Paparan Topik

Makna ‘Cantik’ dalam Maraknya Bisnis Kosmetik

Makna kecantikan secara fisik sering direpresentasikan dengan perempuan berkulit putih. Konstruksi kecantikan ideal sudah terjadi sejak era Belanda menjajah Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari iklan majalah atau surat kabar Belanda dan Jepang yang hadir di Indonesia.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Gerai kosmetik di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta (16/3/2023). Saat ini, generasi muda semakin menyadari pentingnya perawatan kulit dan wajah sebagai salah satu wujud cinta diri.

Fakta Singkat

Top Of Mind tentang Arti ‘Cantik’

  • Tiga top of mind tentang arti cantik dari sekitar 6.000 responden perempuan adalah bertubuh sehat dan bugar (68,9 persen), memiliki wajah yang bersih dan mulus (67,1 persen), serta percaya diri (60,8 persen).

Kulit Idaman Perempuan

  • Sekitar 82,5 persen perempuan ingin memiliki kulit cerah dan glowing masih mendominasi mayoritas suara.

Putih Era Kolonial

  • Perempuan kulit putih dianggap merepresentasikan perempuan yang cantik yang memiliki tutur kata halus dan mampu menahan diri dalam mempertontonkan emosi.

Putih Era Jepang

  • Masyarakat Jepang menyukai warna putih dan menyebut dirinya “putih”. Namun, putih yang dimaksud mengacu pada warna kulit, bukan ras.

Kata “cantik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna indah dalam bentuk dan buatannya.

Standar kecantikan sendiri telah mengalami evolusi sepanjang sejarah, dari era paleolitik hingga era modern. Seiring berkembangnya zaman, standar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa.

Namun, kulit putih, langsing serta memiliki postur tinggi masih menjadi ukuran yang masih diterima masyarakat global hingga saat ini. Bahkan, berdasarkan Buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transisional (2013) warna kulit putihlah yang secara internasional diakui sebagai warna yang memiliki nilai tukar dalam konteks global.

Munculnya persepsi bahwa “putih itu cantik’”, mendorong perempuan berlomba-lomba memiliki kulit putih bersih dan glowing dengan penggunaan kosmetik. Hal itu terbukti dengan adanya survei Markplus, Inc dan Zap Clinic dalam Zap Beauty Index 2021 yang menemukan mayoritas responden (70,3 persen) mencari produk untuk mencerahkan kulit, 57,4 persen untuk melindungi dari sinar UV, 53,8 persen untuk antijerawat, dan 51,3 persen untuk menyamarkan pori-pori wajah.

Data tersebut menggambarkan bahwa cukup tinggi persentase perempuan yang mengalami berbagai macam permasalahan pada kulit wajah. Data tersebut juga menunjukkan adanya potensi pasar terhadap produk-produk kecantikan yang bisa membawa efek “putih” bagi kulit perempuan.

Sayangnya, akibat hendak cepat “putih'”, banyak perempuan yang memilih menggunakan kosmetik illegal, bahkan tidak memiliki izin edar. Dari laporan Direktorat Pengawasan Kosmetik, BPOM RI tahun 2020, ditemukan beberapa pelanggaran (ketidakpatuhan) pelaku usaha produk kosmetik.

Tingginya minat perempuan terhadap produk kecantikan yang bisa membawa dampak kulit yang sehat dan segar, mendorong industri produk kecantikan tumbuh bahkan memunculkan ragam produk baru seperti produk perawatan khusus kulit wajah.

Warna Kulit Cantik itu ‘Putih’

Penampilan fisik seringkali memengaruhi kepercayaan diri. Beberapa penelitian menemukan bahwa penampilan fisik menjadi penyumbang rasa percaya diri pada perempuan. Pada penelitian Harter (1990), penampilan fisik secara konsisten berkorelasi paling kuat dengan rasa percaya diri secara umum (Berliana, Nadya, 2018).

Selaras dengan pendapat tersebut, hasil riset yang dirilis ZAP Beauty Index 2021 menunjukkan temuan, tiga top of mind tentang arti cantik dari sekitar 6.000 responden perempuan adalah jika bertubuh sehat dan bugar (68,9 persen), memiliki wajah yang bersih dan mulus (67,1 persen), serta percaya diri (60,8 persen). Temuan ini menggambarkan telah terjadi pergeseran pandangan tentang definisi cantik dibandingkan dengan riset sebelumnya.

Di Indonesia, kulit putih dan cerah masih menjadi idaman para perempuan. Terbukti pada hasil riset ZAP Beauty Index 2020, sekitar 82,5 persen perempuan ingin memiliki kulit cerah dan glowing masih mendominasi mayoritas suara.

Jejak pandangan kecantikan perempuan dan putih dipaparkan dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (Marjin Kiri, 2017) bahwa perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan dominan masa Ramayana versi Indonesia maupun India. Perempuan cantik digambarkan berwajah putih bercahaya bak bulan purnama.

Seribu tahun kemudian, pada awal abad ke-20 saat kolonialisme Belanda berada di Indonesia, perempuan Kaukasia berkulit teranglah yang dianggap sebagai simbol kecantikan. Dalam representasi kecantikan ideal “putih Eropa” muncul sebagai pembeda kategori-kategori sosial. Catatan kesaksian orang-orang Eropa menyebut pribumi Hindia berkulit gelap sebagai “pemalas, bodoh, dan lacur”.

Selama periode kolonial, warna kulit putih atau terang mengisyaratkan status yang lebih tinggi. Warna kulit diartikan melalui wacana-wacana rasial sekaligus dipadukan. “Putih” menjadi sebuah kategori “warna rasial”. Dengan memiliki “kulit putih”, maka akses pada keistimewaan-keistimewaan sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari akan didapatkan (Loceher-Scholten 2000, 13).

Buku yang ditulis L. Ayu Saraswati juga memaparkan prestise kulit putih melandasi “emosional kolonial”. Representasi perempuan kulit putih sebagai paras kecantikan yang halus dan mampu menahan diri dalam mempertontonkan emosi.

KOMPAS/RIANA AFIFAH

Slogan kampanye terbaru Kiehl’s yaitu “We Skincare About You Since 1851”, di Senayan City, Jakarta (2/3/2023).

Jauh sebelum masuknya kolonialisme Barat, perempuan berkulit putih sudah dianggap sebagai kecantikan ideal, seperti terlihat dari epos India Ramayana yang diadaptasi di Jawa pada akhir abad ke-9.

Pada era kolonialisme Belanda, putih mulai mendapat muatan rasialnya ketika cantik putih diidentikkan dengan ras Kaukasia. Seiring masuknya Jepang ke Indonesia, disebarkanlah ideal cantik putih yang baru, yakni putih Asia.

Sementara pada era pascakolonial, ruang geografis Indonesia rupanya menjadi penanda penting untuk dilekatkan pada kategori putih yang kini nasionalistik, yakni “putih Indonesia”. Terakhir, pada era globalisasi kontemporer, kulit putih menjadi kualitas virtual yang lepas dari tubuh riilnya secara rasial maupun kebangsaan.

Putih bergeser menjadi putih yang mengandung muatan rasial dalam era kolonialisme Belanda dan Jepang. Sembari mengaitkan teori emosi dengan analisis iklan-iklan kecantikan di zaman tersebut, ketika dilihat lebih dalam, ideal kecantikan selama abad ke-9 di Jawa prakolonial berbeda dengan ideal di zaman kolonial.
 
Seperti termaktub pada halaman 82 buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (Marjin Kiri, 2017), perempuan berkulit terang yang dianggap cantik pada masa Jawa prakolonial tidak harus putih, apalagi anggota ras kulit putih Kaukasia.
 
Wacana putih Kaukasia berusaha meleburkan makna kulit putih dengan makna ras putih. Mungkin inilah yang membuat bias yang secara implisit terkadang diamini oleh masyarakat, di mana warna kulit putih menunjukkan supremasi yang dimiliki.
 
Wacana ideal kecantikan yang digaungkan pada masa penjajahan Jepang berbeda lagi. Dengan hasrat ingin menandingi kecantikan putih Eropa, iklan-iklan pada zaman ini banyak menyuarakan semangat putih Asia. Citra putih Asia ini tak serta merta mengucilkan Indonesia, namun juga ikut memberikan panggung kepada perempuan Indonesia untuk menggaungkan putih Asia.
 
Meskipun begitu, penjelasan mengenai putih Asia tidak terartikulasikan dengan jelas dikarenakan sudah mendarah dagingnya narasi putih Kaukasia. Ketidakmampuan memperkenalkan warna yang “baru” ini terlihat dari bagaimana salah satu iklan bedak Club tahun 1944 di Djawa Baroe memilih menggunakan kata “warnanya baru sekali” dibandingkan “warna yang putih”.
 
Putih Indonesia pun juga masih terbayangi dengan putih Kaukasia. Kegagalan mengenalkan konsep putih Indonesia dapat dilihat bagaimana beberapa iklan masa pada kolonial masih menggunakan model perempuan Indo (berdarah Indonesia dan Eropa), serta perempuan Kaukasia.
 
Saat akhir 1960-an, budaya pop Amerika menjadi salah satu yang memengaruhi cantik versi putih Indonesia diartikulasikan dan dinegosiasikan. Sepanjang periode, sejarah turut memberi andil perihal preferensi terhadap kulit terang dan merumuskan kecantikan serta wacana warna kulit putih, gender, dan ras di Indonesia.
 
Alasan konstruksi ideal kecantikan yang direpresentasikan oleh perempuan berkulit putih atau terang terletak dalam argumen tentang modernitas kerap dicampurkan dengan Barat atau putih.
 
Secara subjektivitas putih di Indonesia kolonial bukan sekadar narasi putih Eropa. Pada masa penjajahan Jepang kecantikan ideal putih Asia diusung dengan versinya sendiri. Ras Asia dikontruksikan ras unggulan, meski tetap putih menjadi yang disukai dan kulit gelap kurang dikehendaki.

KOMPAS/YOLA SASTRA

Petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Padang menyusun kosmetik ilegal dalam jumpa pers di Kota Padang, Sumatera Barat (5/8/2022). Dalam penertiban pasar, Balai Besar POM Padang menyita 1.544 kosmetik ilegal atau tanpa izin edar dari 23 toko dan lapak di Padang dan kabupaten lainnya di Sumbar.

Iklan Warna Kulit Perempuan

“Faktor yang paling luas dan paling abstrak yang memegaruhi pembelian konsumen adalah faktor budaya yang merupakan suatu kompleksitas dari makna, nilai, norma, dan tradisi yang dipelajari dan dibagi oleh anggota suatu masyarakat (Morissan, 2010: 128).

Berdasarkan buku Politik Warna Kulit Perempuan dalam Dunia Periklanan (PT Kanisius, 2018) bahwa dari pendapat Morissan menjadi penting untuk melihat bagaimana nilai, norma, dan tradisi yang ada dalam masyarakat Indonesia memengaruhi visualisasi iklan kosmetik.

Popularitas produk-produk pemutih kulit yang menduduki peringkat atas dengan mendatangkan laba dalam industri kosmetik di Indonesia menjadi bukti preferensi kulit putih. Visualisasi iklan kosmetik mampu menggiring pembeli.

Perkembangan kecantikan perempuan juga berkembang pada awal 1990 yang dapat dilihat dari objek iklan lebih berfokus pada kecantikan perempuan secara fisik dan selalu menampilkan gambar close up. Pada tahun 2000, iklan kosmetik lebih menampilkan perempuan yang dinamis dan perempuan yang melakukan aktivitas sehari-harinya di luar rumah. Hal tersebut menggambarkan perkembangan peran perempuan selain peran domestik.

Iklan menjadi propaganda terbentuknya standar kecantikan perempuan. Iklan bekerja dengan menampilkan pria yang mengagumi perempuan dengan tampilan cantik. Iklan tersebut menampilkan produk pemutih kulit, sehingga mendorong perempuan menggunakan produk dan mendapatkan perhatian dari pria.

Buku setebal 104 halaman tersebut juga memaparkan bahwa iklan kosmetik berisi bentuk simbol-simbol dari masyarakat yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari industri produk dan industri media. Industri produk dengan sistem kapitalismenya akan terus menghasilkan produk untuk dipasarkan. Begitu pula dengan industri media sebagai sarana penyampaian pesan dari industri kosmetik yang seakan menjadi kebutuhan masyarakat.

Iklan kecantikan sudah ada sejak abad ke-20, yang tercermin dalam surat kabar dan majalah. Muncul pula majalah perempuan yang pada awalnya hanya membahas “masalah-masalah rumah tangga”, tetapi tak jarang juga menampilkan isu-isu politik.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pengunjung bermasker melintasi papan iklan produk kecantikan di DP Mall, Kota Semarang, Jawa Tengah (2/6/2020). Aktivitas bisnis dan ekonomi sebagian mulai kembali dihidupkan setelah beberapa waktu terdampak ketatnya pembatasan sosial.

Pada era kolonial, iklan kecantikan sudah banyak ditayangkan. Citra cantik putih Kaukasia digunakan untuk memberikan gambaran kecantikan dalam iklan-iklan yang hadir di berbagai majalah perempuan. Representasi perempuan cantik Kaukasia sebagai wacana ideal kecantikan yang dominan.

Sebut saja iklan sabun “Palmolive di De Huisvrouw in Indie” (1937) dan “Bintang Hindia” (1928) yang terpampang dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transisional (2013). Dalam iklan tersebut menampilkan produk kecantikan yang memuat gambar hiam putih perempuan Kaukasia disertai teks menunjukkan kecantikan yang ideal .

Iklan Palmolive mengajak perempuan untuk menggunakan sabun merek tersebut dan menjual gagasan bahwa perempuan Kaukasia adalah kecantikan yang ideal. Lebih sekadar produk kecantikan, iklan-iklan tersebut menjual gagasan mengenai putih yang diinginkan dan dengan warna putih yang melekat dalam ras kulit putih.

Tak hanya zaman kolonial, era Jepang pun hadir iklan mengenai cantik putih versi Jepang. Djawa Baroe memiliki rubrik yang memuji kecantikan para perempuan Indonesia dan Jepang. Rubrik disertai gambar-gambar bintang film Jepang, yang menampilkan perempuan menggunakan kimono. Adapula “Poetri Indonesia yang Tjantik molek” memuat perempuan Indonesia dan semuanya relatif berkulit terang.

Salah satu iklan yang terlihat dalam Djawa Baroe (1944) adalah bedak Club.  Dalam iklan ini, perempuan yang berkulit terang sedang memberi bedak ke wajahnya. Iklan tersebut tertulis “sekali perempuan mencobanya, mereka akan mengerti bahwa bedak ini betul-betul bagus, wangi, dan warnanya baru sekali serta membuat semua orang bahagia”. Berdasarkan kata-kata iklan tersebut, terdapat kata warna baru yang mengartikan bahwa bedak tersebut mengklaim sanggup memutihkan kulit.

Melihat beragam iklan yang hadir pada masa kolonial dan Jepang, pemaknaan cantik itu putih masih  menjadi patokan ideal kecantikan perempuan.

KOMPAS, 13 Maret 2022

Industri Kosmetik

Kian derasnya paparan media terkait kecantikan mendorong industri kosmetik tumbuh subur, tak terkecuali di Indonesia. Produk kosmetik setidaknya terbagi dua kategori, yaitu skincare untuk perawatan kulit wajah, dan juga produk untuk tata rias wajah atau sering disebut make-up.

Berdasarkan hasil survei ZAP Clinic bersama MarkPlus Inc 2021, paling tidak wanita Indonesia dari berbagai generasi rata-rata menggunakan tiga jenis perawatan kulit (gen Z: 22,0 persen, gen Y: 23,6 persen, gen X: 30,5 persen). Bahkan, satu dari lima kalangan muda kurang dari 25 tahun (gen Z) menggunakan lebih dari lima jenis produk perawatan kulit setiap hari, melebihi kelompok generasi lainnya.

Portal data pasar dan konsumen internasional, Statista, memproyeksikan pertumbuhan pasar industri kosmetik Indonesia 4,59 persen per tahun pada 2023-2028. Ini juga mencakup produk perawatan kulit (skincare) dan pribadi (personal care). Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat, jumlah pelaku industri kosmetik meningkat dari 819 unit usaha pada 2021 menjadi 913 unit usaha pada 2022.

Di sisi lain, BPOM mencatat, jumlah perusahaan industri kecantikan tumbuh hingga 20,6 persen dari tahun 2021 yang berjumlah 819 menjadi 913 pada Juli 2022. Peningkatan perusahaan di bidang industri kecantikan tersebut didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UKM), yakni sebesar 83 persen. Sementara untuk nilai pasar kosmetik di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 6,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 98 triliun.

Berdasarkan Laporan Analisis Intelejen Bisnis 2021 yang dilakukan atase Perdagangan KBRI Tokyo, dijelaskan bahwa Produk skincare yang populer dan banyak diminati di pasar Jepang adalah produk-produk untuk perawatan penuaan (anti-aging), pencerah kulit (whitening), serta pelembab untuk kulit (moisturizer).

Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat, permintaan produk kecantikan meningkat sejak pandemi Covid-19. Platform digital, seperti lokapasar, hingga pemengaruh mempercepat peredaran informasi, pangsa pasar, dan pengiriman (Kompas, 24 Juli 2023).

Pasar kosmetik nasional dinilai bersaing di tingkat domestik dan memiliki jalan untuk menjadi pemain utama global. Apalagi, Indonesia diprediksi menjadi pasar kosmetik kelima terbesar di dunia pada 10–15 tahun mendatang.

Segmen pasar kecantikan juga tidak hanya dimonopoli kaum hawa, baik di perkotaan maupun perdesaan, tetapi juga menyasar kaum adam bahkan anak-anak. Untuk itu demi penampilan dan kepercayaan diri, konsumen rela merogoh kantong lebih dalam untuk membeli tonerfoundation, tabir surya, serum, dan perawatan wajah lainnya (Kompas, 13 Maret 2022).

KOMPAS, 8 April 2022

Survei Katadata Insight Center (KIC) pada akhir 2020 menunjukkan, 82,3 persen responden memilih menggunakan produk lokal. Mereka dimotivasi kebanggaan terhadap produk dalam negeri. Adapun 60,7 persen responden memilih produk lokal karena menilai harganya yang lebih terjangkau.

BPOM melaporkan, kosmetik merupakan kategori produk yang mendapatkan izin edar terbanyak di Indonesia dalam lima tahun terakhir dengan jumlah 411.410 produk. Namun, sayangnya produk kosmetik yang merebak malah banyak mengambil keuntungan dengan cara ilegal dan merugikan konsumen.

Berdasarkan laporan Direktorat Pengawasan Kosmetik, BPOM RI tahun 2020, ditemukan beberapa pelanggaran (ketidakpatuhan) pelaku usaha produk kosmetik. Terkait pemeriksaan sarana produksi kosmetik, ditemukan 19 persen sarana produksi yang tidak memenuhi ketentuan (TMK), dengan rincian 3 persen mengandung bahan berbahaya (BB), 35 persen tak memiliki izin edar, dan 62 persen belum konsisten menerapkan cara pembuatan kosmetik yang baik.

Demikian pula untuk sarana distribusi, ada 10 persen yang tergolong tidak memenuhi ketentuan (TMK) dengan 100 persen masalah karena tidak memiliki izin edar. Di sisi lain, hasil pengawasan iklan kosmetik menunjukkan jumlah yang memenuhi ketentuan menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Pergeseran pembuatan iklan di media daring berpotensi munculnya klaim yang dilarang atau menyesatkan ataupun iklan kosmetik tanpa izin edar (Kompas, 13 Maret 2022).

Dengan menjamurnya bisnis industri kosmetik, diharapkan pengawasan lebih ketat terkait izin produk kosmetik agar aman digunakan dan tidak merugikan konsumen. Dengan demikian, produk mengutamakan kualitas dan keselamatan konsumen.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Industri Kecantikan: Tumbuh Ditopang Bahan Baku Impor”, Kompas,  24 Juli 2023, hlm 14.
  • “Barometro: Mewaspadai Menjamurnya Bisnis Kecantikan”, Kompas, 13 Maret, hlm. 04.
  • “Tak Cukup dengan ”Skincare” untuk Lebih Percaya Diri”, Kompas, 19 Maret 2022, hlm. E.
  • “Produk Kecantikan dan Perawatan Lokal Makin Dipercaya”, Kompas, 18 Maret 2021, hlm.E.
  • “Kosmetik Ilegal Bermerkuri Dijual Bebas di Pasaran”, Kompas, 8 April 2022, hlm. 01,15.
Buku
  • Saraswati, L. Ayu. 2017. Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
  • Wirasari, Ira. 2018. Politik Warna Kulit Perempuan dalam Dunia Periklanan. Yogyakarta : PT Kanisius.
  • Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta : Niagara.
  • Primadiati, Rachmi. 2001. Kecantikan, Kosmetika, & Estetika.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.