Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Melindungi Anak dari Ancaman Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ancaman Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT tidak bisa dianggap remeh, bisa menjadi bom waktu. Fenomena KDRT menimbulkan lingkaran penderitaan yang semakin lama semakin berat dan meluas eskalasinya.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Tim gabungan sedang memeriksa tempat kejadian perkara ditemukannya empat anak tewas di rumah Nomor 1C, Gang Roman, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023).

Fakta Singkat

  • Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu tindak pidana.
  • Bentuk KDRT: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran.
  • Penyebab KDRT: kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, frustasi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, serta kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
  • KDRT bisa dilakukan dan terjadi pada siapa saja, namun mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.

Tragedi kematian empat anak di sebuah rumah kontrakan yang terletak di Gang Roman, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023), meninggalkan duka mendalam. Empat anak, yakni A (6), SA (4), AA (3), dan AK (1), menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT oleh ayahnya, Panca.

Pembunuhan keji itu dilakukan Panca saat anak-anak masih dalam kondisi sadar dengan cara menyekap mulut anak-anaknya hingga tidak bernapas. Sebelum membunuh kempat anaknya, Panca juga diketahui melakukan penganiayaan terhadap istrinya, D, hingga mengalami luka parah di kepala dan dirawat di rumah sakit (“Terbukti, Panca Membunuh Empat Anaknya di Jagakarsa”, Kompas, 9 Desember 2023).

Tragedi di Jagakarsa ini kembali mengentak nurani publik. Kasus serupa bukan kali ini saja melainkan sudah sering terjadi.

Sepuluh hari sebelumnya, seorang perempuan bernama Rasni (47) ditemukan meninggal di kamarnya di Desa Cangkoak, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Minggu (26/11/2023) pukul 02.30. Jaraknya sekitar 250 kilometer dari Jakarta (“KDRT Berujung Maut, dari Jagakarsa hingga Pelosok Desa Pantura, Kompas, 8 Desember 2023).

Perempuan satu anak itu dibunuh mantan suami sirinya, OS. Hal itu diketahui dari Sima (31), adik korban, yang menjadi saksi kunci peristiwa nahas itu. Saat itu, Sima sedang terlelap di kamar bersama dua anaknya. Ibunya dan korban juga tidur di kamar masing-masing. Lampu dimatikan. Tiba-tiba, Sima terbangun mendengar teriakan. Betapa kagetnya ia saat melihat Rasni sudah bersimbah darah dan sekarat akibat tusukan senjata tajam. Di dekat korban, berdiri seorang pria yang sangat mirip dengan OS.

Kedua peristiwa di atas menjadi alarm bagi semua pihak untuk tidak menganggap enteng masalah KDRT. Kekerasan ini bisa terjadi kapan saja, tidak mengenal waktu, dan terjadi pada siapa saja. Butuh mitigasi tepat agar beragam kasus yang terjadi tidak terus merugikan banyak kalangan, terutama perempuan dan anak-anak.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Ratusan perempuan menggelar aksi damai dengan membawa payung di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (31/5/2004). Mereka meminta pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Antikekerasan dalam Rumah Tangga (RUU Anti-KDRT). Selama ini mereka menilai kurang adanya perlindungan bagi kelompok rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, seperti perempuan, anak, dan juga pembantu rumah tangga.

Memahami KDRT

  • Definisi KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta merupakan bentuk diskriminasi.

Merujuk laman Komnas Perempuan, KDRT atau domestic violence adalah kekerasan berbasis gender dalam ranah personal, di mana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya pasangan, saudara, orang tua, atau pengasuh. Biasanya diwujudkan melalui pola perilaku kasar seperti menyakiti, melukai, mengintimidasi, meneror, dan mempermalukan.

Sementara berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Adapun lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam peraturan itu meliputi: (a) suami, istri, dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

  • Bentuk Tindakan KDRT

Menurut Konvensi Internasional, KDRT digolongkan menjadi 4, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan sosial-ekonomi, sedangkan menurut UU PKDRT, penggolongannya menjadi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, dan kematian. Contohnya menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi, mengancam, menghina, merendahkan, membatasi, mengabaikan, dan lainnya yang menyebabkan penderitaan psikis.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dalam konteks KDRT, kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Pengertian penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut

Penelantaran dapat juga dikatakan sebagai kekerasan ekonomi yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya, seperti: penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, serta mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.

  • Faktor penyebab

Rocmat Wahab dalam artikel jurnal berjudul “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif” menyebutkan bahwa tindakan KDRT disebabkan oleh beragam faktor. Di antaranya adalah ketimpangan gender, kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga, serta kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.

Dalam banyak kasus terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasanya terjadi pada pasangan yang belum siap kawin (nikah muda), suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap untuk mencukupi kebutuhan, dan keterbatasan kebebasan karena masih menumpang pada orang tua/mertua.

Dari kondisi tersebut, sering sekali suami/laki-laki mencari pelarian dengan hal-hal negatif (mabuk, judi, narkoba, seks) sehingga berujung pada pelampiasan terhadap istri dengan berbagai bentuk, baik kekerasan fisik, psikis, seksual bahkan penelantaran.

INFOGRAFIK UU PKDRT

Fenomena KDRT di Indonesia

Penghapusan kekerasan dalam lingkup rumah tangga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia. Hingga saat ini, kasus KDRT masih terus terjadi dan angka kejadiannya tergolong tinggi.

Dari catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) sejak 1 Januari hingga 14 Desember 2023, dilaporkan ada sebanyak 26.315 kasus kekerasan, di mana berdasarkan tempat kejadian kekerasan paling banyak terjadi di rumah tangga, mencapai 16.013 kasus dengan korban 17.168 orang.

Grafik:

Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2023 juga menunjukan hal serupa. Sepanjang 2022, ada 339.782 kasus terkait kekerasan berbasis gender (KBG), di mana 99 persen atau 336.804 kasus adalah kekerasan dalam ranah personal.

Dari total jumlah kasus, 3.442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan. Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61 persen atau 2.098 kasus. Jawa Barat menempati jumlah kasus terbanyak (401 kasus), diikuti DKI Jakarta (303 kasus), Jawa Timur (157 kasus), Jawa Tengah (140 kasus), Banten (128 kasus), dan Sumatera Utara (53 kasus).

Grafik:

Bentuk kekerasan di ranah personal yang paling banyak adalah kekerasan psikis (40 persen), kekerasan seksual (29 persen), kekerasan fisik (19 persen), kekerasan ekonomi (12 persen), tidak diketahui (17 persen).

Data yang dimiliki Kementerian PPPA dan Komnas Perempuan juga sejalan dengan tingginya jumlah laporan kasus KDRT yang diterima kepolisian. Selama lima tahun terakhir, jumlah laporan kasus KDRT kepada kepolisian menduduki ranking tertinggi.

Catatan Mabes Polri hingga Juli 2023, laporan kasus KDRT mencapai 2.261 kasus. Adapun bentuk KDRT paling besar adalah fisik, yakni 1.848 kasus, sisanya kekerasan psikis (133), kekerasan seksual (61), pemaksaan hubungan seksual (2), dan penelantaran ekonomi (217) (“19 Tahun Punya UU, KDRT Tetap Saja Marak”, Kompas, 21 September 2023).

  • Mayoritas Korban Perempuan dan Anak

Secara mendasar, KDRT bisa dilakukan dan terjadi pada siapa saja, baik lak-laki maupun perempuan. Namun, banyak kasus menunjukan bahwa korbannya sebagian besar adalah perempuan. Berdasarkan data Simfoni PPPA, dari total 17.168 orang korban kekerasan di rumah tangga, 14.594 korban adalah perempuan.

Tingginya jumlah kekerasan terhadap perempuan juga ditunjukan oleh data Komnas Perempuan. Selama 21 tahun Catahu yang disusun Komnas Perempuan, tercatat ada lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender di ranah personal dengan kekerasan terhadap istri atau KTI paling banyak dilaporkan sebanyak 484.993 kasus.

Grafik:

Di ranah personal, sejak awal, Catahu mencatat beragam bentuk kekerasan dalam rumah tangga/personal yang menjadi kasus tertinggi setiap tahun. Dari jenis KDRT, KTI selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT dan selalu berada di atas angka 70 persen.

Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks saling berkelindan. Salah satunya adalah adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan atau suami dan istri.

Merujuk sejumlah sumber, dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, relasi gender cenderung lebih memberi tempat yang utama bagi laki-laki, sehingga bila dicermati maka dalam banyak bidang kehidupan menempatkan perempuan pada posisi subordinasi. Dalam konteks rumah tangga, hal ini menimbulkan persepsi bahwa laki-laki atau suami berada dalam tingkat kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan atau istri.

Hal itu kemudian menyebabkan timbulnya pemikiran bahwa laki-laki sangat bisa menggunakan kekuatannya untuk mendominasi perempuan, sehingga kekerasan terhadap perempuan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul.

Lebih jauh, ketimpangan kekuasaan ini juga menyebabkan banyak anak, tidak hanya perempuan, rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 4.683 aduan sepanjang tahun 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 2.113 aduan terkait perlindungan khusus anak, sebanyak 1.960 aduan terkait lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.

Angka tertinggi pengaduan kasus pelanggaran hak anak terjadi pada anak korban pengasuhan bermasalah/konflik orang tua/keluarga sebanyak 479 kasus. Hal tersebut menggambarkan bahwa keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak, namun justru sebaliknya kerap menjadi tempat pelanggaran hak anak. Ini menjadi alarm peringatan untuk meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan anak di rumah, terutama ketika keluarga berkonflik.

  • Rendahnya Implementasi Penangan

Meski telah banyak menimbulkan korban, khususnya perempuan dan anak-anak. KDRT masih menjadi masalah yang kerap diabaikan dan dianggap sepele. Hal ini terlihat dari rendahnya implementasi penanganan dan penegakan hukum kasus KDRT.

Pembunuhan empat anak oleh sang ayah di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pekan lalu, adalah contoh aktual dari dampak serius KDRT. Sebelum kejadian, ibu korban diduga juga dianiaya hingga luka parah dan dirawat di rumah sakit setelah bertengkar yang diduga dipicu oleh faktor ekonomi.

Dari informasi, kasus KDRT tersebut sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh keluarga korban. Namun, terduga pelaku tidak ditahan polisi. Beberapa hari kemudian keempat anak ditemukan tewas di rumahnya (“Usut Tuntas Motif Pembunuhan 4 Anak di Jagakarsa”, Kompas, 8 Desember 2023).

Berdasarkan Laporan Tahunan 2022 LBH APIK Jakarta berjudul “Angka Kekerasan Semakin Meningkat: Potret Buram Keadilan bagi Perempuan dan Anak”, dari 473 kasus KDRT, hanya 34 kasus yang dapat diproses secara litigasi. Dari jumlah tersebut hanya 13 kasus yang telah diputus di pengadilan baik pengadilan perdata maupun pidana.

Rendahnya kasus KDRT yang diproses secara litigasi ini karena ada beberapa hambatan, salah satunya lemahnya implementasi UU PKDRT yang belum berjalan maksimal, khususnya penerapan Pasal 55 UU PKDRT tentang pembuktian kasus KDRT.

Berdasarkan pengalaman pendampingan LBH APIK Jakarta penerapan Pasal 55 masih belum dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam Pasal 55 UU PKDRT tercantum bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Namun, kebanyakan dari aparat penegak hukum masih merujuk kepada ketentuan dari Pasal 185 ayat (2) KUHAP, tentang: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Akibatnya, dari pihak penegak hukum atau dalam hal ini dari pihak Kejaksaan/Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian masih meminta tambahan saksi Testimonium de Auditu, yaitu saksi yang mendengar langsung terjadinya kasus KDRT dari pernyataan korban. Pada saat yang sama, situasi korban KDRT sulit memberikan 2 (dua) alat bukti yang cukup mengingat kasus-kasusnya terjadi di ranah privat. Hal ini juga mengindikasikan bahwa aparat penegak belum memahami kasus KDRT, sehingga banyak kasus yang tidak berjalan.

Dampak KDRT

KDRT merupakan sebuah perilaku yang memberikan dampak yang sangat kompleks terhadap korban, baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, KDRT dapat menyebabkan, luka, memar, patah tulang, gangguan kesehatan seksual, cedera pada organ, pendarahan internal, kecacatan, hingga hilangnya nyawa korban.

Di sisi lain, secara psikologis, KDRT berdampak besar memicu timbulnya gangguan kesehatan mental. Di antaranya adalah penurunan rasa percaya diri dan harga diri, stres, depresi, dan gangguan kecemasan. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, dan tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi.

Lebih lanjut, berbagai dampak tersebut juga melandasi timbulnya berbagai dampak lain terhadap korban, seperti terganggu kemampuannya untuk bekerja, menjadi tunawisma, ketidakmampuan melanjutkan pendidikan, atau bahkan kehilangan hak asuh atau kontak dengan anak-anaknya. Dalam kasus yang paling ekstrem, hal ini dapat menimbulkan keinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Mahadev Bramhankar dan R. S. Reshmi dalam penelitiannya berjudul “Spousal violence against women and its consequences on pregnancy outcomes and reproductive health of women in India” mengungkapkan bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga berdampak buruk terhadap kesehatan reproduksi dan hasil kehamilan. Kekerasan pada perempuan dalam masa kehamilan memiliki risiko tinggi mengalami keguguran yang tidak disengaja atau bahkan aborsi.

Bagi anak-anak, anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penelantaran, menjadi korban kekerasan langsung, dan kehilangan orang tua.

Pengalaman menyaksikan, mendengar, atau mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap siklus kehidupan dan tumbuh kembang anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa paparan kekerasan pada usia dini dapat mengganggu perkembangan otak dan merusak bagian lain dari sistem saraf, serta sistem endokrin, peredaran darah, muskuloskeletal, reproduksi, pernafasan, dan kekebalan tubuh, dengan konsekuensi seumur hidup.

Ketika anak-anak tumbuh dewasa, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan lebih besar kemungkinannya mempunyai masalah perilaku, seperti penggunaan zat terlarang, melakukan tindakan kriminal, atau juga menjadi pelaku kekerasan.

Anak lelaki dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah. Hal ini melanggengkan siklus kekerasan yang akan terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Memutus Lingkaran KDRT

KDRT tidak bisa dianggap remeh. KDRT merupakan tindak pidana yang berbahaya, bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja, tidak mengenal waktu. KDRT bisa menjadi bom waktu serta menjadi lingkaran kekerasan yang dapat menimbulkan lingkaran penderitaan, makin lama semakin berat dan luas eskalasinya.

Karena itulah, KDRT perlu dicegah dan dihapuskan. UN Women, entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didedikasikan untuk penguatan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan menyatakan bahwa solusinya terletak pada respons yang kuat, termasuk komitmen dalam pencegahan.

Di Indonesia, perlindungan terhadap korban KDRT, terutama perempuan dan anak-anak, sebenarnya sudah diberikan pemerintah melalui UU PKDRT Tahun 2004. Sayangnya, hingga saat ini implementasi upaya perlindungan bagi perempuan dan anak masih menemui hambatan.

Dalam Catahu Komnas Perempuan, terpantau hambatan dalam penerapan UU PKDRT sebagaimana disampaikan lembaga layanan tahun 2021. Terbanyak adalah karena adanya masalah status pernikahan korban (kawin tidak tercatat), diikuti korban mencabut pengaduan/pelaporan, hingga kurangnya alat bukti dan perspektif aparat hukum.

Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang lebih luas ke aparat penegak hukum selaku pelaksana UU dan juga kepada aparat pemerintah, masyarakat serta pihak-pihak penyedia layanan, agar menjadi lebih sensitif dalam memahami dan menangani KDRT. Dalam menangani kasus KDRT, aparat penegak hukum harus mengimplemantasikan UU PKDRT dalam perspektif korban, merespons kebutuhan korban, misalnya memberikan perlindungan kepada korban. Serta, memiliki komitmen kuat menindak para pelaku KDRT.

Di sisi lain, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung Nina Nurmila dalam tulisannya di Kompas (11/2/2022) menyebutkan bahwa KDRT perlu dicegah dan dihapuskan, bukan hanya dengan diimplementasikannya UU PKDRT, melainkan juga pada level pribadi masing-masing yang terlibat.

Misalnya, suami yang cenderung memukul istrinya saat marah perlu segera pergi ke psikolog untuk meminta bantuan psikologis, jika dirinya tidak lagi dapat mengontrol apa yang dilakukan terhadap pasangannya. Istri juga tidak boleh membiarkan dirinya menjadi objek hardikan atau pemukulan dengan mengatakan perasaannya, misalnya: “Saya tidak setuju diperlakukan (dihardik) oleh kamu seperti itu, hati saya sakit.”; atau: “Stop, kamu tidak boleh memukul saya!”; atau laporkan kepada polisi; atau lari ke luar rumah mencari pertolongan tetangga jika eskalasi kekerasannya sulit dihindari dan dihentikan.

KDRT bukan merupakan masalah pribadi yang harus ditutupi dan orang lain tidak boleh ikut campur jika terjadi KDRT di rumah orang lain. KDRT termasuk tindak pidana yang harus dilaporkan. Pelaporan merupakan langkah awal bagi korban untuk mendapatkan perlindungan, keadilan, dan pemulihan.

Semenjak awal 2021, Kementerian PPPA pun melalui kampanye “Dare to Speak Up” telah gencar menyosialisasikan agar masyarakat berani bersuara mengakhiri KDRT (“Tiap Dua Jam, Lima Istri Jadi Korban KDRT”, Kompas, 16 Oktober 2023).

Meski demikian, perlu dikui bahwa tidak semua korban, terutama perempuan dan anak sanggup bersuara dan melawan, bahkan membawa sampai ke proses hukum. Dalam banyak kasus, Komnas Perempuan mencatat tidak semua korban KDRT mau dan berani untuk berbicara, apalagi melaporkan kasusnya.

Di sisi lain, perempuan sering dipaksa atau terpaksa memilih jalan mengalah, berdamai dengan pelaku, bahkan mencabut laporan, menyusul besarnya tekanan yang diterimanya. Tak jarang korban yang melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya justru mendapat tanggapan dan stigma negatif, bahkan di-kriminalisasi.  Hal ini membuat kasus KDRT bagaikan fenomena gunung es. Permasalahan yang tampak hanyalah bagian ujungnya.

Karena itulah, sangat penting mendampingi korban KDRT, menunjukkan simpati, mendengarkan, serta melihat apa yang menjadi kebutuhannya. Selain itu, ketika korban berani membuka apa yang dialaminya, korban harus mendapat informasi bahwa yang dia alami adalah kekerasan, yakni KDRT, dan ada undang-undang yang bisa melindunginya serta ada tempat untuk melaporkan (“Bantu Korban KDRT agar Berani Memutus Lingkaran Kekerasan”, Kompas, 18 Oktober 2022).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga membaca buku bergambar yang bercerita tentang kekerasan rumah tangga saat peresmian Pusat Pelayanan Terpadu untuk perempuan dan anakkorban kekerasan berbasis jender, bertepatan dengan Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Selasa (25/11/2008), di Kantor Kecamatan Semarang Barat, Semarang, Jawa Tengah.

Sanksi Pelaku KDRT

KDRT merupakan salah satu tindak pidana yang memiliki hukum yang jelas. Pengaturan sanksi bagi pelaku KDRT di dalam UU PKDRT terdapat di dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44 – 53.

  • Pelaku kekerasan fisik

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Jika mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Sedangkan apabila menyebabkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Sementara, perbuatan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

  • Pelaku kekerasan psikis

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Perbuatan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

  • Pelaku kekerasan seksual

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Sedangkan orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Apabila mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  • Pelaku penelantaran rumah tangga

Setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya atau yang dengan sengaja membatasi anggota keluarganya untuk bekerja, sehingga menyebabkan terjadinya ketergantungan ekonomi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Hak Korban

Menurut UU PKDRT, korban KDRT memiliki beberapa hak, yaitu:

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
  2. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis.
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
  4. Penanganan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Pelayanan bimbingan agama atau rohani.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Laporan
  • Bramhankar, M. dan R.S. Reshmi. 2021. “Spousal violence against women and its consequences on pregnancy outcomes and reproductive health of women in India”, BMC women’s health21, pp.1-9.
  • Wahab, R., 2006. “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif”. Unisia, (61), pp.247-256.
  • Profil Anak Indonesia 2022, diakses dari kemenpppa.go.id
  • Profil Perempuan Indonesia 2022, diakses dari kemenpppa.go.id
  • Catatan Tahunan 2023: Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan, diakses dari komnasperempuan.go.id
Arsip Kompas
  • “LPSK Prihatin Kasus KDRT Masih Banyak”, Kompas, 2 Agustus 2019.
  • “Kekerasan dalam Rumah Tangga, Misteri di Balik Tembok Rumah yang Masih Tertutup”, Kompas, 8 Juni 2020.
  • “Memburuk, Situasi KDRT yang Dialami Perempuan di Dunia”, Kompas, 11 November 2020.
  • “Korban KDRT Jangan Dikriminalisasi!”, Kompas, 18 November 2021.
  • “KDRT, Tindak Pidana yang Harus Dilaporkan”, Kompas, 11 Februari 2022.
  • “Siapa Pun yang Bertikai, Anak dan Perempuan Selalu Rentan Jadi Korban KDRT”, Kompas, 2 Oktober 2022.
  • “KDRT Masih Menjadi Ancaman Bagi Perempuan”, Kompas, 15 Oktober 2022.
  • “Siklus Kekerasan”, Kompas, 15 Oktober 2022.
  • “Bantu Korban KDRT agar Berani Memutus Lingkaran Kekerasan”, Kompas, 18 Oktober 2022.
  • “Berani Lapor Ungkap Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”, Kompas, 9 Februari 2023.
  • “Dua Dekade Mendokumentasikan Kasus Kekerasan Berbasis Jender”, Kompas, 23 Juni 2023.
  • “19 Tahun Punya UU, KDRT Tetap Saja Marak” Kompas, 21 September 2023.
  • “Tiap Dua Jam, Lima Istri Jadi Korban KDRT”, Kompas, 16 Oktober 2023.
  • “KDRT Berujung Maut, dari Jagakarsa hingga Pelosok Desa Pantura”, Kompas, 8 Desember 2023.
  • “Usut Tuntas Motif Pembunuhan 4 Anak di Jagakarsa”, Kompas, 8 Desember 2023.
  • “Terbukti, Panca Membunuh Empat Anaknya di Jagakarsa”, Kompas, 9 Desember 2023.
Internet
  • “Violence against children”, diakses dari who.int
  • Laman kemenpppa.go.id