Paparan Topik | Kemerdekaan RI

Momentum Memaknai Kembali dan Merawat Kemerdekaan RI

Memasuki peringatan yang ke-77, kemerdekaan Republik Indonesia memiliki makna dan konteks kekinian yang relevan dengan perubahan zaman. Di tengah berbagai lingkup tantangan yang masih berlangsung, masyarakat dan bangsa Indonesia harus tetap setia menjaga dan memaknai kemerdekaan.

.KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersama Ibu Wury Estu Handayani Ma’ruf Amin mengikuti Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Fakta Singkat

  • Tema Hari Peringatan ke-77 tahun Kemerdekaan Indonesia: “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”.
  • Peringatan ke-77 Indonesia merdeka pada 2022 lebih semarak jika dibanding dua tahun sebelumnya akibat pandemi.
  • Makna merdeka oleh Soekarno dimaknai sebagai pembebasan dari kekuasaan bangsa asing.
  • Dalam makna kontemporer, merdeka dipahami secara lebih mendalam dan luas
  • Merdeka bukan semata persoalan dijajah bangsa lain, melainkan juga merdeka dari beragam kepentingan yang menjerat bangsa sendiri.
  • Pemaknaan kemerdekaan muncul dalam lingkup individu, bermasyarakat, dan bernegara.
  • Salah satu masalah kemerdekaan pada lingkup individu adalah pada penjajahan rasionalitas oleh kuasa media sosial.

Kasus Covid-19 yang kian terkendali telah memberikan nuansa dan berbagai kemungkinan baru bagi ulang tahun ke-77 Indonesia. Reportase Kompas pada Rabu (17/08/2022) menunjukkan perayaan di berbagai tempat bisa dilangsungkan secara lebih semarak sekaligus terbuka. Pada pukul 10.00, upacara peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dilangsungkan di halaman Istana Merdeka, Jakarta.

Presiden Joko Widodo pun tampak sudah tidak lagi mengenakan masker. Hal serupa ditunjukkan oleh para petugas upacara, termasuk pasukan upacara dan anggota Paskibraka. Selain itu, upacara juga dilangsungkan secara bauran. Hal ini mengindikasikan pandemi mulai terkendali dan semakin banyaknya warga masyarakat yang sadar akan pentingnya vakasinasi Covid-19.

Tidak hanya di Istana Merdeka, nuansa baru dalam perayaan HUT 77 tahun Indonesia turut tampak di berbagai daerah lain. Upacara pengibaran bendera di Rumah Dinas Gubernur Sumatera Selatan misalnya, tampak diikuti secara langsung oleh banyak peserta. Perayaan kemerdekaan tahun ini lebih ramai dibandingkan tahun sebelumnya yang terbatas karena pandemi (Kompas.id, 17/08/2022, “Peringatan HUT 77 Tahun Republik Indonesia di Sumatera Selatan”).

Upacara bendera pun turut dilangsungkan di ruang-ruang publik umum dan terbuka. Pasar Rejowinangun, Magelang, Jawa Tengah menjadi lokasi penyelenggaran upacara bendera. Para pedagang ikut serta dengan turut membawa anak-anak mereka pada mengikuti upacara peringatan kemerdekaan.

Berbagai kemeriahan perlombaan juga mulai tampak dalam ruang-ruang tersebut. Di RT 11 RW 4, Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara dan juga Kelurahan Sungai Lulur, Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, masyarakat tampak terlibat dalam kemeriahan acara. Anak-anak ramai mengikuti lomba tanpa batasan ihwal pandemi.

Segala nuansa dan kemeriahan ini sendiri tidak lepas dari tema besar nasional HUT 77 tahun Kemerdekaan Indonesia: “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Pemilihan tema dan logo HUT tahun ini dicantumkan melalui Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara dengan nomor B-620/M/S/TU.00.04/07/2022. Mengacu pada terbitan pedoman yang dipublikasikan Kementerian Sekretariat negara, tema tersebut berangkat dari krisis pandemi, kecemasan sosial, dan pukulan ekonomi yang telah dihadapi bangsa Indonesia selama dua tahun terakhir. Namun kini, masyarakat Indonesia tampak berangsur-angsur pulih dari segala keterpurukan tersebut. Berbagai elemen bangsa bergotong royong untuk mewujudkan harapan. Semuanya menuju tujuan mencapai percepatan pemulihan kondisi di berbagai sektor.

Oleh karenanya, tema besar tersebut menjadi refleksi dari bagaimana nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mempersatukan berbagai elemen dalam bangsa Indonesia terutama untuk bangkit dari tantangan yang telah ada. Melalui perayaan ulang tahun ini, dasar-dasar negara diharapkan menjadi acuan bersama untuk pulih lebih cepat, siap menghadapi tantangan global, dan bangkit lebih kuat menuju Indonesia maju.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

I Dewa Ayu Firsty Meita Dewanggi membawa bendera Merah Putih untuk dikibarkan dalam Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Memahami Makna “Merdeka”

Pada 1933, Bung Karno menulis suatu risalah berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Di dalamnya, ia menjelaskan bahwa ciri utama mengenai masyarakat Indonesia merdeka adalah dengan menanggalkan cengkeraman kekuatan imperialisme asing. Cengkeraman tersebut harus dilepas agar masyarakat Indonesia bisa merasakan sendiri buah-buah dari negerinya. Dengan kemerdekaan, turut diperoleh keleluasaan dalam mendirikan suatu masyarakat baru yang menentukan sendiri arah negerinya. Kehadiran imperialisme asing, hanya memberikan kemiskinan dan ketimpangan harta yang luar biasa.

Kini, perjalanan panjang perjuangan telah membawa bangsa Indonesia pada kebebasan dalam menentukan arah baru negerinya sesuai dengan jalan yang dikehendaki. Arah tersebut tidak lagi ditentukan oleh kehendak bangsa asing, melainkan berlandaskan jiwa dan tujuan kebangsaan yang termaktub pada Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat Indonesia tidak lagi dijajah, disiksa, dan ditindas oleh para penjajah. Dengan kemerdekaan, bangsa Indonesia menjadi mandiri menentukan nasib bersama-sama masyarakat di dalamnya.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terminologi merdeka didefinisikan sebagai suatu sifat bebas dari bentuk-bentuk perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Sementara kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah keadaan berdiri sendiri. Keadaan perihal bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya.

Dari definisi tersebut, dapat dimaknai bahwa merdeka adalah sebuah kata sifat, yang merujuk pada kondisi/keadaan tertentu. Kondisi yang menunjukkan kualitas-kualitas kebebasan dan kemampuan positif dalam berdiri sendiri dan terbebas dari kuasa jahat yang menindas. Dalam definisi merdeka ala Soekarno, Indonesia memang telah merdeka. Secara kasat, bangsa ini sudah tidak lagi berada dalam cengkeraman intervensi asing. Ciri-ciri kemerdekaannya pun sesuai dengan apa yang disampaikan Soekarno.

Namun, dalam pemaknaan yang lebih mendalam, yakni dengan merujuk pada sifat-sifat yang terkandung secara lebih terbuka dalam definisi KBBI, makna kemerdekaan tersebut menjadi kian relatif. Artikel Sutopranitro dalam Kompas.id (17/09/2020, “Kita Belum Merdeka”) menujukkan bagaimana makna merdeka sendiri jelas telah berubah. Konteks zaman dan kebangsaan memengaruhi relevansi maknanya. Reproduksi atas pemaknaan tersebut menjadi kian penting untuk memperoleh relevansi kondisi merdeka yang mendalam dan konkret dengan kondisi aktual.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Peserta upacara dari anggota TNI bersiap mengikuti Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Pemaknaan Aktual: Lepasnya Hakikat Kemerdekaan

Menurut Sutopranitro dalam artikel di Kompas.id (17/09/2020, “Kita Belum Merdeka”), dalam konteks peraban dan masyarakat masa kini, kemerdekaan tidak lagi dapat dimaknai sebatas kondisi tidak dijajah bangsa lain. Oleh karenanya, definisi merdeka secara terbatas dari Soekarno tidak lagi dapat menjadi acuan aktual. Makna itu sendiri memang relevan pada zamannya – dimana masyarakat Indonesia disiksa dan ditekan dalam berbagai dimensi kasat lewat kekerasan bangsa asing. Namun, sejak proklamasi pada 17 Agutsus 1945 dan pengakuan kemerdekaan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, kondisi-kondisi demikian tidak lagi eksis.

Kini, makna merdeka tersebut menjadi kian terbuka dan mendalam. Masalah dan tantangan yang mengancam kemerdekaan tidak lagi semata berasal dari intervensi asing, melainkan juga dari internal bangsa sendiri. Sutopranitro menyebutkan bahwa salah satu pemaknaan kemerdekaan Indonesia adalah dengan menakar bagaimana internal bangsa telah mencapai dan mewujudkan sila ke-5 dari Pancasila.

Dituliskan olehnya, kondisi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia” adalah indikator kemerdekaan sejati bagi Indonesia. Kehadiran ungkapan pendek tersebut menjadi penunjuk bahwa para Bapak Bangsa Indonesia telah memberikan tuntunan secara luhur dan bijaksana. Indonesia diarahkan untuk tidak semata mengejar kemerdekaan negara, melainkan juga memerdekakan seluruh warga negaranya.

Keadilan sosial dalam wujud kemerdekaan demikian tidak semata soal setiap warga negara yang harus berbuat adil, melainkan negara harus berlaku dengan adil tanpa. Memberikan kemerdekaan dalam segala dimensi secara adil pada tiap masyarakat. Oleh karenanya, lembaga-lembaga seperti hukum, peradilan, DPR sebagai pembuat UU, hingga polisi harus terlibat dalam mewujudkan itu. Kesejahteraan dan kedamaian menjadi wujud masyarakat Indonesia merdeka dari tekanan penderitaan.

Pada masa kini, kondisi Indonesia sendiri sejatinya menunjukkan kian tercapainya kemerdekaan dalam berbagai lingkup tersebut. Dalam bernegara, secara kasat, Indonesia jelas sudah tidak lagi berada dalam kolonialisasi bangsa asing. Pelaksanaan pemerintah berjalan di atas konstitusi dan ideologinya sendiri. Kemerdekaan pada lingkup masyarakat dan individu juga turut meningkat.

Dalam capaian kemerdekaan ekonomi, jumlah penduduk miskin kian menurun dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dari tahun 2013 hingga 2019 angka kemiskinan Indonesia terus turun secara konstan. Pada 2018, untuk pertama kalinya sejak tahun 1999, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai angka terendah, yakni 9,82 persen. Pada September 2021, sebanyak 1,04 juta orang terbebas dari tingkat kemiskinan. Sementara di pada September 2020, kemerdekaan dari kemiskinan dicapai oleh 1,05 juta penduduk.

Kemerdekaan pada sektor pendidikan dan akses internet juga kian berhasil dicapai. Tiap tahunnya, jumlah pelajar yang terangkul oleh pendidikan formal kian bertambah. Jumlah mahasiswa terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Mengacu pada Statistik Pendidikan Tinggi 2020, Pada 2011, jumlah mahaswa tercatat sebanyak 5,36 juta orang. Angkanya terus meningkat hingga pada tahun 2020, jumlahnya mencapai 8,6 juta orang.

Di sektor internet, sebagai kebutuhan masyarakat kontemporer, penetrasi akses internet kian meningkat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo.go.id) menyatakan, akses penggunaan internet di Indonesia pada tahun 2014 saja sudah berada pada peringkat ke-8 dunia. Pada tahun 2014, akses internet telah mencapai 82 juta orang. Kini, mengacu pada laporan Indonesian Digital Report 2022, jumlah tersebut telah meningkat drastis dengan mencapai 202,6 juta orang pada Januari 2021. Sementara tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen dari total penduduk pada Januari 2022.

Meski begitu, di balik segala kondisi dan perkembangan kemerdekaan tersebut, Sutopranitro memandang bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya masih belum merdeka. Kemerdekaan tidak semata perihal tidak dijajah bangsa lain, melainkan juga tidak dijajah oleh bangsa sendiri. Ketidakadilan dan penindasan dalam kuantitas besar masih terjadi di balik segala capaian-capaian tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih modern dan aktual, tantangan kemerdekaan masih tampak dalam proses-proses kehidupan, baik lingkup pribadi, bermasyarakat, dan juga bernegara.

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Hujan deras tidak menyurutkan antusiasme dan keceriaan anak-anak di Kelurahan Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengikuti lomba lari dan memecahkan balon, Rabu (17/8/2022).

Risalah Kemerdekaan Individu

Sosiolog asal Jerman, Erich Fromm mengungkapkan paradoksal kemerdekaan dalam buku The Fear of Freedom. Menurutnya, masyarakat dunia kini mengarah pada kepemilikan kebebasan yang kian lebih. Bentuk-bentuk kekuatan lampau yang mengikat, seperti raja yang menindas atau penguasa otoriter, terus berkurang. Bahkan, jumlah negara yang masih berada dalam perjuangan mencapai kemerdekaan pun kian berkurang. Demokrasi dan globalisasi telah mendukung keterbukaan, yang berujung pada perolehan kebebasan.

Namun di sisi lain, individu yang kini bebas justru akhirnya berupaya lari dari kebebasan tersebut. Perasaan bebas menyebabkan manusia tidak siap dan takut dalam menghadapi rasa kesendirian yang ia alami. Dalam konteks masyarakat kontemporer, tidak lagi ada patokan-patokan objektif dalam menjalani kehidupan. Menurut Fromm, mereka terpaksa untuk sepenuhnya bergantung pada diri sendiri.

Mereka memang mengelu-elukan kebebasan, juga mengagumi proklamasi kemerdekaan. Namun, kecemasan dan tanggung jawab kemerdekaan tersebut menakutkan dan menimbulkan rasa sendiri tak berdaya. Sebagai usaha kompensasi dari perasaan tersebut, individu pun melarikan diri dengan meninggalkan penghayatan hidup dalam tindakan-tindakan mereka.

Individu meninggalkan daya dan pikiran kritis, menjebak diri pada bentuk-bentuk kekuasaan baru – seperti kuasa penilaian publik, pengaruh media sosial, dan kehendak ekonomi pasar. Akhirnya, kehidupan yang tak terhayati tersebut akan berujung pada hidup yang tak dapat dikontrol, dan dipenuhi dengan sikap-sikap destruktif.

Pengaruh media sosial pada manusia Indonesia dewasa ini telah begitu merasuki kehidupan. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, angka penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia begitu tinggi.

Pada Januari 2022, sebanyak sebanyak 191 juta penduduk Indonesia telah menjadi pengguna aktif bebagai paltform media sosial, termasuk Whatsapp, Instagram, Facebook, dan TikTok. Jumlah yang sangat besar ini bahkan setara dengan hampir 70 persen total populasi penduduk (Kompas, 31/07/2022, “Ilusi Media Sosial”).

Namun, hal tersebut justru berujung pada kebergantungan yang tidak sehat dan merusak. Budi Hardiman dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital menjabarkan bagaimana dunia digital telah memberikan kematian daya kritis bagi individu. Manusia-manusia yang terjebak dalam penggunaan media sosial dijajah oleh kehendak algoritma. Narasi di ruang maya menyingkirkan rasionalitas dan logika manusia, mengisinya dengan sentimentalitas sebagai pengganti. Sebagai akibatnya, manusia selalu berada didikte oleh apa yang menjadi sensasi, bukan pada esensi.

Contoh konkret dari kemerdekaan semu yang ditimbulkan dunia digital tersebut adalah tewasnya sekelompok remaja dalam tren menghadang truk. Sebagaimana dimuat dalam Kompas (08/06/2022, “Hilang Nyawa Demi Konten”), demi konten di media sosial, sekelompok remaja nekat menghadang truk. Hal tersebut dilakukan untuk unjuk keberanian dan eksistensi, termasuk pula motivasi mendapat uang dan viralitas dari aksi yang mereka rekam tersebut.

Salah satu remaja yang tewas tersebut adalah Y (18) yang melakukan tantangan tersebut di Jalan Otista, Karawaci, Kota Tangerang, Banten. Dengan direkam teman-temannya, Y menghadang truk terlindas truk hingga meninggal pada Jumat (3/6/2022) siang. Y dan kawan-kawannya pun dianggap sebagai pelaku dan menimbulkan keresahan pada para sopir truk. Kejadian tersebut menjadi contoh nyata dari penjajahan rasionalitas oleh kuasa viralitas dan sensasi dunia maya dalam era digital.

Dunia maya telah memodifikasi dan menentukan perilaku individu. pada berbagai taraf, modifiikasi tersebut juga dilakukan dengan menonjolkan hal yang tidak berarti. Media sosial memang bermanfaat untuk sarana bersosialisasi secara digital. Namun ada batas yang perlu dijaga (Kompas, 31/07/2022, “Ilusi Media Sosial)”.

Dalam keterjajahan baru tersebut, algoritma media sosial akan selalu berusaha mengarahkan dan merekomendasikan selera, pilihan politik, bahkan gaya hidup manusia. Jika sikap kritis tidak terbangun, budaya penjajahan tersebut akan terus berkembang. Manusia pun hanya akan dipandang sebagai konsumen (Kompas, 23/07/2022, “Retorika Visual”).

Masalah lain dalam kemerdekaan Indonesia adalah nasionalisme yang kian luntur. Budiman Tanuredjo dalam buku Negara Bangsa di Simpang Jalan menyampaikan skenario prediksi Lemhanas mengenai keterhilangan makna atas negara dan nasionalisme. Individu, yang utamanya dari generasi muda, tidak lagi memaknai kemerdekaan untuk merayakan hari-hari besar negara dengan emosi, motivasi, dan kebanggaan. Skenario ini diprediksi akan tampak secara jelas pada tahun 2045. Kemerdekaan dalam membangun nasionalisme pun beralih menjadi kemerdekaan dalam merayakan hal-hal yang tidak esensial.

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Hujan deras tidak menyurutkan antusiasme dan keceriaan anak-anak di Kelurahan Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengikuti lomba makan kerupuk, Rabu (17/8/2022).

Risalah Kemerdekaan Masyarakat

Risalah kemerdekaan dalam ranah individu tersebut terjadi dalam banyak kasus orang per orang. Akumulasi yang begitu tinggi akhirnya menunjukkan konsekuensi mencolok terhadap kondisi kemerdekaan pada kehidupan bermasyarakat. Artinya, masalah makna kemerdekaan di masyarakat merupakan refleksi permasalahan yang telah mengakar di taraf individu sekaligus melahirkan masalah-masalah tersendiri lainnya.

Salah satu masalah yang tampak dalam kemerdekaan di masyarakat Indonesia adalah kian menurunnya kapasitas dan kualitas demokrasi. Sebagaimana dituliskan Hardiman dalam buku Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, sampa Post-Sekularisme, demokrasi di tataran masyarakat dihadapkan pada masalah intoleransi agama dan populisme.

Lewat demokrasi, masyarakat memperoleh kemerdekaan dengan terlibat menentukan nasibnya sendiri. Demokrasi memerdekakan masyarakat dari kekangan penguasa yang bertindak sewenang-wenang dalam menciptakan produk kebijakan. Lewat demokrasi pulalah, masyarakat memiliki kemerdekaan bersuara dan bertindak. Masa Reformasi pasca rezim Soeharto menjadi wujud kelahiran demokrasi di masyarakat Indonesia.

Meski begitu, kondisi demokrasi kini dihadapkan pada kehadiran unsur sentimental. Merujuk pada KBBI, sentimental berarti sifat mudah terpengaruh, bukan oleh rasionalitas dan logika, melainkan emosi. Hardiman menyoroti bahwa dalam masyarakat Indonesia, kemerdekaan oleh demokrasi tersebut kini dikotori oleh kencendrungan sentimentalitas masyarakat itu sendiri, lewat agama maupun narasi populis.

Demokrasi memampukan masyarakat untuk bersuara. Namun, sebagaimana dituliskan Hardiman, ruang bersuara tersebut akhirnya justru digunakan kelompok mayoritas untuk menjajajah kemerdekaan beragama dan bersuara pihak minoritas.

Realitas terorisme di Indonesia berada dalam angka yang mengkhawatirkan. Buletin APBN Volume VII Februari 2022 mencatat bahwa Global Terrorism Index (GTI) memasukkan Indonesia dalam negara dengan kategori tinggi yang terdampak terorisme. Dalam publikasi indeks tersebut Indonesia memperoleh nilai 4,6 dan menduduki urutan ke-35 dari 135 negara pada tahun 2019.

Sebagai contoh konkret, hasil riset BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menunjukkan bahwa indeks radikalisme pada tahun 2021 mencapai peningkatan sebesar 14 persen dibanding tahun 2017. Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto pun menyampaikan hal serupa. Ia menyampaikan bahwa sebanyak 85 persen generasi milenial di Indonesia rentan terpapar radikalisme agama.

Risiko demikian menyebabkan kemerdekaan beragama berada pada kadar yang riskan. Penolakan pendirian rumah ibadah masih menjadi cerita klasik di masyarakat Indonesia. Hal ini menguatkan pemaknaan kemerdekaan beribadah yang belum tuntas di level masyarakat.

Selain itu, kencenderungan populisme juga telah mematikan kemerdekaan dalam masyarakat. Populisme sendiri merujuk pada sikap yang membela dan menjunjung rakyat kecil atau kelompok tertindas. Mengacu pada Franz Magnis-Suseno dalam Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now, kencendrungan tersebut justru akhirnya melahirkan kebencian dan kematian berpikir dalam masyarakat.

Populisme menyebabkan masyarakat tidak lagi mendasarkan tindakannya pada pertimbangan rasional. Sebaliknya, narasi publik yang dominan cenderung akan mengarahkan masyarakat pada cara pandang dan kebencian terhadap satu kelompok tertentu. Magnis-Suseno menunjukkan praktik populisme paling mutakhir di Indonesia dalam gerakan demonstrasi besar Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pada 2016 silam. Gerakan tersebut didasari oleh kecendrungan populisme.

Hasilnya, terciptalah kebencian etnis dan agama pada tubuh mayarakat Indonesia. Perolehan kemerdekaan yang seharusnya mempersatukan dan membebaskan diri dari perasaan negatif pun justru melahirkan penjajahan oleh rasa tidak suka dan perpecahan. Padahal, kemerdekaan Indonesia sejatinya diwarnai oleh persatuan dari beragam etnis. Menurut Magnis-Suseno, bahaya laten populisme tersimpan di tubuh masyarakat dan sangat berisiko memecah belah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ayumi Putri S, siswa SMAN 2 Taruna Bayangkara, Jawa Timur membawa baki bendera Merah Putih dalam upacara penurunan bendera negara, Sang Merah Putih, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Risalah Kemerdekaan Negara

Salah satu pandangan dari Yudi Latif, pada artikelnya, menyebutkan politisi bukanlah negarawan. Di satu sisi, politisi hanyalah elite negara yang berjuang dalam jangka pendek untuk memperoleh jabatan. Sementara negarawan, adalah mereka yang mengorbankan diri untuk kemajuan bangsa dan peduli pada generasi mendatang. Pada kenyataannya, menurut Yudi Latif, para pemimpin dan wakil rakyat di parlemen Indonesia kini kebanyakan diisi oleh kaum politikus yang kurang memiliki jiwa negarawan.

Oleh karenanya, dalam konteks kemerdekaan bernegara, para pemimpin, politisi, dan wakil rakyat cenderung tidak menunjukkan usaha memerdekakan masyarakatnya, namun sebaliknya, justru menjajah masyarakat pada ambisi-ambisi elektoral. Hal demikian tampak dalam tren pemberitaan media massa dan percakapan di media sosial belakangan, selama bulan Juli dan Agustus 2022. Keriuhan terjadi dalam pertunjukan politik di tataran elite, di mana sejumlah partai sibuk membentuk koalisi dan nama-nama calon presiden pun makin santer terdengar di ruang publik.

Di sisi lain, ambisi dan gelora kekuasaan tersebut terjadi dalam konteks isu kenaikan harga pangan masih menjadi keprihatinan tersendiri bagi rakyat. Berita tentang perpolitikan tersebut justru memperoleh panggung yang lebih besar dibandungkan isu-isu yang mengundang keprihatinan seperti kenaikan harga pangan. Padahal, justru isu tersebutlah yang memberikan dampak langsung pada masyarakat. Dari awal tahun hingga Juni 2022, setidaknya sudah tiga kali harga sejumlah komoditas pangan naik di pasaran, yakni pada bulan Februari, April, dan Juni.

Kedua fenomena tersebut yakni aktivitas elektoral politisi dengan kenaikan harga di kalangan masyaraka, tampak sangat kontradiktif. Kepentingan politik menunjukkan dominasinya atas ruang informasi publik dibandingkan solusi dalam mengatasi permasalahan masyarakat. Pembahasan tentang capres dan pilpres yang masih memiliki waktu dua tahun mendatang seolah terlalu dini muncul tanpa melihat konteks kebutuhan dan urgensitas negara.

Tidak hanya isu pangan yang tengah menjadi perhatian bangsa Indonesia. Terdapat pula ancaman krisis global akibat invasi Rusia-Ukraina, kehadiran Covid-19 yang masih mengintai, dan juga kemunculan penyakit mulut dan kuku (PMK). Masalah seperti persoalan subsidi negara yang bengkak untuk stabilisasi minyak goreng dan bahan bakar pun memunculkan masalah, yakni penundaan pelaksanaan pajak karbon. Namun, para politisi memilih untuk melangkahi isu tersebut dan fokus pada persoalan kekuasannya sendiri (Kompas, 29/06/2022, “Riuh Politik di Tengah Kesulitan Rakyat”).

Dalam kondisi-kondisi yang demikian, Yudi Latif dalam artikel “Politik Trivialitas” menuliskan bahwa perkembangan politik kenegaraan di Indonesia kini menjadi kian tak bermutu. Menurutnya, dinamika politik justru terperangkap dalam keriuhan remeh-temeh dalam ritual pemilihan lima tahunan yang seharusnya menjadi sumber kemerdekaan masyarakat Indonesia.

Kemerdekaan bangsa pun kian dijajah dengan asas-asas penyelenggaraan negara yang berlandaskan pada mereka yang bersedia membayar lebih mahal demi elektoral. Para hartawan mengisi jabatan-jabatan empuk di negara. Domain eksekutif, korupsi atau politik uang juga kian marak. (Kompas.id, 03/04/2017, “Negarawan dan Politikus”).

Dalam ranah hukum dan undang-undang, ditemukan sejumlah substansi UU yang harus dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap diskriminatif, melanggar hak asasi manusia dan kebebasan warga negara, serta tak sejalan dengan demokratisasi.

Dituliskan oleh Yudi Latif, kehadiran unsur seperti kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik membuat kualitas atau materi perundang-undangan pun buruk. Tahun 2019 saja, MK memperoleh 85 perkara pengujian UU serta 37 perkara dari tahun 2018. Setiap tahun, setidaknya 70 UU dipersoalkan oleh masyarakat ke MK karena dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Politisi seharusnya mengutamakan dasar itu dan bukan kepentingannya saat membuat perundang-undangan (Kompas.id, 21/08/2020, “Politisi Jadilah Negarawan”).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat upacara penurunan bendera negara, Sang Merah Putih, di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Merawat Kemerdekaan

Mengatasi berbagai risalah masalah di atas adalah usaha yang begitu panjang, memerlukan perubahan radikal, dan perawatan pada berbagai dimensi. Namun setidaknya, Yudi Latif merumuskan pentingnya tiga agensi sosial dalam masyarakat Indonesia merdeka untuk mengatasi risalah ketiga lingkup tersebut.

Yang pertama adalah agensi pendidikan dan pengetahuan. Prioritas bagi agensi pendidikan dan pengetahuan adalah membenahi aspek mental-pikiran individu dan masyarakat melalui revitalisasi pendidikan budi pekerti. Terutama sekali, hal ini dilakukan melalui tingkat pendidikan dasar. Pendidikan budi pekerti dianggap dapat mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, sikap kritis, dan tekad manusia yang mendorong kekuatan menuju penciptaan dan perbuatan baik dan benar beradasarkan rasionalitas. Budi pekerti diharapkan mampu melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan merdeka.

Yang kedua, adalah agensi politik dan kebijakan. Mereka harus menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia dalam kerangka tujuan memperkuat persatuan nasional, keadilan sosial, dan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sejumlah cara konkret adalah dengan menghentikan ciri demokrasi yang berorientasi pada uang dan sentimentil. Diperlukan juga penataan ulang atas otonomi daerah dan menghidupkan kembali sistem perwakilan yang lebih sehat. Dalam tatanan struktur politik penting juga untuk mengarahkan negara menuju semangat gotong royong mencapai kesejahteraan.

Yang terakhir, adalah agensi ekonomi-produksi. Prioritas utama dari agensi ini adalah dengan mengembangkan semangat kerja sama dan nilai kooperatif dalam perekonomian. Cara utama yang dapat dilakukan adalah melalui penghilangan konsentrasi ekonomi pada penguasaan mata rantai produksi dari hulu ke hilir di satu kekuasaan semata. Selain itu, kemerdekaan juga dapat dicapai melalui pengembangan penguasaan teknologi berbasis potensi dan karakteristik ke-Indonesia-an. (LITBANG KOMPAS)

INFOGRAFIK: PIDATO PRESIDEN DALAM RANGKA HUT KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Referensi

Buku
  • Fromm, E. (1942). The Fear of Freedom. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
  • Hardiman, F. B. (2018). Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, sampa Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: Kanisius.
  • (1933). Mencapai Indonesia Merdeka. Jakarta: CV Bwaro Niaga. Dikutip Kembali Departemen Penerangan Republik Indonesia.
  • Suseno, F. M. (2021). Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: PT Gramedia.
  • Tanuredjo, B. (2021). Negara Bangsa di Simpang Jalan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arsip Kompas
  • Kompas. (2022, Juni 08). Hilang Nyawa demi Konten. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
  • Kompas. (2022, Juli 31). Ilusi Media Sosial. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 9.
  • Kompas. (2022, Juni 08). Hilang Nyawa demi Konten. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
  • Kompas. (2022, Juli 31). Ilusi Media Sosial. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 9.
  • Kompas. (2022, Juli 23). Retorika Visual. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 15.
  • Kompas. (2022, Juni 29). Riuh Politik di Tengah Kesulitan Rakyat. Jakarta: Harian Kompas. Hlm A.
  • Kompas.id (Kwik Kian Gie). (2017, April 3). Negarawan dan Politikus. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2017/04/03/negarawan-dan-politikus
  • Kompas.id (Sutopranito). (2020, September 17). Kita Belum Merdeka. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/09/17/kita-belum-merdeka
  • Kompas.id (Yudi Latif). (2018, November 22). Politik Trivialitas. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2018/11/22/politik-trivialitas
  • Kompas.id. (2020, Agustus 21). Politisi Jadilah Negarawan. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/08/21/politisi-jadilah-negarawan
  • Kompas.id. (2022, Agustus 17). Peringatan HUT 77 Tahun Republik Indonesia di Sumatera Selatan. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/08/17/peringatan-hut-77-tahun-republik-indonesia-di-sumatera-selatan-galeri-foto
    onesia-di-sumatera-selatan-galeri-foto
Internet
  • Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek. (2020). Statistik Pendidikan Tinggi 2020. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • (2022). Indonesian Digital Report 2022. Hootsuite.
  • Studio Woork. (2022). Pedoman Identitas Visual 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Kementerian Sekretariat Negara.