Lembaga

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga independen yang spesifik bertanggung jawab terhadap pengentasan tindak pidana pencucian uang. Kehadirannya tak lepas dari dinamika internasional yang kian serius dengan pemberantasan pencucian uang.

Fakta Singkat

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

Didirikan
17 April 2002

Regulasi Pendirian:
UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Regulasi PPATK saat ini:
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Ketua PPATK:
Ivan Yustiavandana
(2021–2026)

Kewenangan PPATK:
PPATK adalah lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (dua dari kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri), Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana (dua dari kanan) dan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komjen Agus Andrianto menggelar konferensi pers usai rapat Komite TPPU membahas penanganan temuan transaksi mencurigakan Rp 349,87 triliun, di Gedung PPATK, Jakarta, Senin (10/4/2023).

Sejumlah kasus penyalahgunaan wewenang tengah memperoleh perhatian luas masyarakat Indonesia belakangan ini. Penyalahgunaan tersebut baik dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat negeri berujung pada akumulasi harta secara berlebih dan tidak semestinya.

Selain masyarakat melalui media sosial yang aktif menyoroti dan menyuarakan kasus-kasus demikian, aktor lain yang memiliki andil besar dalam kasus-kasus demikian adalah lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga yang berada tingkat pusat ini secara khusus dibangun untuk memberantas tindakan pencucian uang.

Salah satu kasus teraktual yang ikut mendorong keterlibatan PPATK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Achiruddin Hasibuan di Polda Sumatera Utara. PPATK melakukan pemblokiran terhadap rekening Achiruddin dan anaknya, Aditya Hasibuan atas indikasi pencucian uang. “PPATK memblokir rekening AH dan anaknya. Ada indikasi tindak pidana pencucian uang,” kata Humas PPATK M. Natsir Kongah pada Kamis (27/4/2023). Kedua rekening memiliki catatan transaksi mutasi debit/kredit hingga puluhan miliar rupiah.

Sebelumnya, nama Achiruddin menjadi viral setelah dirinya terlibat dalam penganiyaan yang dilakukan anaknya terhadap seorang mahasiswa. Setelah melakukan pembiaran dan ikut menodongkan senjata laras panjang, publik tak hanya mendesak agar Achiruddin diadili, namun juga ditelisik harta kekayaannya. Apalagi, dengan temuan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tidak sesuai kenyataan. Achiruddin tidak melaporkan motor Harley Davidson yang kerap dipamerkannya di media sosialnya dalam LHKPN.

Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang

Mengacu pada laman lembaga independen Otoritas Jasa Keuangan atau OJK (sikapiuangmu.ojk.go.id), konsep pencucian uang atau money laundering lekat dengan tindakan penjahat dalam menutupi perolehan hartanya yang tidak sah.

OJK mendefinisikan pencucian uang sebagai “upaya menyembunyikan atau menyamarkan uang atau dana yang diperoleh dari suatu aksi kejahatan atau hasil tindak pidana sehingga seolah-olah tampak menjadi harta kekayaan yang sah”.

Lebih lanjut, tindakan pencucian uang diakomodasi oleh hukum Indonesia melalui Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (tengah) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/4/2024). Rapat membahas penanganan temuan transaksi janggal Rp 349,87 triliun di Kementerian Keuangan.

Untuk membangun batas definisi dan kategori yang jelas mengenai pencucian uang, UU tersebut memasukkan secara spesifik perbuatan-perbuatan yang tergolong pencucian uang. Perbuatan-perbuatan tersebut, antara lain:

Pertama, menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Kedua, menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Ketiga, menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Dengan demikian, tindakan pencucian uang berlawanan tidak hanya dengan nilai moral, melainkan juga dengan prinsip peraturan perundang-undangan. Pelakunya pun akan dinilai sebagai penjahat yang dapat dikenakan pidana. Atas dasar tersebut, pencucian uang di Indonesia dikenal juga dengan istilah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (kanan) bersama Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana (kiri) mengikuti rapat dengan Komisi III DPR di Ruang Rapat Komisi III Gedung DPR RI, Jakarta, terkait pembahasan transaksi janggal di Kementrian Keuangan sebesar Rp 349 triliun, pada Rabu (29/3/2023).

