KOMPAS/EDDY HASBY
Jembatan Ampera merupakan ikon kota Palembang, melintas di atas Sungai Musi mengubungkan wilayah Seberang Ulu dan Seberang Ilir, Rabu (26/08/2020).
Kini jembatan megah itu berdampingan dengan Jembatan Lintas Rel Terpadu di kota Palembang.
Fakta Singkat
Ibu Kota
Palembang
Hari Jadi
15 Mei 1946 (Perda No. 5/2007)
Dasar Hukum
Undang-Undang No. 25/1959
Luas Wilayah
91.592 km2
Jumlah Penduduk
8.657.008 jiwa (2022)
Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Herman Deru
Wakil Gubernur Mawardi Yahya
Provinsi Sumatera Selatan dikenal sebagai Bumi Sriwijaya. Provinsi ini didirikan pada 12 September 1950 dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959.
Pada awal pembentukannya, wilayah kekuasaan provinsi yang terletak di selatan Pulau Sumatera ini mencakup Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung. Keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri.
Hari jadi Provinsi Sumatera Selatan ditetapkan pada tanggal 15 Mei 1946 berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2007. Hari Jadi tersebut bertepatan dengan diumumkannya pembagian wilayah Provinsi Sumatera menjadi tiga subprovinsi berdasarkan usul dan pertimbangan konferensi residen seluruh Sumatera, wakil pemerintah pusat, dan keputusan Dewan Rakyat Sumatera.
Tiga subprovinsi itu, yakni subprovinsi Sumatra Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatra Timur, dan Tapanuli. Kemudian subprovinsi Sumatra Tengah meliputi Keresidenan Sumatra Barat, Riau, dan Jambi. Sedangkan, subprovinsi Sumatra Selatan meliputi Keresidenan Bengkulu, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung.
Provinsi Sumatera Selatan atau disingkat Sumsel memiliki motto “Bersatu Teguh”. Provinsi ini terdiri dari 13 kabupaten dan 4 kota, 241 kecamatan, dan 3.289 kelurahan/desa. Ibukotanya berada di Kota Palembang. Logo provinsi ini berbentuk perisai dengan gambar bunga teratai berkelopak lima yang memiliki makna keberanian dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Sejarah Pembentukan
Sejak lama, Sumatera Selatan dikenal sebagai pusat peradaban masa lampau. Jauh sebelum kehadiran Kerajaan Sriwijaya, Sumsel di masa prasejarah memiliki peradaban yang cukup maju seperti terekam pada peninggalan artefak.
Dalam buku Prasejarah Indonesia, disebutkan adanya penemuan lapisan Neolitik yang berlanjut ke Paleometalik. Pada lapisan Neolitik ditemukan tembikar polos, beliung, dan tulang manusia berumur 1550 sebelum Masehi. Kemudian ditemukan pula lukisan dengan motif manusia, binatang, flora dan motif geometris yang merupakan situs peninggalan zaman Megalitikum di dataran tinggi Pasemah. Motif tersebut menandakan adanya sistem kepercayaan terhadap nenek moyang dan alam.
Kerajaan pertama di Sumatera Selatan adalah Kerajaan Kantoli yang bertempat di Palembang menurut buku Sumatera Selatan Memasuki Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Pada abad ke-5 hingga abad ke-7, kerajaan Kantoli mengadakan hubungan dagang dengan negeri China. Barang yang diekspor, antara lain kain berwana, kain cita, buah pinang, emas, dan perak.
Kerajaan Kantoli kemudian digantikan oleh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia membangun kerajaan dari Selatan Sumatera , Jambi, dan mengembangkan sayap hingga ke Semenanjung Malaysia. Kerajaan Sriwijaya terus berkembang hingga mampu menciptakan kapal-kapal yang canggih pada masanya.
Kerajaan Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi, Palembang. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional secara berabad-abad.
Pada masa itu, Sriwijaya menjadi mitra dagang penting negeri Tiongkok, yang terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan Asia. Beragam hasil Sriwijaya diangkut ke Tiongkok dan ditukar dengan barang- barang berharga dari negeri tirai bambu itu.
Kerajaan Sriwijaya juga menjadi pusat agama Budha di Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, terkenal seorang pendeta Budha bernama Sakyakirti yang memiliki lebih dari seribu pengikut yang menjadi pendeta Budha di kerajaan ini.
Kerajaan Sriwijaya membawahi kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Melayu, Kerajaan Taruma, Jawa Tengah, Kerajaan Kedah, Kerajaan Muangthai Selatan, dan Khmer. Sriwijaya menguasai kerajaan dengan tempat strategis untuk jalur perdagangan utama.
Terdapat enam komponen yang membentuk kelengkapan Kerajaan Sriwijaya, yakni Kedatuan (tempat tinggal datu), Devata (nenek moyang yang didewakan), Huluntuhan (orang kerajaan, staf, dan pejabat), Puhavam-vanigaya (kapten-pedagang), Mandala (wilayah di luar sungai Musi), dan Bhumi (seluruh daerah susunan kerajaan Sriwijaya).
Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran akibat serangan dari Kerajaan Colamandala India. Dalam serangan tersebut Raja Sanggrama Wijayatunggawarman sempat ditangkap namun dibebaskan kembali.
Serangan yang dilakukan kerajaan Colamandala melemahkan kedudukan Sriwijaya. Pada 1275 Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan Melayu dan Singosari dalam rangka ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kehancuran akibat serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1337. Kerajaan Majapahit pada masa itu dipimpin oleh putera dari raja Majapahit terakhir, Aryo Damar atau dikenal sebagai Ario Dillah.
Pemerintahan Majapahit tidak berjalan efektif, banyak pekerjaan rumah tangga kerajaan yang tidak berjalan lancar. Hal tersebut dimanfaatkan para bajak laut Cina untuk merajalela dan menguasai wilayah maritim dan perairan Majapahit.
Melemahnya kerajaan Majapahit mengakibatkan kerajaan ini runtuh pada tahun 1528. Faktor lain penyebab runtuhnya Majapahit adalah karena penyebaran agama Islam dan terbentuknya Kesultanan Palembang.
Kerajaan Palembang merdeka dan berdaulat pada masa Kesultanan Ki Mas Hindi (Endi) karena memutuskan hubungan dengan Mataram pada 1659 Masehi. Agama Islam di Kerajaan Palembang berkembang pesat pada masa pemerintahan Kyai Mas Endi yang juga dikenal dengan Pangeran Ario Kusuma Abdurrahim.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Kompleks makam pendiri Kerajaan Islam Palembang (sekitar abad ke-16) Ki Gede Ing Suro di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (6/6/2017). Kompleks makam Ki Gede Ing Suro berdiri di atas sisa bangunan candi bercorak Hindu-Buddha yang diduga peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Kompleks makam ini menjadi saksi bisu terjadi peralihan dari masa Hindu-Buddha ke Islam di Palembang. Situs ini pun menjadi bukti terjadi pembauran budaya Hindu-Buddha dan Islam di Palembang.
Belanda memasuki Sumatera Selatan ketika Kerajaan Palembang runtuh pada tahun 1823 seperti dipaparkan dalam buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan. Pada awalnya, Belanda menggunakan kelompok bangsawan Palembang untuk menjalankan pemerintahan.
Dalam pemerintahannya, Belanda mengutus pihak-pihaknya yang diberi nama Bestuursdients untuk menjadi pemerintah daerah. Kemudian, Sumatera Selatan dibagi menjadi dua daerah jajahan, yakni Rechtstreeks Bestuurdgebied (wilayah yang diperintah langsung) dan Landschappen (wilayah otonom).
Belanda juga membagi hukum ketatanegaraan seperti Gewest-gewest (wilayah di luar Jawa dan Madura), Zelfs Tandige Gemeenschappen (persekutuan otonom), Locale Ressorten (ressort setempat), dan Inlandsche Rechtsgemeenschappen (persekutuan pribumi).
Pada 14 Februari 1942, pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Sumatera Selatan. Pemerintah Jepang dikenal tidak pernah mengikutsertakan pendapat rakyat, semua berjalan sesuai perintah Jepang dan rakyat harus mengikutinya.
Namun, hal tersebut lama-kelamaan merugikan Jepang sehingga dibentuklah Su-sangkai, yakni dewan-dewan perwakilan yang menjadi penasehatan pihak Jepang, dengan ketua pertamanya AK Gani dan Abdul Rozak.
Meskipun berfokus pada militer, namun struktur pemerintahan Jepang masih banyak mengikuti Belanda, hanya saja berganti nama menjadi Bun Shu-co, Shu-co (kepala wilayah adminstratif/afdeeling), Gun-co (kepala wilayah kecil/onderafdeeling), Son-co (kepala marga), Ku-co (kepala desa), dan Syu Co-kan (residen).
Seluruh kekuasaan yang dulunya berada pada dewan dijalankan oleh Si-co (wali kota). Daerah otonomi dihilangkan. Kotapraja (Stadsgemeente) bekas peninggalan Belanda tetap ada tetapi dewannya dibubarkan.
Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pihak Jepang di Sumatera Selatan tidak mengabarkannya ke rakyat Sumatera Selatan lantaran komunikasi sepenuhnya dipegang Jepang. Namun, rakyat Sumatera Selatan telah menyiapkan segala cara untuk menyongsong kemerdekaan, salah satunya dengan didirikannya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Palembang, Sumsel.
Akhirnya pada 22 Agustus 1945, tentara Jepang resmi menghentikan perang di wilayah Sumatera Selatan. Momen tersebut dimanfaatkan rakyat Sumsel untuk membentuk Pusat Pemerintahan Bangsa Indonesia pada 23 Agustus 1945.
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 berlangsung rapat PPKI yang menetapkan UU Pasal 8 tahun 1945 tentang pembagian Indonesia menjadi 8 provinsi, salah satunya Provinsi Sumatera. Kemudian Provinsi Sumatera dibagi menjadi tiga subprovinsi, yakni subprovinsi Sumatera Utara, subprovinsi Sumatera Tengah, dan subprovinsi Sumatera Selatan.
Kemudian demi memantapkan pemerintahan, tiap-tiap subprovinsi akhirnya diresmikan menjadi provinsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948. Ibu kota Provinsi Sumatera Selatan ditetapkan berkedudukan di Palembang. Berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2007, hari jadi Provinsi Sumatera Selatan jatuh pada 15 Mei 1946.
Geografis
Provinsi Sumatra Selatan terletak di bagian selatan Pulau Sumatra. Provinsi ini terletak pada posisi 1°– 4° Lintang Selatan dan antara 102°–106° Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jambi di sebelah utara, Provinsi Lampung di sebelah selatan, Provinsi Bangka Belitung di sebelah timur dan Provinsi Bengkulu di sebelah barat.
Luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebesar 9,1 juta hektar atau 4,7 persen dari total luas daratan Indonesia. Luas wilayahnya didominasi oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir (20 persen), Musi Banyuasin (16 persen), dan Banyuasin (13 persen).
Provinsi ini memiliki sejumlah sungai besar dan anak sungai. Salah satunya adalah Sungai Musi yang sumber mata airnya dari Bukit Barisan. Anak Sungai Musi terdiri dari Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas.
Selain sungai, Sumatera Selatan juga memiliki danau alam, yaitu Danau Ranau di Kabupaten OKU Selatan dan Danau Teluk Gelam di Kabupaten OKI.
Sumatera Selatan dilalui oleh Bukit Barisan dan gunung-gunung berapi, yang terbentuk pada lempeng Eurasian Plate. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung, Gunung Dempo, Gunung Patah, dan Gunung Bengkuk.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Suasana perjalanan menuju Air Terjun Curup Maung di kawasan Tinggi Hari, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Selasa (13/3/2018). Sebagai kawasan yang berada di area Pegunungan Bukit Barisan, Lahat secara khusus dan Besemah secara umum menyimpan potensi pemandangan alam yang menawan, yang terdiri atas hutan, sungai, hingga sejumlah air terjun.
Pemerintahan
Sampai tahun 2018, sebanyak 15 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Pada masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945.
Pengangkatan tokoh yang terlibat dalam pergerakan kemerdekaan ini dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan. Gani kemudian dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani memimpin wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung.
AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. Penghentian jabatan Gani ini sekaligus mengangkat kembali Mohammad Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani November 1946. M Isa kemudian menjabat gubernur Sumsel selama dua periode, yakni 1946-1948 dan 1948-1952.
Winarno Danuatmodjo memimpin Sumsel pada tahun 1952-1957. Winarno digantikan HM Husin yang menjabat pada tahun 1957-1958. Pada saat yang sama, Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.
Tahun 1959, HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Bastari memimpin Sumsel periode 1959-1963. Selanjutnya Sumsel dipimpin berturut-turut oleh Abuyasid Bustomi (1963-1966), Ali Amin (1966-1967), dan Asnawi Mangku Alam (1967-1978). Selanjutnya, Sainan Sagiman menjabat gubernur Sumsel selama dua periode, yakni 1978-1983 dan 1983-1988. Ramli Hasan Basri juga menjabat selama dua periode (7 November 1988-7 November 1993 dan 7 November 1993-7 November 1998).
Kepemimpinan di Sumsel dilanjutkan oleh Rosihan Arsyad setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel. Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya diteruskan oleh pasangan Syahrial Oesman- Mahyuddin N. S.
Alex Noerdin terpilih menjadi gubernur Sumsel berikutnya. Noerdin menjabat selama dua periode, yakni 7 November 2008-7 November 2013 dan 7 November 2013-21 September 2018. Dilanjutkan Penjabat Gubernur Hadi Prabowo (21 September 2018-1 Oktober 2018). Gubernur Sumsel saat ini dijabat oleh Herman Deru dan Wakil Gubernur Mawardi Yahya.
Secara administratif, wilayah Provinsi Sumatera Selatan dibagi menjadi 13 kabupaten, 4 kota, 236 kecamatan, 386 kelurahan dan 2.853 desa. Ketigabelas kabupaten tersebut meliputi Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Ilir, Empat Lawang, Pali, Musi Rawas Utara. Sedangkan keempat kota tersebut, yaitu Palembang, Prabumulih, Pagar Alam, dan Lubuk Linggau.
Pada tahun 2019, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat I Sumatera Selatan sebanyak 75 orang. Komposisi keanggotaan DPRD Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh Partai Golkar sebanyak 13 orang, diikuti oleh PDI-P sebanyak 11 orang dan Partai Gerindra sebanyak 10 orang.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2019 adalah 15.634 orang. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan tahun lalu yang mencapai 15.346 orang.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Menteri Dalam Negeri dan Gubernur serta Wakil Gubernur Baru datangi KPK – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Senin (1/10/2018), bersama Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru-Mawardi Yahya dan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor – Hadi Mulyadi. Kedatangan Tjahjo beserta Gubernur serta Wakil Gubernur usai dilantik Presiden Joko Widodo, untuk bertemu dengan pimpian KPK.
Politik
Sumatera Selatan menjadi salah satu wilayah di Sumatera yang menampilkan citra menguatnya parpol sekuler-nasionalis. Wajah afiliasi politik wilayah ini, yang pada Pemilu 1955 menjadi lumbung partai Islam, saat ini cenderung meredup.
Pada Pemilu pertama tahun 1955, tercatat ada 31 partai politik, organisasi, “kelompok pemilih”, dan perorangan yang ikut ambil bagian. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa panggung politik di Sumatera Selatan dikuasai oleh Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Partai pimpinan M Natsir itu memperoleh 38.196 suara dari 911.301 pemilih atau 49,34 persen suara.
Perolehan itu tidak saja mengangkat Masyumi ke posisi teratas, tetapi juga membuat partai dengan lambang bulan bintang ini menjadi “mayoritas tunggal” di provinsi yang meliputi Keresidenan Palembang, Keresidenan Bangka-Belitung, Keresidenan Bengkulu, dan Keresidenan Lampung itu.
Di tempat kedua, Partai Komunis Indonesia (PKI) meraup 93.482 suara atau sekitar 12,1 persen dari total pemilih. Perolehan terbanyak PKI pada pemilu saat itu berada di Kota Palembang yang mencapai 20.383 suara. Sementara itu, Muara Enim menyumbang 18.771 suara, Lahat 13.743 suara, serta Musi Banyuasin dan Musi Rawas masing-masing memberi sebelas ribuan suara.
Di posisi ketiga, ditempati oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan meraih 93.482 suara atau sekitar 10,98 persen. Perolehan PNI tersebut bersaing ketat dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang meraup 77.517 (10,06 persen). Sementara Nahdlatul Ulama (NU) hanya memperoleh suara 8,96 persen sedangkan partai-partai lainnya seperti Perti, PSI, Partai Buru mendapatkan suara di bawah 2 persen.
Memasuki era Orde Baru, Golkar menjadi kekuatan yang sangat menentukan dan dominan selama enam kali penyelenggaraan pemilu dari Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997. Di Sumatera Selatan, pada Pemilu 1971, Golkar berhasil meraih 62 persen suara. Sementara partai-partai Islam yaitu Parmusi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia (Perti) hanya meraih sepertiga bagian suara dari sekitar 1,3 juta pemilih.
Keadaannya tidak berubah setelah Orde Baru “memaksakan” fusi partai-partai pada tahun 1973. Dalam lima kali “pesta demokrasi” Orde Baru-Pemilihan Umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997-Golkar senantiasa membuat Sumatera Selatan (yang sudah dipisahkan dengan Bengkulu dan Lampung sebagai provinsi) menjadi “lautan kuning”.
Selama lima kali Pemilu, Golkar berturut-turut meraih 50 persen pada Pemilu 1977, 56 persen pada Pemilu 1982, 69 persen pada Pemilu 1987, 70 persen pada Pemilu 1992, dan 85,33 persen pada Pemilu 1997.
Sejalan dengan fusi parpol tahun 1973, partai-partai Islam yang tergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mencoba bangkit melawan dominasi Golkar. Upaya tersebut sedikit membuahkan hasil. Pemilu 1977, PPP berhasil menaikkan perolehan suaranya secara signifikan hingga 43 persen.
Namun, pada pemilu-pemilu berikutnya, perolehan suara PPP cenderung turun hingga Pemilu 1997. Perolehan suara PPP di Sumsel berturut-turut 38 persen pada Pemilu 1982, 19 persen pada Pemilu 1987, 18 persen pada Pemilu 1992, dan 11 persen pada Pemilu 1997.
Adapun perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) selama lima kali penyelenggaraan pemilihan umum cenderung fluktuatif. Pada Pemilu 1977, PDI memperoleh 8 persen suara. Lima tahun kemudian pada Pemilu 1982, PDI hanya meraih 6 persen suara. Pada Pemilu 1987 dan Pemilu 1992, perolehan suara PDI sempat naik hingga meraih 12 persen dan 18 persen. Kemudian pada Pemilu 1997, perolehan suara PDI turun drastis hingga hanya meraih 4 persen suara.
Pada Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengangkat simbol Megawati Soekarnoputri sebagai kekuatan berhasil mendobrak dominasi Golkar selama masa Orde Baru. Pada pemilu pertama di era reformasi ini, PDI-P tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara mencapai 39,5 persen dari 3.106.627 suara sah.
Perolehan suara PDI-P di Sumatera Selatan ini, jika dipetakan penyebaran pemilihnya terlihat di tujuh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Selatan, yaitu Palembang, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, dan Musi Banyurawas.
KOMPAS/WAHAB MANAN
Suasana pencoblosan Pemilu 1987 di sebuah TPS di sekitar Lapangan Hatta, Palembang.
Golkar menempati urutan kedua dengan meraih 22 persen suara, terpaut jauh dengan perolehan partai ini di tahun 1997 yang sebesar 85 persen. Adapun partai-partai bercorak keislaman belum banyak membuahkan hasil. Partai-partai seperti PAN dan PPP hanya memperoleh 8 persen. Demikian juga PBB yang mencoba membangkitkan romantisme warga Sumatera Selatan kepada Masyumi ternyata hanya memperoleh 1,9 persen suara.
Pada Pemilu 2004, Golkar berhasil merebut kembali simpati masyarakat Sumsel. Partai berlambang Pohon Beringin itu meraup 20 persen suara. Di posisi kedua, PDI-P meraup 17 persen suara, disusul Demokrat meraih 15 persen suara. Adapun partai-partai bercorak agama seperti PAN dan PKS masing-masing meraih sekitar 7 persen suara, PPP memperoleh suara 6 persen, dan PKB memperoleh suara 4 persen.
Golkar mengulang kembali kemenangan pada Pemilu 2019 dengan meraih 23 persen suara. Disusul oleh PDI-P dengan perolehan suara 20 persen, dan Demokrat di posisi ketiga dengan perolehan suara 15 persen. Selanjutnya, PKS memperoleh 8 persen, PKB (6 persen), Hanura (5 persen), Gerindra (4 persen), PPP (3 persen), dan PAN (2 persen).
Pada Pemilu 2014, PDI-P menjadi Parpol dengan perolehan suara terbanyak di Sumatera Selatan. Perolehan suaranya mencapai 692.847 suara atau sekitar 17,57 persen suara. Golkar menempati urutan kedua dengan memperoleh 660.932 suara atau 16,76 persen suara dan mendapatkan jatah 3 kursi di DPR. Di tempat ketiga perolehan suara terbanyak di Sumatera Selatan ditempati oleh Gerindra dengan perolehan suara 505.386 atau sekitar 12,81 persen.
Pada Pemilu legislatif 2019, Gerindra unggul dengan perolehan 343.235 suara (16,9 persen). Disusul Golkar dengan perolehan 297.267 (14,1 persen) suara, Nasdem dengan perolehan 268.989 (13,3 persen) suara, dan PDI-P dengan perolehan 265.160 suara (13,1 persen). Posisi keempat hingga terakhir secara berurutan, yaitu PDI-P, Demokrat, PKS, PAN, PKB, Perindo, Berkarya, PPP, PSI, Hanura, PBB, Garuda, dan PKPI.
Kependudukan
Populasi penduduk Sumatera Selatan terbanyak kedua di Pulau Sumatera setelah Provinsi Sumatera Utara. Tahun 2022, jumlahnya mencapai 8.657.008 jiwa. Dalam tiga dekade terakhir, jumlah penduduknya meningkat dua kali lipat.
Persebaran penduduk antar kabupaten/kota di Sumatera Selatan masih menunjukkan ketimpangan. Berdasarkan wilayah, penduduk Sumatera Selatan terkonsentrasi di Kota Palembang (19,73 persen). Hal ini sejalan dengan peran Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Provinsi yang terkenal dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera ini terdapat 12 suku asli, yaitu Suku Komering, Suku Palembang, Suku Gumai, Suku Semendo, Suku Lintang, Suku Kayuangung, Suku Lematang, Suku Ogan, Suku Pasemah, Suku Sekayu, Sulu Rawas, dan Suku Banyuasin. Terdapat pula suku lainnya seperti Melayu, Jawa, Batak, dan China.
Menurut peta bahasa Kemendikbud, bahasa yang digunakan di Sumatera Selatan antara lain bahasa Jawa, bahasa Kayuagung, bahasa Komering, bahasa Lematang, bahasa Melayu, bahasa Ogan, dan bahasa Pedamaran.
Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh pemeluk agama Islam (8.286.975 jiwa), kemudian Kristen Protestan (174.145 jiwa), Budha (159.573 jiwa), Katolik (99.830 jiwa), dan Hindu (73.148 jiwa).
Jumlah angkatan kerja pada 2022 sebanyak 4,50 juta orang. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian sebesar 45,91 persen. Kemudian bekerja di sektor perdagangan 16,48 persen, dan sektor industri sebesar 6,23 persen.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Rumah Baghi (rumah kuno) yang ada di Desa Bangke, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Minggu (6/11/20). Rumah ini merupakan rumah khas suku Pasemah yang sampai sekarang masih berdiri. Bahkan di desa ini ada Rumah Baghi yang usianya sampai 300 tahun.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
70,90 (2022)
Umur Harapan Hidup
70,32 tahun (2022)
Harapan Lama Sekolah
12,55 tahun (2022)
Rata-rata Lama Sekolah
8,37 tahun (2022)
Pengeluaran riil per Kapita
Rp 11,109 juta/tahun (2022)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
4,63 persen (2022)
Tingkat Kemiskinan
11,90 persen (2022)
Rasio Gini
0,339 (2022)
Kesejahteraan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Selatan dalam kurun 12 tahun terakhir terus meningkat dari 64,44 pada tahun 2010 menjadi 70,90 pada tahun 2022. Status IPM Sumsel tersebut masuk dalam kategori “tinggi”.
Dimensi kesehatan yang diwakili oleh umur harapan hidup (UHH) meningkat dari 69,18 tahun pada 2017 menjadi 70,32 tahun pada 2022. Adapun wilayah dengan UHH tertinggi adalah Kota Palembang (71,49 tahun) dan terendah yakni Kabupaten Empat Lawang (65,45 tahun).
Pada dimensi pendidikan, angka harapan lama sekolah (HLS) Provinsi Sumatera Selatan meningkat dari 12,35 tahun pada tahun 2017 menjadi 12,55 tahun pada tahun 2022. Wilayah dengan HLS tertinggi adalah Kota Palembang (14,43 tahun) dan terendah di Kabupaten Musi Rawas Utara (11,61 tahun).
Rata-rata lama sekolah (RLS) pada tahun 2022 yakni 8,37 tahun atau telah menyelesaikan pendidikan hingga kelas VIII. RLS tersebut meningkat jika dibandingkan pada lima tahun lalu selama 7,99 tahun. Wilayah dengan RLS tertinggi pada tahun 2022 adalah Kota Palembang yaitu 10,91 tahun, sedangkan terendah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir selama 7,06 tahun.
Pengeluaran riil per kapita tahun 2022 Sumatera Selatan adalah Rp 11,109 juta per kapita per tahun. Pengeluaran per kapita tahun 2022 meningkat dibanding tahun 2021 sebesar Rp10,662 juta.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Sumatera Selatan pada Agustus 2022 mencapai 4,63 persen. Angka tersebut menurun jika dibandingkan bulan Agusutus 2021 yakni 7,02 persen.
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Selatan pada bulan September 2022 mencapai 1.054,99 orang atau 11,95 persen dari total penduduk. Dibandingkan keadaan Maret 2022, jumlah penduduk miskin naik sebanyak 10,3 ribu orang.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada bulan September 2022 yakni 11,37 persen, menurun 0,62 persen jika dibandingkan bulan September 2021 yakni 11,99 persen. Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2022 yakni 12,30 persen, turun jika dibandingkan September 2022 yakni 13,28 persen.
Adapun tingkat ketimpangan atau gini ratio Sumatera Selatan pada 2022 sebesar 0,339 persen sehingga masuk dalam kategori ketimpangan rendah. Angka ini meningkat dibandingkan gini ratio tahun 2021 yakni 0,341 persen.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para siswa berangkat sekolah menggunakan getek saat melintasi Sungai Ogan, 16 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (31/7/2019). Getek menjadi alat transportasi siswa berangkat dan pulang sekolah karena memperpendek jarak tempuh 5-7 kilometer jika dibandingkan melalui jalan darat. Ongkos pergi-pulang menggunakan getek Rp 3.000 per orang. Sungai Ogan yang merupakan anak sungai Musi, menjadi urat nadi masyarakat di kawasan ini.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rp 4,93 triliun (2022)
Dana Perimbangan
Rp 5,02 triliun (2022)
Lain-lain Pendapatan yang Sah
Rp 15,23 miliar (2022)
Pertumbuhan Ekonomi
5,23 persen (2022)
PDRB per kapita
Rp 68,34 juta/tahun (2022)
Inflasi
5,94 persen (2022)
Nilai Ekspor
7,58 miliar dolar AS (2022)
Nilai Impor
0,91 juta dolar AS (2022)
Ekonomi
Perekonomian Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2022 mencapai Rp 591,60 triliun, meningkat Rp 97,95 triliun dibandingkan PDRB tahun 2021 sebesar Rp 493,65 trilium.
Sektor pertambangan dan penggalian (27,64 persen) serta industri pengolahan (17,50 persen) menjadi penyumbang tertinggi. Selanjutnya, ada tiga sektor utama lainnya yang berkontribusi cukup besar membentuk PDRB. Ketiga sektor itu adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan (14,39 persen), perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor (13,23 persen) serta konstruksi (10,64 persen).
Di sektor pertambangan, provinsi ini kaya akan sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Di sektor industri pengolahan, jumlah Industri pengolahan skala UMK mencapai 74.795 usaha (99,54 persen) dan menyerap 1,14 juta tenaga kerja. Sementara skala UMB sejumlah 356 usaha (4,55 persen) dan menyerap 6,23 persen pada tahun 2019.
Adapun di sektor pertanian, Sumatera Selatan memiliki sumber daya lahan yang sangat bervariatif. Daerah ini termasuk salah satu daerah yang memiliki Program Lumbung Pangan Nasional. Dengan luas wilayah mencapai 8,7 juta hektar, penggunaan lahan di wilayah Sumatera Selatan sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian sebesar 61,1 persen dari total lahan yang ada di Sumatera Selatan.
PDRB per kapita Sumsel terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, PDRB per Kapita masih sebesar Rp 50,10 juta/tahun, meningkat menjadi Rp 68,34 juta/tahun pada tahun 2022.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumsel tahun 2022 sebesar Rp 4,93 triliun. PAD tersebut terus meningkat sejak tahun 2020 (Rp 3,37 triliun) dan 2021 (Rp 3,86 triliun). Adapun dana perimbangan tahun 2022 sebesar Rp 5,02 triliun dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp 15,90 miliar.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan pada 2022 tercatat sebesar 5,23 persen atau tertinggi di Pulau Sumatera. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi provinsi itu pada 2021.
Nilai ekspor Provinsi Sumatera Selatan pada 2022 mencapai 7,58 miliar dolar AS. Nilai tersebut naik dibandingkan ekspor 2021 sebesar 5,29 miliar dolar AS. Komoditas ekspor didominasi oleh karet, bubur kayu/pulp, dan batubara. China, Malaysia, dan Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor.
Nilai impor Provinsi Sumatera Selatan pada 2022 sebesar 0,91 miliar dolar AS, turun jika dibandingkan pada 2021 sebesar 0,95 miliar dolar AS . Komoditas impor terbesar adalah peralatan industri, pupuk, peralatan elektrik, besi, dan baja. Negara importir utama selama periode Januari-September 2020 yaitu China, Malaysia, dan Singapura.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Panorama keindahan Danau Ranau, Desa Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Jumat (10/3/2017). OKU Selatan memiliki potensi pertanian, perkebunan, dan pariwisata yang tinggi. Namun, sayang, potensi itu belum dimaksimalkan pemerintah setempat. Setidaknya, akses jalan masih rusak parah dan energi listrik sangat terbatas di sana. Akibatnya, sektor pertanian, perkebunan, dan pariwisata di sana tidak berkembang.
Di sektor pariwisata, Sumatra Selatan memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi dan beraneka ragam, baik wisata alam, sejarah maupun budaya. Wisata alamnya adalah Danau Ranau di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Musi Rawas, dan Musi Banyuasin. Panorama air terjun terdapat di Kabupaten Muara Enim dan Lahat.
Wisata budaya meliputi Bukit Serelo, Gunung Dempo, Rumah Limas sedangkan wisata sejarahnya antara lain situs Sri Wijaya berupa batu purbakala, patung kuno, dan museum di Palembang, kompleks Pemakaman di Bukit Siguntang serta Benteng Kuto Besak.
Referensi
- “Bahasa Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang *Teropong”, Kompas, 29 Sep 2003 hal. 30
- “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Sumatera Selatan * Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 06 Februari 2004, hal. 32
- “Pemimpin yang Tegas Dinantikan Masyarakat Sumatera Selatan * Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 01 Juni 2004, hal. 32
- “Jejak Sejarah: Menanti Kebangkitan Kembali “Macan Asia”, Kompas, 25 Agustus 2008, hal. 50
- “Pilgub di “Jagat Sumsel”: Mengukur Kekuatan Ulu dan Ilir”, Kompas, 29 Agustus 2008, hal. 73
- “Peta Politik: Sumatera Selatan * Perubahan Orientasi Pemilih Sumsel”, Kompas, 9 Februari 2009, hal. 42
- “Era Masyumi di Sumsel”, Kompas, 9 Februari 2009, hal. 42
- “Hasil Pemilu : Sumatera Selatan * Beringin yang Kian Menyeruak”, Kompas, 30 Mei 2009, hal. 08
- “Duri di Balik Mahkota”, Kompas, 11 Februari 2014, hal. 05
- “Situs Basemah: Arkeolog Temukan Bilik Batu Megalitik”, Kompas, 06 April 2017, hal. 11
- Abdullah, Ma’moen. 1992. Sejarah Daerah Sumatera Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Propinsi Sumatera Selatan
- Wiradnyana, Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara: Kontrobusinya Pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Diansyah, Arfan. 2019. Prasejarah Indonesia. Medan: Yayasan Kita Menulis.
- Sepriady, Jeki. 2017. “Jejak Kesultanan Palembang Darussalam di Kabupaten Banyuasin”. Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah. Vol. 3 No. 2
- Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2023, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan
- Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha 2018-2022, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan
- Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Selatan Agustus 2022, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan
- Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Sumatera Selatan 2022, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan
- Mereka yang Pernah Menakhodai Sumatera Selatan, laman Kompas.com, 23 Agustus 2008
- Rekapitulasi KPU: Gerindra Raih Suara Tertinggi di Sumsel, laman Kompas.com, 15 Mei 2019
- Sejarah Terbentuknya Kerajaan Sriwijaya, laman Kompas.com, 15 September 2020
- Batanghari Sembilan, Saksi Kejayaan Rempah Sumatera, laman Kompas.id, 5 Agustus 2020
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959 tentang Penetapan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan” dan “Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1955 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 (Lembaran-Negara Tahun 1955 No. 52), Sebagai Undang-Undang
Penulis
Antonius Purwanto
Kontributor
Theresia Bella Callista
Editor
Ignatius Kristanto