Paparan Topik | Kesehatan

Hari Kesehatan Nasional: Riset Kesehatan dan Upaya Melawan Pandemi

Hari Kesehatan Nasional merupakan simbol perjuangan Indonesia melawan wabah. Bertema ‘Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku’, peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini masih terkait dengan kondisi pandemi. Keberhasilan penanganan masalah kesehatan dan wabah penyakit tidak lepas dari dukungan data melalui Riset Kesehatan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Penelitian yang dilakukan di ruang ekstrasi DNA di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (24/5/2017). Berbagai kegiatan riset yang dilakukan di Eijkman seperti kelainan transduksi energi dan penyakit gaya hidup, pengembangan dan penerapan teknologi identifikasi DNA forensik, keanekaragaman genom manusia Indonesia dan penyakit, dan dasar molekul dan resistensi parasit terhadap obat antimalaria.

Fakta Singkat

Hari Kesehatan Nasional: 12 November

Hari Kesehatan Nasional (HKN) bermula dari problema wabah yang sudah jauh lebih lama hadir di Indonesia.

Pada 12 November 1959 pemerintah mendeklarasi kampanye pemberantasan malaria secara nasional sekaligus momentum awal HKN.

HKN ditetapkan pada 30 Desember 1964.

Peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-57:
“Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku”. (2021)

Enam pilar transformasi kesehatan (2021):

  1. transformasi layanan primer
  2. transformasi layanan rujukan
  3. transformasi sistem ketahanan kesehatan
  4. transformasi sistem pembiayaan kesehatan
  5. transformasi SDM kesehatan
  6. transfromasi teknologi kesehatan

Terdapat tiga aspek yang ditekankan sebagai makna peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN), yaitu membangun Indonesia lebih sehat, terapkan protokol kesehatan, dan vaksinasi Covid-19. Hal yang sama juga terjadi pada peringatan HKN tahun lalu. Masyarakat diharapkan bisa memahami kondisi kesehatan dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, dan semuanya bergantung pada kebiasaan saat ini. Pandemi juga dijadikan saat yang tepat untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya hidup sehat.

Peringatan HKN ke-57 mengangkat tema “Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan bangkitnya semangat dan optimisme seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang secara bersama, bahu membahu dan bergotong royong dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, sehingga masyarakat Indonesia dapat kembali beraktivitas dan produktif sehingga Indonesia kembali sehat dan kembali tumbuh.

Berbagai upaya kesehatan terus dilakukan dalam bentuk preventif, deteksi, dan responsif dengan harapan jumlah kasus menurun dan kesembuhan meningkat serta kematian dapat dicegah. Capaian penurunan kasus COVID-19, harus disikapi dengan bijak. Kewaspadaan diri harus ditingkatkan guna mencegah lonjakan kasus yang tinggi. Sebab, potensi peningkatan lonjakan kasus COVID-19 atau gelombang baru COVID-19 dapat terjadi bukan hanya dari virus COVID-19 yang bermutasi, melainkan faktor-faktor lain yang dapat menstimulasi persebaran penyakit perilaku masyarakat, lingkungan, pelayanan kesehatan dan cakupan vaksinasi COVID-19 termasuk potensi lonjakan kasus pada hari-hari besar keagamaan seperti libur Idul Fitri dan libur Natal dan tahun baru.

Meski dihadapkan pada prioritas penanganan COVID-19, pada saat yang sama pemerintah juga terus melakukan upaya penanganan masalah kesehatan lainnya yang merupakan program prioritas nasional seperti penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), menurunkan angka stunting pada balita, memperbaiki pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta meningkatkan kemandirian penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Momentum pandemi juga dimanfaatkan pemerintah untuk terus berbenah, melakukan perubahan pada sistem kesehatan di Tanah Air. Kemenkes saat ini tengah bersiap melakukan transformasi sistem kesehatan yang berfokus pada enam pilar untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, mandiri, produktif dan berkeadilan sekaligus bentuk kesiapan pemerintah dalam menghadapi masalah kesehatan di masa yang akan datang.

Adapun fokus enam pilar transformasi kesehatan yakni transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan dan transfromasi teknologi kesehatan.

Implementasi keenam pilar transformasi sistem kesehatan tersebut diharapkan bisa menyempurnakan sistem kesehatan Indonesia dan juga dunia yakni sistem kesehatan yang tangguh terhadap bencana kesehatan termasuk pandemi.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Seorang anak di Kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua diambil sampel darahnya oleh petugas dari Malaria Center PT Freeport Indonesia (25/10/2017). Pemeriksaan sampel darah biasanya dilakukan bersama dengan edukasi kesehatan dan penyemprotan tembok rumah dengan insektisida.

Sejarah

Asal usul Hari Kesehatan Nasional (HKN) bermula dari problema wabah yang sudah jauh lebih lama hadir di Indonesia. Dalam Naskah Sumber Arsip Kesehatan Masyarakat (ANRI, 1978), disebutkan penanganan masalah kesehatan masyarakat sudah dirintis sejak masa kolonial Belanda. Sekitar abad ke-17, pemerintahan VOC sudah melakukan sejumlah pemberantasan penyakit seperti kolera, cacar, kusta, dan malaria.

Malaria termasuk penyakit purba yang sudah lama ada di Indonesia. Dalam buku “Malaria di Indonesia, Tinjauan Aspek Epidemiologi” (Arsin, 2012), disebutkan bahwa malaria, bersama tifus, kolera, TBC paru, dan disentri sudah mewabah di Batavia. Sebelum 1919 diperkirakan ada jutaan penduduk terjangkit malaria dengan angka kematian sekitar 120 ribu orang per tahun.

Belanda kemudian mendirikan Jawatan Kesehatan Sipil di tahun 1911 sebagai bentuk penyelidikan dan pemberantasan malaria. Jawatan itu lalu diperluas menjadi Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) di tahun 1924. Biro ini kemudian bekerja sama dengan Bagian Penyehatan Teknik (gezondmakingswerken) dan membuka cabang di Surabaya dan seluruh wilayah Sumatera.

Mulai tahun 1959, melalui bantuan WHO dan USAID, pemberantasan dilakukan melalui Malaria Eradication Program (MEP) yang kemudian berubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Pada saat itu angka kesakitan bisa turun sekitar 8.900 penderita  dengan annual parasite incidence (API) 0,12 (API jumlah penderita per 1.000 penduduk). Organisasi operasi (KOPEM) tersebut  bisa dibilang merupakan simbol penting dalam pemberantasan penyakit dan pembangunan kesehatan yang aktif dan merata. Artinya, mencakup semua penduduk di seluruh pelosok tanah air sebagai usaha perbaikan dalam memperkuat potensi teritorial dan infrastruktur kesehatan yang ada.

Di Indonesia, pada 12 November 1959 pemerintah mendeklarasi kampanye pemberantasan malaria secara nasional.  Kampanye ini ditandai dengan penyemprotan insektisida pertama kali oleh Presiden Soekarno. Tanggal tersebut juga ditegaskan menjadi Hari Pembasmian Malaria. Tahun 1964, pemerintah pun menetapkan HKN tanggal 12 November melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64033/KBB/218 yang diterbitkan pada 30 Desember 1964. (Kompas, 12 November 1965, halaman 1)

Selain malaria, HKN pada masa itu juga dianggap sebagai keberhasilan mengatasi penyakit frambusia (patek), pes (sampar), cacar, kolera, tipus, tuberkolosis, trakoma, kelamin dan kusta. Walaupun belum bisa diatasi secara besar-besaran, penanganan berbagai penyakit tersebut dianggap sudah cukup baik.

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Annisa Tri Octaviani Andini (kiri) bersama ibunya, Juwariyah, di rumah mereka di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Sabtu (30/10/2016), menunjukkan dokumen keikutsertaan Annisa dalam uji klinik vaksin dengue yang digagas Sanofi Pasteur.

Berawal dari Pemberantasan Malaria

Dikarenakan situasi politik yang terjadi, tahun 1966 program pemberantasan malaria mengalami kemunduran. Bantuan USAID berhenti dan anggaran dari pemerintah terus berkurang. KOPEM dan metode penanggulangan diganti dengan Program Pemberantasan Malaria (Malaria Control Program, MCP). Pada saat itu MCP ditegaskan bukan untuk menghilangkan atau membasmi tetapi menekan jumlah penderita sekecil-kecilnya. Pada 1967, jumlah penderita malaria meningkat hingga sekitar 346 ribu orang.

Mulai tahun 1969, kebijakan departemen kesehatan di saat itu adalah mengintegrasikan secara bertahap kegiatan pemberantasan ke dalam sistem pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan puskesmas pembantu. Inti dari pemberantasan ini adalah memutus rantai transmisi (atau penularan).

Kegiatan pemberantasan juga digabung ke dalam Direktorat Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M), yang kemudian berubah menjadi Pemberantasan Penakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (P2M – PLP). Sementara itu, selama Pelita I sampai Pelita V (1969-1993), jumlah penderita menurun dengan target API  kurang dari satu  persen.

Situasi Malaria di Jawa dan Bali

Pelita Jumlah Penderita Rata-rata API (persen) Rata-rata ABER (persen)
I (1969-1973) 761.677 1,85 9,30
II (1974-1978) 690.019 1,57 9,09
III (1979-1983) 698.135 1,24 9,27
IV (1984-1988) 205.894 0,39 7,37
V (1989-1993)* 70.610 0,16 6,10

*sampai dengan tahun 1992
API : annual paracite incidence (jumlah penderita per 1.000 penduduk dalam satu tahun)
ABER : annual blood examination rate (jumlah sediaan darah yang diperiksa dari seluruh penduduk dalam satu tahun)
Sumber : Buku Pedoman Pemberantasan Malaria No.2, Ditjen P2M-PLP Departemen Kesehatan RI (1991)

Kasus Malaria di Indonesia

Tahun Jumlah kasus Kematian
2010 241.834.240 432
2011 245.116.000 388
2012 248.451.712 252
2013 251.805.312 385
2014 255.128.088 217
2015 258.383.224 157
2016 261.556.400 161
2017 264.650.968 47
2018 267.670.528 34
2019 270.625.584 49

*Keterangan: Jumlah kasus berdasarkan denominator atau waktu saat populasi berisiko terkena malaria

Sumber : World Malaria Report, WHO, (2020), dikutip oleh Litbang Kompas/KPP

Kasus Malaria di Indonesia berdasarkan spesies 2019

Kasus lainnya 269.351
Total Plasma falciparum 142.036
Total Plasma vivax   86.742
Total 498.129

Sumber : World Malaria Report, WHO (2020) dikutip oleh Litbang Kompas/KPP

Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 2018, sekitar 72 persen penduduk Indonesia sudah bebas dari malaria. Angka kesakitan selama 2009-2018 cenderung menurun, yaitu 1,8 per 1.000 penduduk (2009) menjadi 0,84 per 1.000 penduduk (2018).

Mengacu pada laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, kasus positif malaria yang sebelumnya sekitar 465 ribu (2010) menurun menjadi sekitar 235 ribu (2020). Ini juga diikuti dengan membaiknya Annual Parasite Incidence (API)  dari 1,96 (2010) ke 0,87 (2020).

Capaian endemisitas per provinsi di tahun 2020 yang sudah mencapai 100 persen baru tiga yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali. Sementara itu, provinsi yang belum mencapai eliminasinya adalah Maluku, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, masih ada 23 kabupaten/kota yang endemis malarianya masih tinggi, 21 kabupaten/kota endemis sedang, dan 152 kabupaten/kota endemis rendah.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Prajurit dari Batalyon Infanteri Raider 712/ Wiratama menggelar pemeriksaan kesehatan dan survei darah massal (mass blod survein) untuk mendeteksi malaria bersama petugas kesehatan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Kamis (4/5/2017). Kabupaten Belu merupakan salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Republik Demokratik Timor Leste.

