Kronologi | Hari TNI

Operasi Penumpasan Gerakan Separatis: PRRI/Permesta

Pemberontakan PRRI/Permesta berawal dari konflik internal Angkatan Darat (AD). Kekecewaan atas minimnya kesejahteraan anggota AD di daerah berujung pada tuntutan otonomi daerah serta upaya melepaskan diri dari Pemerintahan Republik Indonesia.

IPPHOS

Pasukan TNI tiba di luar Kota Kotamobagu (1/1/1959)

Beberapa kelompok AD di daerah mendesak Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) memberikan kesejahteraan kepada anggota-anggota yang bertugas di daerah. Pihak KSAD kesulitan memenuhi permintaan tersebut, akibatnya sejumlah panglima daerah melakukan penyelundupan-penyelundupan yang tidak diketahui markas besar.

Konflik ini berkembang menjadi tuntutan kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan otonomi kepada daerah-daerah. Mereka melihat bahwa kesejahteraan di daerah tertinggal cukup jauh dibandingkan wilayah Jawa. Usulan ini kurang mendapat respon dari Presiden Soekarno.

Sebagai bentuk protes kepada pemerintah pusat, kelompok ini mengambil alih struktur pemerintahan daerah dan menyatakan memutus hubungan dengan pusat. Aksi ini menjadi gerakan separatisme di wilayah Sumatera dan Sulawesi yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

17 Oktober 1952


Sejumlah demonstran yang tidak puas dengan kinerja wakil rakyat, bergerak menuju Istana Merdeka menuntut Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Di belakang demonstran berderet meriam yang menghadap ke Istana, di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris. Peristiwa ini didasari konflik antara politisi, TNI AD, dan kementerian pertahanan.

22 Juni 1955


Peristiwa 17 Oktober 1952 berujung dengan mundurnya KSAD Bambang Sugeng. Pemerintah menunjuk Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD baru, namun ditolak oleh jajaran AD yang dipimpin Wakil KSAD Kolonel Zukifli Lubis. AD memboikot pelantikan KSAD Bambang Utoyo yang akhirnya batal menjabat, dan Kabinet Ali-Wongso jatuh akibat mosi tidak percaya dari beberapa fraksi di parlemen.

Upacara Pelantikan KSAD Jendral Mayor AH Nasution oleh Presiden Sukarno di Lapangan Banteng, Jakarta pada tgl 7 November 1955. IPPHOS.

12 Agustus 1955


Kabinet Burhanuddin Harahap dilantik. Kabinet baru mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai KSAD setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Soekarno. Nasution berpendapat bahwa AD harus utuh, tidak berombang-ambing oleh kepentingan politik semata. Namun, hal tersebut tidak menyelesaikan konflik internal AD.

20–24 November 1956


Beberapa tokoh militer dan sipil melakukan pertemuan di Padang. Tokoh militer yang hadir adalah mantan Divisi Banteng di Padang dan Gubernur Sumatera Barat Ruslan Mulyohardjo, serta Chairul Saleh. Pertemuan ini menghasilkan keputusan Piagam Banteng yang menuntut pemerintah pusat memberikan otonomi daerah seluas-luasnya. Di bidang pertahanan mereka menuntut Divisi Banteng yang sudah dibubarkan menjadi korps AD, dan dilakukan pergantian KSAD.

20 Desember 1956


Tuntutan dalam pertemuan di Padang tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah pusat maupun AD karena dianggap tidak rasional. Dengan rasa kecewa, mereka memutuskan mendirikan Dewan Banteng yang diketuai Letnan Kolonel Achmad Husein, dan mengambil alih pemerintahan daerah Sumatera Tengah secara sepihak.

22 Desember 1956 – 18 Februari 1957


Muncul dewan-dewan di daerah yang ikut mendukung usaha Dewan Banteng, antara lain, Dewan Gajah di Medan yang dibentuk oleh Kolonel Maludin Simbolon pada 22 Desember 1956, Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Barlian pada 24 Desember 1956, dan Dewan Manguni di Makassar yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual pada 18 Februari 1957. Dewan-dewan ini memproklamasikan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dan tidak mengakui pemerintahan pusat di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

29–31 Januari 1957


KSAD AH Nasution mengadakan Konferensi Militer se-Sumatera di Palembang yang dihadiri oleh pemrakarsa dewan-dewan di daerah. Para dewan di daerah yang diwakili oleh Letnan Kolonel Barlian menyarankan agar Nasution mundur, namun usulan tersebut ditolak oleh Nasution sehingga pendekatan musyawarah gagal.

