Paparan Topik | Hari AIDS Sedunia

Hari AIDS Sedunia: Pentingnya Kesadaran Kolektif Menangani HIV/AIDS

Hari AIDS sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Desember menjadi momentum global untuk meningkatkan kesadaran, solidaritas, dan dukungan terhadap individu yang hidup dengan HIV/AIDS.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sosialisasi AIDS – Sejumlah relawan dari Forum LSM Peduli AIDS menyampaikan sosialisasi kepada warga yang berkunjung di Car Free Day tentang penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), Minggu (25/11/2018). Sosialisasi yang digelar untuk menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia ini mengajak kepada masyarakat untuk tetap peduli terhadap penyakit ini.

Fakta Singkat

  • Tanggal Perayaan: Hari AIDS Dunia diperingati setiap tahun pada tanggal 1 Desember 
  • Tujuan: Meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS, menghormati mereka yang telah meninggal karena penyakit ini, dan merayakan kemajuan dalam pengobatan dan pencegahan HIV.
  • Sejarah: Pertama kali diusulkan oleh James W. Bunn dan Thomas Netter di WHO pada tahun 1987, dengan tujuan untuk memaksimalkan liputan media.
  • Simbol Kesadaran: Pita merah menjadi simbol universal untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS, diperkenalkan pada tahun 1991 oleh sekelompok seniman di New York.

Hari AIDS Sedunia dicanangkan pada 1988 oleh WHO. Peringatan ini juga berfungsi sebagai platform untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi yang masih melekat pada isu HIV/AIDS.

Tema Hari HIV/AIDS Sedunia 2024, “Take the Right Paths”, menggarisbawahi pentingnya mengambil langkah yang tepat dalam merespons epidemi HIV/AIDS. Tema ini menekankan strategi berbasis bukti untuk memastikan pencegahan, perawatan, dan pengobatan yang efektif serta inklusif. Pendekatan ini melibatkan kebijakan yang mendukung akses universal ke layanan kesehatan, sekaligus memberdayakan komunitas terdampak untuk turut berperan aktif.

UNAIDS menekankan bahwa pencapaian target 2030 untuk mengakhiri epidemi AIDS hanya dapat terwujud jika dunia bersatu dan berkomitmen pada jalur yang benar. Hal ini mencakup peningkatan pendanaan, pendidikan kesehatan, serta kolaborasi lintas sektor. Melalui upaya ini, masyarakat global diharapkan dapat mengatasi ketidakadilan yang memperburuk penyebaran HIV/AIDS.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Puluhan remaja yang tergabung dalam Yayasan AIDS Indonesia memeringai Hari AIDS Internasional pada 1 Desember dengan pawai di area bebas kendaraan bermotor Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (1/12/2019). Mereka antara lain mengampanyekan untuk menjauhi perilaku seks bebas, menjauhi narkoba, dan meminta masyarakat untuk tidak menjauhi para penderita AIDS.

Sejarah

Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) berasal dari simpanse dan virus simian immunodeficiency (SIV), yang menyerang sistem kekebalan primata. Penularan virus ini ke manusia diperkirakan terjadi pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1920.

Penularan tersebut terjadi ketika pemburu di Afrika mengonsumsi daging simpanse yang terinfeksi atau terpapar darahnya melalui luka. Penyebaran virus ini mulai terdeteksi di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, dan menyebar ke Haiti dan Karibia pada 1960-an, sebelum akhirnya mencapai Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di AS pada tahun 1981, ketika lima orang menderita pneumonia akibat infeksi jamur Pneumocystis jirovecii. Dalam waktu satu tahun, jumlah kasus meningkat pesat menjadi 335, dengan 136 kematian. Pada tahun 1982, istilah AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) resmi digunakan oleh CDC untuk menggambarkan kondisi ini.

Kasus virus HIV/AIDS  di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, yang melibatkan seorang wisatawan Belanda. Sejak saat itu, jumlah kasus terus meningkat, dengan pola penyebaran awal di kalangan homoseksual dan pekerja seks.

Pada tahun 1996, tercatat jumlah kasus HIV positif mencapai 381 dan 154 kasus AIDS. Penyebaran virus ini semakin meluas dengan adanya hubungan seksual berisiko dan penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Hingga saat ini, meskipun pengobatan antiretroviral (ARV) telah tersedia untuk membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA), tantangan dalam penanganan epidemi ini tetap ada. Perl uterus dilakukan upaya pencegahan dan edukasi untuk mengurangi stigma serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pengobatan antiretroviral

Perubahan status HIV/AIDS dari epidemi global menjadi tantangan kesehatan yang terkendali mencerminkan kemajuan signifikan dalam penanganan penyakit ini. Selama beberapa dekade, HIV/AIDS dianggap sebagai salah satu epidemi paling mematikan di dunia, dengan jutaan kematian dan infeksi baru setiap tahun.

Namun, dengan upaya global yang terkoordinasi, termasuk program pengobatan antiretroviral yang lebih luas dan inisiatif pencegahan, banyak negara telah berhasil menurunkan angka infeksi dan kematian terkait AIDS secara drastis. Misalnya, menurut Laporan UNAIDS pada tahun 2023, diperkirakan 30,7 juta orang di seluruh dunia mengakses terapi antiretroviral, yang telah menyelamatkan sekitar 20,8 juta nyawa.

Meskipun ada kemajuan yang signifikan, tantangan tetap ada. Angka infeksi baru masih tinggi di beberapa wilayah, terutama di sub-Sahara Afrika, di mana wanita dan gadis muda paling terpukul. Pada tahun 2023, sekitar 1,3 juta orang terinfeksi HIV baru, menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan, target untuk mengurangi infeksi pada tahun 2025 masih jauh dari tercapai.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Obat Antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsi pasien orang dengan HIV AIDS (ODHA) ditunjukkan dalam sesi jumpa pers yang digelar Indonesia AIDS Coalition (IAC) di Jakarta, Kamis (10/1/2019). Obat ARV yang mengandung zat aktif Tenofovir, Lamivudine dan Efavirenz harus dikonsumsi dalam sediaan kombinasi ketiganya untuk menghambat replikasi HIV.

Upaya pengendalian

Kemajuan dalam pengendalian HIV/AIDS melalui terapi antiretroviral (ARV) menjadi salah upaya utama untuk memutus penularan virus ini. Menurut WHO, terapi ARV tidak hanya membantu individu yang terinfeksi untuk mengelola kondisi mereka, tetapi juga berperan penting dalam mengurangi viral load hingga ke tingkat yang tidak terdeteksi.

Ini berarti bahwa orang dengan HIV yang menjalani terapi ARV secara efektif tidak dapat menularkan virus kepada pasangan seksual mereka. Maka dari itu, terapi tersebut dianggap berkontribusi pada pengendalian epidemi secara keseluruhan.

Salah satu inovasi terkini dalam pengobatan HIV adalah pemberian ARV secara multibulan. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dengan mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan.

Menurut pakar kesehatan Zubairi Djoerban, pasien yang viral load-nya tidak terdeteksi disarankan untuk mendapatkan pengobatan setidaknya sebulan sekali, sementara pemeriksaan viral load dapat dilakukan setahun sekali. Pendekatan ini tidak hanya mempermudah akses terhadap terapi tetapi juga meningkatkan kemungkinan pasien untuk tetap patuh dalam menjalani pengobatan mereka

Kemudahan akses dan pendekatan multibulan ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak orang dengan HIV untuk memulai dan melanjutkan terapi ARV. Selain itu, strategi ini juga mencerminkan perubahan paradigma dalam manajemen HIV/AIDS, dari pendekatan yang lebih tradisional menjadi model yang lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pasien.

Secara keseluruhan, kemajuan dalam terapi antiretroviral dan inovasi seperti pemberian ARV multibulan menunjukkan potensi besar dalam mengendalikan HIV/AIDS. Dengan dukungan dari pemerintah dan lembaga kesehatan, serta partisipasi aktif dari masyarakat, langkah-langkah ini dapat membantu mencapai tujuan global untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030.

Meskipun begitu, pemerintah tetap perlu terus memperhatikan perkembangan data orang dengan HIV (ODHIV).

Menurut Laporan Perkembangan HIV AIDS & PIMS di Indonesia, sepanjang Januari hingga Desember 2023, sebanyak 6.142.136 orang yang dites HIV, 57.299 diantaranya merupakan ODHIV. Namun, data menunjukkan bahwa ODHIV yang mendapatkan terapi ARV hanya sebanyak 46.370 orang.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa, jumlah kasus HIV pada 2023 menjadi jumlah terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan juga terjadi pada skala global.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Berdasarkan data UNAIDS, menunjukkan bahwa ODHIV pada tahun 2023 mencapai angka 39,9 juta dengan 1,3 juta kasus baru. Hal ini dapat mengindikasikan adanya tren kenaikan atau potensi faktor-faktor lain yang menyebabkan lonjakan kasus.

Data tersebut juga dapat mencerminkan adanya tantangan dalam upaya pengendalian HIV. Tantangan tersebut seperti keterbatasan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, stigma sosial terhadap pengidap HIV, atau kurangnya sumber daya untuk mendukung pengobatan dan pencegahan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas kesehatan Puskesmas Menteng mengambil sampel darah warga untuk tes HIV pada acara peringatan hari AIDS Sedunia 2015 di Taman Suropati, Menteng, Minggu (29/11/2015). Pengujian HIV gratis tersebut bertujuan agar warga mengetahui status HIV nya dan upaya mengurangi penularan HIV.

Tantangan di Era Modern

HIV tetap menjadi salah satu tantangan kesehatan global yang signifikan meskipun telah banyak kemajuan dalam diagnosis dan pengobatannya. Salah satu tantangan terbesar adalah stigma yang masih melekat di masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Stigma ini dapat menghambat individu untuk mencari diagnosis dini atau perawatan yang diperlukan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bouabida, Chaves, dan Anane (2023), stigma terhadap ODHIV sering kali menyebabkan mereka mengalami pengucilan sosial, bahkan dari keluarga atau teman terdekat, yang seharusnya menjadi sistem pendukung utama.

Hal ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan psikologis, tetapi juga membuat ODHIV enggan mengakses layanan kesehatan yang esensial, sehingga memperburuk kondisi mereka dan meningkatkan risiko penularan lebih lanjut. Stigma ini juga dapat memperkuat ketimpangan dalam perawatan kesehatan, khususnya di daerah dengan tingkat pemahaman rendah tentang HIV/AIDS.

Selain itu, terdapat kesenjangan akses terhadap terapi antiretroviral (ARV), terutama di negara-negara berkembang. Meskipun terapi ARV telah terbukti efektif dalam menekan viral load dan meningkatkan kualitas hidup ODHA, distribusi yang tidak merata menjadi tantangan utama.

Kesenjangan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor geografis, di mana daerah pedesaan atau terpencil memiliki akses yang lebih terbatas dibandingkan wilayah perkotaan. Selain itu, keterbatasan dana publik untuk program kesehatan HIV/AIDS dan ketergantungan pada bantuan internasional juga memperparah situasi.

Seperti dalam penelitian Hutahaean, Stutterheim, dan Jonas (2023), yang meneliti bahwa kekurangan obat ARV di wilayah tertentu dapat menyebabkan gangguan terapi yang meningkatkan risiko resistansi obat dan memperburuk epidemi. Hal ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih strategis untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan ARV bagi semua lapisan masyarakat.

Tantangan lainnya adalah tingginya tingkat infeksi baru, terutama di kelompok usia muda. Kurangnya edukasi seksual yang komprehensif di beberapa negara berkontribusi pada peningkatan risiko penularan HIV. Menurut penelitian Bouabida, Chaves, dan Anane (2023), edukasi berbasis komunitas yang melibatkan pemuda telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran tentang HIV dan cara pencegahannya. Namun, implementasinya memerlukan dukungan yang kuat dari pemerintah dan masyarakat luas. 

Terakhir, resistansi terhadap obat-obatan HIV menjadi ancaman yang semakin nyata. Resistansi ini terjadi ketika virus HIV bermutasi sehingga tidak lagi merespons terapi yang ada. Peningkatan resistansi obat dapat mengancam keberhasilan terapi jangka panjang dan meningkatkan beban biaya kesehatan secara global. Hal ini menunjukkan perlunya pengembangan obat baru dan pendekatan pengobatan yang lebih inovatif. 

Penanganan HIV membutuhkan kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah, komunitas kesehatan, hingga masyarakat umum. Dengan pendekatan yang holistik, tantangan-tantangan ini dapat diatasi untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan bebas HIV.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas kesehatan Puskesmas Menteng menguji sampel-sampel darah warga pada acara peringatan hari AIDS Sedunia 2015 di Taman Suropati, Menteng, Minggu (29/11/2015). Pengujian HIV gratis tersebut bertujuan agar warga mengetahui status HIV-nya dan upaya mengurangi penularan HIV.

Kesadaran kolektif

Hari AIDS Sedunia menjadi momen penting untuk merenungkan sejauh mana upaya kesadaran kolektif dalam menangani HIV/AIDS telah membawa perubahan. Ini juga menjadi pengingat bahwa tantangan besar masih ada, mulai dari stigma sosial hingga kesenjangan akses pengobatan.

Langkah bersama sangat diperlukan untuk menekan kasus HIV/AIDS secara signifikan. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat umum harus saling bahu-membahu. Kerja sama lintas sektor ini dapat menjadi kunci dalam menghentikan laju epidemi HIV/AIDS.

Sebagai individu, publik juga memiliki peran penting, baik dalam melawan stigma maupun menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS. Dengan memahami bahwa HIV bukan akhir dari segalanya, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi ODHIV. Selain itu, edukasi yang terus-menerus tentang pentingnya pencegahan dan pemeriksaan dini dapat menyelamatkan banyak nyawa di masa depan. 

Melalui komitmen bersama, Hari AIDS Sedunia dapat menjadi momentum perubahan yang nyata. Mari jadikan hari ini bukan sekadar peringatan, tetapi awal dari upaya kolektif yang lebih kuat untuk mewujudkan dunia tanpa HIV/AIDS, di mana semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup sehat dan bermartabat. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Hari AIDS Sedunia: Fenomena AIDS di Indonesia dan Global”, Kompaspedia, 1 Desember 2023
  • “Pemberian ARV Multibulan Dorong Kepatuhan Konsumsi Obat”, Kompas.id, 30 November 2023
Internet
  • “World AIDS Day”, UNAIDS, 26 November 2024
  • “Global HIV & AIDS statistics — Fact sheet”, UNAIDS, 2024
  • “HIV Treatment”, HIV Info, 16 Agustus 2021
Laporan
  • “Laporan Tahunan dan Triwulan HIV dan PIMS 2023’’, Tim Kerja HIV AIDS &PMIS Indonesia
Jurnal
  • Bouabida, K., Chaves, B. G., & Anane, E. (2023). Challenges and barriers to HIV care engagement and care cascade. Frontiers in Reproductive Health, 5, 1201087.
  • Hutahaean BSH, Stutterheim SE, Jonas KJ. Barriers and Facilitators to HIV Treatment Adherence in Indonesia: Perspectives of People Living with HIV and HIV Service Providers. Trop Med Infect Dis. 2023 Feb 24;8(3):138. doi: 10.3390/tropicalmed8030138. PMID: 36977140; PMCID: PMC10056901.