Paparan Topik

Sejarah dan Potret Perlindungan Konsumen di Indonesia

Hari Konsumen Nasional yang diperingati pada 20 April menjadi momentum perlindungan konsumen. Upaya perlindungan konsumen tidak hanya sebatas pada hak-hak konsumen, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan konsumen secara keseluruhan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pemusnahan barang hasil pengawasan barang beredar yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan di Jakarta, Kamis (24/1/2019). Barang yang dimusnahkan adalah barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Fakta Singkat

Dasar hukum perlindungan konsumen: UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sejarah perlindungan konsumen:

  • Gerakan perlindungan konsumen dimulai abad ke-19
  • Terbentuk Liga Konsumen di New York 1891
  • Terbentuk Liga Konsumen Nasional di AS 1898
  • Lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act di AS (1906)
  • Lahir cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen 1960-an
  • Di Indoneisa, ditandai dengan berdirinya YLKI pada Mei 1973
  • Pada masa Orde Baru, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) masih tertunda
  • UU 8/1999 disahkan pada 20 April 1999

Potret perlindungan konsumen di Indonesia:

  • IKK nasional meningkat dari 34,17 pada 2015 menjadi 53,23 pada 2022
  • Laporan BPKN: pengaduan 2017 hingga 16 Desember 2022 mencapai 8.126 aduan
  • Laporan YLKI: pengaduan konsumen pada 2022 mencapai 882 aduan
  • Laporan LAPS-SJK: pengaduan konsumen pada 2022 mencapai 1.791 aduan

Beberapa waktu belakangan ini, publik kerap dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan mengenai wanprestasi yang dilakukan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Beberapa di antaranya mengenai pemberitaan mengenai pinjaman online illegal yang menjerat nasabahnya, skema investasi bodong dengan skema ponzi, penipuan berkedok investasi dengan menggunakan aplikasi robot trading, hingga kasus gagal bayar produk unit link yang menerpa beberapa perusahaan asuransi.

Tak hanya di sektor jasa keuangan. Sejumlah kasus lain juga pernah terjadi, seperti kasus pencurian pulsa dan kasus kendaraan hilang di areal parkir dan tidak diganti. Contoh-contoh tersebut merupakan kasus-kasus yang merugikan konsumen. Konsumen acap kali harus melawan produsen besar dengan berbagai rintangan dalam rimba pasar bebas.

Kasus-kasus tersebut bisa dibilang hanyalah fenomena puncak gunung es. Pasalnya, di Indonesia, masalah perlindungan konsumen masih menjadi persoalan yang krusial, apalagi di era digital saat ini. Hal itu terbukti dengan banyaknya kasus-kasus yang sampai sekarang belum juga tuntas. Apabila terjadi sengketa, pihak konsumen acap kali dalam posisi yang lemah sehingga tidak mampu untuk memperjuangkan kepentingannya.

Di sisi lain, konsumen berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan nasional tercatat sebesar 58,9 persen. Untuk itu, kepentingan konsumen dalam melakukan konsumsi dan aktivitas perdagangan semestinya menjadi perhatian.

Oleh karena itu, peringatan Hari Konsumen Nasional yang jatuh pada 20 April dapat menjadi momentum bagi banyak pihak agar termotivasi membangun konsumen yang cerdas dan pelaku usaha yang semakin memiliki etika dalam usahanya. Penetapan Hari Konsumen Nasional itu tertera pada Keppres 13/2012 dengan mengacu kepada UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Tak hanya di Indonesia, di level global, juga diperingati Hari Hak Konsumen Sedunia atau World Consumer Rights Day yang diperingati setiap tanggal 15 Maret setiap tahunnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim (kiri) didampingi wakilnya, Muhammad Mufti Mubarok, menyampaikan catatan akhir tahun lembaganya di Jakarta, Rabu (21/12/2022). Sepanjang tahun 2022 hingga 16 Desember, BPKN telah menerima 8.126 pengaduan. Pengaduan konsumen terbanyak berasal dari sektor perumahan dan jasa keuangan. 

Konsep, tujuan, dan hak-hak konsumen

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

Dalam UU 8/1999, perlindungan konsumen didefinisikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan ini memberikan manfaat, keadilan, keseimbangan, rasa aman, dan keselamatan bagi konsumen untuk mengonsumsi barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Perlindungan ini mencakup proteksi agar konsumen tidak memperoleh barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan kesepakatan atau melanggar ketentuan undang-undang, serta perlindungan terhadap syarat-syarat yang tidak adil bagi

Masih menurut UU 8/1999, perlindungan konsumen memiliki enam tujuan. Pertama, meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. Kedua, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang atau jasa.

Ketiga, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Keempat, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

Kelima, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Keenam, meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengungkap kasus dugaan tindak pidana Perlindungan Konsumen/Metrologi Legal dengan cara mengurangi jumlah takaran bahan bakar minyak (BBM) melalui mesin dispenser BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di kawasan Rempoa, Tangerang Selatan, Banten, Senin (6/6/2016). Sebanyak lima orang ditetapkan menjadi tersangka dan dijerat dengan pasal Perindungan Konsumen dan Metrologi Legal dengan ancaman pidana penjara selama lima tahun atau pidana denda Rp 2 miliar.

Sementara itu, hak-hak konsumen yang harus dipenuhi menurut UU Perlindungan Konsumen, yakni: pertama, hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Kedua, hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

Ketiga, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Keempat, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kelima, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

Keenam hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Ketujuh, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Kedelapan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jika hak-hak ini tidak dipenuhi, maka konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan melalui pengadilan atau luar pengadilan. Perlu dicatat pula bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak akan menghilangkan tanggung jawab pidana pelaku usaha jika terbukti melakukan pelanggaran.

Dengan demikian, UU 8/1999 merupakan landasan hukum bagi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat yang peduli akan konsumen Indonesia untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen secara merata.

Infografik Perlindungan Konsumen

Sejarah singkat perlindungan konsumen di dunia dan Indonesia

Mengacu dalam buku “Hukum Perlindungan Konsumen” yang ditulis oleh Zulham, disebutkan bahwa perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19. Hal itu ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS).

Gelombang pertama terjadi pada tahun 1891, yaitu ditandai dengan terbentuknya Liga Konsumen di New York dan yang pertama kali di dunia. Baru pada tahun 1898, di tingkat nasional AS terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League).

Organisasi ini mengalami banyak hambatan. Meski demikian, pada tahun 1906, lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act. Pada tahun 1938, UU ini diamandemen menjadi The Food, Drug and Cosmetics Act karena adanya tragedi Elixir Sulfanilamide yang menewaskan 93 konsumen di AS tahun 1937.

Hukum konsumen berkembang lagi pada tahun 1914, yang ditandai sebagai gelombang kedua dan terbentuk komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu Federal Trade Comission (FTC).

Keberadaan program pendidikan konsumen mulai dirasakan perlu untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi para konsumen. Maka pada dekade 1930-an mulai gencar dilakukan penulisan buku- buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen, yang juga dilengkapi dengan riset-riset yang mendukungnya.

Gelombang ketiga terjadi pada dekade 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumers law). Hal ini ditandai dengan pidato Presiden AS ketika itu, John F. Kennedy, di depan Konggres AS pada tanggal 15 Maret 1962 tentang “A Special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).

Infografik Perlindungan Konsumen

Dalam perkembangannya, sejumlah negara mulai membentuk undang-undang mengenai perlindungan konsumen. Negara-negara tersebut antara lain Amerika Serikat The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act (UTPCP) tahun 1967, yang kemudian diamandemen pada tahun 1969 dan 1970 Unfair Trade Practices and Consumer Protection (Lousiana) Law, tahun 1973.

Kemudian Jepang The Consumer Protection Fundamental Act (1968), Inggris The Consumer Protection Act (1970), yang diamandemen pada 1971, Kanada The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amandment Act (1971).

Lalu Singapura The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act) tahun 1975, Finlandia The Consumer Protection Act (1978), Irlandia The Consumer Information Act (1978), Australia The Consumer Affairs Act (1978), dan Thailand: The Consumer Act (1979).

Di Indonesia, pengaturan mengenai perlindungan konsumen telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda. Sejumlah aturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, antara lain Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214, Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan) S, 1926-226 jo. S. 1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450, dan Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28.

Selain itu, dalam beberapa kitab undang-undang juga terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk melindungi konsumen. KUH Perdata Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur mengenai kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli.

Kemudian KUHD mengenai pihak ketiga yang harus dilindungi tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan. Lalu KUH Pidana tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang dan sebagainya.

Infografik Perlindungan Konsumen

Setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1999, undang-undang di Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia berusaha untuk memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen.

Beberapa regulasi tersebut antara lain UU 10/1961 tentang Barang, UU 2/1966 tentang Hygiene, UU 2/1981 tentang Metrologi Legal, UU 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, UU 5/1984 tentang Perindustrian, UU 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, UU 1/1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, UU 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU 23/1992 tentang Kesehatan, dan UU 7/1996 tentang Pangan.

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.

Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.

YLKI berdiri ketika kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun seiring perkembangan, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, dengan memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen.

Sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen terus dilakukan selama bertahun-tahun. Di masa Orde Baru, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bisa mewujudkannya. Terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda.

Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU tentang perlindungan konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan menjadi UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan disahkannya regulasi tersebut, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan kedalam koridor sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Dalam perkembangannya, pemerintah juga menetapkan Perppres 50/2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (Stranas PK) yang akan menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan terkait. Stranas PK periode pertama berlaku tiga tahun yang dimulai tahun 2017 sampai dengan 2019.

KOMPAS/MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI 

Spanduk dan papan di salah satu lokasi perparkiran mal di Jakarta yang menunjukkan klausul “Kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan kehilangan atas barang barang di dalam kendaraan merupakan tanggung jawab pengguna kendaraan”. Klausul ini dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen (2/9/2019).

Potret perlindungan konsumen di Indonesia

Sejak diterbitkannya UU tentang perlindungan konsumen 24 tahun lalu, pemerintah terus berupaya meningkatkan dan mengevalusasi implementasi perlindungan konsumen di Tanah Air. Salah satunya dengan melakukan pengukuran kondisi konsumen Indonesia melalui pelaksanaan survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) oleh Kementerian Perdagangan.

Indeks keberdayaan konsumen (IKK) merupakan dasar untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan konsumen dan untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuan dalam berinteraksi dengan pasar.

Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Nasional

Tahun

IKK Nasional

2015

34,17

2016

30,86

2017

33,70

2018

40,41

2019

41,7

2020

49,07

2021

50,39

2022

53,23

Sumber: Kementerian Perdagangan

Hasil pemetaan IKK menunjukkan sejak tahun 2015 hingga tahun 2022, IKK nasional terus mengalami peningkatan. Terakhir pada tahun 2022, nilai IKK Nasional sebesar 53,23 dari nilai maksimal 100.

Nilai tersebut menandakan bahwa konsumen Indonesia berada pada level mampu. Artinya, konsumen mampu menggunakan hak dan kewajiban mereka untuk menentukan pilihan terbaik, termasuk menggunakan produk dalam negeri bagi diri dan lingkungannya.

Kendati IKK nasional terus menunjukkan perbaikan, namun di sisi lain masih terdapat banyak pengaduan baik melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), YLKI, maupun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK).

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim seperti dikutip dari laman Kompas.id (23/12/2022) mengungkapkan, sejak tahun 2017 hingga 16 Desember 2022, BPKN telah menerima 8.126 pengaduan. Pengaduan ini didominasi oleh keluhan layanan jasa keuangan, diikuti e-dagang, dan properti perumahan.

Secara khusus pada tahun 2022, berdasarkan data yang diunggah di laman BPKN Januari hingga 2 Desember 2022, total pengaduan konsumen mencapai 1.041. Jumlah ini mencakup pengaduan atas layanan jasa keuangan (387 kasus), disusul oleh layanan e-dagang (179), properti perumahan (141), lain-lain (131), jasa telekomunikasi (56), transportasi (60), barang elektronik, telematika, dan kendaraan bermotor (43), serta listrik dan gas rumah tangga (11). Rizal menyebut, setengah dari total pengaduan tersebut telah terselesaikan dan sisanya sedang proses perampungan.

HIDAYAT SALAM

Ketua Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M Mufti Mubarok (tengah) saat konfrensi pers hasil investigasi kasus gangguan ginjal akut pada anak di kantor BPKN, Jakarta, Rabu (14/12/2022).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) seperti dikutip dari laman Kompas.id (20/1/2023), mencatat jumlah pengaduan konsumen sepanjang tahun 2022 mencapai 882 aduan. Jumlah itu meningkat signifikan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Layanan jasa keuangan, khususnya terkait pinjaman daring ilegal, mendominasi laporan pengaduan.

YLKI mencatat, jumlah pengaduan konsumen yang diterima YLKI sepanjang tahun 2021 mencapai 535 aduan atau naik 33 persen dibandingkan jumlah pengaduan tahun 2020 yang tercatat 402 aduan. Namun, jumlah pengaduan melonjak signifikan sepanjang tahun lalu, yakni mencapai 882 aduan, atau naik 64 persen dibandingkan jumlah aduan tahun 2021.

Sepanjang tiga tahun tersebut, aduan terkait layanan jasa keuangan tercatat dominan, yakni mencapai 134 aduan (2020), lalu 265 aduan (2021), dan 347 aduan (2022). Artinya, aduan terkait sektor itu mencakup 33,3 persen dari total laporan tahun 2020, lalu naik menjadi 49,5 persen dari total laporan tahun 2021, dan 39,3 persen dari laporan tahun 2022.

Tren peningkatan jumlah pengaduan juga terjadi di sektor transportasi. Berdasarkan catatan YLKI, ada 167 aduan atau sekitar 22,4 persen terkait transportasi pada 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan aduan di sektor serupa tahun 2021 yang tercatat 8 aduan atau 1,5 persen dari total aduan.

Di sektor jasa keuangan, berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK), terdapat 1.791 pengaduan konsumen yang diterima sepanjang tahun 2022. Jumlah itu meningkat dari jumlah pengaduan tahun sebelumnya sebesar 1.354 pengaduan.

Pengaduan terbanyak dari konsumen sektor perbankan yaitu 821 pengaduan, disusul sektor fintech (357 pengaduan), pembiayaan (302 pengaduan), asuransi (265 pengaduan), dan pasar modal (32 pengaduan). Permasalahan yang kerap diadukan konsumen adalah soal fraud eksternal, termasuk di dalamnya penipuan, pembobolan rekening, skimming dan cyber-crime. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Kelalaian dan Perlindungan Konsumen”, Kompas, 05 Maret 2015, hlm. 06
  • “Perlindungan Konsumen di Era Digital”, Kompas, 22 Maret 2021, hlm. 06
  • “Melihat Kembali UU Perlindungan Konsumen”, Kompas, 20 Apr 2021, hlm. 06
  • “Tantangan OJK Lindungi Konsumen”, Kompas, 07 Juni 2021, hlm. 07
  • “Wewenang OJK Lindungi Konsumen”, Kompas, 09 Juli 2021, hlm. 07
  • “Memperkuat Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan”, Kompas, 07 Mei 2022, hlm. 06
Buku dan Jurnal
Aturan
Internet

Artikel terkait