KOMPAS/DANU KUSWORO
Konvoi ribuan buruh memenuhi Jl MH Thamrin, Jakarta, Rabu (1/5/2019). Mereka menuju Istana Negara untuk menyuarakan kesejahteraan buruh.
Fakta Singkat
- Hari Buruh Internasional merupakan peringatan perjuangan buruh di Amerika Serikat pada 1 Mei 1886, salah satu poinnya menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam.
- Peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional pertama kali dideklarasikan dalam Kongres Sosialis Internasional II di Paris tahun 1889.
- Di Indonesia, Hari Buruh pertama kali diselenggarakan pada 1 Mei 1918 oleh serikat buruh Kung Tang Hwee Koan di Surabaya.
- Pada tahun 1948, lewat UU No.12/1948 diatur bahwa setiap 1 Mei, buruh boleh tidak bekerja.
- Presiden Susilo Bambang Yuhoyono melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2013 menetapkan kembali 1 Mei untuk diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, sekaligus sebagai hari libur nasional
Pada 1 Mei 2024, masyarakat dunia kembali memperingati Hari Buruh Internasional. Di sejumlah negara, peringatan ini dikenal dengan sebutan International Worker’s Day atau Labour Day. Karena dirayakan pada bulan Mei, disebut juga sebagai May Day.
Hari Buruh Internasional merupakan hari besar dan penting bagi kelas buruh atau pekerja di seluruh dunia. Tanggal 1 Mei merupakan momen memperingati peristiwa di Haymarket, Chicago, Amerika Serikat pada 1–4 Mei 1886.
Saat itu, serikat buruh di Amerika Serikat secara bersama-sama melakukan perlawanan atas sejumlah pelanggaran hak-hak buruh yang banyak merugikan, seperti jam kerja yang panjang dan dengan kondisi kerja yang buruk. Dalam aksi tersebut, terjadi bentrokan antara massa buruh dan polisi yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
Hari Buruh Internasional pertama kali dideklarasikan dalam Kongres Sosialis Internasional II di Paris tahun 1889. Tujuannya untuk menghormati perjuangan para buruh dan menggalang solidaritas di kalangan buruh.
Seiring perkembangannya, Hari Buruh menjadi hari libur resmi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ribuan buruh atau pekerja, aktivis, hingga mahasiswa setiap tanggal ini akan berkumpul, bersukacita, maupun kembali merapatkan barisan guna bersama-sama berjuang untuk memperoleh hak-hak yang lebih baik.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ribuan buruh yang membawa sepeda motor turut serta melakukan long march menuju Gelora Bung Karno, Jakarta, setelah melakukan aksi di depan Gedung DPR dalam peringatan Hari Buruh Internasional, Sabtu (14/5/2022).
Siapa itu buruh?
Dalam bahasa Jawa, kata buruh berasal dari kata berah. Poerwadarminta dalam Kamus Bausastra Jawa menyebutkan berah adalah “wong kang ngalap opah sarana nyambut gawe; nyambut gawe sarana opahan (dadi kongkonan). Artinya, orang yang memperoleh upah melalui kerja atau orang yang bekerja untuk memperoleh upah.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan mendefinisikan buruh: “barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah”.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh disamakan dengan pekerja. Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan, “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Meski demikian, di Indonesia ada perbedaan persepsi mengenai penyebutan istilah buruh dengan pekerja atau karyawan, maupun pegawai.
Buruh kerap kali identik dengan pekerjaan-pekerjaan kasar serta pendidikan yang rendah. Sebaliknya, pekerja atau karyawan dinilai sebagai orang yang terampil dan terlatih serta memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding buruh.
Dalam sejarahnya, istilah tersebut mengandung nilai-nilai politis. Dewi Yulianti dalam artikel berjudul “Nasionalisme Buruh dalam Sejarah Indonesia” menjelaskan, kata buruh memiliki arti yang dekat dengan konsep proletariat (kelas sosial rendah) yang mengacu pada hubungan konflik antara majikan dan pekerja.
Istilah buruh identik dengan ide perjuangan kelas. Sedangkan, istilah karyawan mengandung arti persatuan antara majikan, manajemen, dan pekerja.
Buruh, di mata Presiden pertama RI Soekarno, merupakan representasi kaum marhaen. Di bawah pemeritahannya, istilah buruh lebih dominan dibanding pekerja atau karyawan. Hal itu terlihat dari penamaan lembaga kementerian era Presiden Soekarno dengan sebutan Kementerian Perburuhan. Kementerian ini mengatur dan bertanggung jawab terkait kebijakan tenaga kerja.
Istilah buruh mulai dikurangi pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Pada masa ini, diksi atau pilihan kata tenaga kerja, pegawai, dan karyawan lebih banyak digunakan untuk menghindari pemakaian kata buruh yang diidentikan dengan komunis.
Kementerian Perburuhan berubah nama menjadi Departemen Tenaga Kerja. Organisasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia pun ikut berubah nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Meski ada perbedaan persepsi, satu hal yang pasti, buruh, pekerja, karyawan, maupun pegawai, intinya sama, bukanlah pemilik modal, melainkan pihak yang bekerja untuk majikan atau pemilik modal dengan upah atau imbalan lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun istilah buruh bersinonim dengan istilah pekerja, pegawai, maupun karyawan.
Menurut KBBI, berdasarkan keahliannya buruh dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah buruh kasar, yang berarti buruh yang mengandalkan kekuatan fisiknya karena tidak memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Kedua, buruh terampil, yaitu buruh yang memiliki keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Ketiga, buruh terlatih, yaitu buruh yang sudah dilatih untuk keterampilan tertentu.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Massa buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) berunjukrasa memperingati hari buruh internasional di Jakarta, Sabtu (1/5/2021). Peringatan hari buruh oleh massa buruh dan mahasiswa ini menyuarakan pencabutan terhadap Undang-undang Cipta Kerja.
Sejarah Hari Buruh
Pada abad ke-19, pada puncak revolusi industri, rata-rata buruh bekerja sekitar 12 sampai 16 jam sehari dan tujuh hari seminggu, dengan upah rendah. Selain itu, buruh bekerja dalam kondisi yang tidak aman seperti fasilitas sanitasi yang buruk dan waktu istirahat yang tidak memadai.
Kondisi ini sering menimbulkan bahaya bagi para pekerja. Ribuan buruh laki-laki, perempuan, dan anak-anak meninggal setiap tahun akibat kondisi kerja yang amat buruk dan jam kerja yang panjang hingga 16 jam bahkan lebih.
Seiring berjalannya waktu, persoalan-persoalan tersebut minimbulkan keluhan dan kemarahan kaum buruh. Sejak 1830-an, gerakan buruh di Amerika Serikat mulai menyerukan tuntutan pemangkasan jam kerja menjadi 8 jam sehari.
Pada tahun 1884, Federasi Organisasi Dagang dan Serikat Pekerja (FOTLU) Amerika Serikat mengadakan konvensi dan mengeluarkan resolusi untuk menuntut perbaikan kondisi kerja.
Salah satunya penerapan kerja delapan jam sehari dan menetapkan 1 Mei 1886 sebagai transisi ke hari kerja delapan jam. Resolusi ini lantas mendapat sambutan hangat dan diterima secara luas oleh serikat buruh di Amerika Serikat.
Mendekati tanggal 1 Mei 1886, organisasi-organisasi buruh telah melakukan sejumlah persiapan. Edaran untuk menghentikan pekerjaan dan bergabung melakukan pemogokan besar disebarkan kepada kaum buruh. Pada pertengahan bulan April 1886, seperempat juta pekerja telah berkomitmen untuk mengambil bagian dalam aksi.
Ketika tanggal 1 Mei tiba, gelombang pemogokan besar-besaran melanda banyak tempat di Amerika Serikat, seperti New York, Boston, dan Chicago. Diperkirakan lebih dari 300.000 buruh bersatu melakukan unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja dan pengurangan jam kerja menjadi 8 jam kerja sehari.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Buruh dari berbagai elemen mendengarkan orasi rekan mereka saat berunjukrasa memperingati Hari Buruh di depan Kantor DPRD Jatim di Surabaya, Minggu (1/5/2016). Salah satu tuntutan mereka salah satunya adalah tolak politik upah murah.
Di Chicago, sekitar 90.000 buruh melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja. Sejumlah surat kabar memberitakan bahwa pemogokan besar yang dilakukan para buruh telah menyebabkan sebagian besar aktivitas industri lumpuh.
Aksi pemogokan kerja dan demonstrasi terus berlanjut pada hari-hari berikutnya dengan jumlah massa yang lebih banyak. Hal ini lantas membuat pemerintah dan kalangan majikan khawatir. Demi menghindari aksi yang kian meluas dan kelumpuhan total aktivitas industri, pemerintah mengutus aparat kepolisian untuk meredam aksi para pekerja.
Pada 3 Mei, di pabrik McCormick sejumlah polisi turun tangan membubarkan pemogokan. Kehadiran polisi ternyata menimbulkan konflik. Untuk membubarkan aksi, polisi menembakan peluru ke arah kerumunan sehingga menimbulkan kericuhan. Akibat tindakan tersebut, empat orang tewas dan banyak lainnya yang luka-luka.
Sontak tindakan brutal oleh aparat polisi menimbulkan kemarahan para pekerja. Albert Parsons dan August Spies, anggota organisasi Knights of Labours menyerukan kepada para pekerja untuk melakukan aksi solidaritas, mempersenjatai dir,i dan merencanakan unjuk rasa kembali pada hari berikutnya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Buruh berjalan kaki menuju Istana Merdeka dari Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, saat peringatan Hari Buruh Internasional, Senin (1/5/2017). Massa buruh dari berbagai elemen berdemonstrasi di beberapa jalan protokol Jakarta.
Pada 4 Mei, bertempat di Haymarket Square, Chicago, aksi kembali digelar dan dengan skala yang lebih besar. Kali ini, unjuk rasa yang berlangsung tidak hanya menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam, tetapi juga mengecam tindakan brutal aparat polisi yang telah menyebabkan korban tewas dan luka-luka.
Mulanya aksi berjalan dengan damai. Bahkan, karena cuaca buruk, banyak dari demonstran memilih membubarkan diri dan hanya menyisakan ratusan orang. Akan tetapi, tiba-tiba satu skuadron polisi bersenjata dengan jumlah sekitar 180 personel datang dan mengepung demonstran yang tersisa.
Kapten polisi meminta para demonstran yang tersisa untuk bubar. Namun, ketika orator terakhir hendak turun dari podium, tiba-tiba seorang tidak dikenal melemparkan bom dan meledak di depan barisan polisi.
Ledakan bom menewaskan satu orang polisi dan menyebabkan sekitar 70 orang lainnya mengalami luka serius. Polisi kemudian merespon dengan menembaki kerumunan, dan mengakibatkan 8 orang tewas dan ratusan orang luka-luka.
Kekacauan tersebut lalu menjadi tajuk dalam berbagai surat kabar. Para demonstran yang melakukan aksi anarkis dipersalahkan dan timbul stereotip negatif pada gerakan serikat pekerja di Amerika Serikat.
Sebagai buntut dari kejadian itu, polisi melakukan penggeledahan di markas-markas serikat pekerja, dan menangkap ratusan anggota serikat pekerja. Delapan orang yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan tersebut, August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Louis Lingg, Samuel Fieldon, Oscar Neebe, dan Michael Schwab, diadili dan didakwa bersalah.
Mereka dituntut dengan tuduhan pembunuhan berencana, meski tidak ada bukti yang mengaitkan mereka dengan ledakan bom di Haymarket. Bahkan, hanya dua orang di antara mereka yang benar-benar hadir di Haymarket pada tanggal 4 Mei. August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Louis Lingg, Samuel Fieldon, dan Michael Schwab dijatuhi hukuman mati dengan digantung, sedangkan Oscar Neebe dihukum 15 tahun penjara.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peringatan Hari Buruh-Musik dangdut menjadi selingan yang menghibur di sela-sela orasi dari perwakilan serikat pekerja saat peringatan Hari Buruh Internasional di Gor Tri Lomba Juang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (5/1/2017). Dalam peringatan Hari Buruh tersebut persoalan kesejahteraan, upah layak dan sistem kerja kontrak masih menjadi isu utama tuntutan buruh.
Pada 11 November 1887, August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, dan George Engel dieksekusi gantung. Sedangkan, Louis Lingg bunuh diri dengan menggantung dirinya di penjara. Adapun Samuel Fieldon dan Michael Schwab tidak jadi dihukum gantung melainkan hukuman penjara seumur hidup.
Namun, enam tahun setelah eksekusi, pada 1893 Gubernur Illinois yang baru terpilih, John Peter Altgeld memberikan pesan pengampunannya, mengakui bahwa para terdakwa tidak bersalah, serta membebaskan Oscar Neebe, Samuel Fieldon, dan Michael Schwab. Sebelumnya, sebuah monumen juga didirikan untuk mengenang para martir Haymarket.
Seiring berjalannya waktu, tragedi yang terjadi di Haymarket tersebut kemudian dikenang sebagai “Haymarket Martyr” atau “Martir Haymarket”. Pada 1889, dalam Kongres Sosialis Internasional II di Paris, federasi internasional untuk pekerja dan sosialis mendeklarasikan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dengan tujuan menggalang solidaritas di kalangan buruh.
Sejak saat itu, peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dianut di banyak negara. Bahkan, menjadi hari libur nasional di sejumlah negara.
Meski demikian, di Amerika Serikat sendiri Hari Buruh malah dirayakan di hari Senin pertama bulan Sepetember. Melansir History.com, penetapan ini ditengarai karena pemerintah menolak memperingati kerusuhan yang terjadi di Haymarket, Chicago, dan mengidentikkannya sebagai gerakan komunis.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Deretan instalasi batu nisan sebagai simbol kematian aturan ketenagakerjaan dipasang dalam peringatan hari buruh di Jakarta, Sabtu (1/5/2021). Tuntutan pembatalan terhadap Undang-undang Cipta Kerja masih menjadi agenda utama yang disuarakan oleh massa buruh dan mahasiswa. Peringatan hari buruh pada masa pandemi Covid-19 digelar dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Hari Buruh di Indonesia
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh telah diperingati sejak masa kolonial atau ketika masih bernama Hindia Belanda.
Pada 1 Mei 1918, ratusan anggota serikat buruh Kung Tang Hwee Koan mengorganisir peringatan Hari Buruh di Surabaya. Dalam catatan sejarah, peringatan ini merupakan peringatan Hari Buruh pertama di Indonesia, juga di Asia.
Peringatan Hari Buruh oleh serikat buruh Kung Tang Hwee Koan tersebut diselenggarakan setelah Adolf Baars, tokoh sosialis Belanda dalam rapat ISDV di Dagen, Yogyakarta pada bulan Maret 1918 menyerukan kritiknya kepada kaum kapitalis terkait sistem harga sewa tanah milik penduduk bumiputera yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. Selain itu, Baars juga memprotes upah kaum buruh yang murah.
Meski demikian, peringatan pertama ini belum menarik penduduk bumiputra untuk ikut berpartisipasi. Henk Sneevliet, tokoh sosialis dan gerakan buruh Belanda yang saat itu berada di Surabaya dan menghadiri perayaan tersebut, menyebutkan dalam artikel berjudul “Perayaan Satu Mei Kita” di surat kabar Het Vrije Woord bahwa perayaan tersebut didominasi oleh orang-orang Eropa.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Sejumlah buruh dari berbagai elemen ikut aksi demo untuk memperingati Hari Buruh International yang berlangsung di kawasan jalan MH. Thamrin dan kawasan Monas serta Patung Kuda, Jakarta, Rabu (01/05/2019). Sejumlah buruh dalam aksinya meminta pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan atau Upah Buruh.
Sejak 1918, Hari Buruh hampir selalu diperingati di Hindia Belanda setiap tahunnya dan mulai diikuti kaum bumiputra. Misalnya, pada peringatan Hari Buruh 1921, H.O.S Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, berpidato mewakili organisasi buruh di bawah Sarekat Islam dalam perayaan Hari Huruh.
Di Hindia Belanda, gerakan buruh sendiri telah tumbuh bersamaan dengan kehadiran kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19. Kebijakan itu berdampak besar terhadap menjamurnya pendirian pabrik, pembukaan lahan perkebunan, eksplorasi pertambangan, serta mobilisasi pekerja untuk dipekerjakan dalam proyek-proyek tersebut, yang kemudian menciptakan sebuah kelas sosial baru yang disebut buruh.
Selama periode 1920-an, gerakan buruh telah berkembang pesat di Hindia Belanda, di mana sudah terdapat lebih dari 20 serikat buruh. Sepanjang periode ini juga, di luar peringatan Hari Buruh, telah terjadi puluhan aksi mogok yang dimobilisasi organisasi-organisasi buruh. Isu pemogokan yang muncul pada masa itu serupa dengan isu saat ini, yakni seputar persoalan upah, tunjangan dan penyelesaian perselisihan buruh dan majikan.
Pada 1923, Semaun, salah seorang anggota serikat buruh kereta api atau Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) Semarang mengancam akan melancarkan pemogokan karena buruh tidak memperoleh upah layak dan bekerja lembur tanpa upah.
Menanggapi ancaman tersebut, pada 8 Mei 1923 pemerintah menangkap Semaun. Namun, penangkapan Semaun tidak membuat buruh gentar. Keesokan harinya, buruh kereta api di Semarang melakukan mogok kerja. Aksi ini kemudian meluas ke beberapa kota, seperti Cirebon, Tegal, Surabaya, Madiun, dan kota lainnya. Dampaknya, sarana transportasi kereta api lumpuh.
Lantaran itu, untuk mengatasi pemogokan yang semakin meluas, pemerintah melakukan tindakan represif. Selain itu, juga mengeluarkan pasal 161 bis yang melarang aksi pemogokan.
Masifnya aktivitas mogok para buruh pada saat itu telah membuat pemerintah kolonial gerah karena mengancam rust en orde. Puncaknya terjadi pada tahun 1926 ketika organisasi buruh di bawah Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan.
Meskipun gerakan tersebut gagal dan berhasil dipatahkan, pemerintah justru bertindak semakin represif pada gerakan buruh. Sejak itu, serikat buruh di Hindia Belanda mendapatkan tekanan, organ-organ buruh progresif dibubarkan. Mereka yang terlibat pemberontakan dibuang ke Digul, Papua. Akibatnya aktivitas politik buruh pun menjadi lemah.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Puluhan ribu buruh dari berbagai daerah berjalan menuju Istana Merdeka, Jakarta untuk memperingati hari buruh internasional (May Day), Selasa (1/5/2012). Tuntutan buruh kali ini antara lain meminta pemerintah menghapuskan sistem buruh kontrak (outsourcing), menyediakan rumah tinggal dan rumah sakit murah untuk buruh serta menetapkan 1 Mei sebagai hari libur bagi buruh.
Pada masa pendudukan Jepang, organisasi buruh tetap lemah. Menurut Jafar Suryomenggolo dalam bukunya berjudul Rezim Kerja Keras, pada masa kekuasaan Jepang semua serikat buruh dilarang dan dibubarkan. Semua potensi tenaga kerja dikerahkan untuk proyek kerja paksa guna mendukung Jepang dalam perang melawan sekutu. Pada masa ini buruh disebut romusha, artinya buruh kasar. Mereka dipekerjakan dalam proyek-proyek militer maupun proyek pekerjaan umum.
Adapun buruh perempuan dimobilisasi untuk menanam tanaman pangan, membuat kaos kaki untuk tentara Jepang, dan juga perawat. Sejumlah perempuan muda juga dimobilisasi secara paksa untuk menjadi ianfu, pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang.
Hari Buruh baru diperingati kembali pasca proklamasi kemerdekaan, yaitu pada 1 Mei 1946. Saat itu, peringatan hari buruh diselenggarakan ditingkat nasional maupun lokal. Di tingkat nasional, pemimpin serikat buruh memberikan pidato-pidato penerangan lewat siaran radio. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, lagu perjuangan buruh “Internasionale”, dan lagu “Satoe Mei” yang merupakan lagu perjuangan buruh di Indonesia ikut diperdengarkan.
Di tingkat lokal, peringatan diselenggarakan di berbagai daerah. Di Pati, Jawa Tengah misalnya, ribuan buruh mengadakan rapat akbar dan arak-arakan. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan bahan pakaian, obat-obatan dan lain-lain untuk menolong fakir miskin dan bekas romusha. Solidaritas buruh ini menunjukan bahwa gerakan buruh saat itu sudah menyadari bahwa kesejahteraan rakyat merupakan cita-cita dari perjuangannya.
Solidaritas buruh ini menunjukan bahwa gerakan buruh saat itu sudah menyadari bahwa kesejahteraan rakyat merupakan cita-cita dari perjuangannya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh dalam peringatan Hari Buruh Internasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (1/5/2017).
Jafar Suryomenggolo dalam artikel di Jurnal Sadane berjudul “Bagaimana 1 Mei Dirayakan Pada Masa Lalu: Studi Perayaan Hari Buruh 1946-1947”, menyebutkan bahwa pada awal era Soekarno pemerintah memberikan dukungan besar dalam perayaan Hari Buruh. Soekarno pun rutin menyampaikan pidato dalam perayaan Hari Buruh.
Pada tahun tahun 1946, melalui Kementerian Sosial yang saat itu dipimpin oleh Maria Ulfa, pemerintah mengeluarkan suatu maklumat yang menjamin buruh akan tetap mendapatkan gajinya ketika merayakan Hari Buruh. Bahkan, saat itu pemerintah juga menganjurkan sekolah-sekolah dan kantor-kantor libur sebagai bentuk penghormatan dan dukungan terhadap kaum buruh dalam merayakan Hari Buruh.
Menurut Jafar, dukungan besar pemerintah pada gerakan buruh merupakan bentuk relasi simbolis mutualis politik antara pemerintah dengan gerakan buruh. Perlu diingat bahwa saat itu gerakan buruh merupakan sumber mobilisasi massa yang memberikan dukungan sosial-politik bagi pondasi negara yang baru merdeka. Buruh memiliki kekuatan sosial sekaligus politik untuk menciptakan suatu tekanan.
Sejak masa kolonial, gerakan buruh telah mampu membuat pemerintah kewalahan. Pada awal masa kemerdekaan dan ketika kebijakan nasionalisasi perusahaan didengungkan, gerakan buruh lah yang menjadi barisan terdepan dalam pengambilalihan perkantoran dari pihak asing.
Sehingga tidak mengherankan juga banyak serikat buruh yang berafiliasi dengan partai politik sebagai sumber gerakan politik di akar rumput pada saat itu. Seperti Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dengan PKI, Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) dengan Murba, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dengan militer.
KOMPAS/LUCKY PRANSISCA
Ribuan buruh memperingati Hari Buruh Internasional di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (1/5/2015). Aksi unjuk rasa dilanjutkan menuju Istana Merdeka untuk menyampaikan tuntutan kenaikan gaji dan penghapusan sistem kontrak.
Di samping itu, sebagai negara yang baru lepas dari cengkraman kolonialisme, dukungan pemerintah Indonesia terhadap gerakan buruh merupakan upaya dalam membangun citra bahwa negara baru ini mampu mengakomodir segala kepentingan rakyatnya. Membedakan dirinya dari negara kolonial yang bersifat menindas.
Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan politik terkait kelompok buruh. Pada Oktober 1947, pemerintah melalui Menteri Perburuhan SK Trimurti menerbitkan UU yang mewajibkan perusahaan membayarkan ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan kerja ataupun menderita penyakit karena pekerjaan. Buruh juga berhak memperoleh uang tunjangan hingga 70 persen selama tidak bekerja.
Satu tahun setelahnya, melalui UU No. 12/1948 tentang Kerja, pemerintah secara resmi menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh di Indonesia dan membebaskan buruh dari pekerjaannya pada hari itu. Selain itu, dalam UU Kerja tersebut juga diatur berbagai ketentuan untuk memberikan perlindungan kepada buruh, seperti hak buruh tentang jam kerja, libur, batas minimum usia kerja, hingga hak cuti melahirkan bagi buruh perempuan.
Peraturan penting lainnya terkait buruh pada masa itu adalah dikeluarkannya Surat Edaran No. 3676 tahun 1954 yang menetapkan tunjangan hari raya atau THR sebagai hak buruh.
Pada dekade 1960-an eksistensi gerakan buruh mulai mengalami guncangan. Krisis ekonomi yang mulai mengancam pada tahun 1960 membuat pemerintah melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 4 Tahun 1960 melarang buruh-buruh yang bekerja di perusahaan, lembaga, ataupun badan-badan vital untuk meakukan aksi mogok kerja, meski kemungkinan untuk menyalurkan tuntutan-tuntutan masih diperbolehkan.
Secara tegas, bagi yang melanggar, pemerintah akan mengenakan sanksi kurungan penjara dan denda. Hal ini dilakukan pemerintah dengan alasan mencegah gangguan kehidupan ekonomi masyarakat dan demi ketertiban umum.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ribuan buruh berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu (1/5/2015). Ribuan buruh turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh Internasional.
Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, menjadi titik kulminasi bagi gerakan buruh di Indonesia pasca kemerdekaan. Peristiwa pembunuhan para jendaral di Jakarta yang dikenal sebagai Gerakan 30 September, di mana PKI dan ormas-ormasnya dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab, berdampak besar bagi gerakan buruh.
Sejak September 1965, organisasi-organiasi serikat buruh dibubarkan dan dilarang karena pemerintah menganggap serikat buruh bersimpati atau berafiliasi dengan gerakan sayap kiri yang diidentikan pemerintah dengan komunisme. Kata buruh dihindari oleh pemerintah, dan diganti dengan kata karyawan atau pegawai. Kementrian Perburuhan berubah nama menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Launa dalam artikel berjudul “Buruh dan Politik” di Jurnal Sosial Demokrasi, membagi penataan buruh pada masa Orde Baru menjadi tiga fase. Fase pertama, fase pelarangan yang dimulai dari tahun 1966 sampai awal 1970-an. Pada fase ini pemerintah memberlakukan pelarangan terhadap setiap pengorganisasian serikat buruh dan aktivitas gerakan buruh, termasuk peringatan hari buruh.
Fase kedua adalah tahap pengambilalihan seluruh serikat buruh di bawah kendali militer. Dari 1970-an sampai 1990, pemerintah melalui militer mengintervensi seluruh serikat buruh dan membatassi partisipasi politik buruh.
Pada 20 Februari 1973, pemerintah meleburkan seluruh serikat buruh yang tersisa ke dalam satu organisasi tunggal yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Pekerja versi Orde Baru, menggantikan 1 Mei.
Terakhir, fase 1990–1998, fase di mana kebijakan ekonomi pasar digunakan sebagai kedok oleh pemerintah untuk melanjutkan kooptasi dan eksploitasi kekuatan politik buruh melalui konsep Hubungan Indurtrial Pancasila (HIP). Selama masa Orde Baru, buruh praktis berperan hanya sebagai komoditas ekonomi. Dengan upah buruh murah, buruh menjadi bahan bakar pemerintah menggenjot investasi asing.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Puluhan ribu buruh memenuhi ruas Jalan MH Thamrin, Jakarta, menuju Istana Merdeka saat peringatan Hari Buruh Sedunia, Rabu (1/5/2013). Buruh menuntut sistem kerja kontrak dihapuskan dan mendesak jaminan kesehatan segera dilaksanakan.
Gerakan buruh baru mendapatkan kembali eksistensi dan kekuatan politiknya pada masa reformasi.
Pada 1998, Presiden BJ Habibie meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi bagi para pekerja. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara pertama di Asia yang meratifikasi seluruh konvensi dasar ILO, seperti penghapusan kerja paksa, diskriminasi jabatan, dan usia minimum pekerja (“Buruh, Katalisator atau Komoditas Politik?”, Kompas, 1 Mei 2021).
Sejak kejatuhan Soeharto, hari buruh kembali rutin dirayakan setiap tahunnya di berbagai daerah. Serikat-serikat buruh juga kembali bermunculan dan kembali menunjukan eksistensinya, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono melalui Keputusan Presiden No. 24 tahun 2013 menetapkan kembali 1 Mei untuk diperingati sebagai Hari Buruh Internasional sekaligus sebagai hari libur nasional. Hari ini menjadi hari di mana buruh kembali menggalang konsolidasi, bersama-sama memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja.
Potret Buruh di Indonesia
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik per Agustus 2022, jumlah penduduk bekerja di Indonesia mencapai 135,3 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 37,66 persen adalah buruh atau pekerja.
Sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan terbesar, diikuti sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, penyediaan akomodasi, dan konstruksi. Adapun sektor pengadaan listrik dan gas menyerap tenaga kerja paling sedikit.
Dengan jumlah penduduk bekerja yang besar, sudah selayaknya kebijakan yang diambil pemerintah dan pelaku usaha berpihak kepada buruh atau pekerja.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah menetapkan konvensi dasar terkait hak pekerja, seperti kebebasan berserikat, upah yang adil dan setara, pembatasan jam kerja, non-diskriminasi, penghapusan kerja paksa dan pekerja anak, hingga kondisi kerja yang aman dan sehat.
Namun, dalam realitanya yang terjadi justru sebaliknya. Pelaku bisnis sering melanggar hak pekerja, dan pemerintah gagal menggunakan pengaruhnya untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
Merujuk laporan tentang pelanggaran hak pekerja di seluruh dunia yang dirilis oleh International Trade Union Confederation. Dari skala 1 sampai 5+, Indonesia hanya memperoleh skor 5 dalam ITUC Global Rights Index 2022. Dalam laporan tersebut, negara-negara dengan skor 5 adalah negara-negara terburuk untuk bekerja, di mana terjadi banyak pelanggaran hak-hak pekerja.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ribuan buruh memadati Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta mempertingati Hari Buruh Internasional (may day), Sabtu (1/5/2010). Mereka menuntut antara lain jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi para buruh dan pekerja seumur hidup.
Upah Rendah
Di Indonesia, salah satu hak pekerja yang paling sering dilanggar adalah terkait pengupahan. Bukan rahasia lagi jika masih banyak perusahaan menggaji pekerjanya tidak sesuai dari aturan pengupahan minimum yang berlaku. Padahal, bagi buruh, upah merupakan faktor penting karena merupakan sumber untuk membiayai dirinya maupun keluarga.
Pada hakikatnya, upah minimum adalah instrumen jaring pengaman (safety net) agar pekerja tidak dibayar semena-mena. Menurut pasal 185 UU Cipta Kerja, pengusaha yang menggaji di bawah upah minimum akan dikenai sanksi pidana penjara 1–4 tahun dan/atau denda Rp 100 juta — Rp 400 juta.
Namun, fakta di lapangan menunjukan aturan tersebut belum efektif dan memberikan solusi nyata. Dalam empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha menggaji buruh sesuai standar minimum selalu berkisar 49–57 persen.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja atau hampir separuh dari total pekerja di Indonesia masih digaji di bawah upah minimum (“Jaring Pengaman Yang Rapuh”, Kompas, 6 November 2021).
Di samping itu, hasil olah data Sakernas juga menunjukkan, dari total 34 provinsi, masih ada 11 provinsi yang rata-rata upah riil bersihnya di bawah standar upah minimum yang berlaku. Misalnya, standar upah minimum Aceh pada 2021 adalah Rp 3.165.030, tetapi rata-rata upah bersihnya Rp 2.317.419. Kepatuhan juga rendah di Sumatera Selatan, yakni dengan upah minimum Rp 3.043.111 dan rata-rata upah bersih Rp 2.348.034 (“Upah Minimum Layak”, Kompas, 2 Oktober 2021).
Di saat yang sama, biaya hidup di Indonesia terus meningkat, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global yang semakin tinggi. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) Desember 2023, dalam empat tahun terakhir, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di Indonesia naik di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.
Dengan besaran upah minimum yang rendah berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak atau sejahtera. Sehingga tidak mengherankan jika isu upah selalu menjadi agenda tuntutan kaum pekerja.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dengan membawa poster tuntutan berujukrasa sambut Hari Buruh di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Selasa (1/5/2012). Sejumlah elemen aksi berunjukrasa sambut Hari Buruh dengan sejumlah agenda tuntutan seperti tolak upah buruh murah dan hapus sistem kerja kontrak.
Persoalan Buruh
Jaminan Sosial Tidak Merata
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan peningkatan kesejahteraan bagi para pekerja. Salah satu langkah dalam upaya peningkatan kesejahteraan pekerja adalah dengan perlindungan pekerja melalui mekanisme kepesertaan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan merupakan program perlindungan kepada pekerja atas berbagai macam resiko sosial ekonomi yang mungkin terjadi terhadap para pekerja. Cakupan program perlindungan ini meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Jaminan sosial ini diperuntukan untuk seluruh pekerja, baik pekerja formal maupun pekerja informal.
Meski demikian, selama ini jaminan sosial ketenagakerjaan masih identik dengan pekerja formal. Kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja formal lebih dominan dibandingkan tenaga kerja informal. Padahal, jumlah tenaga kerja sektor informal jauh lebih banyak dari sektor formal.
Hingga tahun 2022, terdapat 35 juta peserta aktif BPJS Tenaga Kerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22 juta merupakan pekerja formal atau pekerja penerima upah, sebanyak 4,6 juta merupakan pekerja informal atau bukan penerima upah, dan sisanya 8 juta pekerja jasa konstruksi (“Jangkauan Jaminan Sosial bagi Pekerja Informal Terus Diperluas”, Kompas, 27 Oktober 2022).
Kesenjangan kepesertaan jaminan sosial juga terjadi menurut gender. Dari jumlah peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan, menurut catatan BPJS Ketenagakerjaan 2021, hanya 36 persen atau 8,6 juta dari peserta perempuan. Adapun peserta jaminan sosial ketenagakerjaan laki-laki mencapai 64 persen atau 22,1 juta orang (“Perspektif Jender Diperlukan dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”, Kompas, 11 Mei 2022).
KOMPAS/PINGKAN ELITA DUNDU
Sebanyak 5.000 buruh dari tujuh aliansi dan serikat pekerja se- Kota Tangerang memeriahkan Perayaan Hari Buruh Internasional di Lapangan ahmad Yani, Benteng, Kota Tangerang, Seni (1/5/2017). Aksi damai dilakukan diawali jalan sehat bersama Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah dengan sejumlah pejabat Muspida Kota Tangerang. Aksi berlanjut dengan panggung hiburan dan bagi hadiah (door prize) di lapangan tersebut.
Pelecehan dan Kekerasan terhadap Buruh
Kekerasan dan pelecehan masih acapkali terjadi di tempat kerja. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan di tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan pekerja, produktivitas perusahaan maupun pekerjanya, hingga reputasi perusahaan.
Konvensi ILO No.190 mendefinisikan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sebagai praktik yang tidak dapat diterima, sebuah ancaman yang terjadi sekali atau berulang, serta mengakibatkan kerugian fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi.