Kewenangan PPATK

Dengan fakta hukum tersebut, maka negara menghadirkan lembaga yang berlegitimasi untuk secara spesifik memberantas TPPU. Pada tataran tersebut, hadirlah lembaga sentral PPATK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kehadiran PPATK ditetapkan melalui UU Nomor 8 Tahun 2010. Dalam basis hukum tersebut, PPATK dikuatkan sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh dari kekuasaan manapun.

Mengacu pada laman resminya (ppatk.go.id), disebutkan PPATK adalah lembaga sentral yang mengoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Secara internasional, PPATK tergolong sebagai badan intelijen keuangan atau financial intelligence unit (FIU) yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan, melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan, dan meneruskan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum. Pada umumnya, tiap-tiap negara pun memiliki bentuk FIU tersendiri, dengan tugas utama memberantas pencucian uang.

Status intelijensi ini menjadi penting untuk dipahami masyarakat. Terhadap suatu kasus TPPU, tindak lanjut PPATK akan menghasilkan Laporan Hasil Analisis atau LHA. Produk dari PPATK sendiri tersebut hanya berisi dugaan TPPU dan memiliki sifat rahasia yang tidak bisa dibuka di publik karena bersifat intelijen. Lebih lanjut, hal tersebut merupakan ranah penegak hukum untuk lantas menentukan adanya pidana dari kasus yang dianalisis oleh PPATK (Kompas.id, 28/3/2023, “Ditunggu, Instruksi Presiden agar Penegak Hukum Tindaklanjuti Laporan PPATK”).

Atas dasar tersebut, sangat penting bagi PPATK untuk menjaga independensinya. PPATK harus bebas dari segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan dari siapa pun. Selain itu, PPATK wajib menolak atau mengabaikan segala campur tangan dari pihak mana pun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan.

Sebagai bentuk akuntabilitas, PPATK sendiri bertanggung jawab langsung kepada Presiden Indonesia. Dalam relasi tanggung jawab tersebut, PPATK harus membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara berkala dalam periode enam bulan. Laporan ini disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, PPATK menggunakan pendekatan mengejar hasil kejahatan atau follow the money. Dengan menggunakan pendekatan ini, PPATK akan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki peran dan fungsi masing-masing yang signifikan. Termasuk dalam pihak tersebut, antara lain, Pihak Pelapor, Lembaga Pengawas dan Pengatur, Lembaga Penegak Hukum, dan pihak terkait lainnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menteri Koordinator Hukum dan HAM Mahfud MD (tengah) bersama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata (kedua dari kiri) dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (ketiga dari kanan) menggelar konferensi pers di Kantor Kemenpolhukkam, Jakarta, mengenai kasus korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe, Senin (19/9/2022).  PPATK juga mencatat sejumlah transaksi keuangan yang janggal sebesar Rp 560 miliar di rekening Gubernur Papua tersebut.

Sejarah Lembaga PPATK

Dalam konteks nasional, lembaga PPATK pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 2002. Hal tersebut dimulai dengan diundangkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada 17 April 2002. Pada Pasal 18 Ayat (1), ditetapkan pembentukan PPATK dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU.

Pada tanggal 13 Oktober 2003, UU Nomor 15 Tahun 2002 mengalami perubahan dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kini, kehadiran PPATK diperkuat melalui UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam catatan singkat atas kehadirannya tersebut, PPATK sejatinya memiliki sejarah yang panjang. Pada konteks nasional, kehadiran PPATK sendiri memiliki korelasi erat dengan konteks global, terutama soal pendirian rezim anti-pencucian uang dalam hukum internasional. Atas dinamika internasional yang telah berjalan lebih dahulu, PPATK sebagai lembaga financial intelligence unit (FIU) Indonesia pun terbentuk. Dalam melihat sejarah PPATK harus dilihat dalam dalam konteks nasional maupun internasional.

Konteks Internasional Sebelum Pembentukkan PPATK

Tindakan pencucian uang telah menjadi salah satu perhatian kolektif dunia menyangkut persoalan kriminal dan sosial dalam masyarakat modern. Dinamikanya sendiri kian eksis mulai periode waktu 1920-an.

Pada kisaran waktu tersebut, giat pencucian uang begitu marak dilakukan oleh mafia-mafia di Amerika Serikat. Mereka memperoleh uang dengan cara-cara ilegal, seperti pemerasan, prostitusi, perjudian, perdagangan gelap minuman beralkohol, dan penjualan narkotika.

Lebih lanjut, mafia-mafia tersebut akan membeli perusahaan yang sah dan resmi. Pembelian dilakukan dengan menggabungkan uang yang diperoleh secara ilegal dengan uang yang diperoleh secara legal. Dengan penggabungan sumber dana tersebut, hasil kejahatan mereka akan tertutup dan seolah-olah berasal dari sumber yang sah.

Pada masa itu, para mafia secara jamak menginvestasikan dana mereka ke perusahaan pencucian pakaian “Laundromats” yang pada masa itu terkenal di Amerika Serikat. Dengan suntikan dana terus menerus, bisnis Laundromats kian maju dan berbagai uang hasil kejahatan yang diperoleh rutin pada usaha pencucian pakaian Laundromats tersebut.

Kejadian-kejadian serupa rupanya terjadi lintas negara bahkan kontinen. Masyarakat hukum internasional pun kian menyadari akan hadirnya giat-giat pencucian uang. Alhasil, pada Desember 1988 PBB menerbitkan Konvensi Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Ilegal Narkotika, Obat-obatan Berbahaya, dan Psikotropika atau The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substance of 1988. Indonesia termasuk dalam negara yang melakukan penandatanganan.

Konvensi ini terinisiasi dari tren situasi politik dan sosiologis yang tengah terjadi pada masyarakat. Dalam konvensi ini, meskipun bukan menjadi tema utama, menjadi pertama kali pencucian uang terangkat dalam forum hukum internasional.

Konvensi yang ditandatangani di Vienna, Austria ini juga menjadi yang pertama kali dalam mendefinisikan money laundering. Alhasil, sehingga dianggap sebagai tonggak berdirinya rezim hukum internasional anti pencucian uang.

Upaya hukum internasional dalam melawan kejahatan pencucian uang berlanjut. Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Depelopment (OECD) membentuk satuan tugas Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada tahun 1989. Salah satu tugas yang diberikan pada FATF adalah menetapkan kebijakan dan langkah untuk melawan kejahatan pencucian uang dalam bentuk rekomendasi tindakan.

Sebagai keberlanjutannya, FATF mengeluarkan 40 poin rekomendasi pada tahun 1990. Seluruh poin tersebut menjadi suatu kerangka komprehensif untuk memerangi kejahatan pencucian uang. Sifat dari rekomendasi ini sendiri tidaklah mengikat. Namun, kehadirannya dikenal dan diakui luas oleh masyarakat dan organisasi internasional untuk memerangi TPPU dan pendanaan terorisme. Termasuk dalam lembaga yang mengakui tersebut adalah International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB).

Hingga tahun 1995, berbagai negara telah memiliki lembaga FIU masing-masing. Pada tahun yang sama, sejumlah lembaga FIU memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok informal untuk memfasilitasi kerja sama internasional. Keputusan dilakukan dalam pertemuan di Egmont Arenberg Palace, Brussel.

Kelompok ini lantas dikenal sebagai Egmont Group of Financial Inteligence Units. Kelompok Egmont Group secara teratur dan rutin melakukan pertemuan dan forum diskusi. Secara khusus, mereka berusaha untuk menjalin kerja sama, terutama di bidang informasi, pertukaran pelatihan, dan pelatihan berbagi keahlian lainnya.

Dinamika pencegahan internasional terhadap pencucian uang kian menyebar sekaligus mengerucut ke berbagai kontinen, tak terkecuali Asia. Pada 1997 di Bangkok, Thailand, didirikan The Asia/Pacific Group on Money Laundering atau APG. Kehadirannya sebagai organisasi internasional otonom terdiri atas kolaborasi 41 negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Selain negara anggota, APG juga didukung oleh beragam organisasi internasional, baik di tingkat global maupun kawasan. Termasuk di dalam pendukung APG adalah IMF, Bank Dunia, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), ADB, hingga Egmont Group of Financial Intelligence Units.

Anggota-anggota APG berkomitmen untuk melaksanakan penegakkan terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme berdasarkan standar-standar internasional. Standar tersebut terutama didasarkan pada 40 Rekomendasi dan Sembilan Rekomendasi Khusus yang dikeluarkan oleh FATF. Standar yang disebutkan terakhir sendiri, baru ditetapkan oleh FATF pada 2004.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki (kiri) bersama Kepala PPATK Ivan Yustiavandana memberi keterangan kepada wartawan usai pertemuan di Jakarta, Rabu (15/2/2023). Kementerian Koperasi dan UKM bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan akan melakukan audit bersama terhadap sejumlah koperasi yang terindikasi terlibat pencucian uang.

Pembentukan PPATK di Indonesia

Dalam konteks nasional, Indonesia juga menunjukkan kemajuan dalam upaya pengentasan pencucian uang. Sebagai tindak lanjut terhadap penandatanganan konvensi internasional pada 1988, Indonesia meratifikasi UU Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances 1988.

Ratifikasi ini menjadi salah satu keharusan bagi negara yang melakukan penandatanganan konvensi. Sebagai salah satu dampaknya, negara yang melakukan pengesahan UU tersebut berarti turut menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat melakukan tindakan-tindakan lebih lanjut.

Progresivitas Indonesia dalam upaya pengentasan pencucian uang kian berlanjut dari tahun ke tahun. Pada 2000, akhirnya Indonesia masuk menjadi anggota APG. Berlanjut pada Juni 2001, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer. Di dalamnya diatur kewajiban bagi lembaga-lembaga keuangan nasional untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau profil transaksi, dan mendeteksi asal-usul dana.

Dengan beragam langkah tersebut, lembaga keuangan harus menyampaikan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan ke Bank Indonesia untuk kemudian dilakukan analisis oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP), Bank Indonesia.

Meski begitu, pada Juni 2001 juga terjadi kemunduran dalam upaya memerangi pencucian uang. Indonesia menjadi satu dari sejumlah negara lain yang dinilai tidak kooperatif oleh FATF sehingga dimasukkan dalam daftar “Non-Cooperative Countries and Territories” (NCCTs). Predikat NCCTs diberikan pada negara atau teritori yang dinilai tidak mau berkerja sama dalam upaya global melawan kejahatan pencucian uang.

Pada tahun berikutnya, Indonesia menerbitkan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Produk hukum ini menjadi sebuah kemajuan besar karena di dalamnya diamanatkan pendirian PPATK untuk pertama kali. Seiring dengan diundangkannya UU tersebut pada 17 April 2002, lantas tanggal yang sama turut ditetapkan sebagai hari kelahiran PPATK.

Pada Oktober 2002, pemerintah Indonesia mengangkat Kepala dan Wakil Kepala PPATK pertama, yakni Yunus Husein dan I Gede Made Sadguna. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember 2002 keduanya mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung.

Pada 13 Oktober 2003, UU Nomor 15 Tahun 2002 mengalami perubahan. Sebagai pengganti UU yang sah, diundangkan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada titik ini, PPATK sendiri telah mulai beroperasi secara penuh dengan berkantor di Gedung Bank Indonesia.

Pada tahun 2004, pemerintah pusat berupaya menunjang efektivitas operasionalisasi PPATK dan pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Isinya, dibentuk Komite TPPU dengan tugas merumuskan arah kebijakan penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengkoordinasikan upaya penanganan pencegahan dan pemberantasannya. Komite TPPU dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) sebagai ketua, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai wakil ketua, dan Kepala PPATK sebagai sekretaris.

