KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Perempuan buruh tani menanam bibit padi di Desa Patukan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta (28/11/2008). Setiap buruh tani mendapat upah Rp 16.000 per hari dari hasil menanam bibit padi di petak sawah sepanjang 1.600 meter.
Lahirnya UUPA tidak saja menggantikan kebijakan agraria kolonial Belanda, tetapi sekaligus upaya negara dalam mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Undang-Undang ini mengatur tentang penguasaan tanah, kesempatan sama dalam hak atas tanah, hukum tanah adat, dan penghapusan hak asing.
Sebelum 1945, kepemilikan dan hak atas sumber-sumber agraria di Indonesia mengacu kepada hukum agraria kolonial Belanda (Agrarische Wet) 1870. Pembuatan regulasi terkait penataan kepemilikan tanah mulai digarap sejak proklamasi kemerdekaan RI.
Karena pergolakan revolusi kemerdekaan, rumusan naskah UUPA sempat mengambang. Setelah era Kementerian Agraria terbentuk (1955), naskah rancangan UUPA disusun dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) menjadi undang-undang.
Sempat bertahan selama 43 tahun, UUPA ditinjau kembali. Presiden Megawati Soekarnoputri menugaskan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penyempurnaan UUPA. Peraturan ini pun tidak lagi berfungsi sebagai UU payung karena banyak peraturan setingkat atau di bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUPA.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebagai hukum dasar RI. Dasar politik agraria nasional dicantumkan pada pasal 33 ayat 3 yang melegitimasi negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
21 Mei 1948
Panitia Agraria Yogyakarta dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948 dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Tujuannya merancang asas dasar hukum agraria serta melakukan perubahan peraturan tanah yang lama.
19 Maret 1951
Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan karena pergolakan politik dan sebagai gantinya dibentuk Panitia Agraria Jakarta melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1951.
Sejumlah buruh tani di Desa Cangkuang, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (30/07/2011) membajak sawah milik majikannya sebelum ditanami bibit padi dua hari ke depan. Sejumlah petani di desa itu kesulitan memulai musim tanam karena kekurangan modal (KOMPAS/RINI KUSTIASIH)
29 Maret 1955
Kementerian Agraria dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1955. Bertugas mempersiapkan pembentukan perundangann agraria nasional yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3), Pasal 26 dan 37 ayat (1) UUDS 1950.
14 Januari 1956
Panitia Agraria Jakarta dibubarkan gantinya dibentuk Panitia Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo melalui Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 1956. Tugas utamanya mempercepat pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nasional dalam tempo setahun. Dikenal sebagai rancangan Soewahjo.
1 Januari 1957
Naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria berhasil disusun.
14 Maret 1958
Setelah direvisi beberapa rumusan pasalnya, naskah Rancangan UUPA diajukan ke DPR oleh Menteri Agraria R Soenarjo. Diikenal sebagai rancangan Soenarjo.
6 Mei 1958
Panitia Agraria Soewahjo dibubarkan bedasarkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958.
29 Desember 1959
Menteri Agraria Sadjarwo Djarwonagoro meminta saran dan masukan Universitas Gadjah Mada (UGM) terhadap naskah rancangan UUPA yang perlu disesuaikan dengan UUD 1945. Dikenal sebagai rancangan Sadjarwo.
Puluhan orang yang tergabung dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria berunjuk rasa untuk memperingati Hari Tani Nasional di depan gedung Kementerian Perdagangan di Jakarta (24/09/2013). Mereka, antara lain, menolak liberalisasi pangan berupa dibukanya impor oleh pemerintah (KOMPAS/ PRIYOMBODO)
23 Maret 1960
Rancangan UUPA yang sebelumnya disusun berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 resmi ditarik dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
24 September 1960
Rancangan UUPA disetujui oleh DPR-GR dan disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA).
26 Agustus 1963
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963 yang menetapkan tanggal 24 September sebagai perayaan Hari Tani Nasional.
27 April 1973
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dibentuk. HKTI yang merupakan gabungan berbagai organisasi tani yang ada di Indonesia, menjadi satu-satunya organisasi petani yang diakui oleh pemerintah.
31 Mei 2003
Presiden Megawati Soekarnoputri menugaskan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penyempurnaan UU Pokok Agraria (UUPA). Penugasan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003.
11 Juni 2003
Kepala BPN Lutfi I Nasution menyatakan UU No. 5/1960 atau yang lebih dikenal dengan UUPA sudah berumur 43 tahun dan perlu ditinjau kembali.
3 Mei 2005
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum mulai berlaku. Melalui peraturan ini kebutuhan pemerintah atas pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah maupun pencabutan hak atas tanah.
5 Juni 2005
Setelah mendapat penolakan dari beberapa organisasi nonpemerintah, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 direvisi dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Perpres revisi ini mengatur secara lebih rinci mengenai sistem ganti rugi.
25 September 2006
Para pemuda yang tergabung dalam Front Perjuangan Pemuda Indonesia di perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta, berunjuk rasa dalam peringatan Hari Tani. Selain menolak kebijakan impor beras, mereka menuntut dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 secara murni dan konsekuen.
22 September 2008
Sekitar 40 mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, menggelar orasi dan teaterikal di depan kampus mereka, di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Pengunjuk rasa menuntut pemerintah berpihak kepada petani yang kehidupannya masih jauh dari sejahtera.
6 September 2017
Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan ditetapkan. Peraturan ini muncul dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan.
24 September 2018
Untuk mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria ditetapkan. Perpres ini menyebutkan penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
24 September 2019
Peringatan Hari Tani Nasional ke-59, diwarnai aksi unjuk rasa di sejumlah daerah. Mereka antara lain menolak penetapan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan KUHP, serta menuntut keberpihakan pemerintah kepada petani.
Referensi
“HKTI Satu-satunya Organisasi Tani di Indonesia” (Kompas, 18 Maret 1975, hlm. 1)
“Lima Tonggak Sejarah dalam Masalah Agraria di Indonesia” (Kompas, 24 September 1984, hlm. 5)
“Presiden Menugaskan BPN Susun Revisi UU Pokok Agraria”, (Kompas, 12 Juni 2003, hlm. 13)
“Pencabutan Hak Tanah Dihapuskan”, (Kompas, 14 Juni 2006, hlm. 17)
“Foto; Peringatan Hari Tani”, (Kompas, 26 September 2006, hlm. 2)
“Mahasiswa Tuntut Peningkatan Kesejahteraan”, (Kompas, 22 September 2008, hlm. 24)
“Unjuk Rasa Masalah Tanah Warnai Hari Tani”, (Kompas, 25 September 2019, hlm. 15)
- Harsono, Boedi. 1999. “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi. Djambatan: Jakarta.
Penulis
Arief Nurrachman dan Inggra Parandaru
Editor
Inggra Parandaru