Dari data survei Semua Bisa Kena! yang dirilis oleh ILO pada 2022 yang melibatkan 1.173 responden dari sejumlah daerah di Indonesia, sebanyak 70,93 persen pekerja Indonesia pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Sementara, sebanyak 72,77 persen responden pernah menyaksikan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Adapun 53,36 persen lainnya menjadi korban sekaligus saksi. Survei ini menunjukan bahwa perempuan dan penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling rentan.
Survei tersebut merekam kekerasan dan pelecehan psikologis menjadi yang paling sering dialami, dengan jumlah responden yang mengalami sebanyak 77,4 persen, diikuti dengan kekerasan dan pelecehan seksual 50,48 persen, kekerasan dan pelecehan berdimensi ekonomi 50,12 persen, serta kekerasan dan pelecehan fisik 18,63 persen.
Ironisnya, sebanyak 55,16 persen responden mengungkapkan penanganan kasus yang dialami korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja berakhir tanpa hasil. Selain itu, 18,54 persen responden menyebutkan masih ditemukan banyaknya praktik victim blaming atau menyalahkan korban. Sehingga, berhubungan dengan hasil ini, hanya 10,94 persen korban yang melaporkan kasusnya, yang berarti mayoritas korban memilih diam dan tidak melaporkan kasusnya.
Minimnya pelaporan yang dilakukan korban ini berkaitan juga dengan latar belakang pelaku kekerasan dan pelecehan didominasi oleh rekan kerja dengan posisi lebih tinggi atau memegang kekuasaan. Survei mencatat atasan atau rekan kerja yang lebih senior menempati posisi pertama, yaitu 54,81 persen dari pelaku kekerasan dan pelecehan.
Masih terkait dengan minimnya pelaporan, survei tersebut juga menemukan adanya indikasi kecilnya kepercayaan kepada pihak kepolisian. Sebanyak 50,08 persen korban menilai pihak kepolisian tidak akan melakukan apapun. Selain itu, sebanyak 34,88 persen korban menganggap bahwa pelaporan, khususnya ke kepolisian, memerlukan uang yang banyak.
Temuan-temuan dalam survei ini menunjukan adanya urgensi akan adanya perlindungan yang komperhensif dalam melindungi pekerja dari kekerasan dan pelecehan.
Dalam Konvensi ILO 190, pengusaha dan negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dunia kerja yang aman dan iklusif bagi pekerja. Ketika mengalami kekerasan dan pelecehan misalnya, pekerja seharusnya mendapat dukungan hukum dari pemerintah. Sayangnya, Indonesia termasuk negara yang setuju Konvensi ILO 190, tetapi belum kunjung meratifikasinya (“Pemerintah Didesak Segera Ratifikasi Konvensi ILO 190”, Kompas, 9 November 2022).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ribuan buruh dari berbagai organisasi berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, bertepatan dengan Hari Buruh, Selasa (1/5/2018). Mereka menuntut perbaikan kesejahteraan.
Tren Kerja Kontrak
Kerja bersifat kontrak terus berkembang dan menyasar ke berbagai sektor industri di Indonesia. Dalam laporan survei 2022–2023 Outlook: Rekrutmen, Kompensasi, dan Benefit yang dirilis oleh JobStreet Indonesia, sekitar 70 persen dari 1.162 perusahaan yang disurvei menyatakan ingin menambah ataupun mempertahankan jumlah pekerja kontrak. Alasan merekrut pekerja berstatus kontrak, kata laporan itu, adalah menghemat biaya pegawai, ekspansi bisnis, dan keinginan untuk pengaturan kerja yang fleksibel.
ILO mendefinisikan temporary employment sebagai kondisi di mana pekerja dipekerjakan hanya untuk jangka waktu tertentu, berbasis proyek atau tugas, pekerjaan musiman/kasual, dan pekerja harian. Merujuk laporan ”World Employment and Social Outlook:Trends 2022”, perkembangan sistem kerja sementara atau kerja kontrak telah terjadi sebelum pandemi Covid-19, dan kian berkembang hingga saat ini.
Bagi kelompok pekerja profesional, mereka menikmati sistem hubungan kerja kontrak karena sistem ini memungkinkan mereka memegang proyek dari beberapa perusahaan sekaligus dan memperoleh gaji besar.
Namun, problemnya sebagian besar tenaga kerja di Indonesia kurang terampil dan berpendidikan rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Agustus 2023, penduduk bekerja dengan tamatan SD ke bawah masih menunjukkan proporsi terbesar. Sebesar 36,82 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SD ke bawah. Mereka yang tidak/belum bersekolah, belum tamat SD maupun tamatan SD, termasuk dalam kelompok ini.
Lebih lagi, 17,77 persen penduduk bekerja merupakan mereka yang tamat sekolah menengah pertama. Dengan demikian, 54,59 persen penduduk pekerja berpendidikan dasar (SD/SMP).
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Hernawan berpendapat, di negara yang memiliki ketidakseimbangan suplai dan permintaan tenaga kerja, seperti Indonesia, model pasar tenaga kerja yang fleksibel berpotensi melemahkan posisi tawar buruh. Angkatan kerja berpotensi mau bekerja apa adanya, walaupun tidak sesuai standar kerja layak. Keamanan kerja diabaikan, seperti jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja (“Hubungan Kerja Kontrak Semakin Berkembang”, Kompas, 28 April 2023).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Peringatan Hari Buruh – Puluhan ribu buruh dari berbagai daerah menggelar aksi memperingati Hari Buruh Sedunia dengan memadati dua arah jalan di sepanjang Bunderan Hotel Indonesia hingga Istana Negara di Jakarta, Kamis (1/5/2014). Mereka menyuarakan tuntutat agar pemeritah terus memperhatikan kesejahteraan kaum buruh.
Perayaan Hari Buruh di Dunia
Untuk memperingati Hari Buruh Internasional, tanggal 1 Mei di berbagai negara di dunia dijadikan sebagai hari libur. Pada hari ini, ribuan pekerja akan berkumpul, merapatkan barisan guna bersama-sama berjuang kembali memperoleh hak-hak yang lebih baik untuk kesejahteraan pekerja.
Di Italia, misalnya, pada Hari Buruh 2022, para pekerja menggelar pawai besar-besaran di Roma dan kota-kota lainnya. Dalam aksi ini, para pekerja menyurakan hak-hak pekerja yang wajib dipenuhi oleh para pemberi kerja. Selain itu, aksi unjuk rasa juga memprotes perang Rusia-Ukraina yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan ekonomi kepada para pekerja. Pekerja mendorong komitmen negara-negara di dunia untuk menjaga perdamaian.
Di Belgrade, Serbia sejumlah pekerja menggelar aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional (1/5/2022). Para pekerja, antara lain, menuntut upah yang layak dan suasana kerja yang lebih baik.
Sementara itu, di Cape Town, Afrika Selatan, dalam aksi unjuk rasa menyoroti sejumlah masalah yang dihadapi negara dan juga pekerja, mulai dari tingginya tingkat pengangguran, inflasi yang melonjak, penurunan nilai tukar devaluasi naira, dan upah rendah. Mereka juga mengeluhkan kondisi yang tidak aman secara umum di negara itu.
Adapun di Indonesia, sejumlah organisasi serikat buruh mengundur perayaan Hari Buruh 2022. Hal ini dilakukan karena peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2022 bertepatan dengan momen perayaan Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia misalnya, menyelenggarakan perayaan Hari Buruh pada Sabtu 14 Mei 2022.
Di Indonesia ada sejumlah isu yang disuarakan pada Hari Buruh 2022. Di antaranya: tolak Omnibus law UU Cipta Kerja; turunkan harga bahan pokok, BBM, dan gas; sahkan RUU PPRT, tolak revisi UU PPP, tolak revisi UU SP/SB; tolak upah murah; hapus outsourcing; tolak kenaikan pajak PPn; sahkan RPP Perlindungan ABK dan Buruh Migran; tolak pengurangan peserta PBI Jaminan Kesehatan; wujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kelompok Slank menghibur puluhan ribu buruh dari berbagai daerah di Jabodetabek saat mengikuti peringatan Hari Buruh Intenasional (May Day) di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Selasa (1/5/2012). Dalam aksi tersebut para buruh mendeklarasikan Majelis Pekerja Buruh Indonesia.
Peringatan Hari Buruh 2024
Pada Hari Buruh 2024, dampak perubahan iklim terhadap para pekerja di seluruh dunia perlu menjadi sorotan. Merujuk laporan bertajuk Ensuring safety and health at work in a changing climate yang diterbitkan ILO, perubahan iklim telah menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja di seluruh wilayah di dunia.
Perubahan iklim telah mengakibatkan cuaca dan iklim ekstrem di seluruh dunia, sebagaimana dibuktikan dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan gelombang panas, curah hujan lebat, kebakaran hutan, kekeringan, dan siklon tropis. Hal ini mempunyai dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja, yang sering kali menjadi pihak pertama yang terpapar.
Laporan tersebut memperkirakan setidaknya 2,41 miliar pekerja setiap tahunnya terpapar panas berlebih di tempat kerja. Jika dihitung sebagai bagian dari angkatan kerja global, proporsinya telah meningkat dari 65,5 persen menjadi 70,9 persen sejak 2000.
Perubahan iklim terhadap pekerja lebih dari sekedar paparan terhadap panas berlebih, tetapi juga menciptakan “campuran bahaya” yang mengakibatkan berbagai konsekuensi kesehatan, seperti kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, disfungsi ginjal, hingga masalah kesehatan mental. ILO juga mengungkapkan bahwa semua pekerja dari berbagai latar belakang memiliki risiko K3 yang ditimbulkan dari perubahan iklim, mulai dari pekerja perempuan, usia muda, hingga pekerja lanjut usia.
Oleh karena itu, pada momentum Hari Buruh 2024, perlu kiranya menyikapi risiko - risiko baru K3 yang antara lain ditimbulkan oleh perubahan iklim, mencari solusi dan mengantisipasi risiko - risiko tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Goldway, David. 2005. “A neglected page of history: The story of may day”.
- 2011. “Buruh dan Politik”. Jurnal Sosial Demokrasi, (vol 10, no.4).
- Rochadi, Sigit. 2022. Gerakan Buruh Indonesia: Perlawanan dan Fragmentasi. Jakarta: Bumi Aksara
- Sulistyo, Bambang. 1995. Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Suryomenggolo, Jafar. 2009. “Bagaimana 1 Mei Dirayakan di Masa Lalu? Studi Parayaan Hari Buruh 1946-1947”. Jurnal Kajian Perburuhan Sadane, (vol. 8, no.2).
- Suryomenggolo, Jafar. 2022. Rezim Kerja Keras. Yogyakarta. Mojok.
- “Buruh, Katalisator atau Komoditas Politik?”, Kompas, 1 Mei 2021
- “Upah Minimum Layak”, Kompas, 2 Oktober 2021
- “Jaring Pengaman Yang Rapuh”, Kompas, 6 November 2021.
- “Kenaikan Semu Upah Minimum”, Kompas, 24 November 2021.
- “Perayaan Hari Buruh di Berbagai Negara, Kaum Pekerja Diingatkan soal Tekanan Ekonomi”, Kompas, 1 Mei 2022.
- “Perspektif Jender Diperlukan dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”, Kompas, 11 Mei 2022
- “Jangkauan Jaminan Sosial bagi Pekerja Informal Terus Diperluas”, Kompas, 27 Oktober 2022
- “Pemerintah Didesak Segera Ratifikasi Konvensi ILO 190”, Kompas, 9 November 2022
- “Hubungan Kerja Kontrak Semakin Berkembang”, Kompas, 28 April 2023
- ITUC Global Rights Index 2022. Diakses dari survey.ituc-csi.org
- Semua Bisa Kena!. Diakses dari ilo.org
- Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021. Diakses dari bps.go.id
- 2022-2023 Outlook: Rekrutmen, Kompensasi, dan Benefit. Diakses dari jobstreet.co.id
- World Employment and Social Outlook:Trends 2022. Diakses dari ilo.org