Sementara sebagai anggota Komite TPPU terdiri atas para pemimpin dari berbagai lembaga terkait, yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Kepala Kepolisian Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Gubernur Bank Indonesia.

Pada Februari 2005, Indonesia memperoleh berita baik dalam kancah internasional. Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam NCCTs setelah hampir empat tahun. Setahun setelahnya, tepatnya pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein kembali diangkat sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006–2010. Pengangkatan sumpah dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah Agung. Pada tahun yang sama, Yunus Husein juga terpilih sebagai Co-Chair (Ketua Bersama) untuk APG periode 2006–2008.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae (kiri) hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/1/2021). Rapat tersebut untuk meminta masukan PPATK terkait dengan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Kapolri. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengajukan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri untuk dimintai persetujuan DPR.

Pada 25 Maret 2009, Komite TPPU menegaskan agar koordinasi terkait pencucian yang juga mencakup penanganan atas pendanaan terorisme. Hal ini selaras dengan kebijakan internasional bahwa kewenangan lembaga FIU juga mencakup counter-financing terrorism. Oleh karena itu, Komite TPPU menunjuk PPATK sebagai focal point atas penanganan pendanaan terorisme.

Atas keputusan ini, pada 13 Januari 2010 diselesaikan initial draft dan naskah akademik untuk Rancangan UU Pendanaan Terorisme oleh Kepala PPATK kepada Menteri Hukum dan HAM. Pada tahun yang sama, rancangan tersebut diratifikasi sebagai UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini menggantikan UU Nomor 25 Tahun 2003.

Kelebihan utama dari UU Nomor 8 Tahun 2010 adalah diakomodasinya berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Standar internasional ini dikenal sebagai “FATF Revised 40+9 Recommendations”.

Selain itu, UU Nomor 8 Tahun 2010 juga memberikan perubahan terhadap struktur kepengurusan PPATK. Pada 2011, perubahan struktur tersebut diwujudkan. Kepala PPATK Yunus Husein dan keempatnya wakilnya yang membawahi empat bidang berbeda telah berakhir masa tugasnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun melantik Muhammad Yusuf sebagai Kepala PPATK dan Agus Santoso sebagai Wakil Kepala PPATK pada 25 Oktober 2011.

Penunjukkan ini sesuai dengan perubahan struktur PPATK yang diamanatkan oleh UU Nomor 8 Tahun 2010. Sebelumnya, menurut UU yang lama, kepala PPATK diperbantukan oleh empat orang wakil kepala. Sementara mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2010, PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan seorang wakil kepala.

Berturut-turut sejak 2013 hingga 2015, menjadi tahun yang baik bagi PPATK. Pada 2013, diterbitkan UU nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Masih di tahun yang sama, PPATK meraih predikat “Lembaga Publik Pilihan” dalam penyelenggaraan The 2nd Indonesia Public Relation Awards and Summit (IPRAS) yang diinisiasi oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS).

PPATK kembali meraih predikat tersebut pada 2014 dalam forum ketiga IPRAS. Dengan sepak terjang yang baik, Presiden Joko Widodo memilih PPATK untuk terlibat dalam proses seleksi Kabinet Kerja periode 2014–2019.

Sementara pada 2015, pemerintah kembali mendukung operasional PPATK dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Di tahun yang sama, Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam negara rawan pendanaan terorisme dari FATF.

Pada 2016, Indonesia menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan 2nd Counter-Terrorism (CTF) Summit di Nusa Dua, Bali. Dengan bidang tema tersebut, PPATK secara aktif terlibat dalam pelaksanaan acara. Keketuaan Indonesia tersebut berhasil menghasilkan Nusa Dua Statement. Di dalamnya, terkandung soal kesepakatan pengawasan aliran dana lintas negara yang kerap mengalir melalui yayasan. Di tahun yang sama, PPATK juga menginisiasi Regional Risk Assessment on Terrorist Financing, asesmen regional pertama di dunia terkait dengan pendanaan terorisme.

Seiring berjalannya waktu, kemajuan teknologi informasi dan keuangan juga berdampak pada strategi-strategi pencucian uang. PPATK pun harus terus beradaptasi, baik dari sektor paradigma hingga teknis, dalam mengatasi pencucian uang. Salah satu upaya nyata adaptasi teknologi adalah dibangunnya aplikasi pelaporan Go Anti Money Laundering (GoAML).

Dengan kehadiran aplikasi ini, PPATK memberikan kemudahan pada pihak pelapor untuk melaporkan dugaan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hingga tahun 2022, PPATK terus mengembangkan aplikasi GoAML dalam lingkaran kerja sama dengan UNODC.

Pada tahun yang sama, PPATK juga telah menyusun Roadmap Information Technology Masterplan tahun 2020–2024. IT Masterplan adalah rencana strategis teknologi informasi yang memetakan tata kelola penggunaan sumber daya teknologi informasi, pemetaan manajemen risiko, dan rencana kebutuhan teknologi informasi (baik infrastruktur maupun sistem) untuk periode lima tahun.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (dua dari kanan) bersama Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah (kanan ke kiri) melihat barang bukti kasus penyelewengan fasilitas kepabeanan berupa gulungan kain di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/11/2017). Kerugian yang dialami negara diperkirakan mencapai lebih Rp 118 miliar.

Visi dan Misi

Visi

Mewujudkan stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan Indonesia melalui pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang guna mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.

Misi

  1. Meningkatkan kemanfaatan hasil analisis, hasil pemeriksaan, hasil riset, dan rekomendasi kebijakan dalam tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
  2. Meningkatkan peran serta dan sinergi pemangku kepentingan secara optimal di lingkup nasional maupun internasional.
  3. Meningkatkan keandalan sistem informasi.
  4. Meningkatkan kapabilitas sumber daya anti pencucian uang serta tata kelola kelembagaan PPATK.

Sumber: PPATK

Profil Pimpinan PPATK 2021-2026

Pada masa jabatan 2021–2026, PPATK dipimpin oleh seorang Kepala dan Wakil Kepala. Di samping itu, keduanya akan turut diperbantukan oleh tiga kepala deputi yang membawahi Bidang Strategi dan Kerja Sama, Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan, dan Bidang Analisis dan Pemeriksaan. Untuk masa jabatan 2021-2026, kursi dari masing-masing jabatan kepemimpinan diduduki oleh:

  1. Kepala PPATK: Ivan Yustiavandana
  2. Sekretaris Utama PPATK: Alberd Teddy Benhard Sianipar
  3. Kepala Deputi Strategi dan Kerja Sama: Tuti Wahyuningsih
  4. Kepala Deputi Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan: Maimirza
  5. Kepala Deputi Analisis dan Pemeriksaan: Danang Tri Hartono

KOMPAS/PRIYOMBODO

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (tengah) didampingi Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (dua kiri), serta Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kedua kanan) memperlihatkan barang elektronik yang disita saat ungkap kasus penyelundupan barang elektronik ilegal di Kantor Pusat Dirjen Bea dan Cukai, Jakarta, Selasa (30/4/2019). Ditjen Bea Cukai bekerjasama dengan instansi terkait berhasil mengungkap penyelundupan puluhan ribu barang elektronik berupa laptop, tablet, dan telepon seluler di Kepulauan Riau dan Jakarta yang ditaksir mencapai Rp 61 miliar.

Nilai Dasar, Tugas, dan Fungsi Lembaga PPATK

Nilai-Nilai Dasar        : Integritas, Kapabilitas, Sinergi, dan Komitmen

Tugas                          : Mencegah dan memberantas TPPU.

Fungsi:

  1. pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
  2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK
  3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor
  4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain

Dalam mencapai berbagai fungsinya tersebut, PPATK dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan spesifik. Terhadap masing-masing fungsi yang dimiliki, terkandung wewenang tersendiri yang beragam. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut, UU Nomor 8 Tahun 2010 juga telah menetapkan tidak berlakunya kode etik atau aturan kerahasiaan apapun terhadap lembaga PPATK. (LITBANG KOMPAS)

Arsip Kompas
Internet
Dokumen