Daerah

Kota Tanjungpinang: Kota Gurindam Dua Belas dan Pusat Kebudayaan Melayu

Kota Tanjungpinang merupakan kota yang sarat akan sejarah, budaya, dan adat istiadat Melayu. Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau ini terkenal dengan sebutan “Kota Gurindam Dua Belas”, karena di Pulau Penyengat bersemayam Raja Ali Haji yang termasyur dengan karya sastranya “Gurindam Dua Belas”.

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Sejumlah kendaraan melintas di Jembatan Dompak, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Rabu (10/2/2021).

Fakta Singkat

Hari Jadi
6 Januari 1784

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 5/2001

Luas Wilayah
144,56 km2

Jumlah Penduduk
227.663 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Rahma
Wakil Wali Kota Endang Abdullah

Instansi terkait
Pemerintah Kota Tanjungpinang

Kota Tanjungpinang merupakan pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Terletak di Pulau Bintan, posisi kota ini termasuk strategis karena berada pada posisi silang perdagangan dan pelayaran dunia, antara timur dan barat, yakni di antara Samudera Hindia dan Laut China Selatan. Kota ini juga berdekatan dengan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan Singapura sebagai pusat perdagangan dunia.

Sebelum dimekarkan, Tanjungpinang adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Kabupaten Bintan). Kota ini awalnya menjadi ibu kota Provinsi Riau yang meliputi Riau daratan dan kepulauan sebelum kemudian dipindahkan ke Pekanbaru. Kota tua ini kembali menjadi ibu kota provinsi saat Kepulauan Riau resmi pisah dari Riau pada 2002 berdasarkan UU 25/2002 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Meski memiliki usia tua, Tanjungpinang sebagai daerah otonom masih terhitung muda, tepatnya sejak 17 Oktober 2001 berdasarkan UU 5/2001  tentang Pembentukan Kota Tanjung Pinang. Sejak tanggal itu, Tanjungpinang baru bisa menata dirinya sendiri. Penataan itu antara lain memindahkan pusat pemerintahan dari kawasan lama di sekitar Pelabuhan Sri Bintan Pura ke kawasan Senggarang.

Pemerintah Kota Tanjungpinang menetapkan hari jadinya pada tanggal 6 Januari 1784. Tanggal tersebut merupakan hari puncak perang Riau antara Kesultanan Riau-Lingga dan Belanda.

Pada masa lalu, kota yang dikelilingi oleh beberapa pulau kecil seperti Pulau Dompak dan Pulau Penyengat ini pernah dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu dan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-18. Belanda juga pernah menjadikannya sebagai pusat keresidenan yang wilayahnya membentang dari Siantan di Laut Natuna hingga ke wilayah yang kini dikenal sebagai Riau dan Sumatera Utara.

Saat ini, Kota Tanjungpinang memiliki luas wilayah sebesar 239,5 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 227.663 jiwa pada 2020. Secara administratif, kota ini terdiri dari empat kecamatan dan 18 kelurahan. Sejak 2018, Tanjungpinang dipimpin oleh Wali Kota Rahma dan didampingi oleh Wakil Wali Kota Endang Abdullah.

Kota ini terkenal dengan sebutan “Kota Gurindam Dua Belas”, karena tidak terlepas dari keberadaan Pulau Penyengat, di mana bersemayam para Raja-Raja Riau. Salah satunya adalah Raja Ali Haji yang termasyur dengan karya sastranya “Gurindam Dua Belas”.

Adapun visi Kota Tanjungpinang adalah “Tanjungpinang sebagai Kota yang Maju, Berbudaya dan Sejahtera dalam Harmoni Kebhinekaan Masyarakat Madani”.

Sejarah pembentukan

Tanjungpinang telah dikenal sejak lama. Posisinya yang strategis di Pulau Bintan menjadikan kota ini sebagai pusat kebudayan Melayu dan lalu lintas perdagangan. Catatan sejarah mengenai Kota Tanjungpinang tersebut dipaparkan dalam buku Citra Kota Tanjungpinang dalam Arsip yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tahun 2015 dan sejumlah publikasi lainnya.

Keberadaan Tanjungpinang semakin dikenal pada masa Kerajaan Johor pada masa Sultan Abdul Jalil Syah yang memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil untuk membuka suatu bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan, tepatnya di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau. Bandar yang baru tersebut menjadi bandar yang ramai yang kemudian dikenal dengan Bandar Riau. Peranan Tanjungpinang sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk Bandar Riau.

Kepiawaian pemerintahan pada masa itu menjadikan Bandar Riau merupakan bandar perdagangan yang besar dan bahkan menyaingi bandar Malaka yang masa itu telah dikuasai Portugis dan akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Dalam beberapa riwayat dikisahkan para pedagang yang semula ingin berdagang di Malaka, kemudian berbelok arah ke Riau. Bahkan, orang-orang Malaka membeli beras dan kain di Riau. Hal ini disebabkan Bandar Riau merupakan kawasan yang aman dengan harga yang relatif bersaing dengan bandar Malaka. Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor-Riau. Beberapa kali pusat pemerintahan berpindah-pindah dari Johor ke Riau maupun sebaliknya.

Keberadaan Tanjungpinang semakin diperhitungkan pada peristiwa Perang Riau pada tahun 1782–1784 antara Kerajaan Riau dengan Belanda, pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Peperangan selama dua tahun ini mencapai puncaknya pada tanggal 6 Januari 1784 dengan kemenangan di pihak Kerajaan Melayu Riau yang ditandai dengan hancurnya kapal komando Belanda “Malaka’s Wal Faren” dan mendesak Belanda untuk mundur dari perairan Riau.

Selang beberapa bulan dari peristiwa tersebut, Raja Haji dan Pasukan Melayu Riau menyerang Malaka sebagai basis pertahanan Belanda di Selat Malaka. Akan tetapi, dalam peperangan tersebut, Pasukan Riau mengalami kekalahan dan Raja Haji sebagai komando perang wafat. Atas perjuangan itu, Raja Haji kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 1 November 1784, terjadi penandatanganan kontrak antara Belanda yang diwakili oleh JP van Braam dan Sultan Mahmoet dari Riau. Perjanjian ini menetapkan Belanda mulai berkuasa di Riau.

Kemunduran Kerajaan Melayu Riau semakin jelas sejak adanya Traktat London 1824 yang merupakan perjanjian tentang pembagian kekuasaan di Perairan Selat Malaka, dimana wilayah Riau-Lingga di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan wilayah Johor-Pahang dan sebagian wilayah semenanjung dikuasai oleh Inggris.

Melalui peristiwa ini pulalah, yang memisahkan keutuhan kerajaan Riau-Johor-Pahang dan kemudian kerajaan ini dikenal dengan sebutan Riau-Lingga, dan Singapura yang kala itu di bawah Kerajaan Riau ditukar dengan Bengkulu yang kala itu di bawah Kerajaan Inggris.

Pada tanggal 1 Juni 1874, sebuah armada pertempuran dari Batavia yang berkekuatan 6 kapal, 326 meriam dan 2.130 prajuritnya berhasil memecahkan blokade Bugis atas Malaka. Pertempuran ini telah menewaskan pimpinan tertinggi Bangsa Bugis, yaitu Raja Haji yang telah berhasil mengumpulkan kekuatan diantara bangsa Bugis sendiri dan Melayu dalam usahanya mengusir Belanda atas pendudukan Malaka.

Setelah dikuasai Belanda, Tanjungpinang dijadikan sebagai pangkalan militer. Selanjutnya statusnya ditingkatkan menjadi pusat pemerintahan dari Residentie Riouw en Onderhoriheden yang meliputi Afdeeling Riouw Archipel dan Afdeeling Inderagiri, dengan residen pertamanya David Ruhde.

Sejak Belanda menguasai wilayah Kerajaan Riau dan campur tangannya dalam kerajaan, Kerajaan Riau mengalami kemunduran. Puncaknya akibat Perjanjian Belanda-Riau 1911, Belanda menguasai seluruh wilayah Riau. Berkaitan dengan perjanjian tersebut, Sultan Riau hanya sebagai peminjam termasuk wilayah tambang timah Pulau Singkep. Pasal terakhir inilah yang ditentang oleh Sultan Riau.

Hal tersebut berujung pada pemecatan Sultan Riau oleh belanda pada tahun 1912. Sultan kala itu tidak mau menandatangani surat pemberhentian tersebut dan lebih memilih untuk pindah ke Singapura. Sejak saat itu, berakhirlah Kesultanan Riau-Lingga dengan dihapuskannya wilayah Riau-Lingga dari peta Keresidenan Belanda. Sementara keberadaan Tanjungpinang tetap menjadi daerah pusat Keresidenan Riouw en Onderhedingen. Hingga tahun 1942, Afdeeling Tanjungpinang terdiri dari onderafdeeling Tanjungpinag, Karimun, Lingga, dan Pulau Tujuh.

Pada tahun 1942–1945, keberadaan Belanda digantikan oleh Jepang. Saat itu, daerah di Kepulauan Riau menjadi bagian Syonanto yang terdiri dari to (bekas controleur), yaitu Tanjungpinang, Tanjung Balai Karimun, Dabo Singkep, dan Tarempa.

Sedangkan pejabat residen dipegang oleh G. Yagi (eks anggota Pasukan Korps Elite Tentara Kuantung). Pada masanya G. Yagi mencegah usaha romusha untuk masyarakat Kepulauan Riau karena seimbangnya jumlah penduduk pribumi dan China. Mereka hanya sebagian saja yang ikut Heiho dan Gyugun.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH

Naskah-naskah tua di Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, Pulau Penyengat.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Pusat hanya berjalan di tiga kabupaten di Keresidenan Riau, yaitu Pekanbaru, Bengkalis, dan Inderagiri. Hal ini karena Kepulauan Riau termasuk Tanjungpinang sudah diduduki oleh Belanda.

Setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, terjadi serah terima daerah pendudukan kepada Republik Indonesia. Sesuai dengan UU 22/1948, keresidenan dihapuskan diganti kabupaten. Bekas keresidenan Riau dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu Kampar, Bengkalis, Inderagiri, dan Kepulauan Riau yang beribu kota di Tanjungpinang. Kemudian berdasarkan UU 15/1949, bekas keresidenan Riau masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Tengah, dengan ibu kotanya di Bukittinggi.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1983 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983, Tanjungpinang berstatus sebagai kota administratif bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Bersama dengan Dumai yang telah lebih dulu menjadi kota administratif pada tahun 1979, Tanjungpinang merupakan kota administratif kedua di Provinsi Riau.

Pada tahun 1957, berdasarkan UU Darurat 19/1957 dibentuk Provinsi Riau dengan ibu kotanya Tanjungpinang, yang kemudian diundangkan melalui UU 61/1958, dengan Gubernur pertamanya Mr. S.M. Amin, namun tahun 1960 ibu kota Provinsi Riau dipindahkan ke Pekanbaru.

Setelah lama menjadi ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau, melalui PP 31/1983 tanggal 18 Oktober 1983, Tanjungpinang ditetapkan sebagai Kota Administratif. Kemudian berdasarkan UU 5/2001, pada tanggal 21 Juni 2001, statusnya naik menjadi Kota Tanjungpinang.

Peresmian Kota Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Hari Sabarno, dilaksanakan secara serentak bersama 11 kota lainnya pada tanggal 17 Oktober 2001 di Jakarta. Tanggal peresmian Kota Tanjungpinang inilah yang dijadikan sebagai momen peringatan ulang tahun Kota Tanjungpinang sebagai kota otonom.

Pusat pemerintahan yang semula berada di pusat Kota Tanjungpinang di pemukiman padat penduduk kemudian dipindahkan ke Senggarang (bagian utara kota) sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi kesenjangan pembangunan dan kepadatan pendudukan yang selama ini berpusat di Kota Lama (bagian barat kota).

Berdasarkan UU 25/2002 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Riau. Sekaligus momentum untuk kebangkitan Kota Tanjungpinang, setelah meredup dengan pemindahan ibu kota Provinsi Riau ke Pekanbaru dan adanya penetapan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas.

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Pelancong asing pelesir ke Masjid Raya Sultan Riau atau dikenal sebagai Masjid Penyengat di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Masjid itu salah satu peninggalan Kesultanan Riau-Lingga yang ibu kotanya berpindah beberapa kali di Kepulauan Riau.

Geografis

Kota Tanjungpinang berada di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dengan letak geografis berada pada 0o 51’ sampai dengan 0o 59’ Lintang Utara dan 104o 23’ sampai dengan 104o 34’ Bujur Timur.

Adapun batas-batas wilayah Kota Tanjungpinang adalah Kecamatan Teluk Bintan dan Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan di sebelah Utara; Kecamatan Mantang dan Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan di sebelah Selatan; Kecamatan Galang, Kota Batam, dan Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan di sebelah Barat; dan Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan di sebelah Timur.

Luas wilayah Kota Tanjungpinang mencapai 239,50 km2. Wilayah Kota Tanjungpinang terdiri dari sembilan pulau baik pulau besar dan kecil yang merupakan daerah dengan dataran landai di bagian pantai. Topografinya bervariasi dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-2 persen hingga 40 persen pada wilayah pegunungan. Sedangkan ketinggian wilayah pada pulau-pulau yang terdapat di Kota Tanjungpinang berkisar antara 0-50 meter di atas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400-an meter diatas permukaan laut.

Pada umumnya daerah Kota Tanjungpinang beriklim tropis basah, dengan temperatur berkisar antara 18-30 derajat celcius. Rata-rata kelembaban udara sekitar 86 persen, sedangkan yang tertinggi mencapai sekitar 99 persen dan terendah sekitar 58 persen.

Gugusan kepulauan di Kota Tanjungpinang mempunyai curah hujan cukup dengan iklim basah, berkisar antara 2000-2500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per hari sekitar 17,0 milimeter dengan jumlah hari hujan sekitar 16 hari per bulan.

Adapun sungai yang mengalir di Kota Tanjungpinang antara lain Sungai Gugus, Sungai Terusan, Sungai Papah, Sungai Senggarang, Sungai Sei Payung, dan Sungai Dompak. Selain sebagai saluran drainase, sungai yang cukup besar dimanfaatkan sebagai sumber air baku bagi penduduk kota dan sekitarnya.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH

Tanjungpinang dari ketinggian.

Pemerintahan

Sejak ditetapkan sebagai kota administratif hingga kini, Tanjungpinang telah dipimpin oleh tujuh kepala daerah. Wali Kota administratif pertama adalah Asmuni Hasymi yang menjabat selama dua tahun (1983-1985). Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Sani yang menjabat selama 10 tahun dari tahun 1985 hingga 1995. Dilanjutkan oleh Andi Rivai Siregar (1993-1995), dan Suryayati Abdul Manan (1995-2000).

Setelah resmi dibentuk sebagai kota baru pada tanggal 17 Oktober 2001, Kota Tanjungpinang dipimpin oleh pejabat wali kota Suryatati A Manan selama lima tahun (1995-2000). Selanjutnya Suryatati A. Manan menjabat Wali Kota Tanjungpinang  dari 2001 hingga 2013.

Kepemimpinan di Kota Tanjungpinang diteruskan oleh Wali Kota Lis Darmansyah selama lima tahun (2013-2018).  Kemudian Wali Kota Tanjungpinang dijabat oleh Syahrul yang terpilih dalam Pilkwako tahun 2018 dengan meraih 42.559 suara, mengalahkan petahana Lis Darmansyah yang hanya meraih 40.160 suara.

Namun pada tahun 2020 lalu, Syahrul meninggal dunia sehingga sisa masa jabatan Wali Kota Tanjungpinang periode 2018-2023 diteruskan oleh Rahma yang sebelumnya menjabat sebagai wakil wali kota Tanjungpinang. Pada 28 Juni 2021, terpilih wakil wali kota Tanjungpinang Endang Abdullah yang telah dilantik oleh Gubernur Kepulauan Kepri, Ansar Ahmad.

Secara administratif, Kota Tanjungpinang terdiri dari empat kecamatan dan 18 kelurahan serta 166 RW dan 673 RT. Keempat kecamatan itu adalah Kecamatan Bukit Bestari, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kecamatan Tanjungpinang Kota dan Kecamatan Tanjungpinang Barat.

Untuk mendukung jalannya pemerintahan, Kota Tanjungpinang pada tahun 2020 memiliki Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 3.253 orang yang terdiri dari 1.262 pegawai laki-laki (38,90 persen) dan 1.950 pegawai perempuan (61,10 persen). Dari jumlah tersebut, sebanyak 56,91 persen di antaranya berpendidikan tinggi.

KOMPAS/OEMAR SAMSURI

Gubernur Riau H. Imam Munandar melantik Asmuni Hasmy SH sebagai Wali Kota Administratif Tanjungpinang pada hari Senin pagi, 27 Desember 1983 di Tanjungpinang.

Politik

Peta politik di Kota Tanjungpinang tecermin dari perolehan kursi yang diraih partai politik (parpol). Selama tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum di Kota Tanjungpinang, perolehan kursi parpol lebih didominasi oleh parpol yang mengusung ideologi nasionalis.

Di Pemilu 2009, PDI-P memperoleh kursi terbanyak, yakni empat kursi. Kemudian Demokrat, Golkar, PAN, dan PKS masing-masing meraih tiga kursi. PIB dan PPP mendapatkan dua kursi. Sedangkan PDK, PKNU, Hanura, PKPB, dan PDP masing-masing meraih satu kursi.

Pada Pemilu 2014, partai berlambang banteng moncong putih, PDI-P, masih mendominasi perolehan kursi di DPRD Kota Tanjungpinang dengan meraih tujuh kursi. Disusul Golkar dan Hanura masing-masing memperoleh empat kursi. Demokrat, Gerindra, dan PKS masing-masing mendapatkan tiga kursi. Sedangkan PAN, Partai Persatuan, dan PKPI masing-masing meraih dua kursi.

Berlanjut di Pemilu 2019, peta perpolitikan di Kota Tanjungpinang masih didominasi PDI-P bersama Golkar. Kedua partai tersebut masing-masing meraih lima kursi dari 30 kursi tersedia. Kemudian diikuti Nasdem dengan empat kursi; Gerindra dan PKS masing-masing memperoleh tiga kursi serta PPP, PAN, Hanura, Demokrat, dan PKB masing-masing mendapatkan dua kursi.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Emil Salim banyak menggunakan pendekatan pribadi pada kampanye. Selain bisa mengetahui isi hati mereka, pendidikan politik bisa diberikan. Tampak Emil Salim sedang berbincang-bincang dengan para penarik “becak air” di Tanjung Pinang.

Kependudukan

Penduduk Kota Tanjungpinang menurut sensus penduduk tahun 2020 sebanyak 227.663 yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 114.684 orang dan penduduk perempuan sebanyak 112.979. Dengan proporsi tersebut, sex ratio nilainya diatas 100 yaitu sebesar 102. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap 100 penduduk perempuan ada 102 penduduk laki-laki di Kota Tanjungpinang.

Komposisi penduduk dalam piramida penduduk Kota Tanjungpinang terlihat kelompok usia 35-39 tahun lebih menonjol dibanding kelompok usia lainnya. Proporsi usia produktif sebesar 69,09 persen dari total penduduk. Sementara proporsi penduduk yang berusia di bawah 15 tahun sebanyak 26,06 persen, dan proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) hanya sebesar 4,85 persen.

Penduduk Tanjungpinang didominasi oleh Suku Melayu yang merupakan penduduk asli dan kelompok suku bangsa yang dominan di Tanjungpinang. Selain itu, terdapat pula suku Bugis dan Tionghoa yang sudah ratusan tahun berbaur dengan suku Melayu dan menjadi penduduk tetap semenjak zaman Kesultanan Johor Riau dan Residentie Riouw.

Suku Bugis awalnya menetap di Kampung Bugis dan suku Tionghoa banyak menempati jalan Merdeka dan Pagar Batu. Sedangkan suku Jawa mulai ramai mendatangi Tanjungpinang pada tahun 1960. Pemukiman awal suku Jawa terletak di Kampung Jawa.

Bahasa yang digunakan di Tanjungpinang adalah bahasa Melayu klasik. Bahasa Melayu di kota ini hampir sama dengan bahasa Melayu yang digunakan di Singapura, Johor, Pahang, Selangor, hingga Malaka, karena memang sejak zaman pemerintahan kesultanan Riau Lingga dahulu Tanjungpinang sudah menjadi pusat budaya Melayu bersama Singapura. Selain itu, bahasa Tiochiu dan Hokkien juga banyak digunakan oleh suku Tionghoa di Kota Tanjungpinang.

Dari sisi pekerjaan, sektor tersier seperti Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel, Angkutan dan Komunikasi serta Jasa-jasa semakin mendominasi pasar kerja di Kota Tanjungpinang dengan persentase sebesar 80,19 persen. Kemudian diikuti oleh sektor sekunder (Industri, Listrik Gas dan Air serta Konstruksi) sebesar 15,10 persen. Sementara pekerja di Sektor Primer yang mencakup sektor Pertanian dan Pertambangan hanya sebesar 4,70 persen.

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Kerukunan Di Kepulauan Riau – Pelancong bertandang ke Vihara Ksitigarbha Bodhisattva, Sabtu (21/10/2017), di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Tempat ibadah yang lebih dikenal sebagai Kuil Seribu Budha itu salah satu bukti keragaman masyarakat di Kepulauan Riau. Selama berabad-abad, Kepri menjadi salah satu daerah paling heterogen dan masyarakatnya tidak pernah mempersoalkan latar belakang suku, agama, atau golongan seseorang.

Indeks Pembangunan Manusia
78,91 (2020)

Angka Harapan Hidup 
72,10 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
14,12 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,25 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp 15,49 juta (2020)

Tingkat Kemiskinan
9,98 persen (2019)

Tingkat Pengangguran Terbuka
9,30 persen (2019)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Tanjungpinang terus menunjukkan kemajuan. Berdasarkan data dari BPS, indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Tanjungpinang dalam 10 tahun terakhir nilainya selalu di atas angka 75. Pencapaian tersebut masih diatas IPM Provinsi Kepulauan Riau dan menempati urutan kedua di bawah Kota Batam.

Pencapaian IPM Kota Tanjungpinang tersebut ditopang pula oleh komponennya. Umur harapan hidup tercatat 72,10 tahun. Kemudian di komponen pendidikan, harapan lama sekolah (HLS) tercatat 14,12 tahun sedangkan rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat 10,25 tahun. Adapun pengeluaran per kapita sebesar Rp 15,49 juta.

Di bidang ketenagakerajan, penduduk yang termasuk angkatan kerja sebanyak 97.139 orang, dengan tingkat kesempatan kerja sebesar 94,36 persen pada tahun 2019. Sekitar 37,10 persen merupakan bukan angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Kota Tanjungpinang tahun 2019 adalah sebesar 62,90 persen.

Tingkat pengangguran terbuka di Kota Tanjungpinang tahun 2020 sebesar 9,30 persen, meningkat dibanding tahun 2019 sebesar 5,64 persen. Peningkatan angka pengangguran ini tidak terlepas dari merebaknya pandemi Covid-19 yang berdampak pada lesunya ekonomi sepanjang tahun lalu.

Adapun angka kemiskinan di Kota Tanjungpinang pada tahun 2020 tercatat sebanyak 19,98 ribu atau 9,37 persen. Angka kemiskinan tersebut meningkat 0,34 persen dibandingkan tahun 2019 sebesar 9,03 persen.

KOMPAS/KENEDI NURHAN

Melengkapi kegiatan Temu Sastra Indonesia III/2010 di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, panitia menggelar bengkel sastra penulisan cerpen dan puisi bagi siswa SMP dan SMA Tanjung Pinang.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 145,79 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 738,50 miliar (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp 103,75 miliar (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-3,45 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp 19,66 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp 92,07 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Pangkalpinang pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 19,66 triliun. Dari total PDRB tersebut, perekonomian Kota Pangkalpinang terbesar ditopang oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran: Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 29 persen. Diikuti oleh Konstruksi sebesar 28,77 persen dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 11,31 persen.

Untuk sektor konstruksi, kendati kontribusinya terbesar kedua terhadap PDRB, namun dalam kurun lima tahun terakhir kontribusinya cenderung menurun. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan cenderung naik dalam kurun waktu yang sama.

Adapun kontribusi di industri pengolahan sebesar 6,64 persen pada tahun 2020 dan cenderung tumbuh positif dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2019, terdapat 17 perusahaan besar dan sedang dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.081 di kota ini. Sementara itu, industri berskala kecil tercatat sebanyak 3.845 usaha. Dari jumlah itu, sebanyak 2.617 usaha bergerak di industri makanan sedangkan industri non makanan sebanyak 1.228 usaha.

Di sisi keuangan daerah, total pendapatan Kota Tanjungpinang sebesar Rp 988,04 miliar. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 145,79 miliar, dana perimbangan dari pemerintah pusat sebesar Rp 738,50 triliun serta pendapatan lain-lain sebesar Rp 103,75 miliar.

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Wisata Bahari Kepulauan Riau – Para peserta lomba perahu naga beradu cepat di Sungai Carang, Jumat (20/10/2017). Festival tiga hari hingga Minggu (22/10) di Tanjungpinang, Kepulauan Riau salah satu atraksi untuk menarik pelancong ke Kepulauan Riau. Wisata bahari salah satu andalan Kepri yang 95 persen wilayahnya berupa lautan.

Kota Tanjungpinang memiliki cukup banyak daerah pariwisata seperti Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang lebih dua mil dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pantai Trikora dengan pasir putihnya, dan Pantai Buatan yaitu Tepi Laut yang terletak di garis pantai pusat kota sebagai pemanis atau wajah kota (waterfront city).

Di Pulau Penyengat terdapat banyak bangunan bersejarah dan makam yang telah dijadikan situs cagar budaya. Di pulau ini juga dijumpai kelenteng atau vihara di kawasan Kampung Bugis dan Senggarang, yang sekaligus menjadi kawasan wisata religi. Wisata lainnya juga dapat ditemukan di Pantai Impian, Tugu Pensil, Tepi Lau,  dan sebagainya.

Untuk mendukung potensi pariwisata tersebut, pada tahun 2019, Kota Tanjungpinang telah memiliki 48 hotel yang 8 diantaranya hotel berbintang sedangkan 40 hotel lainnya hotel non bintang. Kegiatan promosi hotel juga terintegrasi dengan promosi destinasi pariwisata di kota ini. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Siluet Pulau Penyengat, Tanjung Pinang menjelang matahari terbenam. Di pulau itu terdapat Masjid Raya Sultan Riau atau dikenal sebagai Masjid Penyengat. Masjid itu salah satu peninggalan Kesultanan Riau-Lingga yang ibukotanya berpindah beberapa kali di Kepulauan Riau.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Mendagri Meresmikan Dua Belas Kota Baru”, Kompas, 18 Oktober 2001, hlm. 26
  • “Revitalisasi Budaya Melayu”, Kompas, 6 Agustus 2004, hlm. 30
  • “Sejarah : Monumen Fisabilillah Akan Dibangun”, Kompas Sumbagut, 08 Desember 2009, hlm. 27
  • “Sosok: Suryatati, Sang Perempuan Wali Kota”, Kompas, 15 Oktober 2009, hlm. 16
  • “Kepariwisataan: Hutan Bakau di Istana Lama”, Kompas, 18 Agustus 2009, hlm. 33
  • “Tanjungpinang, Enam Kalinya Bersiap-siap…”, Kompas, 03 Maret 2006, hlm. 36
  • “Pusat Kajian Kebudayaan Melayu -Sarana Penyelamatan Khazanah Budaya Melayu *Sorotan”, Kompas, 25 Mei 2005, hlm. 46
  • “Revitalisasi Budaya Melayu”, Kompas, 06 Agustus 2004, hlm. 30
  • “Sejarah Melayu: Mengenal Kota Candu dari Museum”, Kompas, 27 Februari 2009, hlm. 47
  • “Kota Tanjungpinang: Menjaga Kota Gurindam * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 12 Juni 2015, hlm. 22
  • “Pariwisata: Pulau Penyengat Digarap Lebih Serius”, Kompas, 21 Februari 2016, hlm. 10
  • “Sejarah: Bantu Restorasi Situs Kota Rebah”, Kompas, 21 Oktober 2017, hlm. 12
  • “Mengingat Tamadun Melayu di Penyengat”, Kompas, 10 Nov 2019, hlm. C
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 22/1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
  • UU Darurat 19/1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau
  • UU 61/1958 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau” (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 75), Sebagai Undang-Undang
  • UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • UU 5/2001 tentang Pembentukan Kota Tanjung Pinang
  • UU 25/2002 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau
  • PP 31/1983 tentang Pembentukan Kota Administratif Tanjung Pinang
  • Perda Kota Tanjungpinang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2018-2023

Editor
Topan Yuniarto