KOMPAS/AGUS SUSANTO
Payung seakan beterbangan di sekitar Tugu Khatulistiwa di Pontianak Utara, Kalimantan Barat, Rabu (21/3/2018). Tugu Khatulistiwa menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan yang mengunjungi Pontianak.
Fakta Singkat
Ibukota
Kota Pontianak
Hari Jadi
28 Januari 1957
Dasar Hukum
Undang-Undang No. 25/1956
Luas Wilayah
147.307 km2
Jumlah Penduduk
5.414.390 jiwa (September 2020)
Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Sutarmidji
Wakil Gubernur Ria Norsan
Provinsi Kalimantan Barat atau disingkat Kalbar terletak di bagian barat Pulau Kalimantan. Provinsi ini merupakan provinsi terluas ketiga di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Provinsi dengan luas wilayah 147.307 kilometer persegi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Desember 1956 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957.
Namun baru pada tanggal 28 Januari 1957, perangkat pemerintahan daerah provinsi bisa terbentuk yang ditandai dengan dilantiknya Adji Pangeran Afloes sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Barat. Dengan alasan itulah, 28 Januari ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Barat. Ibu Kota Kalbar berkedudukan di Kota Pontianak.
Sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, sebelum berstatus provinsi, Kalbar merupakan wilayah keresidenan dalam Provinsi Kalimantan berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan.
Posisi Kalimantan Barat secara astronomis memiliki keistimewaan, yaitu dilalui oleh garis lintang 0° sehingga cuacanya sangat panas. Setiap tahun antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September terdapat fenomena alam yang unik ketika matahari tepat berada di garis khatulistiwa.
Pada saat itu, posisi matahari akan tepat berada di atas kepala sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Peristiwa ini disebut titik kulminasi matahari. Pada hari itu, banyak turis, baik lokal maupun mancanegara, datang untuk menyaksikan peristiwa langka tersebut di Tugu Khatuliswa (equator monument) Pontianak.
Secara administratif, Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota, 174 kecamatan, 99 Kelurahan, dan 2.031 desa. Populasi penduduknya mencapai 5,41 juta jiwa menurut Sensus Penduduk 2020. Sejak tahun 2018, daerah ini dipimpin oleh Gubernur Sutarmidji dan Wakil Gubernur Ria Norsan.
Sejarah Pembentukan
Dalam sejarah Pulau Kalimantan, wilayah pantai barat dan selatan Kalimantan Barat yang ketika itu masih bernama Borneo Barat merupakan jalur perdagangan penting yang diperebutkan para pedagang bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Bahkan jauh sebelum itu, pedagang-pedagang dari Jazirah Arab dan negeri China sudah menyinggahi beberapa tempat di wilayah pantai barat Pulau Borneo.
Dalam dekade ketiga abad ke-20, di Kalimantan Barat terdapat sedikitnya 13 kerajaan yang diakui sebagai “daerah yang berpemerintahan sendiri”. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Tanjungpura, Sukadana, Simpang, Mempawah, Sambas, Landah, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu, dan Pontianak. Ke-13 kerajaan itu diperintah oleh sultan ataupun panembahan.
Di antara 13 kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura termasuk kerajaan tertua di Kalbar. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri “Tanah Kayong” sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung, sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Kerajaan Sambas berdiri sekitar abad ke-5 M hingga abad ke-7 M, hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Batu Laras di Hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Dalam sumber lokal disebutkan bahwa pada abad ke-14 M, Sambas adalah sebuah negeri yang diperintah oleh Raden Janur dengan pusat ibu kotanya berada di Paloh. Eksistensi kerajaan ini setidaknya diketahui sampai datangnya pasukan Majapahit mulai tahun 1350-1364 M yang mendarat di Pantai Sambas bernama “Jawi” dan karena itulah tempat pendaratan tersebut sekarang disebut Jawai. Dengan datangnya pasukan Majapahit maka kekuasaan Raden Janur berakhir, sehingga dapat dikatakan sejak saat itu berdirilah Kerajaan Hindu Sambas.
Menurut kakawin Nagarakretagama (1365), Kalimantan Barat menjadi taklukan Majapahit, bahkan sejak zaman Singasari yang menamakannya Bakulapura. Menurut Hikayat Banjar (1663), negeri Sambas, Sukadana dan negeri-negeri di Batang Lawai (nama kuno sungai Kapuas) pernah menjadi taklukan Kerajaan Banjar sejak zaman Hindu.
Kemudian Kerajaan Islam Sambas atau yang disebut Kesultanan Sambas berdiri pada paruh kedua pertengahan abad ke-17 M. Raden Sulaiman tercatat sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah di tempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung. Sambas dikenal sebagai sebuah negeri yang memiliki penguasa jauh sebelum berdirinya kesultanan pada tahun 1630 M.
Adapun Kesultanan Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan termuda yang lahir di wilayah Kalimantan Barat. Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama dan memerintah dari tahun 1771 hingga tahun 1808. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.
Belanda mulai mendarat di Kalimantan pada tahun 1598. Namun kolonialisme baru mencengkeram Kalimantan pada abad ke 17. Ketika itu, Belanda dan Inggris berusaha untuk menguasai perdagangan.
Sejak 1 Oktober 1609, Kerajaan Sambas menjadi daerah protektorat VOC Belanda. Sesuai perjanjian 20 Oktober 1756 VOC Belanda akan membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Sanggau, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi).
Menurut akta tanggal 26 Maret 1778, negeri Landak dan Sukadana diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC Belanda selain daerah protektorat Sambas. Pada tahun itu pula, Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam direstui VOC Belanda sebagai Sultan Pontianak yang pertama dalam wilayah milik Belanda tersebut.
Pada tahun 1789, Sultan Pontianak dibantu Kongsi Lan Fang diperintahkan VOC Belanda untuk menduduki negeri Mempawah. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam dari Banjar menyerahkan Jelai, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada 1855, negeri Sambas dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda menjadi Karesidenan Sambas.
KOMPAS/ROBERT ADHI
Keraton Kadariah adalah istana Kesultanan Pontianak, dibangun dari tahun 1771 sampai 1778 masehi. Didiami pertama kali oleh Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, sultan pertama Kesultanan Pontianak. Keraton ini berada di dekat pusat Kota Pontianak, Kalimantan Barat, sebagai cikal-bakal lahirnya Kota Pontianak. Keraton Kadariah kini menjadi salah satu objek wisata sejarah. Dalam perkembanganya, keraton ini terus mengalami proses renovasi dan rekrontuksi hingga menjadi bentuk yang sekarang ini.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen.
Pada abad ke 19, Belanda semakin intensif memaksakan monopoli dagangnya di berbagai kesultanan. Mereka juga menyebarkan agama kristen. Agar bisa mendominasi perdagangan, mereka harus mematahkan berbagai perlawanan beberapa kesultanan dan suku yang tidak mau tunduk.
Pada abad ke 20 ini, gerakan-gerakan kebangsaan di Kalimantan mulai bermunculan. Berbagai pergerakan merupakan cabang pergerakan di Jawa. Hal ini disebabkan oleh sistem perhubungan Kalimantan dengan Jawa yang sudah mulai baik. Rakyat yang merasa tertekan oleh penjajah Belanda, membentuk wadah-wadah perjuangan.
Jepang pertama kali mendarat di Kalimantan Barat pada Februari 1942. Kota pelabuhan Pemangkat direbut pasukan Jepang tanpa perlawanan yang berarti dari pihak Belanda. Setelah merebut kota Pemangkat, Jepang kemudian bergerak ke selatan dan timur serta merebut kota-kota penting, seperti Pontianak, Sambas, Singkawang, Kapuas, Tayan, Sanggau, dan Sintang. Raja-raja dan panembahan segera menyatakan tunduk dan setia kepada pemerintahan Dai Nippon dan bendera “Hinomaru” segera berkibar dimana-mana di daerah ini.
Pada mulanya rakyat Kalbar menyambut gembira kedatangan tentara Jepang. Hal itu disebabkan budi baik Jepang pada masa malaise. Namun kemudian pemerintahan pendudukan Jepang mengontrol semua bidang kehidupan masyarakat Kalbar. Rakyat Kalbar diharuskan mendukung setiap usaha Jepang dalam mencapai kemenangan perang Jepang.
Kekejaman dan penindasan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang tersebut menimbulkan ketidakpuasan dalam masyarakat Kalbar. Akibatnya, tokoh-tokoh pergerakan mulai menyusun rencana menentang Jepang, yang didukung oleh golongan elite istana di Kalbar. Namun pemerintahan Jepang mengetahui rencana tersebut dan mengambil tindakan penangkapan dan pembunuhan terhadap semua tokoh pergerakan.
Pada Oktober 1943 sampai Juni 1944, Jepang melakukan eksekusi orang-orang yang ditangkap. Puncaknya terjadi pada 28 Juni 1944 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Mandor. Mandor adalah sebuah wilayah kecil yang berjarak sekitar 88 kilometer dari Kota Pontianak. Diperkirakan ribuan orang tewas dibantai tentara Jepang dalam periode itu.
Di sisi pemerintahan, pada masa penjajahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda tetap dipertahankan. Para kepala swapraja, yaitu para sultan dan panembahan, tetap diakui sebagai kepala atau pemimpin dari swapraja masing-masing. Namun para sultan dan panembahan berada di bawah pengawasan Minseibu.
Setelah Jepang menyerah kalah terhadap Sekutu, dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Kalimantan Barat menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan.
Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Geografis
Provinsi Kalimantan Barat terletak antara garis 2°08’ Lintang Utara dan 3°05 Lintang Selatan serta di antara 108°30’ Bujur Timur dan 114°10’ Bujur Timur. Di sebelah utara, Kalimantan Barat berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, di sebelah timur bersebelahan dengan kalimantan Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.
Kalimantan Barat memiliki luas wilayah 147.307 kilometer persegi. Dari 14 kabupaten/kota di Kalbar, Kabupaten Ketapang tercatat sebagai kabupaten terluas, yakni 24,39 persen, kemudian diikuti Kapuas Hulu (20,33 peresen), dan Kabupaten Sintang (14,74 persen).
Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dan mempunyai ratusan sungai, sedikit berbukit yang menghampar dari Barat ke Timur sepanjang Lembah Kapuas serta Laut Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini berawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove.
Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran pegunungan yaitu, Pegunungan Kalingkang/Kapuas Hulu di bagian utara dan Pegunungan Schwaner di selatan sepanjang perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah.
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki Provinsi Seribu Sungai. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dilayari. Beberapa sungai besar merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Sungai besar utama adalah Sungai Kapuas, yang juga merupakan sungai terpanjang di Indonesia (1.086 km). Sungai-sungai besar lainnya adalah Sungai Melawi, Sungai Pawan, Sungai Kendawangan, Sungai Jelai, Sungai Sekadau, Sungai Sambas, dan Sungai Landak.
Kalbar memiliki dua danau, yaitu Danau Sentarum dan Danau Luar I yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu. Danau Sentarum mempunyai luas 117.500 hektar sedangkan Danau Luar I yang mempunyai luas sekitar 5.400 hektar.
Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang sebagian tidak berpenghuni dan tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Propinsi Riau, Sumatera. Pulau-pulau itu antara lain Pulau Karimatan dan Pulau Maya, Pulau Penebangan, Pulau Bawal dan Pulau Gelam di perairan Selat Karimata, Kabupaten Ketapang serta Pulau Laut, Pulau Betangin Tengah, Pulau Butung, Pulau Nyamuk dan Pulau Karunia di Pontianak. Sebagian kepulauan ini, terutama di wilayah Kab. Ketapang merupakan Taman Nasional serta wilayah perlindungan atau konservasi.
KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Taman Nasional Danau Sentarum seluas 132.000 hektar terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tercatat lebih dari 80 jenis mamalia, 26 jenis reptil, 270 jenis burung, dan 260 jenis ikan endmik yang hidup di sana. Pesona alam TN Danau Sentarum menjadi daya tarik bagi wisatawan minat khusus yang ingin berpetualang dan meneliti flora-fauna di sana. Gambar diambil Selasa (24/4/2007).
Pemerintahan
Setelah resmi berdiri sendiri sejak 1957, Provinsi Kalimantan Barat sudah dipimpin oleh 12 kepala daerah. Pejabat Gubernur pertama yang memimpin Kalbar adalah Adji Pangeran Afloes. Ia memimpin Kalbar periode 1957-1958, setelah menggantikan Farel Pasaribu pada 1953-1957 sebagai Kepala Keresidenan Kalbar.
Tahun 1958-1959, Djenal Asikin Judadibrata menggantikan Adji Pangeran Afloes sebagai Penjabat Gubernur Kalbar yang kedua. Djenal Asikin Judadibrata hanya setahun menjabat sebagai Penjabat Gubernur Kalbar.
Gubernur Kalbar ketiga mempunyai nama lengkap Johanes Chrisostomus Oevang Oeray. Memimpin dari tahun 1960-1066, Oevang Oeray adalah sosok pemimpin dari kalangan Dayak saat itu. Ia juga merupakan pendiri Partai Persatuan Dayak yang pernah mengikuti Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955.
Pada tahun 1967-1972, Soemadi menggantikan Oevang Oeray sebagai Gubernur ke-4 Kalbar. Lahir tanggal 8 November 1923, Soemadi dikenal sebagai tentara dan aktif di partai politik.
Gubernur Kadarusno menjabat dari tahun 1972-1977. Lahir di Palu, Sulawesi Tengah, Gubernur Kalbar ke-5 ini adalah mantan Sekretaris Jenderal Mendagri dan tokoh militer Indonesia.
Menggantikan Kadarusno, H Soedjiman memimpin Kalbar dari tahun 1978-1988. H Soedjiman adalah seorang Purnawirawan Mayor Jenderal TNI AD. Gubernur keenam Kalbar ini memimpin Kalbar selama 10 tahun.
Pardjoko Surjokusumo memimpin Kalbar pada tahun 1988-1993. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Kalbar ketujuh, Pardjoko adalah Pangdam Tanjungpura Kalbar.
Gubernur kedelapan Kalbar adalah Aspar Aswin. Pria kelahiran Samarinda Kaltim ini menjabat Gubernur Kalbar selama 10 tahun (1993-2003). Gubernur kesembilan Kalbar adalah Usman Ja’far. Pria kelahiran Sekadau ini menjabat sejak 2003-2008. Usman Ja’far dikenal pula sebagai seorang pengusaha dan pemimpin perusahaan di Jakarta.
Menggantikan Usman Ja’far, Cornelis memimpin Kalbar selama dua periode (2008-2018). Cornelis merupakan mantan Bupati Landak, yang juga Ketua DPD PDI-P Kalbar. Dodi Riyadmadji kemudian menjadi Pejabat Gubernur Kalbar tahun 2018. Sutarmidji kemudian terpilih Gubernur Kalbar berdampingan dengan Ria Norsan. Sutarmidji menjabat Gubernur Kalbar periode 2018-2023.
Sebelum era reformasi, administrasi pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat terdiri atas tujuh kabupaten/kota, yaitu Sambas, Pontianak, Sanggau, Ketapang, Sintang, Kapuas Hulu, serta satu kota, yaitu Kota Pontianak sebagai ibu kota provinsi.
Seiring dengan berjalannya otonomi daerah, Provinsi Kalimantan Barat terbagi atas empat belas kabupaten/kota, yaitu Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak, Sanggau, Ketapang, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, Melawi, Kayong Utara dan Kubu Raya serta dua kota, yaitu Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Jumlah kecamatan sebanyak 174 kecamatan, yang terdiri atas 2.132 kelurahan/desa.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2019 tercatat sebanyak 10.882. Dari jumlah itu, sebanyak 7.453 orang atau sekitar 68,49 persen berpendidikan Sarjana ke atas, kemudian diikuti oleh lulusan SMA sederajat dan D3 masing-masing sebesar 1.977 pegawai (18,17 persen) dan 1.297 pegawai (11,92 persen).
Dari total 65 anggota DPRD Provinsi Kalbar, sebanyak 15 kursi diduduki oleh wakil dari PDI-P, kemudian Golkar dan Nasdem masing-masing 8 kursi, Demokrat dan Gerindra masing-masing 7 kursi, PAN dan PKB masing-masing 5 kursi, PPP dan PKS masing-masing 3 kursi, Hanura 2 kursi, serta Perindo dan PKPI masing-masing 1 kursi.
KOMPAS/AUGUST PARENGKUAN
Menteri Dalam Negeri ad interim Sudharmono, SH menandatangani berita acara pelantikan, sesuai melantik Soedjiman sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Soedjiman (kiri) menyaksikan Menteri Sudharmono yang sedang membubuhkan tandatangannya.
Politik
Provinsi Kalimantan Barat bisa dibilang menjadi salah satu dari wilayah di Indonesia dengan kehidupan politik yang dinamis. Polarisasi politik yang terlihat marak setelah masa reformasi tak kalah dinamis dibandingkan dengan pemilu pertama tahun 1955. Pertarungan antarparpol yang terjadi di provinsi ini bisa dikatakan unik.
Dalam sejarah pemilu, Kalbar menampilkan gambaran kuatnya partai lokal. Pada Pemilu 1955, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) mendapat dukungan kuat dengan mendulang 33,27 persen suara. Kendati demikian, posisi partai nasional bernuansa Islam ini ditempel ketat oleh Partai Persatuan Daya (PPD), sebuah partai lokal yang secara mengejutkan mendapatkan 31,31 persen suara dan berhasil menempatkan satu wakilnya di DPR pusat.
Partai-partai besar lainnya, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak terlalu berhasil mendapatkan simpati. Bahkan, Partai Indonesia Raya (Parindra) yang cabangnya sudah ada di Kota Pontianak sejak tahun 1937 hanya memperoleh 0,76 persen suara.
Dalam pemilu pertama itu, tiga partai berhasil menempatkan wakilnya di kursi anggota DPR, yaitu Partai Masyumi, Persatuan Daya, dan PNI, masing-masing satu kursi.
Saat Orde Baru berkuasa, Golongan Karya (Golkar) selalu berhasil menjadi pemenang pemilu. Dominasi Golkar di Kalbar mulai terlihat sejak Pemilu 1971, sebelum 11 partai politik kontestan pemilu berfusi. Golkar meraih 66,66 persen suara dari 829.373 suara pemilih di daerah ini.
Perolehan itu jauh meninggalkan sembilan partai peserta pemilu yang lain. Bahkan, PNI jika pada Pemilu 1955 memperoleh 13,76 persen suara, Pemilu 1971 hanya memperoleh 2,94 persen. Hanya Partai Nahdlatul Ulama saja rupanya yang cukup beruntung mendapatkan 10,76 persen.
Dalam Pemilu 1977, persentase perolehan suara Golkar juga tak berubah, di kisaran 66 persen, meskipun partai-partai yang lain dilebur ke dalam dua partai besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam lima pemilu selanjutnya, yaitu dari Pemilu 1977-1997 Golkar selalu mendulang sukses di semua kabupaten/kota. Perolehan tertinggi dicapai pada Pemilu 1982 ketika partai berlambang beringin ini mendapatkan 70,99 persen suara. Sebaliknya, perolehan terendah terjadi tahun 1992, yaitu 63,85 persen.
Kondisi yang menarik justru terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada Pemilu 1977 dan 1982, suara untuk partai berbasis massa Islam, PPP, mampu mengungguli suara yang didukung oleh kelompok nasionalis dan Katolik, PDI. Kondisi ini lalu mengalami perubahan pada pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 1987, perolehan PPP dan PDI nyaris berimbang pada kisaran 15 persen. Pada Pemilu 1992 kondisi terbalik, PDI lebih unggul dibanding PPP. Sedangkan pada Pemilu 1997, terjadi lagi keseimbangan, keduanya sama-sama memperoleh 15,14 persen suara.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Warga di rumah panjang Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, antusias menggunakan hak pilihnya, Rabu (17/4/2019).
Pada Pemilu 1999, kendati Orde Baru telah ditumbangkan oleh gerakan reformasi, cengkeraman Golkar di Kalbar masih terlalu kuat untuk ditandingi partai-partai baru yang muncul. Dari 1.742.526 suara sah, partai berlambang pohon beringin itu berhasil meraih 511.513 suara (29,35 persen). Golkar menang di enam kabupaten, yaitu Sambas, Sanggau, Sintang, Pontianak, Kapuas Hulu, dan Ketapang. Sebaliknya, di Bengkayang dan Kotamadya Pontianak, Golkar kalah suara dari PDI Perjuangan.
Yang menarik, anjloknya perolehan suara Partai Golkar tidak diimbangi dengan kenaikan drastis perolehan suara partai pesaing terdekatnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Berada di posisi kedua setelah Partai Golkar, PDI-P hanya meraih 23,27 persen suara pemilih, nyaris tak beda jauh dengan perolehan pada zaman Orde Baru (Pemilu 1992) yang 22 persen.
Sementara itu, beberapa partai lain yang di tingkat nasional hanya memperoleh persentase suara sedikit, di Kalimantan Barat ternyata cukup berhasil memperoleh dukungan. Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), partai baru yang lekat dengan nuansa etnik Tionghoa, mendapat suara lumayan, yakni 6,99 persen. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bahkan mampu meraih dukungan 7,57 persen suara, sehingga mendapat satu buah kursi di DPR dari daerah ini.
Pada Pemilu 2004, Golkar masih menang kendati perolehan suaranya kembali turun menjadi 24,46 persen. Sedangkan PDI-P berada di urutan kedua dengan meraih 17,59 persen suara dan PPP di urutan ketiga PPP dengan meraih 8,38 persen suara. Di Pemilu kali ini, pendatang baru, yakni Partai Demokrat, mendapatkan suara yang lumayan, yakni 6,12 persen.
Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2009, peta politik di Kalbar mulai berubah. Kali ini, PDI-P berhasil memenangkan simpati rakyat Kalbar dan meraih suara terbanyak hingga 22,9 persen, sedangkan Partai Golkar harus puas di posisi kedua dengan meraih 14,5 persen suara. Di urutan ketiga ditempati Partai Demokrat dengan meraih 11,3 persen suara.
Pada Pemilu 2014, PDI-P kembali meraih suara terbanyak di Kalbar. Partai berlambang banteng moncong putih meraih 817.770 suara atau 33 persen suara dan berhasil menempatkan tiga wakilnya di DPR RI periode 2014-2019.
Sedangkan Golkar masih tetap di posisi kedua dengan memperoleh 348.986 suara atau 14,08 persen suara dan mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Di tempat ketiga diduduki oleh Gerindra dengan perolehan suara 236.281 atau 9,53 persen. Parpol ini juga mendapatkan jatah 1 kursi DPR RI.
Pada Pemilu 2014, dapil Kalbar memiliki kuota 10 kursi untuk DPR. Saat itu, PDI-P meraih kursi terbanyak, yaitu 3 kursi. Sementara Golkar, Demokrat, Gerindra, PAN, PPP, dan Nasdem masing-masing memperoleh satu kursi.
Pada Pemilu 2019, PDI-P masih menancapkan kemenangan di Kalbar. PDI-P berhasil meraup 786.796 suara atau 28,82 persen dari total suara sah. Posisi kedua masih ditempati oleh Golkar dengan raupan 273.400 suara atau 10,01 persen. Kemudian di posisi ketiga dan keempat masing-masing diduduki oleh Nasdem dengan perolehan 271.941 suara atau 9,96 persen dan Gerindra dengan perolehan suara 264.506 atau 9,69 persen.
Kependudukan
Populasi penduduk di Provinsi Kalimantan Barat mencapai 5.414.390 jiwa berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.784.113 jiwa (51,42 persen) penduduk laki-laki dan 2.630.277 jiwa (48,58 persen) penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin penduduk Kalbar sebesar 106, yang artinya terdapat 106 laki-laki per 100 perempuan.
Dalam rentang 10 tahun (2010-2020), jumlah penduduk Kalimantan Barat bertambah sekitar 1,01 juta jiwa atau rata-rata sebanyak 101,84 ribu setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Kalbar selama 10 tahun terakhir tercatat sebesar 2,04 persen per tahun.
Sebaran penduduk Kalimantan Barat relatif tidak merata. Kota Pontianak tercatat sebagai daerah terpadat di Kalbar. Dengan luas wilayah hanya 0,07 persen dari wilayah Kalbar, Kota Pontianak dihuni oleh 658.685 penduduk atau 12,17 persen dari total penduduk Kalbar. Sedangkan Kabupaten Kayong Utara sebagai daerah dengan jumlah penduduk paling rendah.
Kalbar tergolong majemuk dari sisi etnisitas. Komposisinya, etnis Dayak dan Melayu dengan kuantitas yang dominan, disusul etnis lain seperti Tionghoa, Jawa, Bugis, dan Madura. Warga etnis Dayak jumlahnya dominan di wilayah pedalaman, sedangkan etnis Melayu dominan di pesisir/perkotaan.
Kelompok etnik Melayu, yang merunut sejarahnya berasal dari Malaysia dan Sumatera Timur, umumnya mendiami kawasan perairan Kalimantan Barat. Menurut sensus penduduk yang terakhir dilakukan Badan Pusat Statistik, tahun 2000 proporsi penduduk Melayu Sambas dan Melayu Pontianak mencapai 19 persen.
Untuk membedakan kalangan mereka biasanya didasarkan pada daerah tempat tinggal. Misalnya, Melayu yang tinggal di Kabupaten Landak disebut Melayu Landak. Mata pencarian utama suku bangsa ini adalah petani dan nelayan meski sekarang tidak sedikit juga yang menjadi pegawai negeri, swasta, atau pedagang. Kelompok etnik Dayak umumnya mendiami daerah pedalaman Kalimantan Barat dan terbagi dalam banyak subetnik.
Dalam buku Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat terbitan Institut Dayakologi (2008), disebutkan bahwa Suku Dayak terbagi hingga sebanyak 151 subetnik. Proporsi penduduk dari tiga subetnik dominan dari suku bangsa Dayak di Kalbar, yakni Kendayan, Darat, dan Pesaguan, mencapai 20 persen.
Sementara itu, etnik Tionghoa juga terbagi dalam sejumlah subetnik. Namun, paling tidak ada dua etnik besar yang mendiami Kalbar, yaitu Hakka (Khek) dan Tewciu atau Hoklo. Orang Hakka banyak berada di pedalaman, bekerja sebagai penambang emas di Montoredo (wilayah Kabupaten Landak), dan sebagian lainnya bertani.
Sementara orang Tewcu biasanya bekerja sebagai pedagang dan banyak mendiami kawasan perkotaan di Kalbar, misalnya di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Proporsi penduduk etnik Tionghoa di Kalbar mencapai 9,4 persen.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kalimantan Barat secara umum adalah Bahasa Indonesia. Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah yang juga banyak dipakai seperti Bahasa Melayu, dan beragam jenis Bahasa Dayak.
Menurut penelitian Institut Dayakologi, terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh Suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/hakka. Bahasa Melayu di Kalimantan Barat terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Melayu Sanggau dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang hampir mirip dengan bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Riau.
Mayoritas masyarakat Kalimantan Barat menganut agama Islam (60,07 persen), disusul penganut agama Katolik 22,16 persen, Kristen Protestan 11,58 persen, Budha 5,85 persen, Konghuchu 0,26 persen, Hindu 0,05 persen, dan aliran kepercayaan lainnya 0,03 persen.
KOMPAS/ANTONY LEE
Pemuda-pemudi Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menampilkan tarian Nusantara yang merepresentasikan persatuan dan pembauran masyarakat Tionghoa, Dayak, dan Melayu, pada pembukaan pawai Cap Go Meh di Kota Singkawang, Jumat (2/3/2018). Perayaan Cap Go Meh yang jatuh pada hari kelima belas setelah tahun baru Imlek itu, oleh masyarakat Singkawang, dianggap sebagai salah satu kemeriahan bagi warga kota, bukan hanya komunitas Tionghoa.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
67,66 (2020)
Umur Harapan Hidup
70,69 tahun (2020)
Harapan Lama Sekolah
12,60 tahun (2020)
Rata-rata Lama Sekolah
7,37 tahun (2020)
Pengeluaran per Kapita
Rp 8,93 juta (2020)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
5,81 persen (Agustus 2020)
Tingkat Kemiskinan
7,24 persen (September 2020)
Rasio Gini
0,325 (September 2020)
Kesejahteraan
Pembangunan manusia di Provinsi Kalimantan Barat secara umum terus membaik dalam 10 tahun terakhir (2010-2020). Nilai IPM Kalimantan Barat meningkat dari 61,97 (2010) menjadi 67,66 (2020). Kendati meningkat, IPM Kalimantan Barat masih di bawah rata-rata nasional (71,96) dan berada di urutan ke-29 dari 34 provinsi.
Dari komponen pembentuknya, Umur Harapan Hidup (UHH) pada tahun 2020 tercatat 70,69 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) selama 12,60 tahun, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) selama 7,37 tahun. Adapun rata-rata pengeluaran per kapita sebesar 9,17 juta per tahun.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kalbar tercatat sebesar 5,81 persen atau naik 1,46 persen poin terhadap keadaan Agustus 2019 sebesar 4,35 persen. TPT tertinggi yaitu sebesar 12,36 di Kota Pontianak, dan TPT terendah sebesar 2,70 di Kabupaten Melawi. TPT Kalbar tersebut masih di bawah TPT Nasional sebesar 7,07 persen.
Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat mencapai 370,71 ribu orang (7,24 persen) pada September 2020, bertambah sebesar 3,94 ribu orang dibandingkan Maret 2020 yang sebesar 366,77 ribu orang (7,17 persen).
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2020 tercatat 4,86 persen, naik dibanding pada Maret 2020 sebesar 4,69 persen. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 8,57 persen, naik dibandingkan pada Maret 2020 sebesar 8,50 persen.
Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Kalimantan Barat yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,325 (September 2020). Angka ini naik sebesar 0,008 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,317.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan (baju kemeja) bersama salah siswi-siswi Sekolah Adat Samabue di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, sedang menanam pohon, Sabtu(25/2/2017). Penanaman pohon itu, sebagai bentuk sikap pembelaan Sekolah Adat Samabue terhadap alam mereka yang saat ini terancam oleh izin pertambangan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rp 2,68 triliun (2020)
Dana Perimbangan
Rp 3,64 triliun (2020)
Pertumbuhan Ekonomi
-1,82 persen (2020)
Inflasi
2,46 persen (2020)
PDRB per kapita
Rp 41,68 juta/tahun (2020)
Ekspor
1,15 miliar dolar AS (2020)
Impor
439,81 juta dolar AS (2020)
Ekonomi
Struktur ekonomi Kalimantan Barat pada tahun 2020 masih ditopang oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 24 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp 214 triliun.
Kontribusi PDRB lainnya disumbangkan oleh sektor industri pengolahan sebesar 16,04 persen, sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 13,72 persen, sektor konstruksi sebesar 10,18 persen, sektor pertambangan dan penggalian sebesar 6 persen, dan sektor administrasi pemerintahan sebesar 5,14 persen.
Di sektor pertanian, Kalbar memiliki lahan tanaman pangan dan hortikultura yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Di sektor perkebunan, karet dan kelapa sawit merupakan komoditas unggulan di Kalimantan Barat.
Di sektor industri pengolahan, Kalbar memiliki kawasan industri di Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Kubu Raya. Jumlah usaha di Kalbar tercatat mencapai 38.660 usaha atau 13 persen dari total usaha non pertanian di Kalimantan Barat pada tahun 2017.
Adapun perusahaan Industri Besar dan Sedang pada tahun 2017 tercatat sebanyak 179 dengan nilai produksi mencapai Rp 20,53 triliun. Sebagian besar perusahaan industri besar/sedang itu bergerak di bidang pengolahan CPO dan karet.
Ditinjau dari komposisi pendapatan dalam APBD, dana perimbangan pemerintah pusat merupakan penopang utama pembiayaan provinsi yang beribu kota di Pontianak tersebut. Kontribusinya mencapai Rp 3,64 triliun atau sekitar 61 persen dari total pendapatan daerah. Sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 2,68 triliun.
Laju pertumbuhan ekonomi Kalbar berfluktuasi setiap tahunnya. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2013, yakni sebesar 6,03 persen. Adapun pada tahun 2020, ekonomi Kalimantan Barat terkontraksi 1,82 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang terkontraksi 2,07 persen. Kontraksi ekonomi itu terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Wisatawan menikmati Sungai Kapuas dengan kapal bandong yang berbentuk seperti rumah terapung di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (21/3/2018). Untuk sekali putaran wisatawan membayar Rp 15 ribu.
Di sektor pariwisata, Provinsi Kalbar memiliki potensi wisata yang beragam. Mulai dari pantai, sungai, hutan, gunung, bukit, air terjun hingga wisata nonalam lain. Setidaknya terdapat 36 obyek wisata unggulan untuk menjaring wisatawan asing di daerah ini, antara lain, Tugu Khatulistiwa Pontianak, Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kapuas Hulu, Pantai Putri Serayi Jawai di Kabupaten Sambas, air terjun Riam Merasap, Pulau Temajo Mempawah, Cap Go Meh di Singkawang dan Gawai Dayak.
Menurut data BPS Kalbar, kunjungan wisatawan mancanegara ke provinsi ini pada periode Januari sampai November 2019 tercatat sekitar 69 ribu kunjungan.
Referensi
- “Banjarmasch” dan Kini “Kayuh Baimbai”, Kompas, Kompas, 09 Februari 1991, hal. 09
- “Sisi Kemiskinan di Kalbar (1): Ikhwal Warisan Leluhur”, Kompas, 12 Oktober 1993, hal. 01
- “Prediksi Pemilu di Kalbar: Menanti Dinamika Politik Tinggi”, Kompas, 20 Februari 2004, hal. 01
- “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Kalimantan Barat *Pemilihan Umum 2004” Kompas, 20 Februari 2004, hal. 44
- “Kalbar Membutuhkan Figur yang Membumi * Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 24 Maret 2004, hal. 40
- “Peta Politik: Kalimantan Barat * Mengail Suara di Lubuk Etnisitas”, Kompas, 14 Februari 2009, hal. 08
- “Tiga Tungku di Borneo Barat”, Kompas, 14 Februari 2009, hal. 08
- “Hasil Pemilu: Kalimantan Barat – Wajah Baru Bersolek Identitas”, Kompas, 02 Juni 2009, hal. 08
- “Tanah Air: Danau Sentarum, Surganya Peneliti”, Kompas, 20 Februari 2010, hal. 01
- “Konsolidasi Demokrasi Kalbar (1) : Pergulatan Meniti Buih” Kompas, 31 Mei 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (2): Pilkada pada Tarikan Politik Identitas”, Kompas, 01 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi di Kalimantan Barat (3): Partisipasi Tinggi, tapi Diabaikan”, Kompas, 02 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (4) : Mendamba Pemimpin Fokus ke Rakyat”, Kompas, 04 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (5): Perempuan dalam Percaturan Politik”, Kompas, 05 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (6): Demokratisasi dengan “Credit Union”, Kompas, 06 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (7): Kegagalan Kaderisasi Elite Lokal”, Kompas, 07 Juni 2012, hal. 05
- “Konsolidasi Demokrasi Kalimantan Barat (8-Habis): Pemimpin Simbolik Tak Cukup”, Kompas, 08 Juni 2012, hal. 05
- Soedarto dan Tim. 1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1978/1979
- Achmad, Ya’, dkk. 1981. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1981/1982
- Ja’achmah, Ja’achmah. 1997. Geografi budaya daerah Kalimantan Barat. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Jakarta.
- Kusnoto, Yuver. 2016. Eksistensi Istana Kerajaan Di Kalimantan Barat Sebagai Sumber Belajar Sejarah. Jurnal Historia, Volume 4, Nomor 1, Tahun 2016
- Provinsi Kalimantan Barat dalam Angka 2021, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Hasil Sensus Penduduk 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Indeks Pembangunan manusia Provinsi Kalimantan Barat 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Kalimantan Barat September 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Profil Kemiskinan Kalimantan Barat September 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Barat Agustus 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Statistik Daerah Provinsi Kalimantan Barat 2020, BPS Provinsi Kalimantan Barat
- Peristiwa Mandor, Pembantaian Massal di Kalimantan Barat oleh Jepang, laman Kompas.com
- Profil dan Sejarah Kesultanan Sambas, laman Kemdikbud
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur
- Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023
Penulis
Antonius Purwanto
Editor
Ignatius Kristanto