Kronologi | HUT DKI Jakarta

“Landmark” Jakarta dan Gagasan Soekarno

Soekarno ingin membangun Jakarta menjadi kota yang modern setara kota-kota di negara maju. Pada masa pemerintahannya, Jakarta dibangun dengan gedung-gedung pencakar langit dan monumen-monumen impresif, yang dikenal sebagai “proyek mercusuar”.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pengunjung bersepeda di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Eksistensi Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia tidak dibangun dalam waktu singkat. Jika merunut ke sejarah masa lalu, denyut pembangunan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara telah mulai dirasakan pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Pada masa itu, Jakarta sebagai ibu kota masih merupakan kota yang sebagian besar wilayahnya relatif berupa kampung-kampung. Sebagai representasi wajah Indonesia di mata dunia, Soekarno ingin membangun Jakarta menjadi kota yang modern setara dengan ibu kota di berbagai negara maju.

Soekarno membangun Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langit dan monumen-monumen impresif, yang dikenal sebagai “proyek mercusuar”. Pembangunan tersebut difokuskan di poros baru Jakarta yang dibentuknya, membentang dari sudut barat daya Lapangan Merdeka menuju Jalan Sudirman dan Kebayoran Baru. Daerah ini menggantikan poros lama Jakarta masa kolonial ketika bernama Batavia, yaitu Kota Tua, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Harmoni, Juanda, Senen, sampai Matraman.

Melalui gedung-gedung dan monumen-monumen yang digagasnya itu, Soekarno ingin membangun rasa percaya diri rakyat Indonesia, keluar dari rasa rendah dengan memberi rasa bangga simbol-simbol fisik yang menjadi lambang modernitas.

Di samping itu, simbol modernitas juga untuk menarik perhatian dunia sekaligus membuktikan bahwa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lainnya. Indonesia mampu membuat apa yang dibuat bangsa lain, bahkan melebihinya.

Meskipun Soekarno telah berpulang, bukti kiprahnya dalam membangun Jakarta masih eksis hingga hari ini, dari gedung-gedung hingga monumen yang menjadi penanda atau landmark Jakarta.

Monumen Nasional (Monas)

  • Tahun Pembangunan: 17 Agustus 1961
  • Tahun Peresmian: 12 Juli 1975
  • Perancang: R.M. Soedarsono

Monumen Nasional mulai dibangun pada tahun 1961, tetapi gagasan awalnya sudah ada sejak tahun 1954. Ide awalnya berasal dari Sarwoko, seorang masyarakat biasa yang mendambakan adanya simbol perjuangan bangsa di Kota Jakarta yang berbentuk tugu yang ditempatkan di tengah Lapangan Merdeka. Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta ternyata sangat antusias mendukung gagasan itu.

Pada tanggal 17 September 1954 terbentuklah Panitia Tugu Nasional di rumah dinas Walikota Jakarta. Panitia itu kemudian menyelenggarakan sayembara desain bangunannya pada 17 Februari 1955. Ada 51 peserta, antara lain, pelukis S. Sudjojono dan arsitek Ir. F. Silaban. Hasilnya, hanya menghasilkan pemenang kedua, karya Silaban.

Pada tahun 1960 dilakukan sayembara kedua yang diikuti oleh 222 orang. Pada sayembara kedua ini dihasilkan 136 desain yang merupakan karya perseorangan atau kelompok. Sayembara kedua juga tidak menghasilkan karya terbaik. Karena tidak ada pemenang di sayembara pertama dan kedua, Soekarno akhirnya menunjuk dua arsitek terkemuka di Indonesia saat itu, Soedarsono dan F. Silaban, untuk menghasilkan rancangan. Keduanya mengerjakan rancangannya masing-masing dan yang dipilih oleh Soekarno pada tahun 1961 adalah rancangan Soedarsono.

Pada 17 Agustus 1961, pembangunan Monumen Nasional dimulai, ditandai dengan pemancangan tiang pertama. Beberapa bahan konstruksi dan materialnya diimpor dari luar negeri, seperti kerangka besi, lidah api, tangga dan lift dari Jepang. Marmer dan kaca diorama dari Italia. Instalasi listrik dan sound system dari Jerman Barat. Konstruksi beton dari Perancis.

Proses pembangunan Monas berlangsung cukup lama, yakni selama 14 tahun. Monas baru selesai pada masa Orde Baru, dan diresmikan pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Monas memiliki tinggi 132 meter (433 kaki). Di puncaknya terdapat tugu berbentuk lidah api sebagai lambang perjuangan yang dibalut emas seberat 38 kilogram. Sebagian besar, sekitar 28 kilogram, dari emas pelapis lidah api tersebut disumbangkan oleh saudagar kaya dari Nanggroe Aceh Darussalam, Teuku Markam. Pada tahun 1995, berat emas ditambah menjadi 50 kilogram.

Infografik Pengelolaan Monumen Nasional

Hotel Indonesia

  • Tahun Pembangunan: 1959
  • Tahun Peresmian: 5 Agustus 1962
  • Arsitek: Abel dan Windy Sorensen

Hotel Indonesia merupakan bagian dari proyek pembangunan persiapan Asian Games IV di Jakarta pada 1962. Hotel ini disiapkan sebagai tempat menginap para tamu negara dan juga peserta Asian Games. Ide membangun Hotel Indonesia dicetuskan Presiden Soekarno, mengingat Jakarta pada tahun 1960-an tidak memiliki hotel bertaraf internasional.

Hotel mulai dibangun pada tahun 1959 dan dirancang oleh pasangan arsitek asal Amerika Serikat Abel dan Windy Sorensen. Anggaran pembangunannya berasal dari dana pampasan perang Jepang. Hotel ini diresmikan oleh Presiden Soekarno tepat sebelum Asian Games, yaitu 5 Agustus 1962.

Ketika pertama dibuka, Hotel Indonesia memiliki luas 25.082 meter persegi, dengan 15 lantai dan 436 kamar, terdiri dari dua gedung yang menyerupai huruf “T”, yang dinamai Ganesha dan Ramayana. Hotel Indonesia memiliki berbagai fasilitas mewah pada masanya, dari lift, klub dansa, hingga kolam renang terbuka.

Hotel ini juga memiliki kamar presidential suite yang kerap disewa presiden atau perdana menteri yang berkunjung ke Jakarta. Kamar seluas 400 meter persegi itu memiliki fasilitas lengkap mulai dari gym, spa, jacuzzi, ruang rapat, dapur, ruang makan, hingga kamar ajudan. Tarif menginap di kamar ini tahun 1960-an, senilai Rp 40.000.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Renovasi Hotel Indonesia yang genap 25 tahun setelah diresmikan Presiden Soekarno 6 Agustus 1962. Hotel bertaraf internasional itu kini berusaha mempertahankan eksistensinya dengan renovasi kembali. Tampak gambar loby selesai renovasi tapi belum berfungsi (21/1/1987)

Stadion Utama Senayan atau Gelora Bung Karno

  • Tahun Pembangunan: 8 Februari 1960
  • Tahun Peresmian: 21 Juli 1962
  • Perancang: Frederich Silaban

Pembangunan stadion ini dimulai pada 8 Februari 1960, ditandai oleh pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno. Pembangunan stadion dimaksudkan atas kebutuhan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Dengan pinjaman dana dari Uni Soviet, pembangunan diselesaikan pada 21 Juli 1962, dan resmi dibuka pada 24 Agustus 1962, bertepatan pembukaan Asian Games IV.

Stadion Senayan atau kini menjadi Stadion Gelora Bung Karno merupakan stadion bertipe Olympic yang berkapasitas lebih dari 100.000 penonton. Pembangunannya dilakukan oleh arsitek Fredrick Silaban dan dibantu oleh tekniksi arsitek-arsitek yang berasal dari Uni Soviet. Pada saat itu, stadion ini merupakan stadion terbesar di Asia Tenggara.

Bangunan stadion memiliki ciri khas unik, yakni model atap temu galang. Konsep temu gelang merupakan istilah ciptaan Soekarno untuk mengartikan konsep atap yang berbentuk menerus, menyambung secara melingkar mengikuti bentuk lintasan fasilitas stadion.

Model atap tersebut merupakan inovasi baru pada masa itu, bertujuan supaya penonton merasa aman dan nyaman dalam menyaksikan pertandingan dan terhindar dari terik panas matahari dan hujan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pesta kembang api di atas langit Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta memeriahkan pembukaan Asian Games 2018, Sabtu (18/8/2018).

Jembatan Semanggi

  • Tahun Pembangunan: 1961
  • Tahun Peresmian: 1962
  • Perancang: Ir. Sutami

Pembangunan Jembatan Semanggi merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur persiapan penyelenggaran Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962. Jalan layang modern pada masanya ini dibangun untuk jadi infrastruktur yang menjamin kelancaran lalu lintas selama berlangsunganya pesta olahraga terbesar di Asia tersebut. Pembangunannya dilakukan atas usul Ir. Sutami yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan disetujui oleh Presiden Soekarno.

Jembatan Semanggi mulai dibangun pada 1961, serentak dengan pembangunan Hotel Indonesia dan Stadion Gelora Bung Karno. Jembatan dibangun dengan panjang total 1.509 meter dan lebar 30 meter. Pembangunan berhasil diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1962 oleh Bung Karno dengan mengendarai Jeep secara sendiri menuju tengah bentang, guna meyakinkan warga Jakarta.

Jalan ini dinamai Semanggi karena bentuknya menyerupai daun semanggi. Daun semanggi adalah simbol persatuan. Pada saat itu, Jembatan Semanggi dibangun dengan metode precast, teknologi beton paling terkini pada masanya. Jembatan Semanggi juga diklaim sebagai cloverlead bridge terbesar di Asia Tenggara. Cloverleaf bridge adalah persimpangan dua tingkat, bertujuan untuk dua jalan raya beroperasi tanpa dihentikan lampu lalu lintas.

KOMPAS/MJ KASIJANTO

Jembatan Semanggi dilihat dari atas Gedung Graha Purna Yudha (7/10/1973). Bagian kiri atas adalah Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno.

Masjid Istiqlal

  • Tahun Pembangunan: 24 Agustus 1961
  • Tahun Peresmian: 22 Februari 1978
  • Perancang: Frederich Silaban

Masjid Istiqlal mulai dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961. Namun, rencana pembangunannya sudah ada sejak tahun 1950, atas ide K.H. Wahid Hasyim (Menteri Agama) dan H. Anwar Tjkroaminoto serta beberapa tokoh Islam dan mendapat sambutan baik dari Presiden Soekarno yang akan membantu sepenuhnya pendirian masjid.

Pembangunan telebih dahulu melakukan sayembara maket desain Masjid Istiqlal. Sayembara dilakukan selama tanggal 22 Februari 1955 – 30 Mei 1955, diikuti tidak kurang dari 27 peserta, namun hanya 22 peserta yang menyerahkan gambar dan maket mereka. Pemenang sayembara ini adalah desain dengan sandi “Ketuhanan” dari karya arsitek Fredrich Silaban.

Pembangunan Masjid Istiqlal dimulai tanggal 24 Agustus 1961. Soekarno dalam pidato pemasangan tiang pertama menekankan bahwa pembangunan Masjid Istiqlal harus mampu bertahan lebih dari 1000 tahun. Pondasi mengunakan bahan yang berasal dari besi, beton, dan pintu yang terbuat daru perunggu, batu pualam yang mampu bertahan 1000–2000 tahun kedepan kedepan. Pemberian nama Istiqlal juga mengandung makna tersendiri, diadaptasi dari bahasa arab kata “Istiqlal” mengandung arti “merdeka”.

Karena krisis politik dan ekonomi di pertengahan tahun 1960-an, Masjid Istiqlal baru selesai dibangun pada masa Orde Baru dan diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto. Masjid berdaya tampung sekitar 200.000 orang, memiliki luas bangunan sekitar 24.200 meter persegi di atas tanah seluas sekitar 98.247 meter persegi, menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Bangunan utama terdiri dari satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang oleh 12 tiang besar, dan menara tunggal setinggi 96,66 meter yang menjulang ke langit, terletak di sebelah selatan selasar masjid.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Warga Jakarta memasuki Masjid Istiqlal setelah peresmian oleh Presiden pada 22 Februari 1978.

