KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Puluhan remaja yang tergabung dalam Yayasan Aids Indonesia memeringai Hari AIDS Internasional pada 1 Desember dengan pawai di area bebas kendaraan bermotor Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (1/12/2019). Mereka antara lain mengkampanyekan untuk menjauhi perilaku seks bebas, menjauhi narkoba, dan meminta masyarakat untuk tidak menjauhi para penderita AIDS.
Fakta Singkat
- Tema Hari AIDS Sedunia 2023 adalah “Let Communities Lead!” atau ‘Biarkan Komunitas Memimpin’ (UNAIDS)
- Hari AIDS Sedunia digagas oleh James W. Bunn dan Thomas Netter pada Agustus 1987, dan diperingati pertama kali pada tanggal 1 Desember 1988.
- HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh.
- AIDS atau Acquired Immuno-Deficiency Syndrome adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh sangat lemah akibat infeksi HIV.
- Tidak semua orang yang terinfeksi HIV menderita AIDS, tapi semua penderita AIDS pasti terinfeksi HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV dikategorikan menderita AIDS jika jumlah sel CD4 positif kurang dari 200 per mm 3 darah dan menderita infeksi oportunistik.
- HIV dapat ditemukan pada darah, air mani, cairan vagina, dan ASI. Cairan tubuh seperti keringat dan air liur tidak memberikan risiko penularan.
- HIV ditularkan melalui hubungan seks (anal atau vagina), transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi di tempat layanan kesehatan dan suntikan obat-obatan terlarang, serta antara ibu dan bayi selama kehamilan, persalinan, dan menyusui.
- Diperkirakan ada 39 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV pada akhir tahun 2022.
- Pada tahun 2022 sekitar 1,3 juta orang tertular HIV dan 630.000 orang meninggal karena penyakit yang behubungan dengan AIDS.
- Di Indonesia, per Maret 2022, secara kumulatif diperkirakan ada 377.650 orang terinfeksi HIV, sedangkan penderita AIDS dilaporkan sebanyak 145.037 orang.
- Sejak Januari-Maret 2023, Kemenkes mencatat terdapat 13.279 kasus infeksi HIV baru di Indonesia dan 188 penderita AIDS baru.
- Organisasi dan negara di seluruh dunia telah berkomitmen untuk mengakhiri HIV dan AIDS pada 2030.
Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa hingga saat ini tidak ada negara yang terbebas dari penyakit AIDS yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV awalnya hanya menginfeksi simpanse dan gorila. Versi virus pada simpanse dikenal sebagai simian immunodeficiency viruses (SIV). SIV sendiri merupakan jenis lentivirus, yang diketahui menyerang sistem kekebalan tubuh. SIV menyerang sistem kekebalan monyet dan kera dengan cara yang sangat mirip dengan HIV.
Baru kemudian sekitar tahun 1920 dilaporkan adanya kasus zoonosi atau penyeberangan virus ini ke manusia di Kinshasa, Kongo. Diduga ditularkan ke manusia ketika manusia memburu simpanse untuk diambil dagingnya dan bersentuhan dengan darah mereka yang terinfeksi.
Namun, HIV dan AIDS baru menjadi perhatian dunia pada awal 1980-an ketika infeksi virus HIV mulai mewabah secara global. Pada tahun 1980-an, 100.000-300.000 orang dilaporkan terinfeksi virus ini di Afrika, Amerika, Amerika Selatan, Eropa, dan Australia (“Harapan Baru untuk Melawan HIV”, Kompas, 8 Juli 2019).
Sejak itu, jumlah orang yang terinfeksi terus bertambah setiap tahunnya. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) mencatat, sejak awal epidemi hingga saat ini terdapat 85,6 juta orang telah terinfeksi virus HIV dan sekitar 40,4 juta orang meninggal karena AIDS. Afrika menjadi wilayah yang terkena dampak paling parah, dengan hampir 1 dari setiap 25 orang dewasa (3,2 persen) hidup dengan HIV dan mencakup lebih dari dua pertiga orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia.
Oleh karena itu, peringatan Hari AIDS Sedunia setiap tanggal 1 Desember menjadi penting. Peringatan ini merupakan momen untuk menyebarkan kesadaran tentang HIV dan AIDS, serta menunjukan solidaritas dan menghormati kehidupan mereka yang terkena dampaknya.
Peringatan ini digagas oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, petugas informasi publik dalam Program AIDS Global WHO – kini UNAIDS, pada Agustus 1987. Gagasan tersebut disetujui Dr. Jonathan Mann, Direktur Program AIDS Global saat itu, dan diperingati pertama kali pada tanggal 1 Desember 1988.
Pada peringatan pertama tahun 1988, diangkat tema “A World United against AIDS”, sedangkan pada tahun 2023 diangkat tema “Let Comunnities Lead” atau “Biarkan Komunitas Memimpi”. Melalui tema ini Hari AIDS Sedunia akan Hari AIDS Sedunia tahun 2023 akan menyoroti peran kepemimpinan masyarakat guna mengakhiri AIDS. Beberapa upaya tersebut, di antaranya:
Pertama, peran kepemimpinan masyarakat perlu dijadikan inti dalam semua rencana dan program HIV dan dalam perumusan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. “Nothing about us without us” (Tidak ada apa pun tentang kita tanpa kita).
Kedua, peran kepemimpinan masyarakat perlu didanai sepenuhnya dan dapat diandalkan untuk memungkinkan peningkatan yang diperlukan, serta didukung dan diberi imbalan yang layak. “Not ending AIDS is more expensive than ending it” (Tidak mengakhiri AIDS lebih mahal daripada mengakhirinya).
Ketiga, hambatan terhadap peran kepemimpinan masyarakat perlu dihilangkan. Diperlukan lingkungan peraturan yang mendukung peran masyarakat dalam penyediaan layanan HIV, memastikan ruang bagi masyarakat sipil, dan melindungi hak asasi manusia semua orang, termasuk komunitas yang terpinggirkan, untuk memajukan respons HIV global. “Remove laws that harm, create laws that empower” (Hapus undang-undang yang merugikan, ciptakan undang-undang yang memberdayakan).
.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kampanye dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia di area Car Free Day Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (1/12/2019). Kegiatan tersebut untuk menumbuhkan kesadaran tentang pola hidup sehat serta pengetahuan appa itu HIV AIDS. Momen tersebut pertama kali diperingati pada 1988 untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dunia terhadap HIV AIDS. Berdasarkan data UNAIDS, pada akhir 2018, sebanyak 37,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan 770.000 orang meninggal karena AIDS.
Memahami HIV dan AIDS
- Definisi
Meski penyebutannya sering digabung, HIV dan AIDS adalah dua hal yang berbeda. HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, sedangkan AIDS atau Acquired Immuno-Deficiency Syndrome adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh sangat lemah akibat infeksi HIV.
Mengacu WHO, UNAIDS dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), HIV merusak sistem kekebalan tubuh secara bertahap. Virus ini menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel darah putih CD4-positif dan makrofag—yang merupakan komponen kunci sistem kekebalan tubuh, dengan menghancurkan atau merusak fungsinya. Dampaknya, terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh secara progresif, yang menyebabkan defisiensi imun.
HIV menyebabkan tubuh penderitanya rentan terhadap pelbagai jenis infeksi dan beberapa jenis kanker. Sehingga kondisi ini kemudian disebut acquired immune deficiency syndrome yang dikenal sebagai AIDS. Namun, tidak semua serangan virus HIV secara otomatis menimbulkan AIDS. Hanya infeksi HIV serius yang dapat menyebabkan AIDS.
Seseorang yang terinfeksi HIV akan dikategorikan menderita AIDS jika jumlah sel CD4 positif kurang dari 200 per mm 3 darah dan menderita infeksi oportunistik. Mayoritas orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diobati, akan menyebabkan berkembangnya AIDS dalam waktu 5 sampai 10 tahun atau terkadang bisa lebih lama.
Hingga saat ini, masih belum ditemukan pengobatan yang secara resmi mampu menyembuhkan penderita penyakit AIDS. Sejauh ini pengobatan yang dapat dilakukan adalah mengurangi peningkatan dampak kronis AIDS. Bagi penderita HIV, dapat dilakukan dengan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk mengurangi perkembangan sel virus di dalam tubuh agar tidak mencapai stadium AIDS. Sementara bagi penderita AIDS, pengobatan yang sama diperlukan untuk mencegah kian kronisnya berbagai komplikasi infeksi.
Perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yakni jenis, virulensi virus, dan daya tahan tubuh. Ada tiga jenis infeksi HIV, yaitu: rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan slow progressor, lebih dari 15 tahun setelah infeksi menjadi AIDS.
- Gejala
Gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksinya. Terdapat empat tahap infeksi HIV hingga teridentifikasi sebagai AIDS.
Tahap pertama merupakan infeksi HIV yang biasanya tak bergejala dan belum dikategorikan sebagai AIDS. Oleh karena itu, pada tahap ini banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV. Namun, pada periode ini seseorang yang terinfeksi HIV dapat menularkan pada orang lain (sangat infeksius). Fase ini biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal.
Tahap kedua berupa infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Pada tahap ini virus HIV mulai semakin melemakhkan sistem kekebalan tubuh. Masa dengan gejala ringan ini bisa berlangsung hingga 5-8 tahun.
Tahap ketiga, kekebalan tubuh telah menurun drastis, nilai viral load semakin tinggi, dan CD4 sangat rendah. Sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi yang semakin serius. Gejala yang timbul, seperti diare kronis yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, serta tuberkulosis paru-paru. Pada tahap ini sudah dikategorikan sebagai AIDS.
Tahap keempat, HIV menyebabkan infeksi yang lebih buruk dan beresiko menyebabkan kematian, meliputi infeksi parasit di otak, trakea, paru-paru, serta kanker tulang.
- Penularan
HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan ASI. Ditularkan melalui hubungan seks (anal atau vagina), transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi di tempat layanan kesehatan dan suntikan obat-obatan terlarang, serta antara ibu dan bayi selama kehamilan, persalinan, dan menyusui.
Melalui aktivitas seks, penularan HIV memiliki resiko yang berbeda. Seseorang dengan infeksi menular seksual terutama yang melibatkan bisul atau keluarnya cairan, seperti sifilis, herpes, klamidia, gonore, dan vaginosis bakterial, rata-rata memiliki kemungkinan enam hingga 10 kali lebih besar untuk menularkan atau tertular HIV saat berhubungan seks. Penularan melalui seks anal juga dilaporkan 10 kali lebih tinggi dibandingkan melalui seks vagina.
Penularan lain terjadi karena penggunaan jarum suntik bekas atau jarum suntik secara bersama-sama (sharing). Menerima transfusi darah dan transplantasi jaringan, serta prosedur medis yang melibatkan pemotongan atau penindikan yang tidak steril. HIV menular melalui luka yang disebabkan segala benda yang tidak steril, seperti gunting, pisau, dan silet.
Sedangkan, penularan dari ibu ke anak dapat terjadi pada saat ibu hamil melalui plasenta, saat melahirkan melalui kontak cairan ibu dan bayi, maupun saat menyusui melalui ASI. Secara umum, terdapat 15–30 persen risiko penularan dari ibu ke anak sebelum dan selama persalinan
Penting juga untuk diketahui hal yang kerap disalahpahami adalah kerentanan penularan dalam kontak harian. Orang tidak dapat terinfeksi virus HIV melalui kontak sehari-hari seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi seperti peralatan makan atau minum. Cairan tubuh seperti keringat dan air liur tidak memberikan risiko penularan. Kecuali jika terdapat darah yang ikut dalam air liur atau keringat yang disebabkan adanya luka.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kampanye Pencegahan AIDS – Warga antre untuk foto gratis dengan latar belakang simbol pita merah sebagai bentuk kepedulian terhadap bahaya HIV/AIDS pada kampanye yang digelar Komisi Penanggulagan AIDS Nasional di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (2/12/2012). Dari tiap warga yang berfoto akan disumbangkan donasi Rp 10.000 dari sponsor untuk kagiatan kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Situasi Faktual
- Situasi Global
Dalam laporan 2023 UNAIDS Global AIDS Update, pada tahun 2022 sekitar 1,3 juta orang tertular HIV dan 630.000 orang meninggal karena penyakit yang behubungan dengan AIDS. Diperkirakan ada 39 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV pada akhir tahun 2022. Sekitar 53 persen dari seluruh orang yang hidup dengan HIV adalah perempuan dan anak perempuan
Dari seluruh wilayah di dunia, Afrika masih menjadi ”rumah” bagi HIV dengan jumlah pengidap HIV terbanyak, yakni 25,6 juta orang. Di urutan kedua dan ketiga, ada Asia Tenggara dan Amerika yang masih-masing terdapat 3,9 dan 3,8 orang terinfeksi HIV. Sementara paling sedikit, 490.000 orang terinfeksi HIV berada di region Mediterania Timur.
Meski kasus HIV dan AIDS masih tinggi. Berdasarkan laporan UNAIDS, jumlah infeksi HIV baru dan kematian terkait AIDS terus menurun secara global. Dibandingkan dengan data tahun 2010, jumlah infeksi HIV baru menurun sebesar 38 persen secara global pada 2022 dan jumlah kematian terkait AIDS menurun sebesar 52 persen.
Penurunan paling signifikan dalam jumlah infeksi baru terjadi pada anak-anak (usia 0–14 tahun) dan remaja (usia 15–24 tahun), yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi sasaran intervensi. Secara global, pada tahun 2022, diperkirakan sekitar 210.000 remaja perempuan dan perempuan muda (berusia 15– 24 tahun) tertular HIV, setengah dari jumlah pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, 140.000 remaja laki-laki dan laki-laki muda (usia 15-24 tahun) tertular HIV, penurunan sebesar 44 persen sejak tahun 2010.
Tren positif tersebut tidak terlepas dari peningkatan dan perluasan akses layanan kesehatan dan pengobatan. Akses terhadap terapi antiretroviral telah meluas di semua wilayah, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia dan Pasifik, yang merupakan rumah bagi 82 persen dari seluruh orang yang hidup dengan HIV.
Secara global pada tahun 2022, dari 39 juta orang yang terinfeksi HIV, 86 persen telah mengetahui status HIV mereka, 76 persen menerima terapi antiretroviral, dan 71 persen menjalani pengobatan penekanan viral load. Capaian ini sangat penting. Diagnosa, pengobatan, dan penekanan virus memungkinkan orang yang hidup dengan HIV dapat berumur panjang, hidup sehat dan menurunkan risiko menularkan HIV ke orang lain.
Meski demikian, kemajuan yang terjadi masih belum merata di semua wilayah. Laporan UNAIDS juga mengungkapkan adanya sejumlah wilayah yang mengalami kenaikan jumlah infeksi baru ditengah tren penurunan secara global.
Eropa Timur dan Asia Tengah mengalami peningkatan signifikan dalam infeksi baru HIV setiap tahunnya, yakni naik sebesar 49 persen dibandingkan dengan tahun 2010. Demikian juga dengan Timur Tengah dan Afrika Utara yang mengalami peningkatan sebesar 61 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya layanan pencegahan bagi masyarakat yang terpinggirkan dan populasi kunci di wilayah tersebut, serta hambatan yang ditimbulkan oleh undang-undang yang bersifat menghukum, kekerasan, serta stigma dan diskriminasi sosial.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Data kasus HIV dan AIDS
- Afrika
Diperkirakan ada 25,6 juta orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 90 persen mengetahui statusnya, 82 persen menerima pengobatan, dan 76 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 660.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 380.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia menurun menjadi 0,57 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 1,75 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian turun sebesar 56 persen dari tahun 2010.
- Amerika
Diperkirakan ada 3,8 juta orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 86 persen mengetahui statusnya, 71 persen menerima pengobatan, dan 65 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 160.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 41.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia menurun menjadi 0,16 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 0,18 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian turun sebesar 37 persen dari tahun 2010.
- Asia Tenggara
Diperkirakan ada 3,9 juta orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 81 persen mengetahui statusnya, 65 persen menerima pengobatan, dan 61 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 110.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 85.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia menurun menjadi 0,06 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 0,12 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian turun sebesar 63,4 persen dari tahun 2010.
- Eropa
Diperkirakan ada 3,0 juta orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 72 persen mengetahui statusnya, 63 persen menerima pengobatan, dan 60 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 180.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 52.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia meningkat menjadi 0,20 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 0,16 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian meingkat sebesar 36,9 persen dari tahun 2010.
- Mediterania Timur
Diperkirakan ada 490.000 orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 38 persen mengetahui statusnya, 27 persen menerima pengobatan, dan 24 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 56.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 20.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia meningkat menjadi 0,07 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 0,05 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian meningkat sebesar 72,3 persen dari tahun 2010.
- Pasifik Barat
Diperkirakan ada 2,2 juta orang hidup dengan HIV pada tahun 2022, dimana 81 persen mengetahui statusnya, 73 persen menerima pengobatan, dan 70 persen telah menekan viral load.
Sebanyak 140.000 orang diperkirakan tertular HIV pada tahun 2022 dan ada 51.000 kematian disebabkan oleh penyakit tersebut pada tahun yang sama. Jumlah orang yang tertular di segala usia tetap stabil pad 0,07 per 1000 penduduk tidak terinfeksi pada tahun 2022 dari 0,12 pada tahun 2010. Adapun jumlah kematian menurun sebesar 24,7 persen dari tahun 2010 tetapi meningkat sebesar 3,5 persen dibandingkan tahun 2021.
Grafik:
KOMPAS/RIZA FATHONI
Obat Antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsi pasien orang dengan HIV AIDS (ODHA) ditunjukkan dalam sesi jumpa pers yang digelar Indonesia AIDS Coalition (IAC) di Jakarta, Kamis (10/1/2019). Obat ARV yang mengandung zat aktif Tenofovir, Lamivudine dan Efavirenz harus dikonsumsi dalam sediaan kombinasi ketiganya untuk menghambat replikasi HIV.
Situasi Indonesia
Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Ditemukan pada seorang pasien berkebangsaan Belanda yang meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Kasus ini kemudian dilanjutkan dengan pelaporan kasus ke WHO sehinga Indonesia menjadi negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS ditahun 1987. Namun, sebenarnya pada tahun 1985, sudah ada pasien Rumah Sakit Islam Jakarta yang diduga menderita AIDS.
Sejak itu epidemi AIDS di Indonesia menjadi salah satu yang paling cepat berkembang di Asia. Berdasarkan data Kemenkes, kasus HIV dan AIDS telah dilaporkan keberadaanya oleh 507 dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Per Maret 2023, secara kumulatif diperkirakan ada 377.650 orang terinfeksi HIV, sedangkan penderita AIDS dilaporkan sebanyak 145.037 orang.
Grafik:
Untuk kasus baru, sejak Januari-Maret 2023 Kemenkes mencatat terdapat 13.279 kasus infeksi HIV baru di Indonesia dari 1.230.023 orang yang dites. Sementara penderita baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 4.188 orang. Adapaun angka kematian sebesar 0,22 persen, lebih rendah dari tahun 2022 yaitu 0,87 persen.
Sedikit berbeda dengan tren dunia, orang dengan HIV di Indonesia mayoritas adalah laki-laki. Proporsi terinfeksi HIV yang berjenis kelamin laki-laki mencapai presentase 62 persen, jauh lebih banyak dibandingkan perempuan 38 persen. Hal yang sama juga terjadi pada kasus baru AIDS, jumlah laki-laki mencapai 61 persen, sedangkan perempuan 32 persen.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Secara demografis, jumlah terinfeksi HIV yang ditemukan sebagian besar terdapat pada kelompok umur 25-49 tahun (70,2 persen), diikuiti kelompok umur 20-24 (16 persen), dan kelompok umur di atas 50 tahun (7,4 persen). Sedangkan penderita AIDS didominasi kelompok umur 20-29 tahun (31,6 persen), diikuti kelompok 30-39 tahun (31,3 persen), dan 40-49 tahun (14,9 persen).
Berdasarkan faktor risiko, penyebab terbesar penularan di Indonesia adalah hubungan seksual beresiko pada hoteroseksual, menjadi penyebab bagi 66,5 persen. Diikuti hubungan seks homoseksual 10,4 persen, faktor tidak diketahui 8,9 persen, dan penggunaan jarum suntik bergantian 7 persen. Rasio ini memperkuat narasi penyebab utama penyebaran virus HIV, yakni melalui hubungan seksual yang berisiko.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Secara geografis, berdasarkan data dan pelaporan yang dihimpun Kemenkes dari 2010 sampai Maret 2023, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi, yakni 82.0033 kasus. Diikuti Jawa Timur sebanyak 79.026 kasus, Jawa Barat 62.315 kasus, Jawa Tengah 50.689 kasus, dan Papua 44.806 kasus.
Adapun untuk pengendalian dan penanggulangan, sampai dengan Maret 2023, jumlah ODHIV hidup dan mengetahui statusnya sebanyak 438.231 orang atau 85 persen. Mendapatkan pengobatan sebanyak 184.890 orang atau 42 persen. Menjalani pengobatan dengan hasil tes viral load tersupresi sebanyak 50.092 orang atau 27 persen.
Data tersebut menunjukan bahwa Indonesia masih gagal dalam mencapai target pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS. Target yang belum tercapai itu mengacu pada pencapaian 95-95-95 dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang diadopsi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Artinya, 95 persen kasus HIV bisa terdeteksi dan mengetahui statusnya, 95 persen pasien mendapatkan pengobatan, dan 95 persen yang menjalani pengobatan mengalami supresi virus.
Kesenjangan pencapaian terhadap target yang sangat jauh itu perlu menjadi catatan. Organisasi dan negara di seluruh dunia telah sepakat dan berkomitmen bersama untuk mengakhiri epidemi HIV dan AIDS pada tahun 2030. Jika Indonesia tidak bisa mencapai target tersebut, dunia berisiko gagal mecapai tujuan mengakhiri HIV dan AIDS pada tahun 2030.
Stigma dan Diskriminasi
Cita-cita besar eliminasi HIV dan AIDS tentu tidak berjalan mudah bagi Indonesia. Salah satu persoalan laten yang muncul dan sering menjadi polemik adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV dan AIDS. Ketidaktahuan tentang virus dan penyakit ini telah menciptakan stigma negatif kepada pengidapnya.
Stigma tersebut tidak jarang menyebabkan orang dengan HIV dan AIDS dikucilkan dan mendapat perlakuan diskriminatif. Gambaran stigma juga terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada 1-2 Juli 2019. Masih ada 26 persen dari 518 responden yang menyatakan akan menjauh atau menolak jika ada orang dengan HIV/AIDS yang berada di sekitarnya (“Menghapus Stigma Penyintas HIV/AIDS”, Kompas, 2 Desember 2019).
Tak hanya di Indonesia, fenomena stigma dan diskriminasi juga menjadi problem global. Sebuah laporan berjudul “Hear Us Out: Community Measuring HIV-Related Stigma dan Discrimination” yang dirilis Global Network of People Living with HIV (GNP+) menunjukan bahwa di seluruh dunia, orang yang hidup dengan HIV masih menghadapi stigma dan diskriminasi yang terus menerus mempengaruhi kehidupan. Bahkan, diskriminasi tersebut mampu mengarahkan orang untuk terlibat dalam tindakan melanggar hak orang lain dengan status tertentu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 25 negara pada tahun 2020-2023 terhadap lebih dari 30.000 orang yang hidup dengan HIV. Sekitar 84,8 persen responden mengungkapkan adanya satu atau lebih stigma yang sudah terinternalisasi. Lebih dari sepertiga responden merasa malu menjadi HIV-positif.
Populasi kunci (pekerja seks, homseksual, biseksual, pengguna narkoba, dan transgender) menjadi yang paling sering melaporkan pernah menghadapi satu atau lebih dari tujuh pengalaman stigma dan diskriminasi. Insiden yang paling sering dilaporkan adalah pelecehan verbal, digosipkan oleh anggota keluarga atau masyarakat, dan dikucilkan dari aktivitas sosial. Selain itu, ada juga pemerasan dan pelecehan fisik.
Stigma dan diskriminasi tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Kurangnya penerimaan sosial menyebabkan berkurangnya akses terhadap layanan penting dan memicu kesenjangan sosial.
Ironisnya, sekitar 13 persen dari seluruh responden melaporkan bahwa pengalaman stigma dan diskriminasi karena status HIV mereka dilakukan oleh staf fasilitas kesehatan yang bekerja di tempat mereka menerima layanan HIV selama masa pengobatan. Digosipkan dan memberi tahu orang lain tentang status HIV responden tanpa persetujuan adalah pengalaman yang paling sering disebutkan. Sehingga ditemukan banyak kasus dimana penyintas tidak kembali melanjutkan atau menghentikan pengobatnnya.
Stigma dan diskriminasi yang masih terjadi terhadap penderita HIV dan AIDS ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Berisiko membuat mereka yang terinfeksi menjadi tetutup, menyembunyikan status HIV positifnya dan tidak ingin memeriksakan kesehatannya. Sehingga menghalangi akses pada pengobatan, dan menghambat capaian target penanggulangan HIV dan AIDS.
Masalah lainnya adalah ketidaksetaraan jender. Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani menuturkan, perempuan dengan HIV memiliki berbagai kerentanan, terutama terkait ketubuhan, norma masyarakat, dan relasi kuasa. Sering perempuan dengan HIV tidak memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk melahirkan secara normal dan menyusui bayinya. Selain itu, perempuan dengan HIV juga dianggap aib oleh masyarakat (“Kekerasan dan Ketidaksetaraan Jender Hambat Penanggulangan HIV/AIDS”, Kompas, 27 November 2021).
Data Komnas Perempuan menunjukkan, angka kekerasan pada perempuan dengan HIV/AIDS meningkat signifikan dari 4 kasus pada 2019 menjadi 203 kasus pada 2020. Angka ini bahkan dinilai belum menunjukkan kondisi sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terlaporkan. Sementara akses untuk mendapat perlindungan serta melaporkan kekerasan yang dialami masih sulit didapatkan.
Tantangan berikutnya adalah rendahnya kepatuhan untuk menjalankan terapi dan mengonsumsi obat. Berdasarkan data Kemenkes pada 2022 diketahui bahwa persentase orang Indonesia dengan HIV yang patuh berobat hanya sekitar 50 persen.
Menurut Pelaksana Program Dukungan Psikososial untuk Orang Dengan HIV Jaringan Indonesia Positif (JIP), Sari, sebagian orang dengan HIV putus obat karena efek samping pengobatan. Ada yang mengalami mual, muntah, ruam pada kulit, hingga sakit kepala. Ada juga yang berhenti berobat karena bosan (“Orang dengan HIV yang Patuh Terapi di Bawah 50 Persen”, Kompas, 27 Desember 2022).
Padahal ARV mesti diminum setiap hari untuk menekan pertumbuhan virus HIV pada tubuh. Menurut Kemenkes, jumlah virus (viral load) pada 91,97 persen penderita HIV yang patuh terapi ARV berhasil ditekan.
Perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengatakan, dengan rutin mengonsumsi ARV selama 3-6 bulan, jumlah virus menjadi minim sehingga risiko penularan dapat ditekan. Orang yang rutin berobat pun sangat mungkin menikah dan melahirkan anak yang negatif HIV. Keberlangsungan hidup juga akan semakin baik jika pengobatan dilakukan sedini mungkin.
Dari sisi fasilitas kesehatan, baru 24 persen rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki layanan pengobatan antiretroviral (ARV). Untuk tingkat puskesmas, baru 10 persen yang menyediakan layanan ARV. Permasalahan lain adalah distribusi obat ARV yang belum stabil di sejumlah daerah, bahkan sering terjadi kelangkaan pada akhir tahun (“Menguatkan Penanganan Kasus HIV/AIDS Nasional”, Kompas, 28 Juli 2021).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga membawa poster dalam peringatan Hari AIDS Sedunia di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (1/12/2013). Mereka mengajak masyarakat menerapkan perilaku hidup sehat.
Upaya Penanganan
Berbagai permasalahan dan tantangan dalam penanganan kasus infeksi HIV dan penyakit AIDS perlu direspons dengan perbaikan yang signifikan. Indonsesia sendiri telah berkomitmen dan memiliki target terbebas dari HIV dan AIDS pada 2030.
Merujuk siha.kemkes.go.id, untuk mencapai tujuan Indonesia tersebut, pemerintah telah merancang strategi untuk melaksanakan pengendalian HIV dan AIDS serta PIMS di Indonesia. Di antaranya adalah meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini, salah satunya dengan memperluas akses layanan konseling dan tes HIV (KTHIV) dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap kabupaten/kota.
Strategi lainnya yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya. Juga memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalamperawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui system rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
Upaya lain yang ditempuh pemerintah adalah peningkatan alokasi dana penanganan HIV/AIDS. Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan PIMS di Indonesia 2020-2024, tercatat rata-rata peningkatan dana mencapai 16,1 persen. Peningkatan paling besar terjadi dari tahun 2020 ke 2021, yaitu 53,18 persen. Porsi terbesar pendanaan terletak di tingkat kabupaten/kota karena menjadi penanggung jawab penanganan individu, komunitas, serta distribusi pengobatan di rumah sakit yang memiliki layanan HIV/AIDS.
Namun, mengingat masih tingginya kasus baru HIV dan AIDS serta masih jauhnya capaian target dalam beberapa indikator, dibutuhkan terobosan nyata dalam penanganan penyakit ini. Program yang dilakukan pemerintah selama ini cenderung mengikuti arus global dan tidak melihat permasalahan yang ada di dalam negeri. Perspektif penanganan HIV perlu diubah untuk menyelamatkan seluruh masyarakat.
Ketua Badan Pengurus Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) Irwanto mengatakan, pemanfaatan rasa takut masyarakat tidak lagi mempan dan cenderung memicu kebodohan di masyarakat. Pendekatan sosialisasi penanganan HIV juga perlu bersifat edukatif untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka (“Kolaborasi Jadi Kunci Eliminasi HIV Tahun 2030”, Kompas, 31 Januari 2023).
Untuk memperluas jangkuan pelayanan pasien, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana dalam konferensi pers Hari AIDS Sedunia 2020 yang digelar secara daring, Senin (30/11/2020) mengatakan, perlu adanya layanan kesehatan berbasis daring untuk konsultasi dokter dan konselor HIV (“Penanggulangan HIV/AIDS Butuh Terobosan Konkret”, Kompas, 30 November 2020).
Pengendalian HIV dan AIDS juga mesti diperluas dari yang sebelumnya fokus pada populasi kunci ke populasi nonkunci atau masyarakat biasa. Populasi kunci adalah kelompok yang berpotensi menyebarkan virus HIV, antara lain, pekerja seks, waria, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, warga binaan pemasyarakatan, serta pengguna napza suntik. Pemerintah fokus menangani populasi ini sejak beberapa tahun lalu.
Namun, mengacu data Kementerian Kesehatan tahun 2022, ada sejumlah kelompok lain yang mesti diperhatikan. Salah satunya adalah ibu hamil. Pada 2022, dari estimasi 5,25 juta ibu hamil di Indonesia, hanya 1,9 juta orang yang menjalani tes HIV. Sebanyak 4.256 orang di antaranya dinyatakan positif HIV dan yang menjalani terapi ARV hanya 1.226 orang.
Ketua Satuan Tugas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi mengatakan, risiko penularan bagi ibu yang tidak menjalani program pencegahan HIV dari ibu ke anak (PPIA) sebesar 30-40 persen. Namun, ibu yang menjalani PPIA dengan baik bisa menurunkan risiko penularan hingga di bawah 2 persen (“Cegah Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak”, Kompas, 2 September 2022)
Dari sisi pengobatan dan perawatan, beberapa poin penting yang ditekankan adalah fasilitas kesehatan tidak boleh menolak memberikan layanan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS serta harus memberikan konseling pascapemeriksaan. Fasilitas kesehatan juga harus menjaga kerahasiaan data pasien. Ketersediaan obat ARV juga perlu dijamin, sebab perlu dikonsumsi seumur hidup untuk menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh sampai tingkat terendah. (“Menguatkan Penanganan Kasus HIV/AIDS Nasional”, Kompas, 28 Juli 2021).
Upaya penanganan juga perlu diperkuat dengan melindungi hak-hak orang dengan HIV dan AIDS yang selama ini termarjinalkan. Hal ini sangat penting karena keberhasilan mengakhiri HIV dan AIDS juga bergantung pada apakah hak-hak mereka yang terkena dampak dilindungi atau tidak. Orang dengan HIV dan AIDS memiliki hak yang sama dengan orang lain dalam kehidupannya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Aksi teatrikal mewarnai unjukrasa memperingati hari HIV/ AIDS sedunia oleh Madani Mental Health Care Foundation di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2014). Mereka menyuarakan tentang persamaan hak bagi penderita HIV/AIDS serta upaya antisipasi penyeberan HIV/AIDS yang lebih baik.
Peran Masyarakat
Mengakhiri HIV dan AIDS tidaklah mudah, tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah atau dinas kesehatan. Publik juga diharapkan dapat membantu upaya penanggulangan penyakit ini. Terutama dengan penghapusan diskriminasi bagi para penderita dan menerima mereka dalam setiap interaksi sosial. Ini penting agar para penderita merasa lebih dihargai, sehingga bisa terbuka dan membangun semangat hidupnya.
Dukungan dari masyarakat termasuk keluarga sangat diperlukan. Sering sekali tes dan pengobatan tidak maksimal karena tidak adanya dukungan atau pendampingan terhadap penderita. Oleh karena itu, kontribusi lingkungan sekitar sangat diperlukan, khususunya untuk penderita dalam menjalani pengobatannya.
Upaya pencegahan juga sangat ditentukan oleh kesadaran individu untuk melindungi dirinya dari virus HIV. Setiap individu perlu menghindari hubungan seksual yang berisiko dan melakukan hubungan seks yang aman. Menghindari konsumsi obat-obatan terlarang, terutama narkoba suntik. Selalu menggunakan alat medis yang steril, terutama saat transfusi darah atau transplantasi organ.
Melakukan tes HIV secara rutin penting untuk dilakukan, khususnya bagi mereka yang berperilaku berisiko dan ibu hamil. Jika sudah diketahui positif maka segera melakukan pengobatan supaya tidak berkembang menjadi AIDS.
Untuk menekan pertumbuhan sel virus dan menjaga daya tahan tubuh, orang dengan HIV dan AIDS harus mengonsumsi obat dan patuh menjalani terapi antiretroviral. Dengan begitu, jumlah virus menjadi minim sehingga risiko penularan dapat ditekan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV, AIDS, dan PIMS di Indonesia Tahun 2020-2024”, diakses dari hivaids-pimsindonesia.or.id
- “Laporan Eksekutif Perkembangan HIV AIDS dan PIMS Triwulan I Tahun 2023”, diakses dari siha.kemkes.go.id
- “Laporan Tahunan HIV AIDS 2022”, diakses dari p2p.kemkes.go.id
- “Perempuan dengan HIV dan AIDS: “Lingkaran Kekerasan Seksual dan Kerentanan Atas Hak Hidup”, diakses dari komnasperempuan.go.id
- “2023 UNAID Global AIDS Update”, diaskes dari unaid.org
- “Harapan Baru untuk Melawan HIV”, Kompas, 8 Juli 2019.
- “Penanggulangan HIV/AIDS Butuh Terobosan Konkret”, Kompas, 30 November 2020.
- “Berbagi Solidaritas Bersama Orang dengan HIV”, Kompas, 28 Juli 2021.
- “Optimalkan Pendekatan Keluarga dan Komunitas untuk Mengendalikan HIV”, Kompas, 28 Juli 2021.
- “Menguatkan Penanganan Kasus HIV/AIDS Nasional”, Kompas, 28 Juli 2021.
- “Kekerasan dan Ketidaksetaraan Jender Hambat Penanggulangan HIV/AIDS”, Kompas, 27 November 2021.
- “Cegah Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak”, Kompas, 2 September 2022.
- “Ledakan HIV/AIDS Kian Meresahkan”, Kompas, 22 September 2022.
- “Putus Obat Jadi Tantangan Penanganan”, Kompas, 4 November 2022.
- “Hapus Stigma dan Berbagi Dukungan Bersama Orang dengan HIV”, Kompas, 27 November 2022.
- “Orang dengan HIV yang Patuh Terapi di Bawah 50 Persen”, Kompas, 27 Desember 2022.
- “Kolaborasi Jadi Kunci Eliminasi HIV Tahun 2030”, Kompas, 31 Januari 2023.
- “HIV data and statistics”, diakses dari who.int
- “Global HIV & AIDS statistics”, diakses dari unaids.org
- “World AIDS Day” diakses dari hiv.gov
- “Jangan Diskriminasikan lagi ODHA, HIV/AIDS Tidak Mudah Menular”, diakses dari kemkes.go.id
- “Pencegahan, Pemeriksaan, dan Pengobatan HIV Untuk Kesehatan Optimal”, diakses dari ayosehat.kemkes.go.id
- “Risiko Kekerasan Berlipat pada Perempuan Positif HIV”, diakses dari kebijakanindonesia.net