Daerah

Provinsi Aceh

Terletak di bagian paling barat Pulau Sumatra, Provinsi Aceh memiliki posisi strategis karena menjadi pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaaan. Daerah ini juga mendapat julukan Serambi Mekkah karena agama dan kebudayaan Islam berpengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Masjid Raya Baiturrahman merupakan lambang perjuangan rakyat Aceh dalam melawan penjajah. Masjid itu pun menjadi lambang peranan besar para ulama Aceh dalam membakar semangat umat atau masyarakat dalam melawan penjajah. Ulama merupakan sosok yang sangat dihormati di Aceh dan mereka banyak membakar semangat rakyat untuk melawan penjajah melalui masjid, meunasah (mushalah), hingga ikut perang langsung. Masjid yang dahulunya bernama masjid Kesultanan Aceh yang dibangun tahun 1292 dan berkubah tunggal itu dalam perkembangannya diperluas dan kini memiliki 7 kubah.

Fakta Singkat

Ibu Kota
Banda Aceh

Hari Jadi
7 Desember 1956

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 24/1956

Luas Wilayah
57.956 km2

Jumlah Penduduk
5.371.532 jiwa (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Nova Iriansyah

Aceh mula-mula bernama Aceh Darussalam (1511-1959), selanjutnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan menjadi Provinsi Aceh dari tahun 2009 hingga sekarang.

Perubahan nama provinsi itu tak terlepas dari kedudukan daerah Aceh yang mengalami beberapa perubahan status. Melalui keputusan Wakil Presiden No. 3/BPKU/47, tanggal 26 Agustus 1947, Karesidenan Aceh bersama Tanah Karo dan Langkat menjadi Daerah Militer yang dipimpin seorang gubernur militer.

Kemudian, melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948, Keresidenan Aceh lebur kembali dalam kawasan Provinsi Sumatera Utara. Umur UU itu juga tak panjang. Melalui Peraturan Pemerintah No. 8/Des/Wk.PM/49, Aceh dikeluarkan lagi dari Provinsi Sumatera Utara dan berdiri sendiri.

Setahun kemudian, Aceh lebur lagi menjadi sebuah karesidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Perubahan status yang terakhir ini memicu protes, yang melahirkan “Peristiwa Aceh” melalui gerakan DI/TII pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat akhirnya memahami keinginan rakyat Aceh. Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, Aceh menjadi lagi sebuah provinsi.

Untuk mengatasi pergolakan, pemerintah pusat mengirim delegasi ke Aceh yang dipimpin Mr Hardi. Melalui SK Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959, tanggal 26 Mei 1959, Aceh menjadi Daerah Istimewa. Keputusan itu menyatakan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat.

Pada tahun 2001, Provinsi Aceh diberi kewenangan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Salah satu keistimewaan dan faktor yang membedakan Aceh dengan provinsi lainnya adalah penggunaan syariat Islam dalam membentuk kebijakan.

Provinsi Aceh memiliki moto “Pancacita” yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti “Lima Cita-Cita”, yakni keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. Dengan luas 57.956 kilometer persegi, Aceh memiliki 23 kabupaten, 289 kecamatan, dan 6.514 gampong atau desa. Jumlah penduduk provinsi ini diproyeksikan sebanyak 5,37 juta pada tahun 2019.

Sejarah pembentukan

Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki jejak budaya prasejarah seperti disebut dalam ejurnal Patanjala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan buku Prasejarah Indonesia. Salah satu jejaknya adalah Situs Bukit Kerang Pangkalan yang terletak di Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.

Situs Bukit Kerang ini merupakan tumpukan sisa makanan pokok manusia purba ras Mongoloid yang hidup di zaman Mesolitikum, yaitu sekitar 5000 hingga 7000 tahun silam. Temuan tersebut menunjukkan adanya kehidupan berkelompok dan berburu pada masa itu.

Adapun manusia prasejarah Austromelanosoid ditemukan di sekitar Bukit Tamiang, Aceh dengan ciri-ciri tinggi tubuh sekitar 153 cm, bentuk tengkorak lonjong, berjenis kelamin perempuan, usia sekitar 40 tahun, bentuk hidung lebar, rahang bawah dan ukuran giginya kecil. Ditemukan pula kapak genggam, serpih bilah, dan alat lainnya yang terbuat dari tulang di Aceh yang berasal dari zaman Pleistosen. Alat-alat tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti memotong, berburu, dan memasak.

Selanjutnya menurut catatan sejarah dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, terdapat beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah Aceh. Para sejarawan menyakini Kerajaan Lamuri di Aceh Besar sebagai kerajaan tertua di Aceh. Kerajaan ini menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam di Gampong Pande, Banda Aceh. Awalnya, Kerajaan Lamuri adalah kerajaan Hindu, bukan Islam.

Kerajaan Lamuri diyakini sudah ada jauh sebelum abad ke-13. Selain dilihat dari berbagai bentuk nisan, juga ada tulisan-tulisan yang menyebut tentang kerajaan tertua di Aceh ini. Beberapa orang yang pernah melakukan perjalanan keliling dunia seperti Laksamana Cheng Ho, Marcopolo, dan sejumlah nama lain diketahui pernah singgah ke sana.

Beberapa bukti adanya Kerajaan Lamuri pada zaman dulu yaitu terdapat banyak benteng. Antara satu benteng dengan benteng lainnya memiliki rangkaian. Tiga benteng paling terkenal yang menjadi cikal bakal lahirnya Aceh lhee sagoe adalah Benteng Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri.

Pada abad ke-15, pusat Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam yang sekarang dinamai Kuta Alam dan terletak di sisi utara Krueng Aceh di Lembah Aceh. Pemindahan ini disebabkan adanya serangan dari Pidie dan pendangkalan muara sehingga mengganggu aktivitas pelayaran Kerajaan Lamri. Sejak itu, Kerajaan Lamuri lebih dikenal dengan Kerajaan Makota Alam.

Pada penghujung abad ke-15, berdiri kerajaan bernama Kerajaan Darul Kamal, selain Kerajaan Mahkota Alam. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh Krueng Aceh (sungai Aceh). Dalam perkembangannya, kedua kerajaan tersebut tidak pernah hidup rukun. Peperangan sering terjadi diantara keduanya. Peperangan baru berakhir setelah pemimpin Makota Alam, Sultan Saymsu Syah Putera Munawar Syah menjodohkan puteranya Ali Muhayat Syah dengan putri Kerajaan Darul Kamal.

Kerajaan lain yang pernah berdiri di wilayah Aceh adalah Kerajaan Samudera. Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1270-1275. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Malik Al Saleh dan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Sultan Muhammad Malik Al Zahir. Pada masa kerajaan ini, jalur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka mulai diambilalih dan dikuasai.

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara Pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang (1496-1903), Kesultanan Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan menakjubkan, terutama kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperalisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, hingga kemampuannya menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Terbentuknya Kesultanan Aceh juga mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Pada masa itu, pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Namun keadaan ini tidak berlangsung lama sepeninggal Sultan Iskandar Muda. Para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut sehingga salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara itu kemudian melemah.

Hal itu menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar. Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.

Tantangan yang disebut ‘Perang Sabi’ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan banyak korban jiwa yang memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk. Muhd. Daud untuk mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.

Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk provinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi keresidenan hingga kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Mercusuar William’s Torren yang dibangun pada 1875 oleh Kolonial Belanda masih berdiri tegak di Desa Meulingee, Pulo Aceh, Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/9/2016). Berada di puncak mercusuar itu keindahan Samudera Hindia dan Selat Malaka terlihat tanpa penghalang. Pulo Aceh memiliki potensi wisata bahari, namun terabaikan.

Setelah Belanda menyerah pada Jepang pada tahun 1942, pasukan tentara Jepang segera mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942 untuk mengambil alih kekuasaan. Pendaratan dilakukan di tiga titik, yaitu Peureulak (Aceh Timur), Keureng Raya (Aceh Besar), dan Sabang.

Dalam membentuk sistem pemerintahan di Aceh, Pemerintah Jepang tidak banyak melakukan perubahan sistem yang sebelumnya telah dibentuk oleh Belanda. Struktur pemerintahan yang dibuat Belanda masih digunakan hanya saja nama-namanya diganti dengan nama Jepang.

Selama masa perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh.

Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara. Kemudian dengan adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih tetap dipertahankan.

Selanjutnya, pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi tiga provinsi otonom, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli Selatan.

Pada akhir tahun 1949, Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Aceh. Beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950, Provinsi Aceh kembali menjadi keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan.

Perubahan status itu menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan kembali provinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Aceh.

Sejak tanggal 26 Mei 1959, Daerah Swatantra Tingkat I atau Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat, dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan di wilayah Aceh. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009, sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (NAD) diubah menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”. Hal ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.

Geografis

Provinsi Aceh terletak antara 01o 58’ 37,2” sampai 06o 04’ 33,6” Lintang Utara dan 94o 57’57,6” sampai 98o 17’ 13,2” Bujur Timur. Di sebelah utara, Aceh berbatasan dengan Selat Malaka dan Laut Andaman, di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur berbatasan dengan Sumatera Utara dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.

Letak Aceh tersebut terhitung strategis karena menjadi pintu gerbang lalu lintas perdagangan nasional dan internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat dengan batas wilayahnya.

Luas wilayah Aceh mencapai 57.956 kilometer persegi atau setara 3,02 persen dari luas Indonesia. Aceh memiliki 331 pulau, 35 gunung, dan 152 Daerah Aliran Sungai (DAS). Aceh juga memiliki tujuh danau besar dan enam danau kecil yang tersebar di enam lokasi. Danau besar antara lain Danau Laut Tawar di Aceh Tengah dan Danau Aneuk Laot di Sabang.

Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah Aceh yang merupakan gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah dengan topografi berbukit dan landai terdapat dibagian utara dan timur Aceh.

Daerah Aceh merupakan wilayah rawan gempa dan tsunami lantaran diapit oleh dua patahan Sumatera yang masih aktif, yaitu patahan segmen Aceh dan segmen Seulimuem. Aceh pernah dilanda bencana besar tsunami pada 24 Desember 2004 yang menyebabkan 310 ribu warga menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Sebagian besar wilayah pesisir Aceh hancur lebur.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Gua Ek Luntie di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh merekam jejak tsunami yang pernah terjadi di wilayah itu. Peneliti menemukan 11 lapisan pasir bekas tsunami yang pernah terjadi antara 2900 hingga 7400 tahun lalu. Gua ini diusulkan menjadi geopark, selain sebagai objek wisata juga menjadi media memperkuat mitigasi bencana.

Pemerintahan

Terhitung sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Provinsi Aceh telah dipimpin oleh 27 tokoh. Gubernur pertama Sumatera dan Aceh adalah Muhammad Hasan, putra Aceh asli kelahiran Pidie. Tak lama kemudian, Aceh menjadi provinsi dan Teuku Nyak Arief dipilih sebagai gubernurnya. Teuku Nyak Arif menjabat mulai tanggal 3 Oktober 1945 hingga tahun 1946.

Selepas kepemimpinan Teuku Nyak Arief, Aceh dipimpin oleh Gubernur Teuku Daud Syah (1946-1947), dan Teungku Daud Beureu’eh menjabat dua kali (1947-1949 dan 1950-1951). Kemudian dilanjutkan oleh koordinator residen BM Danubroto (1951-1953), pemangku koordinator pemerintah Teuku Sulaiman Daud (Mei 1953 – September 1953), Abdul Wahab (1953-1954), Abdul Razak (1954-1956), dan Ali Hasjmy (1957-1959 dan 1959-1964).

Nyak Adam Kamil meneruskan tongkat kepemimpinan di Aceh dari 10 April 1964 hingga 30 Agustus 1966. Kemudian berturut-turut Gubernur Hasby Wahidi (30 Agustus 1967 – 15 Mei 1968), Abdullah Muzakir Walad menjabat dua kali (15 Mei 1968 – 27 Juni 1973 dan 27 Juni 1973 – 27 Agustus 1978), Abdul Madjid Ibrahim (27 Agustus 1978 – 15 Maret 1981), Eddy Sabara (15 Maret 1981 – 27 Agustus 1981), Hadi Thayeb (27 Agustus 1981 – 27 Agustus 1986), Ibrahim Hassan (27 Agustus 1986 – 25 Mei 1993), Syamsudin Mahmud (26 Mei 1993 – 26 Mei 1998 dan 26 Mei 1998 – 21 Juni 2000), dan Penjabat Gubernur Ramli Ridwan (21 Juni 2000 – 25 November 2000).

Abdullah Puteh kemudian memimpin Aceh dari tanggal 25 November 2000 hingga 19 Juli 2004), dilanjutkan oleh Penjabat Gubernur Azwar Abubakar (19 Juli 2004 – 30 Desember 2005), dan Pelaksana Harian Mustafa Abubakar (30 Desember 2005 – 8 Februari 2007).

Pasca kesepakatan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, Irwandi Yusuf terpilih sebagai Gubernur Aceh. Ia menjabat 8 Februari 2007 hingga 8 Februari 2012. Disusul kemudian oleh Penjabat Gubernur Tarmizi Abdul Karim (8 Februari 2012 – 25 Juni 2012).

Selanjutnya, Zaini Abdullah menjabat gubernur pada tanggal 25 Juni 2012 sampai 25 Juni 2017 dan dilanjutkan oleh Pelaksana Tugas Soedarmo (28 Oktober 201 – 11 Februari 2017), serta Pelaksana Harian Dermawan (25 Juni 2017 – 5 Juli 2017).

Irwandi Yusuf kembali terpilih sebagai gubernur Aceh setelah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh pada tahun 2017. Irwandi menjabat gubernur Aceh untuk periode 2017-2022. Namun, Irwandi tidak bisa menyelesaikan masa jabatannya hingga tahun 2022 karena diberhentikan sebagai Gubernur Aceh oleh Presiden Joko Widodo setelah terbukti terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi.

Kepemimpinan di Aceh kemudian beralih kepada Nova Iriansyah yang sebelumnya menjabat Wakil Gubernur Aceh. Iriansyah dilantik sebagai Gubernur Aceh definitif pada tanggal 5 November 2020 lalu setelah sebelumnya menjabat sebagai pelaksana tugas sejak tahun 2018.

Provinsi Aceh memiliki Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 129.989 orang pada tahun 2019. Dari jumlah itu, terbanyak berpendidikan sarjana (S1, S2, S3), yakni sebesar 64,46 persen. Disusul pegawai berpendidikan diploma sebesar 16,58 persen, tamatan SLTA 17,92 persen, dan sisanya tamatan SLTP serta SD.

Terkait peta politik lokal, dari 81 anggota DPR Aceh (DPRA),  Partai Aceh mendominasi kursi DPRA sebesar 22 persen, diikuti oleh Demokrat sebesar 12,35 persen, Golkar sebesar 11,11 persen, Gerindra sebesar 9,88 persen serta PKS, PPP, PAN dan PNA masing-masing sebesar 7,41 persen .

KOMPAS/AHMAD ARIF

Delapan pasang calon gubernur Nanggroe Aceh Darussalam menandatangani deklarasi kampanye damai di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (23/11/2006). Seusai penandatanganan itu, mereka berpawai becak keliling kota. Acara ini menandai pelaksanaan kampanye yang akan digelar mulai hari Jumat (24/11/2006).

Politik

Sejarah penyelenggaraan pemilu di Aceh menunjukkan dinamika dan loyalitas masyarakat Serambi Mekkah terhadap partai-partai politik bercorak Islam dan partai-partai berbasis nonagama.

Pada pemilu pertama tahun 1955, dari 48 partai politik maupun calon perorangan peserta pemilu, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) meraih kepercayaan mayoritas masyarakat Aceh dengan meraih 75,57 persen suara dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan 13,58 persen suara dari  546.379 pemilih. Dari tujuh kabupaten/kota saat itu, dominasi Masyumi tampak di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Aceh Selatan menjadi satu-satunya wilayah yang tidak tertaklukkan. Di wilayah ini, Perti unggul.

Sementara itu, Partai Nahdlatul Ulama (NU) hanya mampu mengumpulkan 4.769 suara atau di bawah satu persen dan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), hanya mampu meraih 0,38 persen dan menempati urutan ke delapan. Sedangkan partai berbasis ideologi nonagama tak bisa berbuat banyak. PNI hanya mampu meraih 3,3 persen suara dan PKI hanya meraup 1,4 persen saja.

Pada era Orde Baru, partai-partai bercorak agama yang berjaya pada pemilu sebelumnya langsung tergerus dengan hadirnya partai Golkar. Pada Pemilu 1971, Golkar mampu meraih suara terbanyak di Aceh meskipun hanya terpaut tipis dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada Pemilu 1977 dan 1982, PPP kembali menguasai Aceh. Namun, dalam Pemilu 1987-1997, Golkar kembali berjaya. Pemberlakuan status daerah operasi militer makin mengukuhkan kemenangan Golkar.

Pada Pemilu 1971, Golkar berhasil mengumpulkan 483.103 suara (49,7 persen), disusul oleh partai Parmusi dengan perolehan suara 19 persen, Perti memperoleh suara 13 persen, PNU memperoleh suara 9 persen, dan PNII memperoleh suara 8 persen.

Kekalahan tahun 1971 tidak menyurutkan sepak terjang pendukung partai bercorak Islam. Terbukti, pada Pemilu 1977 dan 1982 Aceh kembali dikuasai. Pemilu 1977, PPP mampu menjadi pemenang. Tidak kurang 57,5 persen suara mereka raih. Sedangkan Golkar kali ini hanya meraih 41,3 persen suara. Keperkasaan PPP dibuktikan pula saat Pemilu 1982. Sekalipun dibandingkan pemilu sebelumnya suara yang dikumpulkan agak menurun namun PPP masih menguasai Aceh (54,3 persen).

Sementara itu, partai-partai nasionalis, Kristen, dan sosialis yang difusikan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terpuruk selama dua kali pemilu tersebut. PDI hanya memperoleh suara 2 persen suara pada pemilu 1977 dan 5 persen suara pada Pemilu 1982.

Kejayaan PPP tidak bertahan lama. Rangkaian pemilu berikutnya, 1987-1997 Golkar kembali berjaya. Pemberlakuan daerah operasi militer juga tampaknya semakin memuluskan penguasaan Aceh. Pada Pemilu 1992, misalnya, partai berlambang pohon beringin ini berhasil memperoleh suara hingga 58 persen. Sedangkan PPP hanya 35 persen sudara, dan PDI hanya mengumpulkan 7 persen suara. Puncaknya pada Pemilu 1997, Golkar mampu mendulang 64,81 persen suara sedangkan PPP hanya meraih 31,86 persen suara dan PDI hanya mengumpulkan 3,33 persen suara.

Setelah tumbangnya Orde Baru, corak politik Islam kembali bangkit pada era Reformasi. Pada Pemilu 1999, parpol bercorak Islam kembali merebut sebagian wilayah yang dikuasai Golkar. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bertengger di posisi teratas meski dengan raihan suara hanya 28,8 persen, disusul Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih 17,9 persen suara, dan Golkar di urutan ketiga dengan 15,6 persen suara. PDI-P di urutan berikutnya denga memperoleh suara 12 persen, disusul PBB memperoleh 3 persen, dan PKS memperoleh 2 persen.

Namun, euforia era Reformasi ini tak bertahan lama. Golkar kembali menguasai Aceh pada Pemilu 2004 dengan 16,2 persen suara, disusul PPP (13,8 persen), dan PAN (13,3 persen). Kemudian, PKS memperoleh suara 11 persen, PBR 7 persen suara, PBB 6 persen suara, Demokrat 5 persen suara, PDI-P 4 persen suara, dan PKB 3 persen.

Pemilu 2009 menjadi titik balik demokrasi di Aceh. Partai nasionalis kembali menguasai wilayah ini. Partai Demokrat menguasai 40,8 persen suara, jauh melampaui perolehan suara tingkat nasional yang hanya 20,8 persen. Posisi kedua terpaut jauh, diraih Partai Golkar dengan 10,5 persen suara dan Partai Keadilan Sejahtera yang mencapai 7,1 persen suara. PAN dan PPP menyusul dengan perolehan suara 7 persen. Selanjutnya PKB memperoleh 4 persen, PBB memperoleh 3 persen, sedangkan PDI-P, Gerindra, Hanura, dan PBR masing-masing memperoleh suara 2 persen.

KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD

Dua orang remaja putri berjalan disamping belasan bendera partai politik lokal baru di jembatan Krueng Aceh, Banda Aceh, Kamis (24/1/2008). Munculnya belasan partai lokal baru pascapenandatangan MOU Helsinki, Finlandia, memunculkan harapan perbaikan kehidupan masyarakat di NAD.

Pada Pemilu 2009 di Aceh, juga diramaikan dengan hadirnya enam parpol lokal sebagai hasil kesepakatan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jika di tingkat pemilu nasional Partai Demokrat berjaya menguasai Aceh, di tingkat lokal Partai Aceh menguasai 46,9 persen suara dan mendominasi perolehan kursi, baik di DPR Aceh maupun DPR kabupaten/kota di Aceh, khususnya di wilayah Pidie, Aceh Jaya, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen, yang sebelumnya dikenal sebagai basis GAM. Ini pun menjadi bukti lain terjadinya pergeseran Aceh sebagai dominasi partai nasionalis. Jika melihat secara formal, Partai Aceh adalah partai bercorak nasionalis, bukan partai Islam.

Pada Pemilu 2014, dari total 2.316.226 suara sah, Gerindra unggul dengan perolehan 366.385 suara (15,82 persen). Disusul Demokrat di posisi kedua dengan perolehan 352.009 suara (15,20 persen), Nasdem memperoleh 271.574 suara (11,72 persen), PAN memperoleh 241.196 suara (10,41 persen), dan Golkar memperoleh 232.500 suara (10,04 persen).

Adapun partai-partai lainnya yang memperoleh suara di bawah 10 persen, antara lain, PPP (8,67 persen), PKS (7,76 persen), PDI-P (6,29 persen), PKB (5,94 persen), Hanura (3,81 persen), PBB (2,91 persen), dan PKPI (1,42 persen).

Demokrat kembali unggul di Aceh pada Pemilu 2019 dengan perolehan 413.438 suara (14,7 persen) dari total 2.804.934 suara sah. Disusul oleh Gerindra dengan perolehan 376.784 suara (13,4 persen), Golkar memperoleh 325.421 suara (11,6 persen), dan PAN memperoleh 318.202 suara (11,3 persen).

Sedangkan partai-partai lainnya yang memperoleh suara di bawah 10 persen, yakni PSI (8,1 persen), PPP (7,6 persen), PKS (7,4 persen), PKB (6,6 persen), Nasdem (6,2 persen), PDI-P (3,9 persen), Berkarya dan PBB masing-masing memperoleh 2,3 persen, Hanura (0,9 persen), Perindo (0,6 persen), Garuda (0,5 persen), dan PKPI (0,3 persen).

Kependudukan

Populasi penduduk Provinsi Aceh diproyeksikan sebanyak 5.371.532  jiwa pada tahun 2019, terbanyak ke-6 di Pulau Sumatera. Persebaran penduduk Aceh memadati wilayah pantai timur-utara. Kawasan ini meliputi Kota Sabang hingga Kabupaten Aceh Tamiang.

Dua kabupaten dengan populasi terbesar berada di Kabupaten Aceh Utara (619,41 jiwa) dan Kabupaten Bireuen (471,64 ribu jiwa). Sementara itu, daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Banda Aceh (4.827 jiwa/km²) dan Kota Lhokseumawe (1.354 jiwa/km²).

Daerah Aceh didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik, dan adat istiadat.

Etnis Aceh juga terbagi ke dalam empat kaum atau suku. Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat suku tersebut adalah kaum lhee reutoh yang berasal dari orang Mante Batak sebagai penduduk asli, kemudian kaum Imuem Peut yang berasal dari orang Hindu atau India sebagai suku pendatang, kaum Tol Batee, yaitu pendatang dari berbagai etnis dan tempat misalnya suku Jawa, Sunda, Kalimantan, dan lain-lain, terakhir kaum Ja Sandang yang merupakan kaum Hindu yang telah memeluk agama Islam.

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Aceh. Selain bahasa Aceh, terdapat sembilan bahasa asli Aceh lainnya, yaitu bahasa Aneuk Jamee (Jamee), bahasa Singkil, bahasa Gayo, bahasa Kluet, bahasa Temiang, bahasa Alas, bahasa Devayan, bahasa Sigulai, bahasa Lekon, bahasa Pakpak, dan bahasa Haloban.

Aceh mendapat julukan Seuramo Mekkah (Serambi Mekkah) karena dominasi masyarakat pemeluk agama Islam yang sangat besar, mencapai 98,19 persen (4.413.244 jiwa). Kemudian disusul Kristen 1,12 persen, Budha 0,16 persen, Katolik 0,07 persen, Hindu, dan Konghuchu.

KOMPAS/PONCO ANGGORO

Tarian Saman di Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Sabtu (23/11/2019).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
71,90 (2019)

Umur Harapan Hidup 
69,87 tahun (2019)

Harapan Lama Sekolah 
14,30 tahun (2019)

Rata-rata Lama Sekolah 
9,18 tahun (2019)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
5,42 persen (Februari 2020)

Tingkat Kemiskinan
14,9 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,323 (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan Manusia di Aceh terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2010, IPM Aceh masih 67,09 kemudian meningkat menjadi 71,90 pada tahun 2019. IPM Aceh itu masuk status “tinggi” dan berada di peringkat 11 dari 34 provinsi di Indonesia.

Peningkatan IPM tersebut didukung oleh peningkatan komponen pendukungnya. Umur Harapan Hidup (UHH) tahun 2019 tercatat 69,87 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) mencapai 14,30 tahun, dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) tercatat 9,18 tahun.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Aceh mencapai 5,42 persen pada Februari 2020, tertinggi kedua di Pulau Sumatera, setelah Kepulauan Riau (5,57 persen). Adapun Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Aceh tahun 2019 tercatat 66,55 persen, terendah di Pulau Sumatera.

Aceh masih menempati provinsi termiskin di Sumatera dan nomor enam se-Indonesia. Per Maret 2020, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 814 ribu orang atau 14,99 persen. Berdasarkan lokasi, mayoritas penduduk miskin berdomisili di perdesaan, yakni sebanyak 641,01 ribu orang, sedangkan penduduk miskin di perkotaan berjumlah 173,90 ribu orang.

Pada Maret 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Aceh yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,323. Angka ini sedikit mengalami kenaikan dibanding September 2019 yang tercatat sebesar 0,321.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Nelayan bagan menangkap ikan di perairan Krueng Raya, Aceh Besar, Aceh, Minggu (12/3/2017). Meski potensi perikanan tangkap di Aceh sangat besar, nelayan tradisional di Aceh sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Keterbatasan modal membuat mereka tidak bisa mengembangkan diri.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 3,09 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 17,97 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
4,20 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 30,70 juta/tahun (2019)

Inflasi
1,69 persen (2019)

Nilai Ekspor
17,16 juta dolar AS (Oktober 2020)

Nilai Impor
617 ribu dolar AS (Oktober 2020)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Provinsi Aceh atas dasar harga berlaku sejak tahun 2015 hingga 2019 terus meningkat rata-rata Rp 7,26 triliun per tahun. Pada tahun 2015, PDRB Aceh tercatat Rp 129,09 triliun kemudian meningkat menjadi Rp 164,21 triliun pada 2019.

Struktur ekonomi Aceh tidak berubah dalam kurun lima tahun terakhir. Lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan masih tetap mendominasi struktur ekonomi Aceh. Tahun 2019, kontribusi  sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDRB sebesar 29,54 persen. Disusul sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (15,51 persen), serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (10,25 persen).

Di sektor pertanian, sejak dulu Aceh dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang menjadi salah satu motivasi Portugis dan beberapa bangsa Eropa lain datang ke Aceh. Tiga jenis komoditi pertanian dianggap memiliki prospek di pasar international adalah kopi, kakao, dan nilam.

Komoditi kakao tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Aceh, terutama di wilayah pantai timur dan utara. Sedangkan komoditi unggulan kopi terdapat di Aceh bagian tengah. Selanjutnya, komoditi nilam terdapat di pesisir barat-selatan, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Kebutuhan minyak nilam dunia yang dipasok Indonesia ke pasaran internasional sebesar 80 persen dan 70 persennya berasal dari Aceh.

Daerah Aceh memiliki beragam bahan tambang, seperti tembaga, timah hitam, minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Selain itu, terdapat tambang emas di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Tambang biji besi terdapat di Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Tambang mangan terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Barat. Sementara tambang biji timah, batu bara, dan minyak bumi terdapat di Aceh Barat dan Aceh Timur, yakni di Rantau Kuala dan Simpang Peureulak, serta gas alam di daerah Lhok Sukon dan Kabupaten Aceh Utara.

Laju pertumbuhan ekonomi Aceh selama sembilan tahun terakhir mengalami fluktuasi dan berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun 2019 lalu, laju pertumbuhan ekonomi Aceh mencapai 4,20 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 5,02 persen.

Pada tahun 2019, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Aceh tercatat Rp 3,09 triliun, meningkat Rp 39 milyar jika dibandingkan dengan PAD tahun 2018 sebesar Rp 2,7 triliun. Dana perimbangan Aceh pada tahun 2019 mencapai Rp 17,97 triliun, meningkat Rp 6 milyar jika dibandingkan dana perimbangan tahun 2018 sebesar Rp 17,3 triliun.

Nilai ekspor Aceh pada Oktober 2020 mencapai 17,16 juta dolar AS. Komoditas ekspor terbesar, antara lain, batu bara, Crude Palm Oil (CPO), dan sulfur.  Adapun negara tujuan ekspor Aceh, antara lain, India, Thailand, dan China.

Nilai impor Aceh pada Oktober 2020 sebesar 617 ribu dolar AS. Komoditas impor terbesar berupa mesin atau peralatan listrik, petroleum, dan komoditas lainnya. Negara pengimpor terbesar, antara lain, Malaysia, Singapura, China, dan Thailand.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Panorama Danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh dilihat dari puncak pegunungan Pantan Terong, Senin (10/10/2016). Kementerian Pariwisata mengusulkan Danau Laut Tawar sebagai salah satu destinasi wisata alam yang akan dikembangkan pada tahun 2017. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Aceh pada Agustus 2016 mencapai 6.552 orang atau naik 177 persen dibanding Juli 2016 yakni 2.363 orang.

Tak hanya kaya dengan sumber daya alam. Aceh juga memiliki keunggulan di bidang pariwisata baik itu wisata religi, sejarah, dan wisata alam. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh mencatat setidaknya ada 797 objek wisata serta 774 situs dan cagar budaya yang tersebar di 23 Kabupaten/kota di Aceh.

Salah satu tempat wisata yang paling populer di Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman. Tempat ibadah megah ini bahkan dianggap sebagai ikon Banda Aceh. Tempat wisata lainnya, yaitu Goa Putri Pukes, Benteng Indra Patra, Kerkhoff, Rumah Adat, dan Benteng Jepang. Kemudian objek wisata bahari yang ada di Sabang dan objek wisata hutan, air terjun serta banyak lagi kekayaan alam yang dimiliki Aceh menjadi objek wisata.

Selain destinasi wisata, Aceh juga memiliki beragam seni budaya yang unik, seperti tarian, adat istiadat, sastra, seni lukis, maupun kegiatan spiritual yang begitu menarik bagi masyarakat.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Aceh, Daerah Wisata yang Menawan”, Kompas, 5 September 1994, hal. 17
  • “Laporan dari Aceh (1) Dari Belanda Hingga Mr Robert”, Kompas, 6 Oktober 1998,hal. 01
  • “42 Tahun Daerah Istimewa Aceh: Jangan Lagi Saudaraku Bermusuhan”, Kompas, 26 Mei 2001, hal. 20
  • “Pariwisata Aceh: Pesona Mata Biru di Lamno”, Kompas, 6 Oktober 2001, hal. 25
  • “Aceh, Potret buram Daerah Makmur * Jajak Pendapat”, Kompas, 1 Juni 2003, hal. 36
  • “Bola” Aceh Makin Panas… * Fokus”, Kompas, 4 Mei 2003, hal. 25
  • “Pemilu di Serambi Mekkah: Impian Pesta Demokrasi Tanpa Tekanan *Pemilu 2004”, Kompas, 29 Januari 2004, hal. 01
  • “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam *Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 29 Januari 2004, hal. 32
  • “Perubahan, Harapan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam *Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 24 Mei 2004, hal. 48
  • “Pertemuan RI-GAM Berakhir Tanpa Hasil”, Kompas, 31 Januari 2005, hal. 01
  • “RUU Pemerintahan Aceh: Aceh yang Kaya, Rakyat Aceh yang Miskin?”, Kompas, 2 Maret 2006, hal. 05
  • “RUU Pemerintahan Aceh: Menilik Potret Awal Kelembagaan”, Kompas, 07 April 2006, hal. 05
  • “Jajak Pendapat “Kompas”: Problem Ekonomi Menghadang NAD”, Kompas, 27 November 2006, hal. 05
  • “Jajak Pendapat Kompas: Dominasi Elite Politik Lama dalam Pilkada Aceh”, Kompas, 04 Desember 2006, hal. 05
  • “PascaPilkada NAD: Tugas Besar untuk Irwandi-Nazar”, Kompas, 15 Desember 2006, hal. 05
  • “Peta Politik: Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Tarikan Islam dan Nasionalis”, Kompas, 2 Februari 2009, hal. 42
  • “Aceh dalam Tarikan Lokal”, Kompas, 2 Februari 2009, hal. 42
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto