Paparan Topik | Pemilihan Umum

Sejarah Pemilu: Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi

Pemilihan presiden (pilpres) hampir selalu diwarnai protes dari pihak yang kalah. Wacana gugatan hasil pilpres 2024 dari dua pasang capres-cawapres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, memperkaya dinamika sejarah bangsa dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Sejumlah berkas dihadirkan sebagai bukti dalam lanjutan sidang perkara sengketa pemilihan umum presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (7/8/2009).

Fakta Singkat

Putusan MK
2004
Pemohon: Wiranto – Salahuddin Wahid
Putusan MK:
-Menolak gugatan selisih penghitungan suara.
-Permohonan tidak beralasan, dalil tidak terbukti.

2009
Pemohon: Jusuf Kalla – Wiranto & Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto
Putusan MK:
-Mengakui Pilpres 2009 masih banyak banyak kekurangan.
-Menilai kinerja KPU tidak profesional.
-Menolak gugatan dari kedua pasangan capres-cawapres.
-Pelanggaran dan kecurangan pada Pilpres 2009 dinilai bersifat prosedural dan administratif.

2014
Pemohon: Prabowo Subianto – Hatta Rajasa
Putusan MK:
-Menolak seluruh permohonan.
-Dalil-dalil mengenai kesalahan rekapitulasi suara, maupun pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif, tak terbukti.

2019
Pemohon: Prabowo Subianto – Sandiaga Uno
Putusan MK:
-Menolak seluruh permohonan.
-Dalil pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, tidak beralasan, tidak relevan, serta tidak bisa dijelaskan secara hukum.

2024
Pemohon: 
1. Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar
2. Ganjar Pranowo – Mahfud MD
Putusan MK:
– Menolak seluruh permohonan.
– Dari delapan hakim, tiga hakim memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda (dissenting opinion pertama dalam sengketa Pilpres Indonesia).

Pilpres tahun 2024 merupakan pilpres kelima dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pilpres yang dipilih secara langsung merupakan buntut dari tuntutan reformasi hasil amandemen ketiga UUD 1945, yang tercantum dalam Pasal 6A ayat 1 berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Pelaksanaan pilpres secara langsung di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004.

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei pada Pilpres 2024 menyatakan pasangan nomor urut dua Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka unggul dalam pilpres yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Hasil ini diperkuat oleh rekapitulasi KPU yang hasilnya tak jauh berbeda dengan prediksi hitung cepat.

Menyikapi hasil hitung cepat dan rekapitulasi KPU, dua pasangan nomor urut satu Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, dan nomor urut tiga Ganjar Pranowo – Mahfud MD menyatakan sikap untuk menggugat hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Capres nomor urut satu, Anies Baswedan mengklaim tim hukumnya telah menemukan adanya dugaan kecurangan sejak sebelum pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Dugaan kecurangan terindikasi terstruktur, sistematis, dan masif karena melibatkan pimpinan negara, penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, hingga kepala desa (20/2/2024).

Kubu pasangan calon Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD terus mengumpulkan bukti-bukti dugaan kecurangan. Sebaliknya, Prabowo-Gibran yang suaranya unggul berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga, mengumpulkan masalah-masalah yang berpotensi dijadikan dasar pengajuan gugatan perselisihan.

Gugatan pascapilpres merupakan hal yang lazim dalam penyelenggaraan pilpres. Sejak pilpres pertama pada 2004 tercatat pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid yang mengklaim kehilangan 5,43 juta suara menggugat KPU ke MK. Pada tahun 2009 gugatan juga dilakukan oleh dua pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla – Wiranto dan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto.

Pada pilpres 2014 dan 2019, kontestasi terpolarisasi antara dua kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dalam dua pilpres Prabowo kalah dua kali dan menggugat hasil pilpres ke MK. Saat Prabowo unggul pada pilpres 2024, Prabowo pun tak luput dari gugatan lawan politiknya. Satu-satunya hasil yang tidak digugat terjadi pada pilpres putaran kedua tahun 2004. Walau merasa dirugikan, Megawati-Hasyim saat itu ragu-ragu mengajukan gugatan ke MK.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Capres dari PDI-P, Megawati Soekarnoputri menggunakan masa cutinya sebagai presiden untuk berkampanye di Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang, didampingi pasangan cawapresnya Hasyim Muzadi (17/6/2004). Pada acara itu, dilakukan pula doa istighotsah untuk memenangkan pasangan itu, yang dipimpin oleh sembilan kiai Jawa Tengah.

Pilpres 2004: Pemilihan Langsung Perdana

Sehari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil perolehan suara dalam pemilihan umum presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) membuka pendaftaran sengketa pemilihan presiden (pilpres) di Gedung MK. Banyak suara tidak sah yang diributkan seusai pemilihan presiden putaran pertama 5 Juli 2004.

Ketua MK Jimly Asshiddiqie meminta para calon presiden untuk segera mendaftarkan, karena tenggat waktu yang diatur Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah 3 x 24 jam (26/7/2004). Jimly menegaskan MK tidak membatasi calon presiden yang mengajukan permohonan. Kelima calon memiliki hak konstitusional yang sama untuk beperkara di MK.

Pada putaran pertama, pasangan Wiranto – Salahuddin Wahid menggugat KPU ke MK atas penetapan hasil perhitungan suara pilpres. Kubu Wiranto-Salahuddin dan tim suksesnya mengklaim kehilangan 5,43 juta suara yang tersebar di 26 provinsi. Klaim total suara Wiranto mestinya 31,72 juta suara, jauh lebih besar dari suara yang ditetapkan KPU yang hanya 26,29 juta suara.

Melalui empat kali persidangan meliputi pemeriksaan dan pembuktian pada 2–5 Agustus 2004, MK menilai, permohonan pemohon tidak beralasan sehingga harus ditolak sesuai Pasal 77 Ayat (4) UU No. 24/2003 tentang MK. Menurut MK pemohon tidak berhasil membuktikan dalil tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan kehilangan suara sebesar 5,43 juta suara.

Putusan MK semakin menguatkan putusan KPU yang telah menetapkan Yudhoyono-JK dan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi maju ke putaran kedua. Bila permohonan Wiranto dikabulkan, Megawati-Hasyim turun ke urutan ketiga dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla dan Wiranto-Salahuddin yang maju ke putaran kedua pilpres 20 September 2004.

Pada putaran kedua Pilpres Mahkamah Konstitusi menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004–2009 berdasarkan hasil penghitungan KPU (4/10/2004). Pasangan calon presiden Megawati-Hasyim ragu-ragu mengajukan gugatan ke MK walau merasa dirugikan.

Setelah batas waktu 3×24 jam pengajuan permohonan sengketa, yang jatuh pada 7 Oktober 2004 pukul 16.20, habis, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa penetapan KPU soal hasil penghitungan suara pilpres tersebut telah bersifat final dan mengikat secara hukum. Dengan ini, MK menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004–2009.

KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO
Penari kecak dan hanoman menjunjung gambar SBY-Boediono yang telah dicontreng pada kampanye di GOR Lila Bhuana, Denpasar, Bali, Minggu (28/6/2009). Selain calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye itu, hadir pula calon wapres Boediono dan sejumlah anggota tim sukses mereka.

Pilpres 2009: SBY Menang Telak

KPU menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono sebagai pemenang Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Pasangan dengan nomor urut dua ini meraih 73.874.562 suara (60,80 persen), jauh melampaui perolehan pasangan nomor urut satu Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto (Mega-Pro) dengan 32.548.105 (26,79 persen), dan pasangan nomor urut tiga, Jusuf Kalla – Wiranto (JK-Win) dengan perolehan 15.081.814 (12,41 persen).

Hasil rekapitulasi KPU mendapat resistensi dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasangan JK-Win memberikan pernyataan menolak hasil Pemilu Presiden 8 Juli 2009, sementara pasangan Mega-Pro sepakat mengambil langkah hukum ke MK untuk menggugat berbagai kecurangan dalam Pilpres 2009.

Pasangan JK-Win mendaftarkan gugatan ke MK pada 27 Juli 2009. Persoalan utama yang dibawa ke MK adalah kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Pihak JK-Win menemukan banyak sekali pemilih ganda dalam soft copy DPT 2009.

Persoalan lain menurut kubu JK-Win terkait perubahan DPT yang dilakukan dua hari sebelum pemungutan suara. Hal ini bertolak belakang dengan UU yang menyebutkan persoalan DPT harus selesai 30 hari menjelang pemungutan suara. Selain itu, penciutan sekitar 60.000 TPS yang tidak jelas dan transparan juga menjadi persoalan.

Dari berbagai temuan kecurangan, kubu JK-Win meminta MK menyatakan pemungutan suara pemilu presiden pada 8 Juli 2009 cacat hukum dan tidak sah. Selain itu, kubu JK-Win juga meminta MK untuk menyatakan KPU telah melakukan pelanggaran hukum.

Sementara itu, kubu Mega-Pro mendaftarkan sengketa perselisihan hasil suara ke MK pada 28 Juli 2009. Kubu Mega-Pro menuntut MK memerintahkan pemilu ulang di seluruh Indonesia. Bila permintaan itu tidak dapat diwujudkan, setidaknya ada pemungutan suara ulang di minimal di 25 provinsi.

Menurut tim kampanye Mega-Pro, ada dugaan penggelembungan suara sebesar 28.658.634 untuk pasangan SBY-Boediono. Penggelembungan ini mengakibatkan perolehan suara mereka melonjak hingga 73.874.562 suara (60,8 persen). Menurut Mega-Pro, perolehan suara pasangan calon nomor urut dua hanya sebesar 45.215.927 (48,7 persen).

Pada putusan MK 12 Agustus 2009, MK mengakui Pilpres 2009 masih banyak banyak kekurangan dan menilai kinerja KPU tidak profesional. Meski demikian, MK menolak gugatan dari kedua pasangan capres-cawapres JK-Win dan Mega-Pro dan menilai Pilpres 2009 sah secara hukum.

Menurut MK, pelanggaran dan kecurangan pada Pilpres 2009 dinilai bersifat prosedural dan administratif. MK tak melihat adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang membuat pilpres perlu diulang. MK dalam pertimbangannya menyatakan, kedua pemohon tak bisa membuktikan terjadinya pelanggaran kualitatif dan kuantitatif seperti yang didalilkan.

Seusai putusan MK, KPU segera menindaklanjuti dengan menggelar rapat pleno untuk menetapkan SBY-Boediono sebagai capres dan cawapres terpilih, serta menetapkan Pilpres 2009 hanya satu putaran. Berdasarkan hasil penghitungan suara KPU, pasangan SBY-Boediono memperoleh lebih dari 50 persen suara sah dengan sebaran minimal 20 persen suara di lebih dari 17 provinsi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas memeriksa berkas yang menjadi alat bukti pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (12/8/2014). Sidang PHPU hari itu mengagendakan pemeriksaan saksi dari kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebanyak 25 saksi akan dihadirkan sesuai dengan permintaan hakim konstitusi.

Pilpres 2014: Prabowo-Hatta Menolak

Pasangan Joko Widodo – M Jusuf Kalla ditetapkan sebagai presiden/wapres terpilih periode 2014-2019 pada 22 Juli 2004 oleh KPU. Rekapitulasi perhitungan suara KPU mencatat pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Joko Widodo – M Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mendapatkan 70.997.833 suara (53,14 persen).

Sebagai reaksi dari hasil ini, calon presiden Prabowo Subianto menyatakan menarik diri dan menolak pelaksanaan Pilpres 9 Juli 2014. Pernyataan itu disampaikan di rumah Polonia, Jakarta, setelah tiga jam rapat bersama para pimpinan partai koalisi Merah Putih. Hatta Rajasa yang menjadi wakil Prabowo tampak tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

Pertemuan yang dilaksanakan pada hari yang sama dengan pengumuman KPU ini dihadiri oleh para pimpinan dan petinggi partai. Tampak hadir dalam pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Taufik Ridho, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang MS Kaban, dan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua.

Proses pilpres yang diselenggarakan KPU oleh kubu Prabowo dinilai bermasalah, cacat, tidak demokratis, dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Prabowo juga menuding KPU sebagai pelaksana, tidak adil dan tidak terbuka karena melanggar sendiri aturan yang dibuatnya.

Sebagai tindak lanjut pernyataan sikap, kubu Prabowo-Hatta mendaftarkan gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 ke Mahkamah Konstitusi pada 25 Juli 2014. Persoalan yang digugat, antara lain, adanya sekitar 52.000 dokumen C1 (hasil rekapitulasi pemungutan suara di tempat pemungutan suara) yang diduga invalid, dugaan tidak dilaksanakannya rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta, dan dugaan pemilu fiktif di 15 kabupaten/kota di Papua.

Setelah proses persidangan sekitar dua minggu (6 Agustus — 21 Agustus 2014), MK menolak menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta pada 21 Agustus 2014. Dalil-dalil yang diajukan tim Prabowo-Hatta, baik mengenai kesalahan rekapitulasi suara oleh KPU maupun pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, sama sekali tak terbukti.

Pasangan Prabowo-Hatta serta Koalisi Merah Putih menyatakan menerima putusan MK terkait sengketa Pemilu Presiden 2014. Namun, putusan MK tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan substantif. Pada 22 Juli 2014, KPU mengeluarkan keputusan yang menyebutkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah sah secara konstitusional untuk dilantik sebagai presiden-wakil presiden periode 2014–2019.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Prabowo-Sandi berjabat tangan setelah konferensi pers di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (27/6/2019) malam. Dalam kesempatan itu, Prabowo mengatakan menghormati putusan MK, tetapi pihaknya akan berkonsolidasi dengan tim hukumnya untuk mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya atas putusan itu.

Pilpres 2019: Prabowo Kembali Menggugat

Berdasarkan data rekapitulasi KPU di 34 provinsi berbasis data DC1-PPWP, pasangan capres-cawapres Joko Widodo – Ma’ruf Amin mendapat 85.036.828 suara (55,41 persen), sementara Prabowo Subianto – Sandiaga Uno mendapatkan 68.442.493 (44,59 persen). Jokowi-Amin unggul di 21 provinsi, sedangkan Prabowo-Sandi unggul di 13 provinsi.

Pengumuman hasil Pilpres sempat menimbulkan kerusuhan pada 21–22 Mei 2019. Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, aksi unjuk rasa 21–22 Mei terdapat dua segmen, yakni aksi damai yang diselingi shalat berjemaah dan buka puasa bersama antara pengunjuk rasa dan aparat pengamanan, dan kerusuhan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa serta rusaknya sejumlah fasilitas umum. Dari temuan barang bukti yang telah diperiksa Laboratorium Forensik Polri, Tito mengatakan peristiwa itu direncanakan dan terorganisasi.

Mahkamah Konstitusi kembali menjadi penentu hasil Pilpres setelah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendaftarkan sengketa perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2019 ke Mahkamah Konstitusi pada 24 Mei 2019. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi beberapa kali sempat menyatakan tak akan mengajukan PHPU Pilpres ke MK karena dinilai sia-sia.

Menurut ketua tim hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, pendaftaran sengketa kubu Prabowo-Sandi merupakan bagian dari upaya penting untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Pihak Prabowo-Sandi menyerahkan 51 alat bukti kepada MK. Melalui permohonan itu, Prabowo-Sandi berupaya merumuskan dugaan kecurangan yang bisa dikualifikasikan sebagai terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pemilu 2019.

Sidang perdana gugatan Pilpres 2019 dilaksanakan pada 14 Juni 2019. Ketua MK Anwar Usman menegaskan, hakim MK tidak tunduk kepada pihak mana pun serta tidak bisa diintervensi. Pada sidang perdana sempat dikhawatirkan terjadi unjuk rasa skala besar, tetapi unjuk rasa berlangsung damai dan berakhir pada pukul empat sore.

Setelah hampir dua minggu proses gugatan, MK membacakan putusan pada 27 Juni 2019. Hasil putusan MK menolak seluruh dalil permohonan pemohon pasangan Prabowo-Sandi terkait hasil penghitungan suara pemilihan presiden oleh KPU. Dalil pemohon bahwa telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif di pemilu lalu, tidak beralasan menurut hukum, tidak relevan, serta tidak bisa dijelaskan secara hukum.

Saat pembacaan putusan suasana rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, ramai tokoh dan elite partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Para tokoh mengadakan pertemuan tertutup selama 10 jam untuk menyiapkan pernyataan resmi atas putusan MK, serta membahas nasib arah koalisi ke depan. Hanya berselang beberapa menit setelah MK membacakan putusan, Prabowo-Sandi dan elite partai koalisi menyampaikan pernyataan resmi menolak putusan MK.

Pernyataan mengejutkan dilontarkan oleh Prabowo setelah partai koalisi terlihat kompak berkumpul saat putusan MK. Pada 29 Juni 2019 Prabowo membubarkan koalisi partai politik yang mendukungnya saat pilpres 2019. Dalam rapat dua hari yang dihadiri para sekjen dan sejumlah ketua umum partai koalisinya, Prabowo menyampaikan keinginan menyudahi koalisi yang telah mendukungnya dan membebaskan partai-partai pendukungnya menentukan langkah untuk menjadi oposisi atau bagian dari pemerintah.

Babak akhir rivalitas Prabowo dan Jokowi secara simbolik berakhir saat pertemuan antara dua tokoh di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta pada 13 Juli 2019. Pertemuan tersebut sekaligus menjadi langkah awal pecahnya polarisasi antara dua kubu yang berbeda. Dalam pertemuan itu, Jokowi dan Prabowo sepakat memulai kebersamaan membangun serta memajukan bangsa.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (22/4/2024).

Pilpres 2024: Prabowo Digugat

Pada Pilpres keempatnya, Prabowo Subianto berhasil mendapat suara terbanyak. Penetapan hasil Pilpres berdasar rapat Pleno KPU pada 20 Maret 2024, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meraih 96.214.691 suara (58,47 persen), Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar meraih 40.971.906 suara (25,23 persen), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 27.040.878 (16,30 persen).

Atas hasil ini Prabowo Subianto mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah menggunakan hak pilih, partai politik yang mengusungnya, penyelenggara Pemilu, serta TNI/Polri. Dua kubu lawan Prabowo memberikan sikap berlawanan dan siap menggugat ke MK.

Anies Baswedan mengatakan akan mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK sementara Ganjar Pranowo di Posko Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, mengatakan pihaknya sudah siap untuk membuktikan dugaan kecurangan pemilu yang terjadi.

Sidang perdana sengketa Pilpres dilaksanakan pada 27 Maret 2024. Dalam sidang terpisah, pasangan Anies-Amin dan Ganjar-Mahfud memohon agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil Pemilihan Presiden 2024. Sengketa hasil pilpres dipimpin Ketua MK Suhartoyo, didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan enam hakim konstitusi lainnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Menjelang pembacaan putusan sidang sengketa Pilpres, MK menerima pemikiran dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang diajukan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan. Megawati melampirkan tulisan tangannya di dalam amicus curiae dan mengajak rakyat Indonesia berdoa agar ketuk palu MK bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas seperti kata pahlawan nasional RA Kartini, ”habis gelap terbitlah terang”.

Megawati bukan satu-satunya yang mengajukan sebagai amicus curiae. Selain Megawati, empat lembaga kemahasiswaan juga menyerahkan amicus curiae yakni dari Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH Universitas Diponegoro, BEM FH Universitas Padjadjaran, dan BEM FH Universitas Airlangga (16/4/2024).

Pada sidang pembacaan putusan Pilpres yang digelar Senin, 22 April 2024, MK menolak seluruh permohonan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Dalil sengketa Pilpres 2024 dikelompokkan menjadi enam kluster yakni independensi penyelenggara pemilu, keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, bantuan sosial (bansos), mobilisasi/netralitas pejabat/aparatur negara, prosedur penyelenggaraan pemilu, serta pemanfaatan sistem informasi rekapitulasi (sirekap).

Seluruh dalil yang diajukan oleh kedua pemohon tidak terbukti di persidangan. Namun, tiga hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Sebagai catatan, dissenting opinion pada sidang 2024 merupakan yang pertama terjadi dalam sejarah sengketa Pilpres di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Dibuka, Pendaftaran Sengketa Pemilu Presiden”. Kompas, 27 Juli 2004, hlm. 6.
  • “Putusan MK Tutup Peluang Wiranto”. Kompas, 13 Agustus 2004, hlm. 4.
  • “Sengketa Pilpres II Diputus 15 Oktober”. Kompas, 8 September 2004, hlm. 6.
  • “Mega-Hasyim Belum Tentu Gugat ke MK”. Kompas, 6 Oktober 2004, hlm. 6.
  • “Mahkamah Konstitusi: Yudhoyono-Jusuf Kalla Resmi Presiden dan Wakil Presiden”. Kompas, 8 Oktober 2004, hlm. 1.
  • “Kalla Tolak Hasil Pilpres”. Kompas, 25 Juli 2009, hlm. 1.
  • “Sengketa Pilpres: Tim Kalla-Wiranto Minta Pilpres Dinyatakan Tidak Sah”. Kompas, 28 Juli 2009, hlm, 1.
  • “MK Janjikan Keadilan”. Kompas, 29 Juli 2009, hlm 1.
  • “MK Nilai KPU Tak Profesional”. Kompas, 13 Agustus 2009, hlm. 1.
  • “Prabowo Tolak Pilpres 2014 dan Tarik Diri”. Kompas, 23 Juli 2014, hlm. 1.
  • “Menakar Peluang di Mahkamah Konstitusi”. Kompas, 24 Juli 2014, hlm. 12.
  • “Prabowo-Hatta ke MK”. Kompas, 25 Juli 2014, hlm. 1.
  • “MK Meminta Perbaikan”. Kompas, 7 Agustus 2014, hlm. 1.
  • “KPU Anggap Dalil Gugatan Pemohon Tidak Relevan”. Kompas, 8 Agustus 2014, hlm 1.
  • “Jokowi-JK Pemimpin Baru”. Kompas, 22 Agustus 2014, hlm. 1.
  • “Prabowo-Hatta Menerima”. Kompas, 23 Agustus 2014, hlm. 3.
  • “Rekapitulasi Pemilu Tuntas”. Kompas, 21 Mei 2019, hlm. 1.
  • “MK Kembali Jadi Penentu”. Kompas, 25 Mei 2019, hlm. 1.
  • “Percaya Penuh kepada MK”. Kompas, 15 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Masalah DPT Muncul Lagi di MK”. Kompas, 20 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Saling Apresiasi di Akhir Sidang”. Kompas, 22 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Polri: Kerusuhan Direncanakan”. Kompas, 26 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Terima Apa Pun Putusan MK”. Kompas, 27 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Hasil Pemilu Presiden Sah”. Kompas, 28 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Saat Nasib Calon Presiden Ditentukan”. Kompas,  28 Juni 2019, hlm. 2.
  • “KPU Tetapkan Presiden dan Wapres Terpilih”. Kompas, 30 Juni 2019, hlm. 1.
  • “Saatnya Bersama Membangun Bangsa”. Kompas, 14 Juli 2019, hlm. 1.
  • “Tim Hukum Ketiga Capres Bersiap Adu Bukti di MK”. Kompas, 21 Februari 2024, hlm. 1.
  • “Koalisi Perubahan Kembali: Tunjukkan Soliditas”. Kompas, 24 Februari 2024, hlm. 2.