Riset Kesehatan Dasar

Keberhasilan penanganan masalah kesehatan, wabah tidak lepas dari dukungan data melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan penelitian setiap lima sampai enam tahun sekali yang berbasis masyarakat untuk mendapatkan gambaran kesehatan dasar (masyarakat), termasuk biomedis yang menggunakan sampel Susenas Kor (dilaksanakan setiap tahun) dan informasinya mewakili tingkat kabupaten/kota, Propinsi dan nasional.

Kegiatan ini berskala nasional dan dilakukan serentak dalam waktu yang sama. Selain itu, sebagian besar informasi mewakili kondisi wilayah tingkat kabupaten/kota. Contoh keterwakilan ini adalah sampel besar angka kematian bayi yang bisa digunakan untuk mengestimasi kondisi di tingkat provinsi maupun nasional.

Pada mulanya, Riskesdas dilakukan oleh Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI untuk menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan.

Riskesdas 2007

Riset ini meliputi semua indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), konsumsi rumahtangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan), dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layananan, pembiayaan kesehatan).

Indikator yang dipakai dalam riset ini didasari atas kebutuhan untuk memonitor pencapaian pembangunan kesehatan. Contohnya, Millenium Development Goals (MDGs), Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kesehatan, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Sejumlah lembaga di tingkat pemerintahan telah menggunakan data Riskesdas 2007 ini. Satu di antaranya adalah Bappenas dalam evaluasi program pembangunan kesehatan jangka menengah (RPJMN 2010-2014). Sejumlah pemerintah kabupaten/kota juga memakainya untuk evaluasi program-program kesehatan berbasis bukti (evidence-based).

Riskesdas 2010

Dengan konsep yang sama (seperti Riskesdas 2007), riset kali ini bersamaan dengan pertemuan puncak tingkat tinggi Majelis Umum PBB dalam rangka mengevaluasi Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dari 189 negara, termasuk Indonesia.

Untuk mencapai MDGs di tahun 2015, ada tujuh tujuan yang disepakati dari deklarasi itu.

  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
  2. Mencapai pendidikan primer yang universal.
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
  4. Menurunkan kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu.
  5. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan tuberkolosis.
  6. Memastikan lingkungan yang berkesinambungan.
  7. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Sementara itu, beberapa indikator MDGs yang disepakati adalah, status gizi balita dan konsumsi, status kesehatan ibu dan anak, prevalensi malaria dan tuberkolosis, akses sumber air minum yang aman, dan fasilitas sanitasi dasar.

Dalam lingkup Indonesia, pencapaian MDGs juga menjadi sarana untuk mengevaluasi perkembangan status kesehatan di masyarakat, baik di tingkat nasional dan provinsi. Begitu pula untuk perubahan masalah kesehatan (di tingkat nasional dan provinsi), dan pembangunan kesehatan dalam tiga tahun terakhir. Di sisi lain, indikator seperti prevalensi HIV/AIDS dan angka kematian anak ternyata tak bisa dikumpulkan karena harus memakai sumber data lainnya.

Riskesdas  2013

Riset yang dijalankan oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI ini menggunakan kerangka sampel dari Badan Pusat Statistik (BPS). Rentang waktunya masih sama, lima hingga enam tahun.  Interval ini dianggap tepat untuk menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan pembangunan kesehatan.

Riskesdas 2018

Terdapat beberapa perberbedaan dalam Riskedas 2018 dengan Riskesdas sebelumnya dalam hal pemilihan indikator. Ada sejumlah hal yang tercakup, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs), RPJMN, Rencana Strategis (Renstra), Standar Pelayanan Minimal (SPM), Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Program Indonesia Sehat – Pendekatan Keluarga (PIS-PK), dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).

