7 November 2023.
- “Jokowi ungkap banyak negara takut terhadap AI,” com, 15 September 2023.
- “Generative AI will go mainstream in 2024,” the Economist, 13 November 2023.