9–14 September 1957


Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan yang bertujuan mempersiapkan usaha pembangunan di daerah secara integral. Pertemuan ini merupakan salah satu cara meredam usaha dewan-dewan yang telah menguasai daerah. Namun, usaha tersebut belum bisa menandingi para dewan di daerah.

9 Januari 1958


Perwakilan dewan-dewan daerah mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah tokoh militer dan sipil. Pertemuan ini membicarakan pembentukan pemerintahan baru sebagai tandingan dari pemerintahan yang sah.

Ir. Djuanda dilantik sebagai Pimpinan Kabinet Baru. IPPHOS/01-01-1957

10 Februari 1958


Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum yang menyatakan Kabinet Djuanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden atau pejabat presiden, memerintahkan Mohammad Hatta dan Sri Sultan HB IX untuk membentuk zaken kabinet yang terdiri dari tokoh-tokoh yang jujur, serta meminta Mohammad Hatta dan Sri Sultan HB IX untuk bersedia menolong negara.

15 Februari 1958


Pemerintah menolak ultimatum tersebut sehingga menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan dewan daerah. Hal ini membuat Letnan Kolonel A Husein mengumumkan terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menteri ditunjuklah Syafruddin Prawiranegara.

22 Februari 1958


Operasi Tegas daerah Riau dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution. Sasaran utamanya adalah merebut kedudukan PRRI di Riau dengan menguasai Pekanbaru, serta menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui Selat Malaka ke daerah Singapura dan Malaysia.

12 Maret 1958


TNI menerjunkan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Wiriadinata. Mereka berhasil menguasai Lapangan Terbang Pekanbaru. Pada saat itu musuh tidak mengira TNI melakukan serangan mendadak, karena mereka sedang menunggu bantuan senjata dan perbekalan yang dibawa oleh pesawat asing.

14 Maret 1958


Pasukan PRRI dipukul mundur, sebagian menyerahkan diri.

16 Maret 1958


Pasukan PRRI yang dipimpin oleh mantan Mayor, Boyke Nainggolan menyerang dan menduduki Kota Medan.

17 Maret 1958


TNI memberangkatkan kesatuan PGT dan RPKAD menuju Medan, Sumatera Utara, dalam Operasi Saptamarga yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Djamin Ginting untuk menghadapi kekuatan pasukan PRRI.

Pasukan TNI bersiap-siap untuk melakukan operasi militer menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. IPPHOS/03-01-1961

11 April 1958


Operasi Saptamarga berhasil mengalahkan pasukan PRRI dengan menduduki Tarutung, Pelabuhan Udara Pinangsori, Padangsidempuan, Sibolga, Tapanuli Selatan, hingga ke wilayah-wilayah Sumatera Barat.

14 April 1958


Pasukan TNI memberi nama Operasi 17 Agustus untuk daerah Sumatera Barat, dipimpin oleh Kolonel A Yani.

17 April 1958


Seluruh pasukan Operasi 17 Agustus mulai berperang melawan pasukan PRRI untuk menguasai jalan besar Tabing–Padang. Operasi 17 Agustus bertujuan menguasai Bukittinggi.

10 Mei 1958


Operasi Saptamarga II berhasil menduduki Gorontalo yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Permesta.

17–20 Mei 1958


Wilayah Ternate, Tidore, Jailolo, dan Morotai berhasil dikuasai dalam Operasi Mena.

26 Mei 1958


Kekuatan PRRI berhasil dilumpuhkan setelah TNI menduduki Payakumbuh. Mulai wilayah Sumatera Utara, Riau, hingga Sumatera Barat terbebas dari PRRI.

Anggota Permesta tertembak dalam pertempuran dan yang tertawan. IPPHOS/01-01-1959

26 Juni 1958


Operasi Sadar yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ibnu Sutowo dilancarkan. Operasi ini bertujuan menumpas pemberontakan di Sumatera Selatan. Operasi ini juga dibantu oleh pasukan operasi sebelumnya yang telah menumpas PRRI. Operasi Sadar berhasil membuat wilayah Sumatera secara keseluruhan terbebas dari pasukan PRRI. Sementara wilayah Manado berhasil direbut dari pasukan Permesta lewat Operasi Merdeka.

Oktober 1961


Seluruh wilayah yang dikuasai pasukan PRRI/Permesta kembali ke pangkuan Republik Indonesia melalui operasi-operasi TNI.

Referensi

Buku

Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru