KOMPAS/Ardus M Sawega
Pertunjukan grup lawak Srimulat dengan bintang tamu pelawak Uus dan Cahyono dalam pertunjukan di Solo, pertengahan Agustus 1983.
Siapa yang tidak tahu dengan pelawak Nunung dan Tarsan yang sering tampil menghibur pada acara-acara televisi atau Kadir, pria keturunan Arab yang selalu berlogat Madura dan Tessy alias Kabul Basuki. Meskipun mereka saat ini sudah jarang tampil di layar kaca, tetapi setiap kehadiraanya masih saja bisa mengocok perut penonton. Mereka semua adalah mantan anggota grup Srimulat. Sebuah kelompok sandiwara komedi yang pernah populer pada masanya di Indonesia.
Kelompok ini memiliki sejarah panjang. Cikal bakalnya dimulai dari kelompok kesenian tradisional, Wayang Orang Sri Darmo Wandowo, Ketoprak Wara Mulat Budoyo dan Sandiwara Jawa Srimulat yang didirikan oleh bintang panggung Raden Ayu Srimulat pada era 40-an. Seniwati serba bisa kelahiran 7 Mei 1908 tersebut melakukan pembaharuan pada setiap pertunjukannya termasuk menambahkan unsur humor dalam adegan-adegan selingan.
Srimulat menikah Kembali pada 8 Agustus 1950 dengan Teguh Slamet Raharjo alias Kho Djien Tiong yang seorang musisi panggung berusia 24 tahun. Sementara usia Srimulat pada waktu itu 42 tahun. Pernikahan ini adalah pernikahan keempat Srimulat. Tak lama kemudian mereka mendirikan Gema Malam Srimulat. Kelompok ini mentas keliling di kota-kota kecil di Jawa tengah dan Jawa Timur. Sebelum 1957 sempat berganti nama menjadi Srimulat Review dan ketika memasuki tahun 1957 kelompok tawa ini berubah nama menjadi Aneka Ria Srimulat.
Setelah lebih 10 tahun keliling menghibur masyarakat, pada tahun 1961 grup ini menyewa gedung di THR Surabaya dan pentas menetap di sana. Kala itu pertunjukan lawak dimainkan lima atau enam pemain saja dan hanya merupakan selingan dari pertunjukan musik dan tari . Lawakannya juga berupa dagelan mataram yang sudah terikat oleh pakem. Perlu waktu enam tahun lebih untuk seorang Teguh merubah konsep pertunjukan seperti pertunjukan lawak Srimulat saat ini yang kita kenal. Dari yang sebelumnya mengutamakan hiburan musik dan tari lalu diselingi lawak, dibalik menjadi mengutamakan pertunjukan lawak yang diselingi hiburan musik. Teguh juga membuat lakon-lakon baru yang segar. Setiap pertunjukan ceritanya selalu baru. Para pemain hanya di-briefing dan beri tahu garis besar ceritanya saja, selebihnya pemain diberi ruang sebebas-bebasnya untuk berimprovisasi dalam melucu.
Sejak perubahan konsep penampilan melawak dengan cerita-cerita baru dan spontan, Aneka Ria Srimulat Surabaya makin dikenal hingga ibu kota. Kompas mencatat Srimulat pertama kali manggung di Jakarta pada September 1972. Selama penampilannya enam hari di Taman Ismail Marzuki Jakarta menyedot jumlah penonton yang luar biasa, mengalahkan pengunjung pertunjukan kesenian rakyak yang lain seperti lenong dan wayang orang. Tajuk Rencana Kompas (8/12/1973), yang ditulis setelah para peserta kongres PWI di Tretes berkesempatan menyaksikan pertunjukan hiburan tersebut menyatakan bahwa, kota besar seperti Jakarta selayaknya memiliki panggung sandiwara seperti Srimulat. Hiburan sehat yang terjangkau oleh rakyat kecil, tetapi juragan-juragan besar atau negarawan-negarawan banyak pikiran pun bisa menemukan pelepasan di sana. Ibu kota yang masyarakatnya tegang oleh kesibukan, intensitas dan permasalahan metropolitan memerlukan tempat orang bisa ketawa. Bukan ketawa latah, ketawa karena dikitik-kitik daya kreatifnya.
KOMPAS/Efix Mulyadi/Mathias Hariyadi
Dua pelawak pentolan Srimulat, Gepeng (kiri) dan Asmuni. Gaya ucapan dan celetukannya dalam setiap pertunjukan selalu membuat tertawa penonton
Terang dan Meredup di Jakarta
Setelah bolak balik pentas di Jakarta dan selalu mendapat sambutan yang luar biasa maka pada pertengahan April 1980 Aneka Ria Srimulat berencana main tetap di Taman Ria Senen, persisnya di atas Pasar Senen. Penandatangan kontrak antara pimpinan Srimulat Teguh dan Pembangunan Jaya kabarnya sudah dilakukan. Namun entah menggapa Srimulat batal menetap pentas di Taman Ria Senen. Baru pada bulan Oktober 1981, kelompok lawak Srimulat dipastikan mendapat panggung permanen di Taman Ria Remaja dengan menyewa gedung pertunjukan berkapasitas 1.000 penonton. Harga sewa Rp 2,5 juta sebulan, belum termasuk listrik dan lainnya.
Pimpinan Srimulat, Teguh Slamet Rahardjo memboyong 38 orang anak buahnya ke sana. Alasan Teguh memilih gedung pertunjukan di Taman Ria Remaja kala itu karena selain lokasinya yang sejuk juga panggungnya dekat dengan penonton. Sudah menjadi kebiasaan setiap pertunjukan Srimulat terjadi interaksi antara penonton dan pemain. Bila penonton merasa terhibur atau puas dengan lawakan yang dibawakan banyak di antara penonton akan melempar sebungkus rokok ke panggung.
Meskipun dengan persiapan yang terburu-buru, pertunjukan perdana Srimulat pada malam Minggu, 10 Oktober 1981 di Taman Ria Remaja dengan lakon “Cinta Tahan Karat” ramai dipenuhi penonton, termasuk sesama pelawak. Pentolan grup lawak ini, seperti Gepeng, Tarsan, Asmuni dan sang primadona Jujuk berhasil mengocok perut yang hadir malam itu. Kehadiran pertunjukan lawak Srilmulat sempat melengkapi hiburan di Taman Ria Remaja.
Pada tahun 1984 panggung Srimulat pindah ke gedung baru yang dibangun di tengah pulau di area yang sama, dengan kapasitas tempat duduk yang lebih besar. Dengan biaya pembangunan gedung yang ditaksir senilai Rp 150 juta itu Srimulat tidak harus membayar lebih mahal dari harga sewa gedung sebelumnya.
KOMPAS/Efix Mulyadi
Pelawak Gepeng, Tarsan dan Jujuk saat tampil di panggung menghibur penonton pada pementasan pertama grup lawak Srimulat dengan lakon, Cinta Tahan Karat di gedung pertunjukan Srimulat, Taman Ria Remaja, 10 Oktober 1981.
Roda nasib terus berputar, keberuntungan tidak selamanya di atas. Tiga tahun setelah menempati lokasi yang baru jumlah penonton malah terus menurun. Asmuni, pelawak kawakan di grup tersebut mengatakan rata-rata penonton setiap malam hanya 15 orang, kecuali malam Minggu sekitar 25 orang. Kurangnya promosi dan inovasi dalam penyajian sementara kebutuhan dan selera penonton terus berubah dianggap sebagai penyebab Srimulat ditinggalkan penonton, ditambah kurang profesional dalam pengelolaan. Setelah hampir sewindu manggung di gedung pertunjukan Taman Ria Remaja, pada bulan Mei 1989, Srimulat harus hengkang dari taman rekreasi tersebut karena menunggak pembayaran sewa gedung sebesar Rp 22 juta.
Penutupan panggung Srimulat di Senayan Jakarta itu menjadi penanda besar terpuruknya perusahaan tawa tersebut, setelah sebelumnya pada 6 November 1988 Srimulat Semarang yang merupakan pindahan dari Solo sudah gulung tikar lebih dahulu. Hal yang memprihatinkan pun terjadi di markas pertamanya di Surabaya, di mana manajemen Srimulat terbelit hutang sewa gedung. Teguh yang setelah tutupnya Srimulat di Jakarta praktis tidak mengelola lagi Srimulat secara langsung mengakui bahwa gejala kebangkrutan yang dialami Srimulat karena kesalahan dalam regenerasi pimpinan usaha.
Kini yang tersisa tinggal panggung Aneka Ria Srimulat Surabaya, yang diisi dengan pelawak-pelawak baru. Meskipun disokong oleh Pemerintah Kota Surabaya tidak banyak penonton yang datang. Nasibnya bagai hidup segan mati tak mau…
Televisi dan Layar Lebar
Di era 1980-an Srimulat kerap mengisi program di Televisi Republik Indonesia (TVRI) seperti pada program Aneka Ria Safari. Bahkan Srimulat juga pernah secara rutin mengisi acara di TVRI dalam program “Srimulat” pada periode 1986-1987.
Selain di Lembaga Penyiaran Publik TVRI , Srimulat juga mengisi sejumlah program komedi di stasiun televisi swasta diantaranya: Aneka Ria Srimulat di Indosiar (1995-2003), Srimulat Plus (SCTV, 1992 dan Indosiar, 2006), Srimulat Cari Bakat (ANTV, 2008-2011), Srimulat Night Live (NET, 2014), Saatnya Srimulat (Trans TV, 2015), dan Temu Lawak (Indosiar, 2020). Sejumlah personel juga mengisi program lain secara individu di layar kaca seperi pada program Opera Van Java (Trans 7) dan beberapa program bernuansa komedi lainnya.
Pada 11 April 2013, dirilis sebuah film layar lebar nasional berjudul “Finding Srimulat”. Pemeran dalam film ini diantaranya: Reza Rahadian, Rianti Cartwright, Gogon, Djudjuk Djuwariah, Kadir, Mamiek Prakoso, Nunung Srimulat, Tarsan, Tessy, Fauzi Baadilla.
Panggung lawak dan komedi terus mengikuti selera pasar di eranya. Setiap gaya lawakan memiliki penggemar masing-masing terutama usia audience-nya. Peran manajemen komedian turut berperan penting mengantarkan pelawak tetap eksis baik di panggung gedung pertunjukan, televisi, dan bioskop. Bahkan Stand Up Comedy yang beberapa tahun populer, sebenarnya juga kerap dilakukan anggota Srimulat secara individu di berbagai panggung pertunjukan, bedanya saat itu Stand Up Comedy belum sepopuler sekarang. (LITBANG KOMPAS)
Anwari. Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Subkultur. Jakarta: LP3ES, 1999
Janarko, Herry Gendut. Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi. Jakarta: PT Gramedia , 1990.
Kompas, 12 September 1972. Srimulat Tampil di TIM
Kompas, 8 Desember 1973. Tajuk Rencana: Srimulat Surabaya
Kompas, 31 Desember 1973. Aneka Ria “Srimulat” yang selalu Baru
Kompas, 8 Juni 1974. Kehidupan Pentas Penuh Sandiwara
Kompas, 2 Agustus 1979.Teguh (Srimulat): Aneh itu Lucu
Kompas, 16 Maret 1980. Akhirnya Srimulat Menetap di Taman Ria Senen
Kompas, 9 Oktober 1981. Gedung Srimulat Jakarta Mampu Tampung 1000 Penonton
Kompas, 12 Oktober 1981. Malam Perdana Srimulat. Melengkapi Hiburan di Jakarta
Kompas, 2 Mei 1989. Srimulat Jakarta Terancam Bubar, Diusir dari Senayan
Kompas, 5 Mei 1989. Srimulat Surabaya Juga Terlilit Utang