Daerah

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal luas dengan hamparan padang savana, laut, dan pulau yang berpotensi untuk dikembangkan di bidang pariwisata dan peternakan. Namun di sisi lain, pengentasan kemiskinan masih menjadi tantangan di “Bumi Flobamora” ini.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Komodo jantan (Varanus komodonensis) di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/12/2010). TN Komodo yang masuk nominasi tujuh keajaiban dunia saat ini memiliki populasi 2.500 komodo yang tersebar di empat pulau.

Fakta Singkat

Ibukota
Kupang

Hari Jadi
20 Desember 1958

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 64/1958

Luas Wilayah
47.931,54 km2

Jumlah Penduduk
5.456.203 jiwa (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Viktor Laiskodat

Wakil Gubernur Josef Nae Soi

Provinsi Nusa Tenggara Timur atau biasa disebut NTT terletak di bagian tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari empat pulau besar, yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, dan Pulau Alor serta 562 pulau lainnya.

Wilayah kepulauan ini bisa dikatakan sebagai surga wisata untuk Kawasan Timur Indonesia. Hampir sebagian besar pulau di wilayah ini memiliki beragam panorama alam yang menarik. Selain pegunungan dan perbukitan, ada pula kawasan padang rumput luas yang dikenal sebagai stepa dan sabana.

Selain itu, NTT juga memiliki Taman Nasional Komodo yang merupakan pulau konservasi dan telah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai salah satu warisan dunia.

Wilayah NTT awalnya tergabung dalam Provinsi Nusa Tenggara berdasarkan UU Darurat Nomor 9 Tahun 1954. Kemudian berdasarkan UU Nomor 64 Tahun 1958, Provinsi Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga Daerah Tingkat I yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari Flores, Sumba, dan daerah Timur beserta kepulauannya. Ibukotanya ditetapkan di Kupang. Hari jadi provinsi ini ditetapkan pada tanggal 20 Desember 1958.

Daerah dengan luas 47.931,54 kilometer persegi ini berpenduduk  5,45 juta jiwa. Saat ini, NTT memiliki 21 kabupaten dan 1 kota, 309 kecamatan, dan 3.353 desa/kelurahan. Kepala daerah yang sedang menjabat saat ini adalah Gubernur Viktor Laiskodat dengan Wakil Gubernur Josef Nae Soi.

Sejarah Pembentukan

Di balik alamnya yang indah, NTT menyimpan beragam warisan situs prasejarah manusia purba. Di daerah ini, ditemukan sejumlah situs arkeologis seperti Liang Bua di Pulau Flores, Lewoleba di Pulau Lembata, Melolo di Pulau Sumba, dan Ntodo Leseh di Pulau Komodo.

Situs-situs prasejarah tersebut diperkirakan berusia 1500-4000 tahun dan berasal dari transisi zaman Neolitik akhir ke permulaan zaman logam seperti disebut pada jurnal berjudul “Karakteristik-Karakteristik Epigenetis dan Metris Upper Viscerocranium Manusia Prasejarah Liang Bua, Lewoleba, Melolo dan Ntodo Leseh di Nusa Tenggara Timur”.

Situs Gua Liang Bua pertama kali diteliti pada tahun 1965 oleh Theodore Verhoeven, misionaris Katolik asal Belanda yang mengajar di Seminari Todabelu, Mataloko, Kabupaten Ngada. Dalam penelitiannya, ditemukan sejumlah artefak batu (serpih), tembikar, dan beliung persegi. Ditemukan pula fosil Homo Floresiensis.

Situs Lewoleba terletak di Kelurahan Lewoleba, Kecamatan Nabatukan, Kabupaten Lembata. Situs ini berada di tepi pantai Teluk Lewoleba. Lokasinya terbentang dari timur ke barat kurang lebih 10 kilometer di sepanjang pantai. Di situs ini, ditemukan antara lain tempayan dan dua penguburan terbuka serta beberapa fragmen tulang dan beberapa pecahan tembikar.

Di Melolo, ditemukan 18 fragmen tengkorak, pecahan rangka, dan gigi-geligi lepas manusia yang dikuburkan beserta dengan bekal kubur berupa manik-manik dan gelang dari cangkang kerang, serta periuk dan kendi dari tanah liat. Rangka tersebut menunjukkan ciri-ciri manusia purba jenis Australomelanesid. Penemuan ini juga membuktikan adanya kehidupan berkelompok dan ritual.

Adapun di situs Ntodo Leseh ditemukan sejumlah alat batu Epipaleolitik dan Neolitik, pecahan gerabah polos, beragam hias geometris, manik-manik, cincin perunggu, kerang dan siput sisa-sisa makanan, serta dua tengkorak laki-laki dan perempuan yang berasal dari dua rangka yang dikubur dalam posisi kneechest   dengan kepala di barat.

Berdasarkan buku “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur”, pada masa lampau NTT terdiri dari wilayah-wilayah kecil antara lain Pulau Sumba, Pulau Flores, Pulau Timur, Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Adonara, Pulau Lomblen, Pulau Solor, Pulau Rote, Pulau Sabu, dan beberapa pulau kecil lainnya. Pada masa itu, masing-masing daerah tidak memiliki kesatuan pemerintahan.

Sumber sejarah menyebutkan beberapa kerajaan kecil tersebut pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Gajah Mada berusaha mengembangkan politik nusantara. Majapahit menguasai beberapa wilayah yang dianggapnya strategis seperti Pulau Sabu, Pulau Sumba, dan Pulau Solor beserta wilayah sekitarnya.

Kekuasaan Kerajaan Majapahit mulai mengendor ketika Gajah Mada dan Hayam Wuruk wafat. Seiring menghilangnya kekuasaan Majapahit, kekuasaan kerajaan Islam seperti Kerajaan Ternate, Gowa, dan Bima mulai memasuki wilayah NTT. Kerajaan Gowa menguasai wilayah Flores Timur dan Kerajaan Bima menguasai wilayah Flores Barat.

Wilayah NTT kemudian dikuasai oleh Portugis usai kedatangannya dalam rangka mengambil alih rempah-rempah di Nusantara. Saat itu, Suku Bunaq merupakan salah satu suku di wilayah di NTT yang terkenal dengan hasil rempah-rempahnya. Portugis memanfaatkan hal tersebut dengan melakukan sistem tanam paksa dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di NTT.

Peninggalan pada masa penjajahan Portugis masih terlihat jelas di Flores. Peninggalan tersebut antara lain berupa bangunan gereja, benteng, penggunaan nama-nama Portugis seperti Fernanez, Da Lopez, dan Da Silva, juga ritual tahunan keagamaaan Katolik yang dikenal dengan nama Semana Santa.

Namun, pada saat itu pula, Belanda berusaha merebut kekuasaan Portugis. Pada tahun 1613, Belanda berhasil merebut benteng Portugis di Solor dan sejak saat itu terjadi perebutan wilayah dan sengketa tanah antara Belanda dan Portugis.

Pada tanggal 6 Juni 1735, Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Timor, Solor, dan Sumba yang berakhir dengan diberikannya monopoli dagang bagi Belanda dan pengakuan kedaulatan Belanda. Usaha tersebut terus berlanjut. Dari tahun 1900 hingga 1927 terdapat 73 kontrak Korte Verkaling dengan raja-raja kecil.

Sengketa antara Belanda dan Portugis tersebut berlangsung hingga diadakan perjanjian Lisbon pada tanggal 10 Juni 1893 dan ditandatangani pada tanggal 1 Oktober 1904. Dalam Perjanjian Lisbon tersebut, wilayah NTT diserahkan kepada Inggris, sedangkan Portugis mendapatkan Timor Timur.

Untuk melaksanakan pemerintahan di NTT, berdasarkan Zelf Bustuur Regelen yang tercantum dalam Indische Staatsblad 1916 No. 331 dan tahun 1916 No. 372, Belanda menetapkan berdirinya wilayah keresidenan Timor dan daerah taklukannya, dengan pusat pemerintahan berada di Kupang. Wilayah keresidenan Timor terdiri dari 3 afdeeling, 15 onderafdeeling, dan 48 wilayah Swapraja.

Afdeeling tersebut adalah afdeeling Timor, Flores, dan Sumbawa-Sumba. Pada afdeeling Timor terdapat onderafdeeling Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Alor. Pada afdeeling Flores terdapat onderafdeeling Ende, Flores Timur, Maumere, Ngada, dan Manggarai. Pada afdeeling Sumbawa-Sumba terdapat onderafdeeling Bima, Sumbawa, Sumba, dan Sumba Barat.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana di Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang tengah berlangsung ekskavasi arkeologi, Sabtu (3/8/2019). Ekskavasi di Liang Bua tersebut merupakan lanjutan dari temuan fosil manusia kerdil yang kemudian dikenal dengan Homo Floresiensis di kedalaman 6 meter pada tahun 2003. Fosil Homo Floresiensis yang ditemukan diperkirakan berumur 190.000 sampai 50.000 tahun yang lalu.

Pemerintahan Belanda berakhir ketika tentara Jepang memasuki NTT pada tahun 1942. Saat itu, pemerintahan beralih di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang pusatnya berkedudukan di Makassar. Indonesia bagian Timur dipimpin oleh Minseibu yang berkedudukan di Makassar. Nusa Tenggara merupakan wilayah Syoo Sunda Syu yang berada di bawah Minseibu Cokan. Di bawah Minseibu Cokan, terdapat Syoo Sunda Sukai Lin. Syoo Sunba Sukai Lin di NTT adalah HA Koroh dan IH Doko.

Pemerintahan di NTT pada masa penjajahan Jepang tidak mengalami banyak perubahan. Di NTT, terdapat tiga afdeeling yang dibentuk pada masa pemerintahan Belanda, namun nama afdeeling diganti menjadi ken, yakni menjadi Timor Ken, Sumba Ken, Flores Ken. Tiap Ken dikepalai oleh Bunken Kanrikan (sebelumnya bernama onderafdeeling).

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali datang ke NTT untuk merebut kembali kekuasaannya, namun hal tersebut berhasil digagalkan oleh rakyat NTT.

Pada 24 Desember 1946, dilaksanakan Konferensi Denpasar yang membuahkan hasil dibentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang terdiri dari 14 daerah. Tiga diantaranya adalah wilayah NTT yaitu Sumba, Timor, dan Flores. Pada awalnya ketiga wilayah tersebut diperintah oleh seorang residen, namun pada tanggal 20 Oktober 1949, kekuasaannya diserahkan kepada Kepala Daerah Timur yakni HA Koroh.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1950 dibentuklah daerah administratif Sunda Kecil dan NTT menjadi bagian dari Sunda Kecil. Berdasarkan UU Darurat Nomor 9 tahun 1954 nama Sunda Kecil diubah menjadi Nusa Tenggara.

Berdasarkan UU Nomor 64 tahun 1958, Provinsi Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga Daerah Tingkat I, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur terdiri dari daerah Flores, Sumba, dan daerah Timor beserta kepulauannya.

Geografis

Provinsi NTT terletak antara 8-12° Lintang Selatan dan 118°-125° Bujur Timur. Di sebelah utara, NTT berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan di sebelah timur berbatasan dengan Negara Timor Leste.

Luas wilayah daratan NTT sekitar 47.931,54 kilometer persegi atau setara dengan 2,5 persen dari wilayah Indonesia. Dari luas tersebut, sebesar 30,74 persen merupakan wilayah Timor, 27,36 persen wilayah Flores, 22,96 persen wilayah Sumba, 6,11 persen wilayah Alor, 2,64 persen wilayah Lembata, dan wilayah lainnya sebesar 10,19 persen.

NTT memiliki 15 gunung berapi aktif yang tersebar dalam tujuh wilayah. Kelimabelas gunung itu adalah Gunung Sirung (Alor), Gunung Batu Tara (Lembata), Gunung Lewotobi Laki-laki , Gunung Lewotobi Perempuan, Gunung Lera Boleng, Gunung Ile Boleng, Gunung Ile Lewotolo, Gunung Ile Werung, dan Gunung Hobal (Flores Timur). Kemudian Gunung Egon (Sikka), Gunung Iya, Gunung Kelimutu, dan Gunung Roka Tenda (Ende), Gunung Innie Lika, Gunung Ebo Lobo, Gunung Innie Ria (Ngada), dan Gunung Anak Ranaka (Manggarai).

NTT memiliki 57 sungai. Terbanyak berada di wilayah Kupang yakni 8 sungai. Sungai terpanjang di NTT adalah sungai Kambaniru yang terletak di Sumba Timur dengan panjang mencapai 1.171 kilometer.

NTT termasuk daerah rawan bencana alam seperti gunung meletus, kekeringan, banjir, longsor, puting beliung, abrasi pantai, dan gelombang pasang. Hal itu tak lepas dari letak geografisnya yang berada dalam Ring of The Fire atau di atas lingkaran gunung api.

KOMPAS/ANITA YOSSIHARA

Kawasan wisata Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur menjadi destinasi wisata prioritas nasional. Pemerintah terus melakukan penataan dengan membangun berbagai sarana penunjang pariwisata. Foto diambil Rabu (10/7/2019).

Pemerintahan

Sejak resmi menjadi provinsi, NTT telah dipimpin oleh 8 gubernur dan 2 penjabat gubernur. Gubernur pertama NTT adalah William Johanes Lalamentik. Ia memulai masa jabatannya pada tanggal 20 Desember 1958 dan berakhir pada tahun 1968. Selama kepemimpinannya, tak ada wakil gubernur.

Gubernur selanjutnya adalah El Tari yang menjabat selama 10 tahun, antara 1968 hingga 1978. Selama menjabat, El Tari mengambil kebijakan pembentukan desa gaya baru dari kerajaan-kerajaan tradisional. Kemudian Wang Suwandi menjadi Penjabat Gubernur NTT dengan masa bhakti antara tanggal 29 April 1978 hingga tanggal 16 Juni 1978.

Gubernur NTT ketiga adalah Aloysius Benedictus Mboi atau sering disapa dengan nama Ben Mboi. Ia menjabat gubernur selama dua periode, yakni 1978-1983 dan 1983-1988. Saat menjabat, Ben Mboi didampingi Wakil Gubernur G Boeky (1986-1991)

Gubernur NTT selanjutnya adalah Hendrik Fernandez (1988-1993). Dalam masa kepemimpinannya, Hendrik memiliki Wakil Gubernur yakni Godlief Boeky (1988-1991)  dan SHM Lerrick (1991-1993). Gubernur kelima NTT adalah Herman Musakabe (1993-1998). Dalam kepemimpinannya, Herman didampingi oleh Wakil Gubernur SHM Lerick (1991-1996) dan Piet Alexander Tallo (1996-1998).

Selanjutnya Piet Alexander Tallo menjabat Gubernur NTT selama dua periode (1998-2003 dan 2003-2008). Selama memimpin NTT, Piet A Tallo didampingi Wakil Gubernur Johanes Pake Pani (1998-2003) dan Frans Lebu Raya (2002-2008).

Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT selanjutnya. Frans menjabat selama dua periode (16 Juli 2008-16 Juli 2013 dan 16 Juli 2013-16 Juli 2018). Selama memimpin NTT, Frans didampingi Wakil Gubernur Esthon L Foenay (2008-2013) dan Benny Alexander Litelnoni (2013-2018).

NTT kemudian dipimpin oleh Pejabat Gubernur Robert Simbolon dari tanggal 17 Juli 2018 hingga 5 September 2018. Saat ini, NTT dipimpin oleh Viktor Bungtilu Laiskodat atau yang dikenal dengan panggilan Viktor Laiskodat yang memulai masa jabatannya pada 5 September 2018 dengan wakilnya Josef Nae Soi.

NTT memiliki 106.586 PNS pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, PNS perempuan sebanyak 54.542 orang sedangkan PNS laki-laki sebanyak 52.044 orang. Tingkat pendidikan PNS di NTT sebagian besar adalah Diploma dan Sarjana yang jumlahnya mencapai 50,04 persen, kemudian 26,89 persen PNS berpendidikan SMA, dan PNS yang berpendidikan SMP dan SD, masing-masing sebesar 0,73 persen dan 0,68 persen.

KOMPAS/DAMYAN GODHO

Brigjen Aloysius Ben Mboi dilantik menjadi Gubernur NTT untuk masa jabatan kedua (1983-1988) oleh Mendagri Soepardjo Rustam, Jumat malam, 1 Juli 1983, dalam sidang khusus DPRD NTT di Kupang.

Politik

Pada pemilu pertama tahun 1955, peta politik NTT didominasi oleh Partai Katolik, sedangkan partai-partai lain kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Selain Partai Katolik, masih ada 14 partai politik, 4 organisasi kelompok pemilih, dan 2 peserta individual yang bertarung memperebutkan suara dari 968.319 penduduk yang terdaftar sebagai pemilih saat itu.

Dalam pemilu tersebut, Partai Katolik berhasil meraup suara terbanyak hingga 48,7 persen suara. Selanjutnya, peringkat kedua ditempati Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan meraih 212.720 atau sekitar 22,6 persen suara. Sementara Masyumi menempati posisi ketiga dengan mengantongi 92.336 suara (9,8 persen).

PNI yang saat itu menjadi pemenang pemilu secara nasional, di NTT hanya berhasil mengumpulkan 3,5 persen suara. Meskipun demikian, perolehan suara PNI dan Masyumi masih lebih baik ketimbang PKI, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Perti, serta beberapa kontestan pemilu lainnya yang tidak mampu menembus angka satu persen dalam menggalang suara pemilih di provinsi yang terletak di kawasan timur Indonesia ini.

Unggulnya partai-partai berbasis agama Katolik dan Kristen di NTT tersebut merupakan cerminan warisan pengaruh bangsa Portugis dan Belanda di kawasan “Flobamora” (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) ini. Pada masa itu agama Katolik dan Kristen banyak berkembang di Timor Barat, Pulau Rote, Sawu, dan Pulau Sumba. Karena itu, penyebaran basis massa pendukung kedua partai tersebut lalu terpetakan mengikuti jalur penyebaran agama di masa lalu.

Pada masa Orde Baru, yakni Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, kejayaan partai Katolik mulai kehilangan eksistensinya dan digantikan oleh dominasi partai Golkar. Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang menjadi induk dari Partai Katolik, Parkindo, PNI, IPKI, dan Murba pada kenyataannya juga tidak mampu berbuat banyak menghadapi dominasi Golkar.

Kekuatan Golkar pada masa ini tidak dapat ditandingi oleh partai lainnya. Dibuktikan dari perolehan suara Golkar pada Pemilu 1977 dimana dari 1.308.616 pemilih, sebanyak 1.182.116 (90,3 persen) memilih Golkar. Sebanyak 11 kursi (92 persen) dari 12 kursi DPR diraihnya.

Golkar sendiri pada Pemilu berikutnya tahun 1982 memperoleh kemenangan mutlak karena mampu merebut 96,4 persen. Seluruh kursi DPR diboyong. Begitupun pada Pemilu 1987, perolehan PDI dan PPP tidak kalah buruknya dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kendati perolehan suara PDI meningkat, Golkar masih mendominasi hingga 94,7 persen suara dan memboyong semua kursi DPR.

Pada Pemilu 1992, Golkar masih berkuasa dengan perolehan suara 91,2 persen dari 1,770.766 pemilih. Namun, pada pemilu tersebut Golkar kehilangan satu kursinya, sedangkan PDI memperoleh satu kursi di DPR. Pada pemilu berikutnya tahun 1997 Golkar kembali merebut kursi DPR dan tidak menyisakan bagi partai lainnya.

KOMPAS/M SJAFEI HASSANBASARI

Kampanye Pemilu 1977. Kedatangan Menteri Perhubungan Emil Salim dan Menteri Perdagangan Radius Prawiro di Kupang untuk membuka Lokakarya Pemasaran Ternak Kasus NTT tanggal 16 Maret 1977 rupanya benar-benar dimanfaatkan untuk kampanye oleh Golkar DPD Nusa Tenggara Timur.

Pada Pemilu 1999, tercatat 48 partai politik yang mengambil bagian untuk memperebutkan 1.918.007 masyarakat NTT yang terdaftar sebagai pemilih. Golkar saat itu berhasil merebut suara terbanyak hingga 40,8 persen suara pemilih. Sementara PDI Perjuangan (PDI-P), partai yang digandrungi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, saat itu hanya meraih 38,4 persen, terpaut satu peringkat di bawah Golkar.

Pemilu berikutnya tahun 2004 tetap dimenangkan oleh Golkar dengan perolehan suara 33 persen, PDI-P menyusul dengan perolehan suara 20 persen, sementara partai-partai lainnya seperti Demokrat, PDS, PAN, PPP, PKB, dan PKS tertinggal jauh dari kedua partai tersebut. Partai-partai ini hanya memperoleh suara di bawah 5 persen.

Dalam Pemilu 2004, Partai Golkar kembali memenangkan 14 dari 16 kabupaten/kota sedangkan PDI-P hanya menguasai dua kabupaten. Golkar juga menyapu lima dari 13 kursi yang tersedia, sementara PDI-P tiga kursi.

Kendati perolehan suara Golkar menurun pada Pemilu 2009, namun Golkar tetap mennguasai panggung politik NTT. Pada pemilu tersebut, Golkar meraih suara sebesar 19 persen, disusul oleh dengan perolehan suara 11 persen, kemudian PDIP meraih 10 persen suara. Sedangkan partai-partai lainnya belum banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat NTT.

Pada Pemilu 2014, terdapat 12 partai yang memperebutkan 2.355.161 juta suara di NTT. Dalam pemilu kali ini, Golkar masih memperoleh suara terbanyak dengan 452.196 suara (19,20 persen), disusul oleh PDI-P dengan perolehan 403.821 suara (17,15 persen), Demokrat memperoleh 316.010 suara (13,42 persen), dan Nasdem memperoleh 270.964 suara (11,51 persen). Sedangkan partai-partai lainnya memperoleh suara di bawah 10 persen.

Pada Pemilu 2019, terdapat 16 partai yang memperebutkan 2.971.216 suara di NTT. Dari ke-16 partai tersebut, Nasdem berhasil mengalahkan Golkar dan PDI-P dengan meraih 510.574 suara (17,2 persen). Di tempat kedua diraih oleh oleh PDI-P dengan perolehan 450.635 suara (15,1 persen), dan  di tempat ketiga diduduki Golkar dengan perolehan 365.266 suara (12,2 persen). Sementara partai-partai lainnya memperoleh suara di bawah 10 persen.

Kependudukan

Populasi penduduk provinsi NTT tahun 2019 diproyeksikan sebanyak 5.456.203 jiwa yang terdiri dari 2.702.264 laki-laki dan 2.753.939 perempuan. Penduduk terbanyak berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (8,58 persen), sedangkan Penduduk paling sedikit berada di Kabupaten Sumba Tengah (1,33 persen).

NTT memiliki 16 etnis asli yang tersebar di wilayah NTT  berdasarkan jurnal berjudul “Pengukuran Gatra Sosial Budaya di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Etnis Helong berada di sebagian wilayah Kabupaten Kupang, Kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau. Etnis Dawan di sebagian wilayah Kupang, Kecamatan Amarasi, Amfoang, Kupang Timur, Kupang Tengah, Kabupaten Timor Tengah selatan, Timor Tengah Utara, Belu (wilayah perbatasan). Etnis Tetun di sebagian besar Kabupaten Belu dan wilayah Negara Timor Leste.

Etnis Kemak berada di sebagian kecil Kabupaten Belu dan wilayah Negara Timor Leste, etnis Marae di sebagian kecil Kabupaten Belu bagian utara dekat dengan perbatasan Negara Timor Leste, etnis Rote di sebagian besar Pulau Rote dan sepanjang pantai utara Kabupaten Kupang dan Pulau Semau, etnis Sabu/Rae Havu di Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa daerah di Sumba, etnis Sumba di Pulau Sumba.

Etnis Manggarai Riung di Pulau Flores bagian barat terutama Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, etnis Ngada di Sebagian besar Kabupaten Ngada, etnis Ende Lio di Kabupaten Ende. Kemudian etnis Sikka-Krowe Muhang di Kabupaten Sikka, etnis Lamaholor di Kabupaten Flores Timur meliputi Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian Pulau Lomblen, etnis Kedang di Ujung Timur Pulau Lomblen, etnis Labala di ujung selatan Pulau Lomblen, dan terakhir etnis Pulau Alor di Pulau Alor dan Pulau Pantar.

Di NTT, terdapat 72 bahasa asli menurut Kemendikbud. Beberapa di antaranya yaitu Abui, Adang, Alor, Anakalang, Bajo, Bajo Delang, Batu, Blagar, Buna, Dawan, Deing, Dulolong, Gaura, Hamap, Helong, Hewa, Kabola, Kaera, Kafoa, Kalela, Kamang, Kambera, Kambera Pandawai, Kedang, Kemak, Kiraman, Klamu, Klon, Kodi, Kolana, Komodo, Kui, Kulatera, Labala, Lamaholot, Lamatuka, Lamboya, Lewuka, Lio, Lona, Lura, Mambora, Manggarai, Manulea, Melayu, Nage, Namut, Ndao, Ndora, Nedebang, Ngada, Omesuri, Palu e, Pura, Raijua, Retta, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sar, Sawila, Sikka, So a, Sumba Barat, Tabundung, Teiwa, Tetun, Tewa, Wanukaka, Wersing, dan Wewewa.

Mayoritas penduduk NTT beragama Katolik yaitu 52,48 persen dari seluruh penduduk, diikuti oleh pemeluk agama Kristen Protestan yang mencapai 39,03 persen, pemeluk agama Islam 8,28 persen, pemeluk agama Hindu 0,20 persen dan pemeluk agama Budha 0,01 persen.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kuda dan kubur batu di kampung adat Ratenggaro di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Senin (22/4/2019). Kampung adat itu dulu bernama Managa Wuku dan diyakini Rato Ndelo bersama kelompoknya sebagai orang pertama yang mendirikan dan mendiami Ratenggaro.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
65,19 (2020)

Umur Harapan Hidup 
67,01 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
13,18 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
7,63 tahun (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
4,28 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
20,90 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,354 (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan Manusia di NTT terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2014, IPM NTT tercatat sebesar 62,26 kemudian terus meningkat hingga di tahun 2020 IPM NTT tercatat 65,19.

Sejak tahun 2011, pembangunan manusia NTT masih berada di status “sedang”. IPM NTT pada tahun 2020 tumbuh sebesar 8,22 persen dibandingkan tahun 2011.

Peningkatan IPM tersebut didukung oleh peningkatan komponen pendukungnya. Umur harapan hidup (UHH) tahun 2020 tercatat 67,01 tahun, harapan lama sekolah (HLS) mencapai 13,18 tahun, dan rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat 7,63 tahun. Adapun pengeluaran riil per kapita NTT tahun 2020 tercatat Rp 7,59 juta.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2020 mencapai 4,28 persen atau 0,12 juta orang, meningkat 1,14 persen dibandingkan dengan Agustus 2019. Adapun angkatan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 2,85 juta orang, naik 0,15 juta orang dibanding Agustus 2019. Sejalan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga naik sebesar 2,77 persen.

NTT termasuk provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi. Data BPS  NTT menunjukkan, jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2020 sebanyak 1.153,76 ribu orang (20,90 persen) dari 5,2 juta penduduk. Sejak tahun 2015, NTT menjadi provinsi dengan kemiskinan tertinggi nomor tiga di Indonesia, di bawah Provinsi Papua (26,64 persen) dan Provinsi Papua Barat (21,37 persen). Meskipun tren jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibandingkan dengan 2015, jumlahnya tak signifikan mengangkat NTT ke peringkat lebih baik.

Pada Maret 2020, tingkat ketimpangan penduduk NTT tercatat sebesar 0,354. Tingkat ketimpangan tersebut tidak jauh berbeda dengan tingkat ketimpangan pada September 2019.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Bocah-bocah usia sekolah tidak menikmati pendidikan dan tinggal bersama orangtua di rumah gubuk. Kemiskinan terus melilit kehidupan sebagian besar warga pedesaan di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 1,25 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 4,06 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
5,20 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 19,59 juta/tahun (2019)

Inflasi
2,33 persen (2019)

Nilai Ekspor
1,51 juta dolar AS (November 2020)

Nilai Impor
1,21 juta dolar AS (November 2020)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT tercatat sebesar Rp 106,89 triliun pada tahun 2019. Dari angka PDRB tersebut, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi penopang utama ekonomi daerah. Kontribusi sektor tersebut mencapai 28 persen dari total PDRB.

Kontribusi PDRB lainnya disumbang sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (13,66 persen), sektor perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor (11,52 persen), dan sektor konstruksi (10,86 persen). Sedangkan sektor lainnya memberikan sumbangsih di bawah 10 persen.

Subsektor peternakan menjadi penyangga utama sektor pertanian yakni sebesar 9,46 persen. Hal ini sejalan dengan kontribusi subsektor peternakan selama tiga tahun terakhir yang cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, subsektor tanaman pangan memberi kontribusi pada sektor pertanian sebesar 8,15 persen. Peran subsektor perikanan walaupun kecil namun memberikan kontribusi yang cukup baik dimana pada tahun 2019 memberi andil sebesar 5,34 persen.

Laju perekonomian NTT cenderung fluktuatif dalam sembilan tahun terakhir. Pada tahun 2010 hingga 2013, laju perekonomian NTT berada di bawah laju perekonomian nasional, kemudian berhasil berada di atas perekonomian nasional pada 2014 hingga 2017, namun kembali turun pada 2018 dan akhirnya naik menjadi 5,20 persen pada 2019.

Pada tahun 2019, pendapatan asli daerah (PAD) NTT tercatat sebesar Rp 1,25 triliun dan dana perimbangan sebesar Rp 4,06 triliun. PDRB per kapita pada tahun 2019 sebesar Rp 19,59 juta/tahun.

Nilai ekspor NTT pada November 2020 sebesar 1,51 juta dolar AS. Nilai ekspor tersebut terdiri dari ekspor migas senilai  74,56 ribu dolar AS dan ekspor non migas senilai 1,43 juta dolar AS. Pada bulan November 2020, komoditas ekspor NTT seluruhnya dikirim ke Timor Leste. Komoditas dengan nilai ekspor terbesar adalah komoditas garam, belerang, dan kapur.

Nilai impor NTT pada November 2020 tercatat 1,21 juta dolar AS. Komoditas impor NTT berasal dari Malaysia dan Korea Selatan. Komoditas terbesar adalah bahan bakar mineral.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Wisatawan mancanegara mengunjungi kampung adat Bena, di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Minggu (4/8/2019). Dalam sepekan desa adat tersebvut sedikitnya dikunjungi oleh 500 orang wisatawan yang 30 persen diantaranya adalah wisatawan mancanegara.

Di sektor pariwisata, NTT termasuk wilayah yang kaya dengan potensi wisata alam dan budaya. Daerah ini memiliki 1.378 destinasi wisata dan merupakan provinsi dengan destinasi wisata unggulan terbanyak di seantero negeri ini.

Di kawasan NTT,  terdapat obyek wisata yang langka, dan bahkan menjadi satu-satunya di dunia, yakni biawak raksasa purba di Komodo (Manggarai Barat), Danau Tiga Warna di Kelimutu (Ende), dan tradisi berburu ikan paus di Lamalera (Lembata).

Selain itu, masih ada tujuh destinasi wisata baru yang mulai dikembangkan, yakni Pantai Liman di Pulau Semau, Kabupaten Kupang; Perairan Mulut Seribu di Kabupaten Rote Ndao; wisata alam dan budaya Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan; wisata Kampung Adat Praimadita, Kabupaten Sumba Timur; wisata pantai di Moru, Kabupaten Alor; dan wisata alam di sekitar Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende.

Kunjungan wisatawan ke NTT pada tahun 2019 mencapai lebih dari 1,4 juta orang. Tahun sebelumnya, 2018, jumlah wisatawan ke NTT sebanyak 1.307.524 wisatawan, terdiri dari wisatawan mancanegara 327.428 orang dan wisatawan domestik berjumlah 980.096.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kegiatan Ekonomi Tidak Menetes ke Bawah *Otonomi”, Kompas, 12 Maret 2001, hal. 30
  • “Otonomi NTT Timbulkan Kegamangan”, Kompas, 12 Maret 2001, hal. 40
  • “Dewan Perwakilan Daerah: Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur *Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 23 Maret 2004, hal. 48
  • “Mari Membangun Flores”, Kompas, 07 November 2003, hal. 42
  • “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Nusa Tenggara Timur * Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 19 Februari 2004, hal. 032
  • “Kemiskinan Masih Menyelimuti NTT * Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 15 Juni 2004, hal. 32
  • “Flores Menuju Kerja Sama Kawasan”, Kompas, 09 Juni 2005, hal. 30
  • “Peta Politik: Nusa Tenggara Timur * Dikotomi dan Aristokrasi dalam Kontestasi”, Kompas, 05 Maret 2009, hal. 08
  • “Enclave di Sunda Kecil”, Kompas, 10 Maret 2009, hal. 08
  • “Peta Politik: Indonesia Timur – Sublimasi Pergulatan Politik Lokal”, Kompas, 10 Maret 2009, hal. 08
  • “Pemberdayaan Daerah: Sistem Agropolitan, Butuh Komitmen Kuat”, Kompas, 16 Oktober 2009, hal. 33
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (1): Gurita Korupsi di Daerah Miskin”, Kompas, 25 May 2010, hal. 05
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (2): Jangan Biarkan NTT Terbelakang”, Kompas, 26 Mei 2010, hal. 05
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (3): Potret Sedekade Lembata”, Kompas, 27 Mei 2010, hal. 05
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (4) : Mangan, Berkah atau Bencana bagi NTT?”, Kompas, 29 Mei 2010, hal. 04
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (5): Bangun Kembali NTT yang Tandus”, Kompas, 31 Mei 2010, hal. 04
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Timur (6-Habis): Di Balik Mosaik Pertumbuhan NTT”, Kompas, 01 Juni 2010, hal. 05
  • “Kontestasi Berbasis Identitas Sosial”, Kompas, 22 Maret 2018, hal. 04
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto