Paparan Topik | Kesehatan

Penyakit Tropis Terabaikan di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 membuat sejumlah penanggulangan penyakit lain harus ’menunggu giliran’. Jauh sebelum pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia mengelompokkan sejumlah penyakit yang disebut penyakit tropis terabaikan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pelajar mengamati contoh cacing gelang di SD Negeri Gedongtengen, Ngampilan, Yogyakarta, Kamis (10/2/2011). Selain dikenalkan dengan berbagai jenis cacing, mereka juga diajari berbagai cara menjaga kebersihan untuk mengurangi risiko cacingan.

Fakta Singkat
Lima penyakit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Diseases) di Indonesia: kusta, filariasis (kaki gajah), frambusia (patek, puru), skistosomiasis (demam siput), dan cacingan (soiltransmitted helminthiasis).

Cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dalam tubuh manusia yang ditularkan melalui tanah.

Cacing Penyebab Penyakit
Cacing Pita, Cacing Tambang, Cacing Kremi, Cacing Gelang

Regulasi Pemerintah
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan

Terdapat 20 penyakit yang dikategorikan penyakit yang terabaikan (Neglected Tropical Diseases). Lima di antaranya yang terjadi di Indonesia, yaitu kusta, filariasis (kaki gajah), frambusia (patek, puru), skistosomiasis (demam siput), dan cacingan (soil transmitted helminthiasis/STH).

Penyakit infeksi cacing tanah (soil transmitted helminthiasis), misalnya, ternyata masih menjadi beban besar bagi sejumlah negara. Penyakit cacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Penyakit infeksi akibat cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan.

Penyakit cacingan tidak hanya berisiko dialami oleh anak-anak, namun juga oleh orang dewasa. Kebersihan yang tidak terjaga atau lingkungan yang kotor bisa menjadi salah satu faktor yang dapat mempermudah penyebaran infeksi cacing.

Gejala-gejala penyakit cacingan kadang tampak samar. Gejala cingan yang dikeluhkan bisa berupa sakit perut, diare, mual, muntah, tidak nafsu makan, hingga penurunan berat badan.

Infeksi cacing di dalam tubuh juga bisa menyebabkan sel darah putih atau leukosit tinggi. Apabila tidak diobati dengan benar, penyakit cacingan dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang lebih berat, seperti anemia. Jika cacing mencapai organ tubuh lain, seperti hati atau otak, maka dapat menimbulkan gangguan yang serius.

Secara global, hingga 2019 sekitar 820 juta penduduk terinfeksi penyakit cacingan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) penyakit terabaikan ini menyebabkan lebih dari 500 ribu kematian setiap tahunnya.

Begitu pula untuk Indonesia. Sampai dengan tahun 2018, angka prevalensinya sangat bervariasi, dari 2,5 persen hingga 60-an persen, tetapi bisa juga lebih. Laporan tentang ”Neglected Tropical Disease in Indonesia” (Fauziyah et al, 2021) menyatakan, kasus penyakit infeksi cacing tanah di Sumba, Nusa Tenggara Timur, pernah mencapai 91 persen pada tahun 2019.

Namun, penyakit cacingan masih dianggap sepele dan masih kerap terabaikan upaya penanggulangannya.

KOMPAS/DIAH MARSIDI

Para teknisi Laboratorium Pusat Pemberantasan Cacingan di Sekotah-sekolah Dasar di DKI memeriksa spesimen feses para murid peserta program (20/11/1992). Hanya mereka yang terbukti cacingan yang mendapat pengobatan, mengajarkan para murid untuk tidak sembarangan minum obat.

Penyebab penyakit cacingan

Penyebab cacingan pada diri seseorang berbeda-beda tergantung dari jenis cacing yang masuk ke dalam tubuh.

Cacing Pita
Cacing pita atau Cestoda, dapat dikenali dari bentuknya yang tampak seperti pita yaitu pipih dengan ruas-ruas pada seluruh tubuhnya. Panjang cacing pita dewasa dapat mencapai 4,5 hingga 9 meter.

Cacing pita memasuki tubuh manusia ketika tangan bersentuhan dengan tinja atau tanah yang mengandung telur cacing kemudian terbawa ke dalam mulut ketika sedang makan.

Selain itu, cacing pita juga dapat masuk melalui konsumsi makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi telur cacing. Konsumsi daging babi, sapi ataupun ikan yang mentah atau dimasak kurang matang juga dapat menyebabkan masuknya cacing pita ke dalam tubuh manusia.

Cacing Tambang
Cacing tambang dalam bentuk larva dan dewasa dapat hidup dalam usus halus manusia dan dapat menyerang binatang peliharaan, termasuk kucing dan anjing.

Umumnya infeksi cacing tambang terjadi karena bersentuhan dengan tanah di lingkungan hangat dan lembap yang di dalamnya terdapat telur atau cacing tambang.

Cacing tambang dewasa dengan panjang sekitar 5-13 milimeter dapat menembus kulit, misalnya melalui telapak kaki yang tidak menggunakan alas, kemudian masuk ke sirkulasi darah dan ikut terbawa ke dalam paru-paru dan tenggorokan. Jika tertelan, maka cacing akan memasuki usus. Infeksi cacing tambang masih umum terjadi di daerah iklim tropis dan lembap dengan sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk Indonesia.

Cacing Kremi
Cacing kremi berwarna putih dan halus, dengan panjang sekitar 5-13 milimeter. Infeksi cacing kremi paling banyak dialami oleh anak-anak usia sekolah.Infeksi cacing kremi umumnya disebabkan oleh menelan telur cacing kremi yang sangat kecil secara tidak sengaja.

Telur cacing ini sangat mudah menyebar. Bisa melalui makanan, minuman atau jari yang terkontaminasi. Telur cacing kemudian masuk ke usus dan berkembang menjadi cacing dewasa dalam beberapa minggu. Jika telur cacing mencapai anus dan digaruk, maka telur cacing dapat berpindah ke jari, lalu menyentuh permukaan benda atau orang lain.

Cacing Gelang
Cacing ini berukuran cukup besar, dengan panjang sekitar 10 -35 cm. Cacing gelang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tanah yang telah terkontaminasi telur cacing. Ketika masuk ke dalam tubuh, telur akan menetas di usus, kemudian menyebar melalui pembuluh darah atau saluran getah bening ke organ tubuh lain seperti paru-paru atau empedu.

Untuk mengatasi infeksi cacingan, dokter kemungkinan akan memberikan obat cacing tidak hanya untuk penderita, namun juga pada seluruh anggota keluarga untuk mencegah infeksi berulang. Sebagian orang merasakan efek samping ringan pada saluran pencernaan selama pengobatan.

Obat cacing untuk anak maupun orang dewasa yang biasa diresepkan adalah mebendazole, albendazole, pirantel pamoat, dan praziquantel. Jika terdapat anemia, maka dokter akan memberikan suplemen zat besi. Untuk infeksi cacing yang berukuran cukup besar seperti cacing gelang, operasi kadang diperlukan jika cacing menyumbat saluran empedu atau usus buntu.

KOMPAS/RATIH P SUDARSONO

Rahmi dari Yayasan Kusuma Buana tengah membagikan obat cacing dosis tunggal kepada murid kelas IV SD 03 Pulau Panggang, Kamis (3/5/2001). Yayasan tersebut berharap prevalensi cacingan di Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, bisa turun dengan memutus rantai pembiakannya yang ada pada anak usia sekolah.

Dampak penyakit

Dari sisi sejarah, pemberantasan penyakit ini sebetulnya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Secara nasional, upaya ini dilakukan mulai tahun 1975, tetapi terealisasi per tahun 1979. Program ini sempat terhenti pada tahun 1984-1989, tetapi berlanjut lagi tahun 1989.

Meski sudah berlangsung lama, penyakit ini tetap saja dipandang enteng karena akibatnya tidak terlihat langsung. Padahal, dampak jangka panjangnya menimbulkan kerugian cukup besar bagi penderita dan keluarganya.

Sejumlah studi tentang cacingan umumnya menjelaskan, penyakit ini banyak terjadi di wilayah beriklim tropis, dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, tingginya kepadatan penduduk, dan rendahnya pengetahuan tentang sanitasi serta higiene.

Iklim tropis memang menjadi lahan subur bagi berkembang biaknya cacing. Jenis cacing yang menjadi penyebabnya adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing kremi (enterobiasis). Penularan biasanya terjadi dari tangan ke mulut melalui telur (cacing) matang yang tertelan maupun akibat memakan buah atau sayur yang terkontaminasi.

Sebagai contoh, cacing tambang mengisap 0,2 mL darah atau cacing gelang mengisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein. Sepintas angka ini kecil. Namun, kalau dikalkulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi, rata-rata jumlah cacing yang mencapai 6 ekor per orang, dan potensi kerugian akibat kehilangan karbohidrat, protein, dan darah, akan menjadi sangat besar.

Penyakit ini menyerang segala umur, tetapi umumnya lebih pada anak-anak. Infeksi parasit ini mengganggu status gizi, prestasi, dan produktivitas anak. Mulai dari kehilangan zat besi dan protein, anemia, gangguan penyerapan (malabsorpsi) nutrisi pada usus, hilangnya nafsu makan, disentri, malas belajar, hingga turunnya IQ. Pada ibu hamil, cacingan juga bisa mengganggu persalinan dan berat badan lahir rendah pada bayi.

Manifestasi klinik

Selama masa pandemi, penanganan cacingan seharusnya tetap berjalan dengan baik. Sebagai wilayah yang masih mengalami prevalensi yang tinggi, ketersediaan data mendasar rupanya masih belum ideal. Menurut hasil kajian Edukasi PPHBS di Boyolali, Jurnal Abdidas, 2020, data terkait masalah pemberantasan cacing kebanyakan berupa sejumlah studi terpisah yang belum diintegrasikan oleh pemerintah. Akibatnya banyak daerah yang belum memiliki data yang jelas terkait dengan jumah kejadian infeksi tersebut.

Di sisi lain, kondisi klinis penyakit cacingan ternyata juga memiliki sejumlah kemiripan dengan Covid-19. Hasil Kajian “Covid-19 dan Koinfeksi Penyakit Parasit (Medica Hospitalia, Agustus 2020) menyebutkan, manifestasi klinis yang terjadi pada kasus Covid-19, seperti demam, batuk, diare, muntah, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), dan kelelahan, cenderung sama dengan cacingan, terutama di daerah endemik. Begitu pula dengan adanya risiko infeksi bersamaan (koinfeksi, atau infeksi simultan), seharusnya tetap harus menjadi perhatian karena terlalu membebani layanan kesehatan dan kemungkinan pula kelangkaan sumber daya.

Selain manifestasi tersebut, interaksi yang kompleks antara cacing dan hospes (tempat parasit hidup dan berkembang) menghasilkan efek sistemik pada kekebalan tubuh. Hal ini tidak lepas dari kadar sitokin (atau protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh). Dalam kasus Covid-19, dikenal istilah badai sitokin atau reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh.

Pasien dengan Covid-19 biasanya disebut memiliki respons tipe 2, atau terdapat peningkatan kadar sitokin tipe 2 IL-4 dan 16 IL-10. Dalam konteks imunopatologi SARS dan Covid-19, keterlibatan respons tipe itu menjadi hal yang mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan efek potensial koinfeksi cacing. Dengan kata lain, koinfeksi cacing bisa mempengaruhi tingkat keparahan infeksi virus pada manusia.

Laporan yang diterbitkan Medica Hospitalia pada Agustus 2020 tersebut menegaskan, koinfeksi cacingan bisa menurunkan respon imunitas di saat meningkatnya viral load (tingkat replikasi virus dalam tubuh). Dampak anemia yang sering muncul dalam cacingan juga bisa menyebabkan kondisi yang lebih berat pada anak-anak dan wanita hamil.

Tingginya prevalensi cacingan di sejumlah daerah tak lepas dari kondisi iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi, serta keadaan sanitasi dan higiene yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari masih tingginya persentase rumah tangga yang membuang air limbah ke saluran air (got, selokan atau sungai). Begitu pula dengan proporsi penanganan tinja balita di perkotaan maupun perdesaan. Data dari Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, sekitar 30 persen rumah tangga di perkotaan maupun perdesaan masih membuang tinja balita secara sembarangan.

Upaya pencegahan

Salah satu cara efektif mencegah penyakit cacingan, yaitu dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Selain itu, ada beberapa langkah lain yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit cacingan, yaitu:

  • Menyimpan daging mentah dan ikan dengan baik, kemudian masak hingga matang.
  • Mencuci buah dan sayur dengan benar sebelum dikonsumsi.
  • Jika terkena infeksi cacing, basuh bagian anus Anda pada pagi hari untuk mengurangi jumlah telur cacing, karena cacing biasa bertelur pada malam hari.
  • Ganti pakaian dalam dan seprei setiap hari selama terinfeksi.
  • Cuci pakaian tidur, seprei, pakaian dalam, dan handuk dengan air panas untuk membasmi telur cacing.
  • Hindari menggaruk daerah di sekitar anus yang gatal. Gunting kuku agar tidak ada tempat untuk telur cacing. Jangan menggigit kuku.
  • Cuci tangan secara teratur, terutama setelah buang air, mengganti popok bayi, sebelum memasak dan sebelum makan.
  • Hindari berjalan tanpa alas kaki dan menyentuh tanah atau pasir tanpa sarung tangan.
  • Penyakit cacingan sebaiknya tidak dianggap remeh. Jika Anda atau anggota keluarga mengalami gejala-gejala penyakit cacingan, konsultasi dengan dokter mengenai cara penanganan yang tepat.

Selain langkah dan upaya tersebut, pencegahan dilakukan dalam dua tahapan. Untuk jangka pendek, dilakukan kemoterapi. Biasanya ini dilakukan pada mereka yang tinggal di wilayah endemisitas tinggi, kelompok prevalensi infeksi tinggi, serta berdasarkan intensitas infeksi sebelumnya.

Untuk jangka panjang, biasanya berupa perbaikan sanitasi dan tempat pembuangan feses, menghentikan pemakaian kotoran manusia sebagai pupuk, dan dilakukan upaya penyuluhan kepada masyarakat.

Upaya pemerintah dalam hal ini salah satunya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan. Intinya, penanggulangan dilakukan melalui pemberian obat massal, peningkatan higiene sanitasi, serta pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat (PPHBS) melalui promosi kesehatan.

Penanggulangan cacingan di tengah pandemi memang tak mudah. Covid-19 bisa dibilang masih ‘mengancam’, atau memperlambat, penanganan. Pandemi yang belum selesai sampai sekarang sudah banyak berdampak pada keamanan kesehatan, ekonomi dan kondisi para nakes, dan semua ini mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan di negara-negara ekonomi menengah dan bawah. (LITBANG KOMPAS)