Patung Selamat Datang

  • Tahun Pembangunan: 1961
  • Tahun Peresmian: 1962
  • Perancang: Henk Ngatung, Edhi Soenarso dan tim Pematung Keluarga Arca Yogyakarta (Trisno, Askabul, Sarpomo, Mon Mudjiman, Suardhi, dan Suwandi)

Patung Selamat Datang dibuat untuk menyambut tamu dan para olahragawan yang tiba di Jakarta dalam rangka penyelenggaraan Asian Games lV di Jakarta tahun 1962. Gagasannya berasal dari Presiden Soekarno dengan latar belakang filosofis keterbukaan bangsa lndonesia menyambut para olahragawan yang datang dari segala penjuru dunia.

Sketsa Patung Selamat Datang digambar oleh Henk Ngatung dan dikerjakan oleh seniman pematung asal Yogyakarta, yaitu Edhi Soenarso dan tim Pematung Keluarga Arca Yogyakarta, di antaranya Trisno, Askabul, Sarpomo, Mon Mudjiman, Suardhi, dan Suwandi.

Patung Selamat Datang menvisualkan sepasang muda-mudi yang tersenyum seraya melambaikan tangan dan membawa bunga, yang mencerminkan keramahtamahan bangsa Indonesia. Patung ini ditempatkan di atas pedestal berbentuk dua tiang kaki, yaitu semacam gerbang sempit dengan ketinggian 20 meter.

Patung ini ditempatkan di depan Hotel Indonesia yang saat itu dianggap sebagai pintu gerbang masuk kota Jakarta. Bentuk simbolis penyambutan para tamu mancanegara, terutama dari Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Kemayoran.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Warga menyaksikan pertunjukan kembang api di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Minggu (1/1/2023). Bundaran HI dengan ikon Patung Selamat Datang menjadi salah satu kawasan yang dipilih warga untuk merayakan pergantian Tahun Baru 2023. Tidak hanya kembang api, warga juga disuguhkan penampilan sejumlah penampilan musik di panggung Malam Muda Mudi.

Patung Pembebasan Irian Barat

  • Tahun Pembangunan: 1962
  • Tahun Peresmian: 17 Agustus 1963
  • Perancang: Henk Ngantung, Edhi Soenarso, dan tim Pematung Keluarga Arca Yogyakarta, serta Friedrich Silaban

Patung Pembebasan Irian Barat didirikan untuk memperingati kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia pada 1962, yang sebelumnya diklaim oleh Belanda. Patung ini ditempatkan di tengah-tengah Lapangan Banteng, di seberang istana yang dibangun Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels, kini gedung Departemen Keuangan.

Patung ini berwujud sosok laki-laki berdiri tegak dengan mulut terbuka seperti sedang berteriak, mengangkat kedua lengannnya ke atas yang pergelangan tangannya terdapat borgol rantai yang putus terlepas. Patung ini merepresentasikan satu manusia perkasa yang dirinya terbebas dari belenggu yang mengikat dirinya.

Sketsa patung ini digambar oleh Henk Ngantung dan patung dibuat oleh seniman patung dari Yogyakarta, Edhi Soenarso dan tim Pematung Keluarga Arca Yogyakarta. Sementara arsitektur monumen dirancang oleh Friedrich Silaban.

Lama pembuatan patung ini memakan waktu sekitar satu tahun dan diresmikan tanggal 17 Agustus 1963 oleh Soekarno. Monumen ini menjulang mencapai sekitar 35 meter, patungnya sendiri memiliki tinggi 9 meter dan berat 8 ton yang terbuat dari perunggu.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Patung Kebebasan di Lapangan Banteng seolah memeluk puncak Monas (2/6/1971).

Toserba Sarinah

  • Tahun Pembangunan: 23 April 1963
  • Tahun Peresmian: 15 Agustus 1966
  • Perancang: Abel Sorensen

Pembangunan Toserba Sarinah bermula dari gagasan Soekarno untuk membangun sebuah toko serba ada (toserba) modern. Gagasan dilatarbelakangi oleh pengamatan Soekarno dalam lawatannya ke negara-negara maju, melihat bahwa negara-negara yang dikunjungi telah memiliki toserba sebagai distributor barang-barang untuk masyarakat dan juga sebagai stabilitator harga. Sehingga dalam tujuan pembangunannya, Toserba Sarinah bertujuan sebagai pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan industri rakyat.

Pembangunan Toserba Sarinah dimulai pada 23 April 1963, ditandai dengan pemancangan tiang pertama oleh Soekarno. Pembangunan didanai hasil pampasan perang Jepang. Pembangunan ditargetkan akan selesai pada 22 Desember 1965, tetapi karena situasi politik seperti akibat dari Gerakan 30 September pembangunan gedung terhambat dan baru dapat diselesaikan pada tahun 1966.

Peresmian Toserba Sarinah dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1966, dihadiri oleh Duta Besar Jepang Shizuo Saito, Menteri Perdagangan Brigjen Ashari, Menteri Keuangan Frans Seda, Gubernur Bank Indonesia Radius Prawiro dan perwakilan perusahaan dagang Jepang.

Toserba Sarinah memiliki 15 lantai dengan tinggi 74 meter. Sebagai pusat perbelanjaan yang modern, dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti eskalator atau tangga berjalan, pendingin udara, mesin pembayaran elektronik, cafe hingga money changer.

Seperti tujuan awalnya, Toserba Sarinah menyediakan barang-barang produksi dalam negeri dan kerajinan khas Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, mulai dari souvenir berukuran kecil hingga lukisan dan ukiran karya seniman Indonesia. Salah satu kerajinan yang menjadi primadona adalah batik, produk yang banyak diincar oleh para turis mancanegara.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tempat parkir sepeda di Gedung Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2022). Perbelanjaan modern pertama di Indonesia itu, kini tampil dengan wajah baru dan bertransformasi menjadi panggung bagi karya anak bangsa.

Wisma Nusantara

  • Tahun Pembangunan: 9 Juni 1964
  • Tahun Peresmian: 2 Desember 1972
  • Perancang: Ir. Rooseno

Wisma Nusantara dibangun atas gagasan Presiden Soekarno pada 1963. Pembangunannya menggunakan biaya ganti rugi perang pemerintah Jepang. Saat itu, Wisma Nusantara dibangun untuk menjadi gedung perkantoran kelas A, diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan besar, nasional, dan multinasional.

Pembangunan fisiknya dimulai pada 9 Juni 1964. Namun, pembangunannya berhenti pada tahun 1965 karena krisis ekonomi dan politik. Pembangunan baru dilanjutkan kembali pada tahun 1969, bersamaan dengan pembangunan Hotel President di sebelahnya.

Wisma Nusantara selesai dibangun dan diresmikan pada 2 Desember 1972 oleh Presiden Soeharto, bersamaan juga dengan peresmian Hotel President. Kompas, 4 Desember 1972 memberitakan bahwa upacara peresmian dilakukan secara meriah, ratusan burung dara, dan balon warna warni dilepaskan ke udara. Acara juga dimeriahkan dengan pertunjukan tari pendet.

Wisma Nusantara pada masanya menjadi gedung pencakar langit tertinggi di Indonesia sekaligus di Asia Tenggara. Tingginya 117 meter dengan 30 lantai, dan menerapkan teknologi tahan gempa.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Gedung Wisma Nusantara berdiri menjulang tinggi di Jl.MH Thamrin Jakarta Pusat (31/5/1972). Gedung ini tempat berbisnis dan pusat perkantoran beberapa pengusaha.

Patung Dirgantara (Pancoran)

  • Tahun Pembuatan: 1964
  • Tahun Selesai: 1965 (baru dipasang tahun 1970)
  • Perancang: Edhi Soenarso dan Ir. Sutami

Pembuatan patung ini merupakan ide dari Presiden Soekarno sebagai simbol peringatan tonggak sejarah penerbangan lndonesia dan kebangkitan rasa kebanggaan rakyat Indonesia terhadap dunia dirgantara. Sayangnya, Soekarno sebagai penggagasnya tidak pernah melihat Patung Dirgantara secara utuh dan selesai.

Bentuk patung ini melambangkan manusia angkasa Indonesia sebagai tokoh perkasa dan gagah berani menjelajah angkasa. Patung ini menampilkan figur sosok laki-laki yang hanya mengenakan seuntai kain di bagian bahu dan pinggul yang tampak seolah tertiup angin, menampilkan otot-otot menonjol, ekspresi wajah wajah keras, mulut mengatup, dan tatapan mata tajam ke depan.

Patung ini melambangkan manusia angkasa Indonesia yang digambarkan sebagai tokoh perkasa dan gagah berani menjelajah angkasa. Posisi kaki digambarkan seperti seorang atlet pelari jarak pendek yang sedang bersiap dalam posisi start dalam bertanding dan posisi tangan kangan menjulur ke depan arah utara dan tangan kiri di tarik kebelakang. Konon, model patung ini merupakan Soekarno sendiri.

Patung yang dikerjakan oleh Edhi Soenarso pada tahun 1964–1965 dengan mengunakan bahan perungu ini memiliki tinggi 11 meter, berat 11 ton, dan kaki penyangga patung setinggi 27 meter. Sedangkan, monumennya secara arsitektural dikerjakan oleh Ir. Sutami.

Dalam proses pengerjaanya, pemasangan patung sempat mengalami hambatan. Potongan-potongan patung itu terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta karena tidak ada biaya lagi dari Soekarno. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, ia menjadi tahanan rumah. Edhi Soenarso, bahkan, berutang kepada pemilik bahan perunggu dan bank.

Proses pemasangan patung baru dilakukan pada tahun 1970. Pada Februari 1970 disela-sela pengerjaan diorama Museum Satria Mandala, Jakarta, Edhi Soenarso diminta menghadap Soekarno di Istana Bogor. Saat itu, Soekarno sudah tidak menjabat sebagai presiden dan dikenai tahanan rumah. Oleh Soekarno, Edhi Soenarso diminta meneruskan proyek dan memasang patung. Untuk mengangkut potongan patung ke Jakarta, Soekarno menjual mobil Buick pribadi miliknya.

Pada 21 Juni 1970, ketika Patung Dirgantara masih dalam proses pemasangan dan Edhi Soenarso masih bekerja di puncak patung, iring-iringan jenazah Soekarno melintas di bawahnya, berjalan dari Wisma Yaso menuju Bandara Halim Perdanakusuma untuk dibawa ke Blitar.

KOMPAS/NORMAN EDWIN

Patung Dirgantara di Bunderan Pancoran, Jakarta Selatan, sedang dibersihkan untuk pertama kalinya pada Desember 1991. Bentuk landasannya yang melengkung setinggi 27 meter membuat para pekerja harus menggunakan banyak sekali bambu buat perancahnya. Patung manusia dirgantara itu dibuat tahun 1964-1965 dan dipasang tahun 1966. Patung perunggu ini dirancang oleh Edhi Sunarso, lalu dikerjakan oleh Tim Pematung Keluarga Arca Yogyakarta. Landasannya diarsiteki Ir. Sutami dan dikerjakan oleh PN Hutama Karya.

Patung Pahlawan (Tugu Tani)

  • Tahun Pembuatan: 1963
  • Tahun Selesai: 24 Juni 1964
  • Perancang: Matvey Manizer dan Otto Manizer.

Patung Pahlawan atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Tani dibangun untuk melukiskan jiwa kepahlawanan para penjuang kemerdekaan. Patung yang terletak di taman segitiga Menteng ini dirancang dan dibuat oleh seniman asal Uni Soviet, Matvey Manizer dan putranya, Otto Manizer. Soekarno memesan Matvey Manizer membuat Patung Pahlawan karena terkesan dengan karya-karya patung Matvey Manizer ketika berkunjung ke Moskow, Uni Soviet. Karya-karya Matvey sendiri merupakan klasik bagi aliran sosialis-realisme.

Dalam membuat Patung Pahlawan, Matvey Manizer dan Otto Manizer terinspirasi oleh cerita rakyat dari Jawa Barat, kisah tentang seorang ibu yang mengantar anak laki-lakinya pergi berjuang dan memberikan bekal berupa nasi pada anaknya tersebut.

Oleh Matvey Manizer dan Otto Manizer, kisah itu direpresentasikan dengan patung yang menggambarkan seorang pemuda petani yang bercelana pendek, bertelanjang dada, memakai topi caping bambu di kepala, menyadang bedil dengan bayonet tersungkur di punggungnya, dan pistol dipinggangnya berdampingan dengan sosok perempuan berkonde, berkain, dan berkebaya yang sedang menyuguhkan sepiring makanan kepada sang pejuang petani.

Patung perunggu ini dikerjakan di Uni Soviet dan dibawa ke Indonesia dengan menggunakan kapal laut untuk kemudian diresmikan Presiden Soekarno pada 24 Juni 1964. Ketika peresmian, Soekarno menempelkan plakat pada tugu penyangga bertuliskan “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

KOMPAS/JOHNNY TG

Patung Tani Bergerilya karya seniman Soviet yang diresmikan tahun 1963 oleh Presiden Soekarno (waktu itu) di Taman Prapatan, Menteng, Jakarta Pusat (10/5/2001).

Gedung Conefo atau Gedung DPR/MPR

  • Tahun Pembangunan: 8 Maret 1965
  • Tahun Peresmian: 1 Februari 1983
  • Perancang: Sujudi Wirjoatmojo

Gedung Conefo dibangun oleh Soekarno guna memfasilitasi penyelenggaraan konferensi internasional Conference of The New Emerging Forces (Conefo) dalam rangka mempererat persatuan bangsa-bangsa The New Emerging Forces (Nefo). Gedung Conefo dirancang memiliki kubah besar yang menyerupai sayap burung yang akan lepas landas. Gambar di desain dan diciptakan oleh Ir. Sujudi Wirjoatmojo atas petunjuk dari Soekarno.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para siswa berfoto bersama di depan Gedung Kura-kura usai mengunjungi Museum DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018). Selain museum, siswa yang berkunjung juga bisa mengenal beragam fasilitas edukasi seperti, ruang sidang anggota dewan maupun kegiatan rapat di DPR RI.

Pembangunan Gedung Conefo dimulai pada 8 Maret 1965 melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965. Ketika itu pembangunan mendapatkan dukungan dari RRC yang memberikan sumbangan berupa bahan-bahan, alat-alat pembangunan, sampai ahli teknik bangunan.

Pembangunan Gedung Conefo sempat terhambat karena adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan dilanjutkan kembali berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 79/U/Kep/11/1966 tanggal 9 November 1966, tetapi peruntukannya diubah menjadi Gedung MPR/DPR RI. Gedung ini selesai dibangun dan diresmikan pada 1 Februari 1983. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Ardhiati, Yuke. 2005. Bung Karno Sang Arsitek. Depok: Komunitas Bambu.
  • Blacburn, Susan. 2011. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
  • Farabi Fakih. 2005. Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno. Yogyakarta: Ombak.
  • Firman Lubis. 2018. Jakarta 1950-1970. Depok: Masup Jakarta.
Hasil Riset dan Jurnal
  • Amin Rahayu. “Pesta Olahraga Asia Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya”. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sejarah, 2012.
  • Fitria Damayanti. “Toko Serba Ada Sarinah: Simbol Keodernan Kota Jakarta (1962-1979)”. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sejarah, 2014.
  • Ditya Rismawan. “Peran Soekarno dalam Pembangunan Wajah Kota Jakarta 1950-1965. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2021.
Arsip Kompas
  • “Wisma Nusantara & President Hotel Diresmikan Presiden”, Kompas, 4 Desember 1972.
  • “Wisma Nusantara Tak Ketinggalan Zaman”, Kompas, 24 April 2019.
  • “Hotel Indonesia, Pembuktian Negara Baru di Kancah Internasional”, Kompas, 11 Februari 2021.
  • “Sejarah Monumen Nasional (Monas): Perencanaan, Pembangunan, Hingga Polemik Pengelolaan”, Kompas, 17 Juli 2021.
Internet