KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Gerbang Pintu Masuk Manado di tepi Pantai Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (29/5/2020).
Fakta Singkat
Hari Jadi
14 Juli 1923
Dasar Hukum
Undang-Undang No. 1/1957
Luas Wilayah
162,55 km2
Jumlah Penduduk
451.916 jiwa (2020)
Kepala Daerah
Wali Kota Andrei Angouw
Wakil Wali Kota Richard Hendry Marten Sualang
Instansi terkait
Pemerintahan Kota Manado
Kota Manado berada di ujung utara Pulau Sulawesi dan merupakan kota terbesar di Sulawesi Utara sekaligus juga sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Kota ini berbatasan dengan Filipina dan Malaysia Timur. Kota Manado dikelilingi daerah pegunungan yang indah dan asri.
Sebelum maju dan berkembang besar seperti sekarang, Manado adalah bagian dari wilayah Minahasa. Sampai tahun 1947, Manado masih merupakan wilayah Minahasa. Wenang adalah nama pertama sebelum berubah menjadi Manado.
Hari jadi Kota Manado ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623 berdasarkan Keputusan DPRD-GR No. 17 Tahun 1968, yang mengemas tiga peristiwa bersejarah. Tanggal 14 diambil dari peristiwa heroik, yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, di mana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis, yaitu Juli 1919, saat munculnya Surat Keputusan (Besluit) Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan. Sementara, 1623 yang diambil dari unsur historis, yaitu tahun di mana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi.
Berdasarkan ketiga peristiwa penting tersebut, maka pada 14 Juli 1989, Kota Manado ditetapkan merayakan hari ulang tahun yang ke-367. Sejak saat itu hingga sekarang, tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.
Secara administratif, Kota Manado memiliki 11 kecamatan serta 87 kelurahan dan desa dengan luas wilayah 162,55 km². Berdasarkan hasil sensus 2020, kota ini berpenduduk 451.916 dan menjadikannya kota terpadat kedua di Sulawesi setelah Makassar. Saat ini, Kota Manado dipimpin oleh Wali Kota Andrei Angouw dan Wakil Wali Kota Richard Hendry Marten Sualang.
Kota Manado memiliki semboyan “Si Tou Timou Tumou Tou” yang berarti “Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain” atau “Orang hidup untuk menghidupkan orang lain”. Karenanya, Kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado, yaitu ”Torang Samua Basudara” yang artinya “Kita semua bersaudara”. Kota ini juga memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat.
Kota Manado memiliki banyak keindahan alam, di antaranya Taman Laut Nasional Bunaken yang terkenal sebagai salah satu taman laut terindah dan terkenal di dunia dengan kekayaan alam dan keindahan kehidupan di bawah lautnya. Selain Bunaken, Manado juga dikelilingi dua pulau eksotik, yaitu Manado Tua dan Siladen. Selain itu, Kota Manado terkenal dengan julukan Kota Tinutuan, yakni makanan khas bubur Manado.
Berdasarkan sistem perkotaan nasional, Kota Manado ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Dalam RPJMN 2015–2019, Kota Manado merupakan bagian dari Kawasan Perkotaan Metropolitan Bimindo dan diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang berorientasi pada meningkatkan spesialisasi fungsi pariwisata, industri pengolahan dengan tetap mempertahankan budaya lokal.
Sejarah pembentukan
Kota Manado diperkirakan telah didiami sejak abad ke-16. Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah dikenal dan didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Hal itu disebutkan dalam buku Citra Kota Manado dalam Arsip, yang diterbitkan ANRI dan buku Profil Kota Manado yang diterbitkan oleh pemerintah Kota Manado.
Lebih jauh diterangkan, menurut sejarah, Kota Manado terletak pada suatu daerah yang oleh penduduk Minahasa disebut “Wanua Wenang” yang telah ada sekitar abad ke-12 yang didirikan oleh “Ruru Ares” yang bergelar Dotu Lolong Lasut bersama keturunannya.
Nama Manado mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama “Pogidon” atau “Wenang”. Kata Manado sendiri berasal dari bahasa daerah Minahasa, yaitu “Mana rou” atau “Mana dou” yang dalam bahasa Indonesia berarti “di jauh”. Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang Eropa dengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.
Kota Manado atau Mana rou/Mana dou dimaksud sebagai suatu tempat yang jauh, sebab menurut sejarah Minahasa bahwa pusat pemerintahan bukan berada di daratan Minahasa tetapi berada di Pulau Manado Tua sekarang (Kerajaan Bobontehu).
Manado dikenal sebagai kota jauh di sekitar tahun 1623 di mana ketika itu bangsa Spanyol mendirikan benteng di daratan Minahasa khususnya Wanua Wenang. Pada sekitar tahun tersebut, terjadi wabah penyakit di pulau Manado Tua sehingga benteng dialihkan kedaratan Minahasa.
Memasuki abad ke-17, Belanda juga mulai melakukan penetrasi kekuasaan di wilayah Manado. Ketika dimulai pembangunan Benteng “De Nederlandsche Vastigheit” dari kayu-kayu balok pada tahun 1655, timbul sengketa antara Spanyol dengan Belanda.
Bagi Belanda, pembangunan benteng ini sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi, hal itu akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol. Belanda mulai merintis kegiatan administrasi di Manado pada tahun 1657 sebagai imbalan atas dukungan kepada Raja Ternate dalam usaha mengusir orang-orang Spanyol.
Setelah mendapatkan dukungan dari Batavia, pada awal tahun 1661, armada Belanda berlayar dari Ternate menuju Mana rou disertai dua kapal perang, Molucco dan Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di Mana rou. Pada tahun 1673, Belanda memperkokoh pengaruhnya di Mana rou dan mengubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini kemudian diberi nama baru, “Ford Amsterdam” dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, Cornelis Francx, pada tanggal 14 Juli 1673.
Selanjutnya pada tahun 1824, Manado ditetapkan sebagai sebuah residensi bagian dari wilayah Gouvernement de Moluksche Eilanden (Gubernur Kepulauan Maluku) yang dibagi atas lima wilayah (afdeling), yaitu Manado, Kema, Tondano, Amurang, dan Belang. Manado sendiri pada tahun 1846 diusulkan menjadi residensi otonom yang terdiri atas lima afdeling.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Pemerintah tanggal 31 Agustus 1864 No. 9, Manado ditetapkan sebagai sebuah residensi otonom, terpisah dari Gubernemen Kepulauan Maluku. Residensi Manado terdiri atas enam wilayah, yaitu Manado, Kema, Tondano, Amurang, Belang, dan Gorontalo.
Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya Surat Keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya, antara lain, Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Wali kota (Burgemeester).
Pada masa pendudukan Jepang, disebutkan bahwa pada tanggal 11 Januari 1942, bala tentara Jepang mendarat di Pantai Utara dan Selatan Kota Manado. Pada tanggal yang sama, Jepang juga mendarat di Pangkalan Udara Kalawiran (Kakas) dan di Kema. Pada awalnya, kedatangan Jepang disambut baik oleh rakyat yang tertekan oleh penjajahan Belanda. Namun kemudian, segera berubah begitu Jepang mulai melaksanakan pemerintahnnya. Kegiatan rakyat semakin ditekan dan kehidupan semakin sulit sehingga menimbulkan perlawanan rakyat pada tahun 1944–1945 yang dimotori oleh Gerakan Merah Putih.
Sementara itu, pemerintahan militer Jepang sendiri tidak dapat berjalan lancar karena serangan-serangan pasukan Sekutu yang semakin gencar. Pada tahun 1944, Kota Manado dihujani bom oleh tentara Sekutu sehingga pusat pemerintahan militer Jepang terpaksa dipindahkan ke Tondano. Akibat serangan yang gencar tersebut, akhirnya Jepang menyerah pada tanggal 8 Oktober 1945 kepada Sekutu.
Setelah Indonesia merdeka, dalam perkembangannya, pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Pada tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan periode 1951–1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada September 1951, Wakil Presiden Mohammad Hatta menyempatkan diri singgah di Manado dan menginap di rumah Wali Kota Manado, dalam rangka perjalanan kunjungan kerja ke Kepulauan Sangihe dan Talaud. Pada tanggal 16 November 1951, diselenggarakan Rapat Raksasa di Manado.
Pada tahun 1953, Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai PP 42/1953 juncto PP 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai UU 1/1957. Usaha normalisasi hubungan antara daerah Sulawesi Utara-Tengah dengan pemerintah pusat juga menjadi perhatian partai politik yang ada di Manado, antara lain, melalui pernyataan DPD PNI dalam Munas tanggal 10 dan 11 September 1957.
Pada tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai UU 29/1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado, yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai UU 18/1965 yang disempurnakan dengan UU 5/1974.
KOMPAS/M HERNOWO
Untuk mengenang Perang Dunia II di Sulawesi Utara, terutama pendaratan pasukan Sekutu, didirikan tugu peringatan dI Jalan Sarapung, Manado. Sulut menjadi salah satu daerah di Indonesia yang mengalami langsung penjajahan Spanyol, Portugis dan Belanda. Pengalaman kolonialisme turut menciptakan sifat egaliter dan keterbukaan di Sulut.
Artikel Terkait
Geografis
Kota Manado terletak pada posisi geografis 124°40′ — 124°50′ Bujur Timur dan 1°30′ – 1°40′ Lintang Utara. Kota ini berbatasan dengan Kabupaten Minahasa dan Selat Mantehage di sebelah Utara, dengan Kabupaten Minahasa di sebelah Timur, dengan Kabupaten Minahasa di sebelah Selatan dan dengan Teluk Manado di sebelah Barat.
Kota ini memiliki wilayah daratan seluas 15.726 hektare. Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer. Kota ini juga dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan. Wilayah daratannya didominasi oleh kawasan berbukit dengan sebagian dataran rendah di daerah pantai. Interval ketinggian dataran antara 0–40 persen dengan puncak tertinggi di Gunung Tumpa.
Wilayah perairan Kota Manado meliputi Pulau Bunaken, Pulau Siladen dan Pulau Manado Tua. Pulau Bunaken dan Siladen memiliki topografi yang bergelombang dengan puncak setinggi 200 meter. Sedangkan pulau Manado Tua adalah pulau gunung dengan ketinggian sekitar 750 meter.
Sementara itu perairan teluk Manado memiliki kedalaman 2–5 meter di pesisir pantai sampai 2.000 meter pada garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua. Kedalaman ini menjadi semacam penghalang sehingga sampai saat ini intensitas kerusakan Taman Nasional Bunaken relatif rendah.
Suhu udara rata-rata di Manado pada tahun 2020 berkisar antara 26,41°C sampai dengan 27,83°C. Tempat-tempat yang letaknya berdekatan dengan pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Kelembapan udara rata-rata cukup tinggi dengan nilai berkisar antara 77,22 persen sampai dengan 85,57 persen.
Kota Manado adalah kota yang berada pada muara-muara sungai besar. Ada tujuh sungai di Sulawesi Utara yang bermuara di Manado, yaitu Sungai Tondano, Sungai Sario, Sungai Bailang, Sungai Kolongan, Sungai Malalayang, Sungai Maasing, dan Sungai Kima. Kota ini pun berada pada elevasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di sekitarnya.
Artikel Terkait
Pemerintahan
Sejarah mencatat sejak tahun 1928, sudah ada puluhan tokoh yang pernah menjabat wali kota Manado.
Pada masa Hindia Belanda (1928–1942), Ds. Frederik Hendrik van de Wetering tercatat sebagai Burgemeester pertama Manado yang menjabat pada periode 1928–1933. Kemudian berturut-turut diteruskan oleh H.F. Brune (1933–1936), Dirk Kapteijn (1936–1940), dan H. Dallinga (1941–1942).
Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang (1942–1945), Manado pernah dipimpin oleh Minori Yanai (1942–1943), Suzuki (1943–1944), K. Isida (1944–1945), dan Albertus B. Waworuntu yang menjabat sebagai wali kota Manado sebelum masa kemerdekaan (1945–1945).
Selama periode Republik Indonesia (1945–sekarang), Manado berturut-turut dipimpin oleh B.W. Lapian (1945–1947), E.R.S. Warouw (1947–1950), Augustine Magdalena Waworuntu (1950–1951), Hendrik Reingardt Ticoalu (1951–1952), Benjamin J. Lapian (1952–1953), Jurian Tilu Parera (1953–1955), Jakin Intan Permata (1955–1958), Jan Piet Mongula (1958–1960), dan Fransiscus Walandouw (1960–1965).
Kemudian diteruskan oleh Soepani (1965–1966), Letkol Rauf Mo’o (1966–1971), J.H. Pussung (1971–1975), Hein Victor Worang (1975–1975), Adolf Albert Pelealu (1975–1985), Najoan Habel Eman (1985–1995), Lucky Harry Korah (1995–2000), Wempie Frederik (2000–2005), Jimmy Rimba Rogi (2005–2008), Abdi Buchari (2008–2009), Sinyo Harry Sarundajang sebagai Plt. wali kota merangkap gubernur Sulawesi Utara (2009–2010), Robby Mamuaja sebagai Pj wali kota merangkap Pj. Gubernur Sulawesi Utara (13 Agustus — 14 September 2010), Vicky Lumentut (2010–2015), Royke Octavian Roring sebagai penjabat wali kota (8 Desember 2015 hingga 9 Mei 2016), Vicky Lumentut (2016–2021), dan Andrei Angouw (2021–2026).
Untuk mendukung jalannya pemerintahan, Pemerintahan Kota Manado didukung oleh 5.272 Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2020 dan 65 persen di antaranya adalah PNS perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikan, 65 persen PNS di Kota Manado berpendidikan sarjana ke atas. Mayoritas PNS di Dinas/Instansi Pemerintah Kota Manado bergolongan III, yaitu sebesar 63 persen.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Seorang pemilih memasukkan surat suara setelah mencoblos di bilik suara dalam simulasi Pilkada 2020, Sabtu (21/11/2020), di Lapangan Bantik, Malalayang I, Manado, Sulawesi Utara. Simulasi itu diikuti dua KPPS dan 200 orang warga setempat yang masuk daftar pemilih tetap.
Artikel Terkait
Politik
Peta perpolitikan di Kota Manado berlangsung dinamis dalam tiga pemilihan umum (pemilu) legislatif. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Manado.
Di Pemilu Legislatif 2009, dari 40 kursi yang tersedia di DPRD Kota Manado, Partai Golkar berhasil meraih delapan kursi. Disusul Demokrat enam kursi, PDI-P dan Gerindra masing-masing lima kursi. Kemudian berturut-turut Hanura dan PAN masing-masing tiga kursi, PDS, PPP, dan PKS masing-masing dua kursi, serta PKPB, Barnas, PDK dan Buruh masing-masing mendapatkan satu kursi.
Lima tahun kemudian, di Pemilu Legislatif 2014, giliran Partai Demokrat yang meraih kursi terbanyak di DPRD Kota Manado dengan sembilan kursi. Disusul PDI-P enam kursi, Golkar dan Gerindra masing-masing lima kursi, PAN dan Hanura masing-masing empat kursi, Nasdem tiga kursi, PKS dua kursi serta PPP dan PKPI masing-masing satu kursi.
Terakhir di Pemilu Legislatif 2019, peta perpolitikan kembali berubah. PDI-P menempatkan diri sebagai partai politik peraih kursi terbanyak di DPRD Manado, yakni sebanyak 10 kursi. Di urutan berikutnya adalah Partai Demokrat yang memperoleh enam kursi serta Golkar dan Nasdem yang masing-masing mendapatkan lima kursi.
Partai lainnya mendapatkan kursi adalah Gerindra dan PAN masing-masing memperoleh empat kursi, Perindo dan PKS masing-masing dua kursi, serta PSI dan Hanura masing-masing mendapat satu kursi.
Artikel Terkait
Kependudukan
Kota Manado dihuni oleh 451.916 jiwa, yang terdiri dari 226.978 laki-laki dan 224.938 perempuan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2010–2020), laju pertumbuhan penduduk Kota Manado tercatat sebesar 0,93 persen per tahun.
Ditilik dari komposisi penduduknya, Kota Manado memasuki tahap bonus demografi. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) sebesar 316.003, lebih besar dibanding usia nonproduktif yang sebesar 135.913 orang. Dengan demikian, rasio ketergantungan Kota Manado sebesar 43,01 persen. Itu berarti setiap 100 orang yang berusia kerja (dianggap produktif) mempunyai tanggungan sebanyak 43 orang yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Secara kewilayahan, penduduk Kota Manado terkonsentrasi di tiga kecamatan, yaitu Mapanget (14 persen), Malalayang (13,70 persen), dan Wanea (13,22 persen). Sedangkan Kecamatan Bunaken Kepulauan, Sario, dan Bunaken merupakan tiga kecamatan yang memiliki penduduk paling sedikit, masing-masing berjumlah 6,30 ribu; 21,74 ribu; dan 25,67 ribu.
Di sisi etnis, mayoritas penduduk Kota Manado berasal dari suku Minahasa. Penduduk asli Manado adalah subsuku Tombulu yang dapat dilihat dari beberapa nama kelurahan di Manado yang berasal dari bahasa Tombulu. Misalnya, Wenang (pohon wenang), Tumumpa (turun), Mahakeret (berteriak), Ranotana (air tanah), dan Pinaesaan (tempat persatuan).
Sementara daerah Malalayang didiami oleh suku Bantik. Suka bangsa lainnya adalah Sangir, Gorontalo, Mongondow, Arab, Babontehu, Talaud, Tionghoa, Siau, dan kaum Borgo. Selain itu, terdapat pula penduduk suku Jawa, Batak, Makassar, Minangkabau, dan Aceh.
Di sisi agama, mayoritas penduduk Kota Manado beragama Kristen dan Katolik. Sama halnya dengan di Pulau Jawa yang kebanyakan penduduknya adalah muslim dengan banyak masjid di setiap sudut kota, di Kota Manado juga banyak dijumpai gereja yang tersebar merata di seluruh penjuru kota. Manado pun dijuluki sebagai Kota Sejuta Gereja.
Menariknya, setiap gereja yang ada di Kota Manado bahkan memiliki ciri khas bangunannya masing-masing. Kota Manado bahkan banyak dianggap sebagai Rio de Jainero-nya Indonesia karena punya banyak gereja seperti di kota di Brasil tersebut. Meski begitu, pemeluk agama Islam maupun agama lainnya tak perlu khawatir, karena di kota ini juga cukup banyak dijumpai masjid maupun tempat ibadah agama lainnya.
Kendati Kota Manado didiami oleh berbagai etnis dan berbagai golongan agama namun masyarakat Kota Manado selalu hidup rukun dan damai. Slogan “Torang Samua Basudara” seolah semakin memperkuat kerukunan hidup masyarakat di Kota Manado. Tak heran jika beberapa tokoh bangsa mengatakan bahwa Manado merupakan miniatur Indonesia.
Bahasa yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya adalah bahasa Manado, yaitu menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda, bahasa Portugis, dan bahasa asing lainnya.
Adapun dari segi pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kota Manado bekerja di sektor jasa, pertanian dan manufaktur. Dari 171.155 penduduknya yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor jasa dengan persentase sebesar 79,12 persen
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pelajar memainkan kolintang di kawasan Pantai Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (9/6/2018). Masyarakat Minahasa menilai kolintang bukan sekadar alat musik, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan seperti keseimbangan, demokrasi, saling menghargai, dan menghormati.
Indeks Pembangunan Manusia
79,20 (2021)
Angka Harapan Hidup
71,90 tahun (2021)
Harapan Lama Sekolah
14,16 tahun (2021)
Rata-rata Lama Sekolah
11,42 tahun (2021)
Pengeluaran per Kapita
Rp13,99 juta (2021)
Tingkat Pengangguran Terbuka
13,88 persen (2020)
Tingkat Kemiskinan
5,86 persen (2020)
Kesejahteraan
Pembangunan manusia di Kota Manado dalam satu dekade terakhir terus meningkat. Indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Manado pada tahun 2010 tercatat sebesar 78 meningkat menjadi 79,20 di tahun 2021. IPM Kota Manado tersebut jauh di atas kabupaten/kota lainnya di Sulut, termasuk Provinsi Sulut.
Ditilik dari komponen pembentuknya, angka harapan hidup tercatat mencapai 71,20 tahun, harapan lama sekolah 14,16 tahun, rata-rata lama sekolah 11,42 tahun, dan pengeluaran per kapita disesuaikan sebesar Rp13,99 juta.
Tingkat pengangguran terbuka di Kota Manado meningkat pada tahun 2020 akibat terdampak Covid-19. BPS Kota Manado mencatat angka pengangguran terbuka di Kota Manado tahun 2020 sebesar 13,88 persen, meningkat dibandingkan tahun 2019 sebesar 10,45 persen. TPT Kota Manado terhitung tertinggi di Sulawesi Utara.
Sementara untuk tingkat kemiskinan, Kota Manado mencatatkan angka kemiskinan di tahun 2020 sebesar 5,86 persen, cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2018, tercatat angka kemiskinan sebesar 5,38 persen.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Siswa-siswi bersiap-siap menari tarian Kabasaran, tarian sambutan khas Minahasa dalam acara Pameran dan Pementasan Program Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) yang digelar Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Pemerintah Kota Manado di Kota Manado, Sulawesi Utara, Senin (17/12/2018). Program GSMS digelar sejak Agustus hingga Desember 2018 dengan menerjunkan seniman-seniman untuk mengajar kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah SD dan SMP se-Indonesia.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rp377,37 miliar (2019)
Dana Perimbangan
Rp981,15 miliar (2019)
Pendapatan Lain-lain
Rp175,22 miliar (2019)
Pertumbuhan Ekonomi
-3,13 persen (2020)
PDRB Harga Berlaku
Rp36,63 triliun (2020)
PDRB per kapita
Rp84,14 juta/tahun (2020)
Ekonomi
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Manado pada 2020 tercatat senilai Rp36,63 triliun. Dari jumlah tersebut, ekonomi kota ini ditopang oleh sektor perdagangan dengan kontribusi sebesar 19,54 persen dari total PDRB 2020.
Selain perdagangan, kontributor utama lain ialah sektor transportasi dan pergudangan, yakni sebesar 15,72 persen dari PDRB 2020. Selanjutnya, sektor informasi dan komunikasi serta administrasi pemerintahan masing-masing menyumbang 11,43 persen dan 10,07 persen terhadap PDRB. Konstruksi juga termasuk dalam 5 besar sektor penopang PDRB dengan kontribusi 9,48 persen.
Di sektor perdagangan, Kota Manado tercatat memiliki tujuh pasar Inpres, yaitu pasar Bahu, pasar Pinasungkulan, pasar Bersehati, Pusat Kota, pasar Orde baru, pasar Tuminting dan Pasar Bobo. Adapun jumlah ruko/kios di pasar Bersehati sebanyak 175 unit dan los/tenda sebanyak 1.108 buah.
Di bidang keuangan daerah, total pendapatan Kota Manado pada tahun 2019 menembus Rp1,53 triliun. Dari jumlah tersebut, dana perimbangan masih menjadi penopang utama pembangunan daerah dengan kontribusi senilai Rp981,15 miliar atau sekitar 64 persen dari total pendapatan 2019. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) mencatatkan realisasi senilai Rp377,37 miliar atau sebesar 25 persen dari total pendapatan daerah. Sedangkan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp175,22 miliar.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Wisatawan berenang bersama beragam ikan di perairan Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (27/3/2021).
Di sektor pariwisata, kota yang dikenal akan keramah-tamahan penduduknya ini merupakan salah satu tujuan wisata dibagian timur Indonesia, dengan andalannya wisata bahari. Di kota ini terdapat berbagai macam bentuk destinasi wisata. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Manado, terdapat 86 obyek pariwisata di mana delapan obyek di antaranya merupakan obyek pariwisata alam.
Salah satu destinasi wisata yang populer adalah Taman Nasional Bunaken yang dikenal sebagai salah satu taman laut terindah di dunia. Taman Laut Bunaken terkenal oleh formasi terumbu karangnya yang luas dan indah sehingga sering dijadikan lokasi penyelaman oleh turis-turis mancanegara.
Destinasi lainnya yang menonjol adalah Kelenteng Ban Hin Kiong di kawasan pusat kota yang dibangun pada awal abad ke-19 dan diperbaiki pada tahun 1970. Klenteng ini terletak di Jalan Panjaitan. Lokasi wisata lainnya adalah Museum Negeri Sulawesi Utara dan Monumen Perang Dunia Kedua.
Sebuah monumen yang diresmikan pada akhir tahun 2007 dan menjadi ikon baru kota Manado adalah Monumen Yesus Memberkati. Bangunan ini didirikan di atas bukit di perumahan Citraland Manado dan memiliki ketinggian 50 meter di atas permukaan tanah. Bangunan ini merupakan monumen Yesus Kristus yang tertinggi di Asia dan kedua di dunia setelah Christ the Redeemer.
Di samping destinasi wisata, kuliner juga menjadi salah satu hal menarik di Manado, terutama karena cita rasa pedas dari masakan mereka yang sangat khas. Karena berada di daerah pesisir, makanan yang khas di kota ini berasal dari olahan ikan.
Populernya makanan olahan ikan ini dapat dilihat dari banyaknya restoran yang menjamur di berbagai sudut kota. Bentuknya beragam, sebut saja ikan kuah asang, ikan kuah woku, tinituan, sambal roa, panike, panada, dan masih banyak lainnya. Kuliner lainnya yang merupakan khas Manado, antara lain, bubur manado, woku blanga, nasi kuning, es brenebon, klapertaart, dan gohu.
Karena potensi wisata yang besar tersebut, industri pariwisata di kota Manado semakin tumbuh dan berkembang. Salah satunya ditandai dengan cukup banyaknya hotel dan sarana pendukung lainnya. Sampai tahun akhir tahun 2020, terdapat 120 buah hotel, 26 di antaranya hotel berbintang, 98 restoran dan 163 rumah makan.
Selama lima tahun terakhir, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Manado terus meningkat namun pada tahun 2020 mengalami penurunan drastis akibat merebaknya Covid-19 di Indonesia. Wisatawan mancanegara turun sekitar 82 persen, yaitu dari 129.587 pada tahun 2019 menjadi hanya 23.031 wisatawan pada tahun 2020. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Referensi
- “Kota Manado Berusia 364 Tahun”, Kompas, 15 Juli 1987, hlm. 11
- “Kota Manado Semakin Cantik”, Kompas, 9 April 1989, hlm. 8
- “Manado 371 Tahun: Kota (dengan) Sejuta Impian”, Kompas, 15 Juli 1994, hlm. 17
- “Manado, Melawan Ketidaknyamanan * Otonomi”, Kompas, 19 Desember 2002, hlm. 08
- “Kota Manado * Otonomi”, Kompas, 19 Desember 2002, hlm. 08
- “Kota Manado Itu Aman, tetapi Tidak Nyaman”, Kompas, 15 September 2005, hlm. 36
- “Kota Manado: Menjauhnya Rasa Nyaman * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 14 Jul 2015, hlm. 22
- Santoso, Agus. 2016. Citra Kota Manado dalam Arsip, Arsip Nasional Republik Indonesia
- Marzuki, Irfanuddin Wahid. “Perkembangan Manado Masa Kolonial (1789-1945)”. Diakses dari https://jurnaltumotowa.kemdikbud.go.id/index.php/tumotowa/article/view/54
- Statistik Daerah Kota Manado 2021, BPS Kota Manado
- Produk Domestik Regional Bruto Kota Manado Menurut Lapangan Usaha Tahun 2016-2020, BPS Kota Manado
- Kota Manado Dalam Angka 2021, BPS Kota Manado
- Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Manado 2020, BPS Kota Manado
- Profil Kota Manado, laman Antaranews
- Itinerary 3 Hari 2 Malam di Manado, Indahnya Bawah Laut TN Bunaken, laman Kompas.com
- UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
- UU 29/1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi
- UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
- UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
- UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
Editor
Topan Yuniarto