Paparan Topik | Pemilihan Kapolri

Pemilihan Kapolri dari Masa ke Masa

Mekanisme pemilihan Kapolri mengalami perubahan seiring aturan yang mendasari. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, pemilihan Kapolri langsung ditunjuk oleh Presiden. Saat ini, pemilihan Kapolri melibatkan persetujuan dari DPR.

BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV

Presiden Melantik Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri di Istana Negara, Jakarta, 27 Januari 2021.

Fakta Singkat

Pemilihan Kapolri

  • Dasar Hukum: Tap MPR VII/ MPR/2000 dan UU 2/2002
  • Diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
  • Presiden mengusulkan calon Kapolri kepada DPR.
  • DPR menyetujui/menolak usulan Presiden paling lambat 20 hari sejak surat diterima.

Kapolri Pertama

  • Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (29 September 1945)

Kapolri Termuda

  • Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (37 tahun)

Kapolri Terlama

  • Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (14 tahun, 1945-1959)

Kapolri Tersingkat

  • Roesdihardjo (8 bulan, 2000)

Pemilihan Kapolri baru mulai menyita perhatian publik pada era Reformasi karena adanya keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses pemilihan. DPR diminta persetujuannya terhadap calon Kapolri yang diusulkan Presiden sesuai dengan Tap MPR VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002  (UU 2/2002) tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam Tap MPR VII/ MPR/2000 Pasal 7 Ayat 3 disebutkan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri bukanlah hak prerogatif Presiden, tetapi harus dengan persetujuan DPR.  Sementara, UU 2/2002 pada Pasal 11 menyebutkan, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Pada awal Reformasi, sebelum UU 2/2002 disahkan, hak DPR dalam menyetujui Kapolri baru tertuang dalam Tap MPR VII/MPR/2000. Dalam ketetapan tersebut tertulis, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri bukanlah hak prerogatif Presiden, tetapi harus dengan persetujuan DPR.

Dalam perkembangannya, proses yang awalnya langsung disetujui oleh Rapat Paripurna DPR kemudian merujuk pada proses penentuan pejabat yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Dalam tata tertib DPR disebutkan, seorang pejabat (termasuk Kapolri) perlu melewati pembahasan untuk mendapat persetujuan DPR. Proses tersebut meliputi penelitian administrasi, penyampaian visi dan misi, uji kelayakan, kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah untuk ditetapkan dalam Rapat Paripurna.

Proses pengangkatan Kapolri baru dengan melalui tahapan di DPR seperti di atas dimulai pada pemilihan Jenderal Polisi Da’i Bachtiar menjadi Kapolri tahun 2001. Empat tahun berikutnya, Jenderal Polisi Sutanto juga menjalani proses serupa dan selanjutnya proses itu terus terjadi pada calon Kapolri baru hingga sekarang.

KOMPAS/JB SURATNO

Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar saat dilantik Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 29 November 2001, menggantikan Jenderal (Pol) Surojo Bimantoro yang segera akan memasuki masa pensiun.

Orde Lama

Pada awal kemerdekaan, kepolisian berada dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri, terutama yang terkait masalah administrasi, dengan nama Jawatan Kepolisian Negara. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan operasional, kepolisian bertanggung jawab kepada jaksa agung.

Pada awal kemerdekaan, jabatan Kapolri pertama dipegang oleh Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ia mulai memimpin Jawatan Kepolisian Negara pada 29 September 1945. Pada saat dilantik oleh Presiden Soekarno, Soekanto masih terhitung muda, yakni berusia 37 tahun.

Seiring dengan Penetapan Pemerintah Nomor 11 tahun 1946, sebuah perubahan terjadi.  Pada tanggal 1 Juli 1946, Jawatan Kepolisian Negara harus bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Kejadian besar pada tanggal 1 Juli inilah yang kemudian setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.

Selanjutnya, pada masa kabinet presidensial, pada 4 Februari 1948 dikeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh Presiden/Wakil Presiden dalam kedudukan sebagai Perdana Menteri/Wakil Perdana Menteri.

Pada masa revolusi fisik itu, Kapolri masih dijabat oleh Soekanto. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang berkedudukan di Sumatera, Kepolisian dipimpin oleh KBP Umar Said.

Setelah Konferensi Meja Bundar dan terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Soekanto diangkat kembali sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS oleh Presiden Soekarno. Sementara, R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI yang berkedudukan di Yogyakarta.

KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Kepala Kepolisian Negara yang pertama, R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (84) hadir dalam peringatan HUT Bhayangkara ke-45 di Jakarta, Senin pagi (1/7/1991).

Setelah RIS bubar dan dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian dilebur dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Presiden Soekarno kembali menunjuk Soekanto sebagai Kapolri.

Jabatan Kapolri dipegang Soekanto hingga ia mengundurkan diri pada 15 Desember 1959. Soekanto tidak sepakat dengan rencana Presiden Soekarno yang mengabungkan Kepolisian dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Soekanto tercatat sebagai Kapolri terlama, yakni 13 tahun.

Selain dikenal sebagai Kapolri pertama, termuda, dan terlama, Soekanto juga tercatat sebagai Bapak Kepolisian RI. Saat menjabat Kepala Kepolisian Negara (KKN), Soekanto merintis dibentuknya Polisi Air, Polisi Udara, Brimob, serta Polantas yang teroganisasi dengan baik. Ia juga membentuk cikal bakal Polda dan sekolah-sekolah polisi. Atas kerja keras Soekanto itulah, tercipta aspek pedoman hidup dan pedoman karya kepolisian yang pada akhirnya terkenal dengan nama Tribrata dan Caturprasatya.

Pada tahun 1960, Kepolisian digabungkan dengan ABRI melalui Tap MPRS Nomor II dan III Tahun 1960. Dalam Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Selanjutnya, pada 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan Undang-Undang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961. Dalam UU ini disebutkan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI sederajat dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Jabatan Kapolri sejak kepolisian bergabung dengan ABRI pertama kali dijabat oleh Komisaris Jenderal Polisi Raden Soekarno Djojonegoro. Jabatan Kapolri berubah menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI. Setelah empat tahun menjabat Kapolri, selanjutnya Presiden Soekarno mengangkat Jenderal Polisi Soetjipto Danoekoesoemo menggantikan Kapolri sebelumnya pada Desember 1963.

Jenderal Polisi Soetjipto Danoekoesoemo menjabat Kapolri hingga tahun 1965 atau sebagai Kapolri terakhir pada masa Orde Lama. Ia diberhentikan oleh Soekarno sebelum peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Presiden kemudian mengangkat Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo untuk mengisi jabatan tersebut hingga tahun 1968 atau pada awal rezim Orde Baru.

Orde Baru

Sepanjang masa Orde Baru, jabatan Kapolri dipegang oleh sembilan orang Jenderal Polisi.  Kapolri pertama pada masa Presiden Soeharto berkuasa adalah Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso. Ia menjadi Kapolri ke-5 dari tahun 1968 hingga 1971. Saat menjadi Kapolri, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri.

Pada masa kepemimpinan Hoegeng, jabatan Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia diubah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI (Kadapol) yang selanjutnya berubah menjadi Kapolda hingga kini.

Sosok Hoegeng dikenal sebagai seorang Kapolri yang sederhana. Ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anggota keluarga seorang Kapolri. Hoegeng diberhentikan oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971 ketika dia berusia 49 tahun atau sebelum habis masa jabatan Kapolri.

Hoegeng digantikan oleh Komisaris Jenderal Polisi Mohamad Hasan yang menjabat Kapolri pada usia 53 tahun. Jabatan itu disandang Mohamad Hasan dari tahun 1971 hingga tahun 1974 atau sekitar tiga tahun. Kemudian Widodo Budidarmo menjabat Kapolri ke-7 menggantikan Mohamad Hasan.

Widodo Budidarmo dilantik oleh Presiden Soeharto di Istana Negara bersamaan dengan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan KSAL Laksamana Madya TNI R.S. Subijakto. Sebelum menjabat Kapolri, Widodo adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1970 hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Kapolri karena dinilai berhasil menyukseskan Sidang Umum MPR pertama pada masa Orde Baru.

Selanjutnya, Widodo Budidarmo digantikan Awaluddin Djamin yang diangkat Presiden Soeharto pada September 1978. Awaluddin merupakan Kapolri ke-8 dan menjabat selama empat tahun, dari tahun 1978 hingga 1982. Sebelum menjabat Kapolri, Awaluddin menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Negara Jerman Barat. Ia adalah Kapolri pertama bergelar Ph.D. yang diraihnya dari University of Pitsburgh dan University of Southern California, Amerika Serikat.

Pada masa kepemimpinan Awaluddin, organisasi Polri diarahkan pada kelembagaan yang dinamis dan profesional. Salah satu prestasinya adalah peran aktif Polri menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru hingga disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. KUHAP tersebut merupakan pengganti Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi.

KOMPAS/JB SURATNO

Menhankam/Pangab Jendral M. Jusuf berjabat tangan dengan Jendral Pol Widodo Budidarmo, eks-Kapolri, disaksikan oleh Letjen Pol Awaluddin Djamin, Kapolri yang baru (kanan). Di latar belakang tampak berseri KSAL Laksamana Waluyo Sugito.

Tahun 1982, Jenderal Polisi Anton Soedjarwo dipilih Presiden Soeharto sebagai Kapolri ke-9 untuk menggantikan Awaluddin Djamin. Sebelum menjabat Kapolri, Anton Soedjarwo adalah Kapolda Metro Jaya 1978-1982. Saat dilantik oleh Presiden Soeharto bersamaan dengan pelantikan KSAL dan KSAU, Anton masih berpangkat Mayor Jenderal Polisi, sama seperti saat dia menjabat Kapolda Metro Jaya. Jabatan Jenderal Polisi penuh diraihnya setelah dua tahun menjabat Kapolri atau tahun 1984. Anton Soedjarwo menjabat Kapolri hingga tahun 1986.

Letjen Polisi Mochammad Sanoesi dilantik sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo pada 7 Juni 1986. Ia dilantik di Istana Negara bersamaan dengan pelantikan Try Soetrisno yang diangkat menjadi KSAD. Sanoesi menjabat Kapolri selama hampir lima tahun, dari Juni 1986 hingga Februari 1991.

Jabatan Kapolri selanjutnya dipegang Jenderal Polisi Kunarto yang ditunjuk Soeharto sebagai Kapolri menggantikan Sanoesi. Ia dilantik di Istana Negara oleh Presiden Soeharto pada 20 Februari 1991, tidak bersamaan dengan pelantikan tiga kepala staf TNI lainnya seperti Kapolri sebelumnya. Kunarto menduduki jabatan Kapolri hingga tahun 1993.

Mayjen Polisi Banurusman Astrosemitro menggantikan Kunarto sebagai Kapolri tahun 1993. Presiden Soeharto melantiknya bersama tiga kepala staf TNI lainnya, yakni KSAU, KSAL, KSAD.  Pada masa Banurusman itu pula jabatan Kapolri langsung dinaikkan satu tingkat bersamaan dengan dilantik sebagai orang pertama di kepolisian. Ketika dilantik, pangkat Banurusman dinaikkan setingkat dari mayjen polisi menjadi letjen polisi. Banurusman selanjutnya menyandang pangkat jenderal polisi setelah setahun menjabat Kapolri.

Kapolri masa Orba terakhir adalah Jenderal Polisi Dibyo Widodo yang dilantik Presiden Soeharto bersamaan dengan pelantikan KSAU dan KSAL di Istana Negara pada 15 Maret 1996. Sebelum menjabat Kapolri, Dibyo Widodo merupakan Kapolda Metro Jaya berpangkat mayjen polisi. Pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi letjen polisi setelah menjabat Kapolri.  Setahun kemudian, Dibyo Widodo menyandang pangkat jenderal polisi bersamaan dengan tiga kepala staf TNI lainnya. Dibyo menjabat Kapolri hingga berakhirnya rezim Orde Baru.

Masa Reformasi

Kapolri pertama pada era Reformasi dijabat Jenderal Polisi Roesmanhadi. Ia dilantik oleh Presiden BJ Habibie pada 29 Juni 1998 bersamaan dengan pelantikan KSAU dan KSAL. Roesmanhadi merupakan pimpinan Polri yang ke-14. Pada masa kepemimpinannya, Roesmanhadi berusaha membentuk Polri yang dicintai dan disegani masyarakat dengan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya Polri. Jabatan kapolri disandangnya hingga tahun 2000 sebelum digantikan Roesdiharjo.

Roesdiharjo tercatat sebagai Kapolri tersingkat. Penunjukan Roesdiharjo sebagai Kapolri terkesan mendadak dan tanpa mendapat persetujuan DPR. Ia ditunjuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid sehari sebelum dilantik sebagai Kapolri pada 4 Januari 2000.

Rooesdihardjo dilantik Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Kapolri di Istana Negara. Jabatan Kapolri hanya disandangnya hingga September 2000 atau selama delapan bulan sejak pelantikan. Ia diberhentikan Gus Dur karena adanya kasus penyerbuan ke Kantor UNHCR di Atambua, NTT yang mengakibatkan tiga petugas PBB tewas.

Pada masa kepemimpinan Roesdiharjo itu, Institusi Polri berpisah dari TNI dengan keluarnya Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000. Ketetapan ini kemudian diikuti dengan disahkannya UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kedudukan Polri langsung berada di bawah Presiden RI.

Pada masa kepemimpin Roesdihardjo, kepangkatan di tubuh Polri mulai berubah dan menanggalkan pangkat militeristik, tidak sama dengan TNI. Kepangkatan kepolisian kembali lagi seperti masa Orde Lama.  Sebagai contoh, di tingkat perwira tinggi, Inspektur Jenderal setara Mayor Jenderal TNI dan Komisaris Jenderal setara Letnan Jenderal TNI.

KOMPAS/JB SURATNO

Mantan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Roesmanhadi (kiri) berfoto dengan Kapolri baru Letjen (Pol) Roesdihardjo (kanan) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (4/1/2000), usai upacara pelantikan.

Selanjutnya, Surojo Bimantoro dipilih Presiden Gus Dur menggantikan Roesdiharjo. Ia dilantik Gus Dur pada 23 September 2000. Namun, pilihan itu menuai kontroversi di DPR. Ada yang beranggapan, pelantikan Bimantoro sudah tepat karena dilakukan dalam suasana darurat sehingga tidak harus menunggu persetujuan DPR. Namun, ada yang menganggap pelantikan merupakan fait accompli Presiden terhadap DPR dalam kasus pemberhentian/pengangkatan Kapolri.

Penunjukan Bimantoro sebagai Kapolri tanpa mengunakan mekanisme persetujuan DPR memicu kekesalan di kalangan DPR. Tindakan Gus Dur memberhentikan Roesdihardjo dan mengangkat Bimantoro sebagai Kapolri dinilai melanggar Tap MPR Nomor VII/MPR/2000. Meski demikian, Bimantoro tetap sah sebagai Kapolri hingga diberhentikan Gus Dur pada Juli 2001. Praktis, jabatan Kapolri disandang Bimantoro sekitar satu tahun.

Saat Bimantoro diberhentikan, situasi politik dalam negeri memanas dengan adanya rencana Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Gus Dur menunjuk Wakil Kapolri Chairruddin Ismail sebagai pejabat Kapolri sementara sebelum Kapolri ditetapkan pada masa mendatang. Sementara, Bimantoro mendapat tugas baru sebagai Dubes Indonesia di Malaysia.

Langkah Gus Dur menghentikan Bimantoro ditentang kalangan DPR. Mereka masih mengakui Bimantoro sebagai Kapolri. Alhasil, di institusi Polri terkesan terdapat dualisme kepemimpinan antara Bimantoro yang diakui DPR dan Chairuddin yang diakui Presiden Gus Dur.

Untuk memperjelas hal itu, Gus Dur menandatangani surat perintah agar Jenderal Polisi Bimantoro segera menyerahkan tugas-tugas operasional sehari-hari Kapolri kepada Wakapolri yang telah ditunjuk, yakni Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail.

Selanjutnya, Gus Dur melantik Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail, yang sebelumnya berpangkat komisaris jenderal, menjadi Pemangku Sementara Jabatan Kapolri. Pelantikan ini mendorong pimpinan MPR untuk melaksanakan sidang paripurna dalam rangka Sidang Istimewa MPR. Tindakan Gus Dur dianggap melanggar Tap MPR Nomor VII/ MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri.

Dalam Sidang Istimewa MPR yang meminta pertanggungjawaban Presiden pada 23 Juli 2001, tindakan Gus Dur tersebut menjadi salah satu pertimbangan diberhentikannya dari jabatan Presiden dan posisinya digantikan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, tongkat komondo tertinggi Polri kembali diserahkan kepada Jenderal Polisi Bimantoro. Presiden mencabut status Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri dan memutuskan bahwa Jenderal Polisi Bimantoro menjabat sebagai Kapolri definitif. Presiden juga menghapus jabatan Wakil Kepala Polri pada 3 Agustus 2001.

Persetujuan DPR

Beberapa bulan kemudian, Kapolri Bimantoro digantikan oleh Da’i Bachtiar sebagai Kapolri. Proses pemilihan Kapolri kali ini berlangsung sesuai mekanisme yang diatur dalam Tap MPR dan UU Kepolisian. Proses tersebut dimulai dengan surat Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR yang isinya mengajukan nama Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar sebagai satu-satunya calon Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Surojo Bimantoro yang akan segera pensiun ke DPR. Surat Presiden mengenai calon Kapolri itu diterima Ketua DPR Akbar Tandjung pada 26 Oktober 2001.

Sebulan kemudian, tepatnya 27 November 2001, Komisi I dan II DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap Da’i Bachtiar dan menyetujui secara aklamasi pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar sebagai Kapolri. Sehari kemudian, rapat paripurna DPR juga menyetujui keputusan yang diambil Komisi I terkait pencalonan itu. Da’i Bachtiar dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Megawati di Istana Negara pada tanggal 29 November 2001.  Sejak saat itu, proses pemilihan Kapolri selalu melibatkan persetujuan DPR hingga sekarang.

Hingga 2019, tercatat sembilan calon Kapolri yang diajukan Presiden RI untuk mendapat persetujuan DPR. Satu calon Kapolri diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri, empat calon diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan empat calon diajukan Presiden Jokowi. Semua calon Kapolri yang diajukan merupakan calon tunggal.

Kapolri yang ditunjuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah Jenderal Polisi Sutanto, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, Jenderal Polisi Timur Pradopo, dan Jenderal Polisi Sutarman.

Pada masa kepemimpinan Megawati maupun SBY, calon yang diajukan Presiden selalu disetujui DPR dan akhirnya dilantik oleh Presiden sebagai Kapolri.

Pada masa pemerintahan Jokowi-JK, tidak semua pencalonan Kapolri berlangsung mulus. Jokowi sempat mengajukan Budi Gunawan sebagai Kapolri awal Januari 2015. Uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pun sudah dilakukan hingga disetujui di Rapat Paripurna DPR.

Meski demikian, Presiden Jokowi akhirnya tidak bisa melantik karena Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Meski kemudian sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan menyatakan status tersangka oleh KPK terhadap Budi Gunawan dinyatakan tidak sah, Jokowi tetap tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Jokowi kemudian mengajukan calon lain untuk mendapat persetujuan DPR. Calon yang diajukan itu adalah Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti. Setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR serta disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sebagai Kapolri baru, Badrodin dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi pada 17 April 2015. Adapun Budi Gunawan tetap menjadi Wakapolri hingga September 2016.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Calon Kapolri Komjen Badrodin Haiti berfoto bersama anggota DPR Komisi III setelah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (16/4/2015). Komisi III secara aklamasi menyetujui Badrodin Haiti menjadi Kapolri.

Badrodin Haiti lengser dari jabatan Kapolri pada Juli 2016 karena memasuki masa pensiun dan diganti Tito Karnavian. Proses terpilihnya Tito Karnavian sebagai Kapolri berjalan sesuai mekanisme pengangkatan Kapolri sebelumnya.

Presiden mengajukan surat permohonan persetujuan DPR terkait pengangkatan Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian sebagai Kapolri baru pada Juni 2016. Kemudian, Komisi III DPR mengadakan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Kapolri yang diajukan Presiden pada 23 Juni 2016. Dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Tito memaparkan sejumlah terobosan untuk mengubah budaya koruptif, hedonis, dan konsumtif yang saat itu banyak terdapat di institusi Kepolisian.

Seusai sesi uji kelayakan dan kepatutan, Komisi III DPR secara aklamasi menyetujui pencalonan Tito sebagai Kepala Polri. Selanjutnya, DPR RI menggelar sidang paripurna untuk mengesahkan calon Kapolri Komjen Polisi Tito Karnavian menjadi Kepala Polri di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, pada 27 Juni 2016.

Dua minggu kemudian, Tito Karnavian resmi menjabat Kepala Polri setelah dilantik Presiden Joko Widodo berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri. Pangkat Tito dinaikkan satu tingkat menjadi jenderal polisi. Prosesi pelantikan itu dilaksanakan di Istana Negara, Jakarta pada 13 Juli 2016. Usia Tito saat dilantik sebagai Kapolri terbilang muda, yakni 51 tahun.

Tito menjabat Kapolri hingga Oktober 2019 atau selama tiga tahun. Ia kemudian dipercaya menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Tito digantikan oleh Komisaris Jenderal Polisi Idham Azis yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri.

Sebelum terpilih dan dilantik sebagai Kapolri, Idham Azis juga melalui proses sama seperti Kapolri sebelumnya. Nama Komjen Idham Azis diajukan calon Kapolri ke DPR oleh Presiden Jokowi pada 23 Oktober 2019 untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR.

Calon Kapolri Komjen Polisi Idham Azis kemudian mengikuti uji kelayakan dan kepatutan yang digelar Komisi III DPR pada 30 Oktober 2019 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Sehari kemudian, DPR menetapkan Komjen Idham Azis sebagai Kapolri dalam Rapat Paripurna DPR setelah sebelumnya mendengarkan laporan dari Komisi III atas hasil uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Presiden Joko Widodo seusai menyematkan tanda pangkat kepada Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dalam rangkaian pelantikan Kapolri di Istana Negara, Jumat (1/11/2019). Idham Azis dilantik menjadi Kapolri menggantikan Tito Karnavian yang diangkat menjadi Mendagri.

Presiden Joko Widodo kemudian melantik Idham di Istana Negara, Jakarta, pada 1 November 2019. Dengan pelantikan tersebut, pangkat Idham yang sebelumnya komisaris jenderal polisi naik satu tingkat menjadi jenderal. Ia merupakan Kapolri ke-24.

Pada akhir Januari 2021, Jenderal Polisi Idham Azis memasuki usia pensiun. Menjelang akhir masa jabatan Kapolri pada Januari 2021, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang diketuai Menkopolhukam Mahfud MD telah menyerahkan lima nama calon Kapolri, yang seluruhnya menyandang bintang tiga, kepada Presiden Joko Widodo .

Kelima calon tersebut adalah Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, Kepala Bareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto, dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Pol Agus Andrianto.

Selanjutnya, Presiden Jokowi memilih satu dari lima calon tersebut untuk mendapatkan persetujuan DPR. Nama yang diajukan Presiden ke DPR adalah Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kepala Polri pada 13 Januari 2021. Sesuai UU 2/2002, DPR memiliki waktu 20 hari untuk memproses usulan presiden tersebut.

Presiden Joko Widodo pada Rabu, 27 Januari 2021, melantik dan mengambil sumpah jabatan Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Acara pelantikan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dengan menerapkan protokol kesehatan.

Pelantikan Listyo Sigit dilakukan dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 5/POLRI Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/RIZA FATHONI

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo (tengah) didampingi Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono (kanan) dan Kepala Polda Metro Jaya Irjen M Fadil Imran memberikan keterangan pers seputar kasus kerumunan di Petamburan di markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (10/12/2020).

Catatan Akhir

Kapolri dari Masa ke Masa
No Kapolri Masa Jabatan
1 Komjen Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo 29 September 1945 -14 Desember 1959
2 Komjen Polisi Soekarno Djojonegoro 14 Desember 1959 -30 Desember 1963
3 Jenderal Polisi Soetjipto Danoekoesoemo 30 Desember 1963 -08 Mei 1965
4 Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo 09 Mei 1965 -15 Mei 1968
5 Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso 15 Mei 1968 -02 Oktober 1971
6 Jenderal Polisi Mohamad Hasan 03 Oktober 1971 -24 Juni 1974
7 Jenderal Polisi Widodo Budidarmo 26 Juni 1974 – 25 September 1978
8 Jenderal Polisi Awaluddin Djamin 26 September 1978 – 03 Desember 1982
9 Jenderal Polisi Anton Soedjarwo 04 Desember 1982 – 06 Juni 1986
10 Jenderal Polisi Mochammad Sanoesi 07 Juni 1986 – 19 Februari 1991
11 Jenderal Polisi Kunarto 20 Februari 1991 – 05 April 1993
12 Jenderal Polisi Banurusman Astrosemitro 06 April 1993 – 14 Maret 1996
13 Jenderal Polisi Dibyo Widodo 15 Maret 1996 – 28 Juni 1998
14 Jenderal Polisi Roesmanhadi 29 Juni 1998 – 03 Januari 2000
15 Jenderal Polisi Roesdihardjo 04 Januari 2000 – 22 September 2000
16 Jenderal Polisi Surojo Bimantoro 23 September 2000 – 29 November 2001
17 Jenderal Polisi Da’i Bachtiar 29 November 2001 – 07 Juli 2005
18 Jenderal Polisi Sutanto 08 Juli 2005 – 30 September 2008
19 Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri 01 Oktober 2008 – 22 Oktober 2010
20 Jenderal Polisi Timur Pradopo 22 Oktober 2010 – 25 Oktober 2013
21 Jenderal Polisi Sutarman 25 Oktober 2013 – 16 Januari 2015
22 Jenderal Polisi Badrodin Haiti 17 April 2015 – 14 Juli 2016
23 Jenderal Polisi Tito Karnavian 14 Juli 2016 – 23 Oktober 2019
24 Jenderal Polisi Idham Azis 01 November 2019 – Januari 2021
25 Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo 27 Januari 2021 – sekarang
Mekanisme Pencalonan Kapolri Baru
  • Rapat Pra Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Pra Wanjakti) di Mabes Polri.
  • Rapat Wanjakti untuk membahas nama-nama calon yang memenuhi syarat dan mampu untuk dicalonkan menjadi Kapolri.
  • Nama-nama calon Kapolri terpilih dikirim ke Presiden untuk diusulkan sebagai Kapolri baru.
  • Nama-nama yang sudah dikirim ke Presiden selanjutnya masuk proses penyeleksian tingkat atas di Tim Penilai Akhir (TPA).
  • Presiden meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
  • Setelah nama-nama calon Kapolri lolos seleksi, Presiden akan menggunakan hak prerogatifnya untuk menerima atau menolak usulan nama-nama calon Kapolri. Jika Presiden tidak cocok dengan nama-nama calon, Mabes Polri harus mengirimkan lagi nama-nama lainnya. Jika Presiden merasa cocok dengan calon Kapolri, nama calon yang diusulkan itu akan dikirim ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
  • Di Rapat Paripurna, pimpinan DPR mengumumkan surat dari Presiden yang meminta persetujuan DPR terhadap calon Kapolri baru.
  • Rapat Paripurna DPR menugaskan Komisi III yang membidangi hukum, keamanan, dan hak asasi manusia untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan pada calon Kapolri baru.
  • Setelah uji kelayakan dan kepatutan, Komisi III mengeluarkan keputusan persetujuan terhadap calon Kapolri baru. Selanjutnya keputusan itu dibawa ke Rapat Paripurna.
  • Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi lembaga DPR memutuskan menyetujui atau menolak calon yang diajukan Presiden.
  • Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul Presiden harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR.
  • Jika DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu dalam 20 hari, calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR.
  • Presiden mengeluarkan SK pengangkatan Kapolri baru dan kemudian melantik Kapolri baru.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Letjen Kunarto Dilantik Jadi Kapolri”, Kompas, 21 Februari 1991, hlm. 1.
  • “Presiden Lantik KSAD, KSAL, KSAU dan Kapolri”, Kompas, 7 April 1993, hlm. 1.
  • “Presiden Lantik KSAL, KSAU, serta Kapolri”, Kompas, 16 Maret 1996, hlm. 1.
  • “Roesdihardjo Ganti Roesmanhadi”, Kompas, 5 Januari 2000, hlm. 11.
  • “Tajuk Rencana: Memahami Sekaligus Menggugat Proses Penghentian dan Pengangkatan Kapolri”, Kompas, 25 September 2000, hlm. 4.
  • “Pengangkatan Kepala Polri di Era Reformasi”, Kompas, 26 November 2001, hlm. 7.
  • “Presiden Lantik Da’i Bachtiar”, Kompas, 30 November 2001, hlm. 1.
  • “Kepolisian: Bambang Hendarso Dilantik Jadi Kepala Polri”, Kompas, 3 Oktober 2008, hlm. 1.
  • “Kepala Polri: Timur Pradopo: Saya Melanjutkan Program”, Kompas, 23 Oktober 2010, hlm. 1.
  • “Polri Sinergi dengan KPK *Sutarman Perlu Redefinisikan Penanganan Konflik Sengketa Lahan”, Kompas,26 Oktober 2013, hlm. 4.
  • “Langkah Presiden Diapresiasi *Komjen Budi Gunawan Ditunda Dilantik sebagai Kepala Polri”, Kompas, 17 Januari 2015, hlm. 1.
  • “Kepala Polri Badrodin: Pengusutan Korupsi Jadi Prioritas”, Kompas, 19 Januari 2015, hlm. 4.
  • “Presiden Tidak Melantik Budi Gunawan”, Kompas, 18 Februari 2015, hlm. 1
  • “Langkah Presiden Diapresiasi * Pimpinan KPK dan Polri Siap Berkomunikasi”, Kompas, 20 Februari 2015, hlm. 1.
  • “Pelantikan Kapolri: Badrodin Janji Benahi Institusi Polri”, Kompas, 18 April 2015, hlm. 1.
  • “Hari Ini, Presiden Lantik Tito * Reformasi Internal Jadi Tugas Utama Kapolri Baru”, Kompas, 13 Juli 2016, hlm. 3.
  • “Kepala Polri: Tantangan Besar Sambut Idham”, Kompas, 2 November 2019, hlm. 1.
Aturan Pendukung
  • Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
  • Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
  • Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional
Buku
  • Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. Ruskhan. 2010. Polri: Mengisi Republik. Jakarta: PTIK
  • Tanumidjaja, Memet. 1995. Sejarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI