Tokoh

Tokoh Pers Nasional dan Pendiri Kompas Gramedia Petrus Kanisius Ojong

Petrus Kanisius Ojong adalah tokoh pers nasional, salah satu pendiri Kompas Gramedia. Sosok yang berhati mulia dan hidup bersahaja ini dikenal gigih memperjuangkan idealismenya. Ia juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap para karyawannya. Di tangannya kiat-kiat manajemen yang diterapkannya membuat Kompas Gramedia menjadi besar seperti saat ini.

DS

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong)

Lahir
Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920

Almamater
Universitas Indonesia

Jabatan
Pendiri Kompas Gramedia

Petrus Kanisius Ojong atau biasa disingkat P.K. Ojong dikenal sebagai sosok pengajar, wartawan, dan pengusaha di industri media. Ketekunan, keuletan, dan gigih mengantarkan P.K. Ojong mendirikan Harian Kompas bersama Jakoeb Oetama yang bernaung dalam Kompas Gramedia (KG). Ia juga mengembangkan bisnis usaha selain media seperti percetakan, penerbitan, radio, perhotelan, pendidikan, dan toko buku.

Profesi wartawan menjadi pilihan hidup P.K. Ojong yang sebelumnya menjalani profesi sebagai guru. Minatnya sebagai wartawan luas dan dalam. Ia termasuk wartawan cendekiawan. Selain cerita-cerita kriminal dan sejarah perang, ia tertarik pada sejarah dan kebudayaan. P.K. Ojong merupakan wartawan pemimpin Star Weekly, mingguan terkemuka dalam jamannya. Namun, Star Weekly terakhir terbit 7 Oktober 1961 karena diberedel pemerintah.

Selanjutnya, ia bersama Jakob Oetama mendirikan majalah Intisari pada 1963, dan dua tahun kemudian mendirikan Harian Kompas dengan edisi pertama terbit pada 28 Juni 1965.

Pria tinggi berkaca mata kelahiran Bukittinggi, 25 Juli 1920 ini dikenal prinsipil, konsekuen, gigih, dan konsisten dalam kerja besar berdasarkan kesamaan martabat manusia, tidak mengenal diskriminasi, dan berkesejahteraan sosial dengan pilar keadilan sosial. P.K. Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980. Warisannya, tentu saja Kompas Gramedia.

Dari Bukittinggi

Petrus Kanisius Ojong lahir dengan nama Auw Jong Peng Koen di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 25 Juli 1920. Ayahnya bernama Auw Jong Pauw asal Pulau Kin Men atau Quemoy, wilayah Taiwan di lepas pantai Kota Xiamen, Fujian. Leluhur keluarga Auw Jong berasal dari Po Hai, Teluk Bohai di China Utara. Auw Jong Pauw lahir di Kin Men pada 1870.

Helen Ishwara dalam biografi Hidup Sederhana Berpikir Mulia P.K. Ojong Satu dari Dua Pendiri Kompas Gramedia mencatat, Auw Jong Pauw adalah seorang petani yang merantau ke Pulau Sumatera dan menjadi pedagang.

Semula ia bekerja pada seorang pedagang ikan asin di Padang Panjang, kota yang sejuk antara Padang dan Bukittinggi. Dari hasil jerih payahnya, kemudian, ia dapat membuka toko tembakau di Payakumbuh.

Setelah usahanya mapan, ia mendatangkan istri dan kedua anaknya dari Quemoy. Auw Jong Pauw telah menjadi saudagar tembakau. Di Kota Payakumbuh kala itu baru ada sepuluh mobil, dan salah satunya milik keluarga Auw Jong Pauw.

Di Payakumbuh, anak-anaknya bertambah dengan istrinya yang bernama Ang Ho Nio, Auw Jong Pauw memiliki tujuh anak. Empat perempuan bernama Po Tioe, Po Soat, Po Hong, dan Po Hoen.

Tiga laki-laki bernama Peng Yam, Peng Goan, dan Peng Ho. Namun, istrinya meninggal dunia setelah melahirkan anak ketujuh, si bungsu Po Hoen. Selang beberapa tahun, Auw Jong Pauw menikah lagi dengan gadis peranakan yang dipanggil “Sayang” alias Njo Loan Eng Nio.

Pada 25 Juli 1920 Sayang melahirkan anak pertama di Bukittinggi, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Peng Koen (P.K. Ojong). Tahun-tahun berikutnya lahir anak perempuan, Po Keng. Ketika Peng Koen berumur 5 tahun, ibunya melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Peng Kian.

Dua tahun kemudian, lahir anak laki-laki lagi, Peng Lam. Dengan demikian, Auw Jong Pauw memiliki 11 anak, 4 di antaranya dari Sayang. Dalam keluarga besar ini sejak dini, Auw Jong Pauw menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, jujur, dan ketekunan kepada anak-anaknya.

Masa kecil Peng Koen diisi dengan keseriusan untuk bersekolah dan merintis kehidupannya kelak. Peng Koen bersekolah di HCS (Hollandsche Chineesche School) sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa yang diasuh oleh para biarawati Franciscanes.

Peng Koen tertarik pada ajaran Katolik, demikian pula ibunya. Saat itu, di Payakumbuh belum ada gereja Katolik. Yang ada baru kapel dekat sekolah, pastoran, dan rumah-rumah suster. Baru pada 1933 Van Hoof mendirikan gereja. Peng Koen dan ibunya dibaptis Van Hoof di rumah mereka. Peng Koen memakai nama baptis Andreas, dan nama itu yang dipakai di sekolah.

Andreas Peng Koen melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sekolah setingkat SMP. Saat itu MULO belum ada di Payakumbuh, adanya di Padang. Oleh karena itu dari HCS di Payakumbuh Andreas pindah saat kuartal II kelas VII ke HCS di Padang yang letaknya satu kompleks dengan MULO.

Pada 4 Oktober 1933, sang ayah meninggal dunia. Ketika Andreas lulus dari MULO, ia ingin belajar ke AMS (Algemene Middelbare School) setingkat dengan sekolah menengah umum. Sebab, ia ingin sekali masuk ke RHS (Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) di Batavia. Pada masa itu, sekolah tertinggi di Padang hanya MULO. Mereka yang ingin menuntut ilmu lebih tinggi umumnya pergi ke Pulau Jawa.

Agar tidak membebani keuangan keluarga, Andreas merantau ke Batavia untuk menempuh pendidikan di HCK (Hollandsch Chineesche Kweekschool) Sekolah Guru Tionghoa di Leonie Laan (sekarang jalan Bekasi Timur IV). Agustus 1937 Andreas menjadi murid baru lulusan MULO di kelas IV HCK di Meester Cornelis (Jatinegara). Ia memperkenalkan diri dengan nama Andreas Auwjong Peng Koen. Di sekolah yang baru ini Andreas dipanggil Auwjong.

Auwjong dikenal sebagai siswa yang tekun, teliti, kemauannya keras dan pemikirannya luas. Kegemarannya adalah membaca. Masih menjadi siswa HCK, Auwjong sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke surat kabar berbahasa Melayu, seperti Keng Po dan Sin Po. Baru setahun di HCK, ketika Auwjong kelas V ia terpilih menjadi ketua perkumpulan para siswa (sekarang OSIS). Pada Juni 1940 Auwjong lulus ujian akhir dari HCK.

Pada 1947, saat itu Auwjong berusia 27 tahun, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Catherine, siswi HBS Santa Ursula yang tinggal di asrama sekolah di Jalan Pos No.2, di belakang Katedral “Santa Maria Diangkat ke Surga” di Lapangan Banteng, Jakarta.

Catherine berasal dari keluarga peranakan Tionghoa di Magelang. Mereka lalu bertunangan pada 4 April 1949, dan menikah di Catatan Sipil pada 6 Juli 1949.

Kemudian pada 21 Desember 1949 Andreas Auwjong Peng Koen menggandeng Catherine Oie Kian Kiat ke altar Katedral “Santa Maria Diangkat ke Surga”. Mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Bin Lie atau Harly, Bin Han atau Handy, Bin Siong atau Sasongko, Bin Koan atau Irwan, Sri Melani, dan Sri Mariani.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Peresmian patung PK Ojong di kawasan Bentara Budaya Jakarta pada 2 Desember 1987. Di hadiri isteri PK Ojong dan Jakob Oetama. PK Ojong dan Jakob Oetama adalah pendiri Kompas Gramedia. PK Ojong meninggal 31 Mei 1980 di rumahnya Komplek Permata Hijau Jakarta Selatan.

Karier

Dalam biografi karya Helen Ishwara, usai lulus dari HCK, pada Agustus 1940 Auwjong Peng Koen mulai mengajar di kelas I Hollandsch Chineesche Broederschool St. Johannes Berchmans  di Prinsenlaan No. 135 di Batavia Stad (kini Sekolah Budi Mulia di jl. Mangga Besar Raya, Jakarta Kota). Dari gaji yang diperolehnya Auwjong menyewa rumah di Noppellaan (kini jalan Kartini VII C) No.16, sebuah rumah petak sederhana berdinding gedek. Ia ingin mendatangkan ibu dan adik-adiknya dari Payakumbuh.

Maret 1942 Jepang menyerbu Hindia Belanda. Sekolah-sekolah ditutup. Auwjong kehilangan pekerjaannya sebagai guru. Setahun kemudian, sekolah-sekolah sudah dibuka kembali. Auwjong menjadi kepala sekolah dan mengajar di kelas tertinggi di Sekolah Rakyat St. Johannes Berchmans di Jalan Sakura Doori 135 (dulunya jalan Prinsenlaan).

Sejak lama Auwjong ingin menjadi wartawan. Ia mengagumi Khoe Woen Sioe, wartawan dan Direktur Keng Po yang memiliki juga majalah mingguan Star Weekly. Pada zaman Jepang, Khoe Woen Sioe dipenjara bersama sejumlah wartawan lain yang menganggap Jepang itu fasis. Seusai penjajahan Jepang dan Khoe Woen Sioe keluar dari penjara, ia menerbitkan kembali mingguan Star Weekly pada 6 Januari 1946, dan koran Keng Po pada 2 Januari 1947.

Pada September 1944 Auwjong akhirnya melepaskan jabatan kepala sekolah untuk menjadi anak buah Khoe Woen Sioe. Tahun 1946 Auwjong mulai menjadi wartawan. Sambil bekerja sebagai wartawan, Auwjong juga kuliah di RHS (Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Salemba. Tahun 1951 Auwjong lulus dari RHS yang sudah menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kariernya terus meningkat bersamaan berkembangnya Star Weekly. Ia kemudian diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly. Pada 6 Mei 1951 namanya resmi tercantum sebagai pemimpin redaksi di halaman majalah mingguan Star Weekly. Auwjong sebagai pemimpin redaksi Star Weekly mengisi rubrik “Timbangan” seperti halnya “Tajuk Rencana” dan kolom “Gambang Kromong” yang merupakan pojok berita.

Sejak pertengahan tahun 1950-an Star Weekly memuat cerita-cerita Perang Eropa, kemudian Perang Pasifik yang ditulis oleh Auwjong (cerita-cerita itu di kemudian hari dibukukan dan mengalami cetak ulang beberapa kali). Star Weekly terus menanjak, namun Keng Po tertimpa musibah. Pada 1 Agustus 1957 surat kabar ini diberangus oleh pemerintah tanpa alasan yang jelas.

Usai harian Keng Po ditutup, Auwjong lebih berhati-hati, sebab beberapa kali Star Weekly mendapat peringatan karena dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah saat itu. Namun, kekuatiran itu akhirnya terjadi juga. Pada 1961 Star Weekly dibredel untuk selama-lamanya, dan pihak berwajib tidak memberitahu dengan jelas dan spesifik alasan Star Weekly ditutup. Star Weekly terakhir terbit 7 Oktober 1961, nomor 823 Tahun XVI.  Auwjong Peng Koen pun menjadi political outcast, orang yang tidak disukai pemerintah. Namanya tabu untuk mengelola media masa.

Auwjong sangat menyukai buku, ia seorang kutu buku. Pria berkacamata ini rajin menjelajahi toko buku, buku baru ataupun buku bekas. Ia seorang kolektor buku. Bacaannya beraneka ragam, meliputi berbagai jenis buku, mulai dari buku-buku hukum, sejarah, sosiologi, sains, jurnalistik, filsafat, kebudayaan, kesusastraan, cerita kriminal, psikologi, fotografi, astronomi, kesehatan, tanaman, hingga buku masakan. Ia juga memiliki atlas, ensiklopedi, dan banyak kamus, termasuk kamus bahasa Arab dan bahasa Minangkabau.

Pada awal 1960-an, Auwjong kerap bertemu dengan Jakob Oetama dalam gerakan asimilasi. Mereka juga duduk dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Jakob Oetama sebagai ketua, Auwjong Peng Koen sebagai bendahara. Keduanya bekas guru. Auwjong mantan Pemimpin Redaksi Star Weekly, dan Jakob Oetama Pemimpin Redaksi Majalah Penabur. Pada 1963 Auwjong bersama Jakob Oetama menerbitkan majalah bulanan Intisari. Majalah seperti Reader Digest versi Indonesia ini terbit pertama kali pada 17 Agustus 1963.

Jakob Oetama tercatat sebagai pemimpin redaksi Intisari, namun nama Auwjong tidak tercantum sebagai pengasuh. Namanya tabu untuk periode politik massa itu. Bagi Auwjong nama dan status tidak penting, yang pokok baginya bekerja dan berprestasi. Auwjong menulis seolah-olah penulis luar. Majalah Intisari berkantor dibekas redaksi Star Weekly di jalan Pintu Besar Selatan 86-88 Jakarta.

Dua tahun setelah Intisari terbit, lahir Kompas pada 28 Juni 1965. Kompas dan Intisari yang sedang tumbuh menggantungkan diri dalam bidang administrasi dan distribusi (sirkulasi) pada PT Kinta. PT Kinta (singkatan dari kertas dan tinta) ini dulunya adalah PT Keng Po yang berganti nama. Percetakan PT Kinta yang dulu berjaya kemudian tidak bisa diandalkan lagi, sementara tiras Kompas terus menanjak. Auwjong dan Jakob Oetama memutuskan untuk mulai mengurus administrasi, distribusi, dan iklan sendiri. Jakob Oetama memusatkan pada bidang redaksional, dan Auwjong pada bidang tata usaha.

Akhir 1966, pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk mempercepat proses asimilasi. Kesempatan yang terbuka selama dua tahun itu tidak dilewatkan oleh Auwjong Peng Koen yang memilih nama Petrus Kanisius Ojong. Petrus Kanisius dipilihnya karena inisial P.K. sama dengan nama lamanya, Peng Koen. Petrus Kanisius adalah nama seorang biarawan Jesuit, tokoh pembaharuan gereja Katolik dan cedekiawan Belanda yang hidup pada abad ke-16. Untuk selanjutnya nama P.K. Ojong yang ia digunakan.

Dalam tahun-tahun pertama Harian Kompas, P.K. Ojong menulis secara teratur dalam rubrik Kompasiana antara tahun 1966 dan 1971. Rubrik ini terbit pertama kali pada 4 April 1966 di tengah menegakkan Orde Baru.

Sejak itu selama lima tahun berturut-turut Kompasiana muncul secara teratur beberapa kali dalam seminggu. Rubrik Kompasiana banyak penggemarnya karena gaya tulisan yang segar, lugas, kuat, dan isinya sangat bervariasi dan menyangkut masalah-masalah aktual saat itu. Tahun 1967 P.K. Ojong masih menulis karangan panjang untuk mengenang sepuluh tahun wafatnya Khoe Woen Sioe, mantan atasannya yang ia hormati dan teladani.

Setelah tahun 1971 P.K. Ojong tidak pernah lagi menulis Kompasiana. Ia kemudian fokus untuk menggarap media elektronik, khususnya televisi. Namun, saat itu televisi masih menjadi monopoli negara, sehingga diputuskan untuk terjun ke bidang radio. Berdirilah Stasiun Radio Komersial Sonora di jalan Gajah Mada. Tahun 1970 P.K. Ojong juga telah membuka Toko Buku Gramedia, bukan toko buku milik pribadi, melainkan milik perusahaan yang dipimpinnya.

Tahun 1971–1972 hasil audit akuntan publik SGV Utomo, tiras Kompas melampaui koran lain di Indonesia. Saat itu Kompas belum memiliki percetakan sendiri. Sejak 1970 P.K. Ojong dan beberapa karyawan mencari lokasi untuk percetakan. Akhirnya, mereka menemukan sebidang tanah yang cocok di jalan Palmerah Selatan, tidak jauh dari Pasar Palmerah. Di situlah Percetakan Gramedia dibangun pada 1971, dan Agustus 1972 percetakan mulai berfungsi. Oktober 1972 redaksi Kompas dan Intisari pindah dari Pintu Besar Selatan ke Palmerah Selatan. Sementara P.K. Ojong dengan staf tata usaha dan bagian iklan di Jalan Gajah Mada.

Pada 21 Januari 1978, Kompas diberedel terkait tulisan tajuk mengenai gerakan mahasiswa ITB yang menyatakan secara terbuka agar Presiden Soeharto tidak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden RI. Tidak lama Kompas ditutup, karena pada 6 Februari 1978 Kompas kembali terbit dengan syarat tertentu. Ketika Kompas diberedel, pimpinan Kompas Gramedia mulai serius memikirkan cara menghidupi sekian banyak karyawan dan keluarganya jika kembali terjadi pemberedelan.

P.K. Ojong dan Jakob Oetama memikirkan berbagai kemungkinan untuk dapat menampung karyawan jika musibah menimpa media andalan mereka. Pimpinan Kompas Gramedia mulai merintis bisnis perhotelan dengan membeli sebuah hotel kecil di Bandung, Semarang, dan Bali, yang kemudian menjadi cikal bakal dari hotel-hotel Santika di beberapa kota.

Di tengah suksesnya kelompok Kompas Gramedia, P.K. Ojong wafat pada 31 Mei 1980, tanpa sakit. Ia meninggal dunia dengan benda kesayangannya, yaitu buku di sampingnya. Buku The Birth of the Messiah karya Raymond Brown tergeletak di meja di sebelah tempat tidur P.K. Ojong. Buku itu semula terbuka dengan kacamata baca di atasnya. Namun, Melani yang gugup ketika ayahnya tidak bernapas lagi ia menutup buku itu. Tidak diketahui halaman berapa yang tengah dibaca P.K. Ojong sebelum ia pergi.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, hari Kamis (13/9/2002) pada peluncuran buku PK Ojong yang berjudul Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Tampak kepada istri almarhum Catherine Ojong (tengah). Buku yang diterbitkan Penerbit Kompas itu ditulis oleh Helen Ishwara. PK Ojong bersama Jakob Oetama mendirikan Harian Kompas pada tahun 1965 dan menjadi pemimpin umumnya yang pertama

DS

“Tugas pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa, tapi justru untuk mengkritik yang sedang berkuasa”, tulis P.K. Ojong dalam Rubrik “Kompasiana” (Kompas, 6 April 1966)

Referensi

Arsip Kompas
  • Kompas, 2 Juni 1980. “Mengantarkan Kepergian P.K. Ojong – Wartawan, Cencekiawan, Wiraswasta – Rekan, Sahabat, Guru”
  • Kompas, 9 Juli 1980. “Pak Ojong Penasehat Sejati”.
  • Kompas, 9 Juli 1980. “In Memoriam: P.K. Ojong”
  • Kompas, 9 Juli 1980. “Bukan Saja Ayah, tapi Juga Sahabat *Obituari P.K. Ojong”.
  • Kompas, 7 Juni 1981. “Mengenang Jasa-jasa Prof.P.Mawira, Prof.N.Iskandar dan P.K. Ojong”.

Biodata

Nama

Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920

Lahir

Remban, Musi Rawas, Sumatera Selatan, 7 Juni 1976

Jabatan

Pendiri Kompas Gramedia
Tokoh Pers Nasional

Pendidikan

  • HCS (Hollandsche Chineesche School) sekolah dasar khusus warga Tionghoa di Payakumbuh
  • Kuartal II Kelas VII HCS di Padang
  • MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang
  • HCK (Hollandsch Chineesche Kweekschool) Sekolah Guru Tionghoa di Jakarta (1937-1940)
  • RHS (Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta (lulus, 1951)

Karier

  • Guru SD milik Misi di Jl. Raya Mangga Besar 135, Jakarta (1940–1944)
  • Anggota redaksi Harian Keng Po dan mingguan Star Weekly (1946–1951)
  • Direktur perusahaan penerbitan PT Suka Wijaya (1961–1964)
  • Pendiri dan pemimpin majalah bulanan Intisari (1963)
  • Pendiri dan pemimpin Harian Kompas (1965)
  • Direktor PT Penanaman Modal Dalam Negeri Gramedia (sejak 1970)
  • Pendiri dan dewan pimpinan/direktur Kantor Berita Katolik Asia di Hongkong

Organisasi

  • Anggota Badan Pimpinan Pusat Partai Katolik (1964–1968)
  • Bendahara Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah kebudayaan “Horison” (1967–1969)
  • Bendahara Lingkaran Seni Jakarta (1970–1973)
  • Anggota Dewan Kurator Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum Jaya (sejak 1971)
  • Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarumanagara yang menyelenggarakan Universitas Tarumanagara (sejak 1970)
  • Koordinator UCIP (Serikat Pers Katolik Internasional) untuk wilayah Indonesia
  • Ketua Yayasan Rentia Blastom di Jakarta (1979)

Karya

Buku

  • Perang Eropa Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Juni 2001.
  • Perang Pasifik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2002.
  • Perang Eropa Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, November 2004.
  • Perang Eropa Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Juli 2005.

Keluarga

Istri

Catherine Oei Kian Kiat

Anak

  • Bin Lie alias Harly
  • Bin Han alias Handy
  • Bin Siong alias Sasongko
  • Bin Koan alias Irwan

Sumber
Litbang Kompas