Indikator Riskesdas 2018

  1. Pelayanan Kesehatan yang meliputi akses pelayanan kesehatan, JKN, pengobatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional.
  2. Perilaku Kesehatan yang meliputi merokok, aktivitas fisik, minuman beralkohol, konsumsi makanan, pencegahan penyakit tular nyamuk, penggunaan helm.
  3. Lingkungan yang meliputi penyediaan dan penggunaan air, penggunaan jamban, pembuangan sampah, pembuangan limbah, rumah sehat, penggunaan bahan bakar.
  4. Biomedis meliputi pemeriksaan malaria, HB, glukosa darah, kolesterol, trigleliserida, antibodi (PD3I).
  5. Status kesehatan meliputi penyakit menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa-defresi-emosi, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan ibu-bayi-balita dan anak remaja, status gizi, cedera dan disabilitas.

Pelaksanaannya Riskesdas 2018 terintegrasi dengan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2018 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik, termasuk metode serta kerangka sampel. Sejumlah indikator yang digunakan dalam riset ini adalah :

  1. Morbiditas (penyakit menular dan penyakit tidak menular).
  2. Disabilitas, cedera.
  3. Kesehatan lingkungan (higiene, sanitasi, jamban, air dan perumahan).
  4. Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap HIV.
  5. Perilaku kesehatan (pencarian pengobatan, merokok, alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan berisiko)
  6. Aspek pelayanan kesehatan (akses dan cakupan kesehatan)
  7. Status gizi
  8. Status kesehatan gigi dan mulut.

Hasil Riskesdas 2018 kemudian dinilai sebagai keberhasilan (atau revolusi) kebijakan One Data yang tampil beda. Revolusi data dilakukan agar bisa dipakai untuk mengambil keputusan dalam melakukan intervensi. Momentum (Riskesdas 2018) ini juga dianggap sejalan dengan kebijakan One Data dari Presiden Jokowi.

Hal istimewa lain dari riset ini adalah, baru Indonesia lah yang mengintegrasikan data survei BPS dengan tindak lanjut pengukuran dan observasi, yang hasilnya dinilai sangat komprehensif. Apalagi data Susenas juga mengumpulkan variabel kesejahteraan keluarga, sehingga ke depannya bisa dilakjkan analisis situasi derajat kesehatan masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga.

Integrasi data Riskesdas 2018 dengan Susenas dilakukan dalam beberapa hal, yaitu:

  1. Sampel dari Susenas (Maret 2018) dikunjungi kembali oleh Riskesdas, dan pemutakhiran sampel dilaksanakan BPS.
  2. Indikator spesifik kesehatan dikelola Badan Litbang Kesehatan, sedangkan indikator umum kesehatan dan perumahan, serta pengeluaran rumah tangga menjadi tanggung jawab BPS.
  3. Indikator kesehatan Riskesdas yang dilaporkan Badan Litbang Kesehatan dilengkapi beberapa karakteristik dari Susenas 2018.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Petugas kesehatan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur menyiapkan insektisida untuk disemprotkan ke dinding rumah untuk mencegah penyebaran penyakit malaria, Kamis (4/5/2017). Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi dengan angka kejadian malaria yang tinggi.

Pengembangan Riset Kesehatan

Salah satu pendukung utama kinerja Kementerian Kesehatan adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, yang tugas utamanya adalah menyajikan data sebagai bahan baku informasi.

Informasi yang senantiasa diperlukan dalam membuat kebijakan maupun pengembangan riset berikutnya.

Sejumlah hasil riset dari Laboratorium Manajemen Data yang berada di dalam lingkungan Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI:

Survei Kesehatan Nasional (Surkenas) putaran pertama (2001-2003)
Survei ini dilakukan dengan mengunjungi blok sensus rumah tangga yang sama dengan Susenas, namun jumlahnya berbeda. Bentuknya antara lain :

  1. Studi mortalitas dengan mengunjungi rumah tangga untuk mengetahui kasus kematian dalam satu tahun terakhir.
  2. Studi morbiditas dengan mengunjungi 4 rumah tangga termasuk pemeriksaan dan pengukuran semua anggota rumah tangga.
  3. Studi kesehatan ibu dan anak mengunjungi 16 rumah tangga, termasuk mengukur anggota rumah tangga wanita usia subur (15 – 49 tahun) dan balita (0 – 59 bulan).
  4. Mendata dan wawancara wanita usia subur yang ditemukan hamil. Dalam hal ini didata pula perkiraan selesainya masa nifas ibu.

Surkenas Putaran Kedua (2004-2006)
Dalam survei ini dilakukan pengumpulan data pendukung Indonesia Sehat 2010, standar pelayanan minimal (KW/ SPM) dan kesepakatan global Pembangunan Millenium (MDGs) dan Dunia yang Layak Untuk Anak (WFFC- A World Fit for Children), serta penyediaan informasi untuk menilai kinerja sistem kesehatan.

Riset Fasilitas Kesehatan (Risfaskes)
Risfaskes merupakan salah satu penelitian yang didasari konsep “Client Oriented Research Activity” (CORA). Dalam tahap persiapannya, dilakukan identifikasi dari kebutuhan mitra terkait yang terdiri dari unit utama Kementerian Kesehatan, organisasi profesi, organisasi terkait, dan pakar dibidang pelayanan kesehatan.

Data dari berbagai perwakilan tersebut menghasilkan satu set indikator kinerja untuk rumah sakit dan puskesmas. Termasuk pula, Indeks Kinerja Rumah Sakit (IKRS) dan Puskesmas (IKPuskesmas). Indeks fasilitas pelayanan kesehatan tersebut disandingkan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan dikembangkan menjadi indeks kesehatan yang lebih komprehensif dalam menggambarkan status kesehatan suatu wilayah.

Riset Ketenagakerjaan di Bidang Kesehatan (Risnakes) 2017
Risnakes ini merupakan riset nasional dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasilnya  dijadikan sumber dukungan data yang memadai mengenai ketenagaan di bidang kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.

Pengumpulan data dilakukan di seluruh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, puskesmas, serta rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia (2.325 rumah sakit pemerintah, TNI/Polri, swasta, dan 9.699 puskesmas).

Hasil Risnakes ini dibagi menjadi sejumlah aspek, yaitu ketenagaan, manajemen sumber daya manusia kesehatan, pendelegasian wewenang, insentif, motivasi dan kepuasaan staf, kepuasaan pasien, waktu kerja efektif, dan sebagai tambahan sesuai dalam program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.

Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) 2016
Tujuan umum riset ini adalah untuk data  prevalensi perempuan (usia 25 – 64 tahun) yang mengalami tumor payudara (Clinical Breast Examination/Sadanis positif) dan lesi prakanker serviks (Inspeksi Visual Asam asetat/IVA positif) di daerah perkotaan. Saat ini upaya pengendalian kedua penyakit itu dilakukan melalui promosi kesehatan, pengendalian faktor risiko, deteksi dini, terapi, rehabilitasi dan pembiayaan kesehatan.

Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2012
Ini merupakan riset khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat di Indonesia Berbasis Komunitas. Dalam riset ini dilakukan pemetaan pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis etnis.

Database dalam riset ini terkait dengan pengetahuan etnofarmakologi, ramuan obat tradisional, dan tumbuhan obat. Data yang dikumpulkan meliputi, karakteristik narasumber (battra), gejala dan jenis penyakit, jenis-jenis tumbuhan, kegunaan tumbuhan dalam pengobatan, bagian tumbuhan yang digunakan, ramuan, cara penyiapan dan cara pakai untuk pengobatan, kearifan lokal dalam pengelolaan, hingga pemanfaatan tanaman obat serta data lingkungan. Riset pertama dilakukan di 26 provinsi di tahun 2012 dan bekerja sama dengan 25 perguruan tinggi di masing-masing wilayah.

Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2015
Sama seperti Ristoja 2012, riset ini dilakukan di 125 kabupaten yang mencakup 96 etnis dan bekerja sama dengan 16 perguruan tinggi. Pengumpulan datanya juga melibatkan tokoh masyarakat adat, kepala kesa, puskesmas, dan dinkes kabupaten setempat.

Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkenas) 2016
Survei ini dilakukan dengan cara pengukuran dan pengamatan data primer, serta penelusuran data sekunder di fasilitas kesehatan dan komunitas. Tujuannya untuk mengetahui status kesehatan masyarakat, baik melalui dinkes setempat, puskesmas, dan rumah tangga.

Pengumpulan data dilakukan di 34 provinsi, 264 kabupaten/kota, 400 kecamatan, 400 puskesmas, 1.200 blok sensus, 22.795 rumah tangga, dan 97.986 individu.

Riset Pembiayaan Kesehatan (RPK) 2015
Riset ini diadakan pada masa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2015 dalam lingkup faskes tingkat pertama. Tujuannya adalah untuk mendapat informasi pembiayaan dalam konteks kegiatan UKM dan UKP yang dilakukan di dinkes kabupaten/kota, puskesmas, dan faskes tingkat pertama.

Dalam riset ini data yang dikumpulkan meliputi anggaran dan belanja pelaksanaan program kesehatan, termasuk pembiayaan personil, barang dan jasa, operasional dan modal tahun 2014 di dinkes kabupaten/kota dan puskesmas terpilih. Cakupan wilayahnya adalah seluruh Indonesia dan dipilih secara acak dari tujuh regional. Sampel yang terpilih adalah 71 dinkes, 305 puskesmas, rumah sakit, klinik, dokter, dan dokter gigi praktik mandiri yang sudah bekerja sama dengan BPJS.

Riset Khusus Vektor dan Reservoir Penyakit (Rikhus Vektora) 2015-2017
Riset nasional yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dengan tanggung jawab pelaksana oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbangkes di Salatiga, yaitu Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP).

Tujuannya adalah untuk pemutakhiran data vektor dan reservoir penyakit secara nasional sebagai dasar pengendalian penyakit tular vektor dan reservoir, baik dari sisi jenis penyakit infeksi baru maupun yang muncul kembali di Indonesia.

Riset ini difokuskan pada gambaran  vektor dan reservoir penyakit, termasuk pendataan nyamuk, tikus, dan kelelawar dengan menggunakan hasil observasi bionomik, uji identifikasi dan pemeriksaan laboratorium.

Studi Diet Total (SDT) 2014-2015
Riset ini merupakan bagian dari Sirkesnas, dan terbagi atas dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). SKMI dimaksudkan untuk memetakan data konsumsi makanan individu yang lengap, sedangkan ACKM untuk melihat tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi.

Studi Kohort Penyakit Tidak Menular (PTM)
Lingkup studi ini adalah faktor risiko perilaku dan sindrom metabolik. Studi ini pernah dilakukan di tahun 2011, dan akan dilanjutkan minimal setiap 10 tahun. Data yang dikumpulkan terkait dengan faktor risiko PTM seperti diet yang tidak sehat, konsumsi alkohol, kurangnya aktivitas fisik, sindrom hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia, dan obestias, dan lainnya.

Sejarah Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

1982
Pusat Data dan Informasi bermula dari pembentukan Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data di Biro Perencanaan di tahun 1982.

1985
Bidang pengumpulan berganti nama menjadi Pusat Data Kesehatan (Pusdakes) sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 558/MENKES/SK/1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

1999
Bersamaan dengan meleburnya Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan, Pusdakes berubah lagi menjadi Pusat Data dan Informasi Kesehatan (Pusdatinkes).

2001
Pusdatinkes berubah lagi menjadi Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) sesuai dengan surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 130/MENKES/SK/I/2000. Aturan tersebut kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor  1277/MENKES/SK/XI/2001 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kesehatan

2009
Struktur Organisasi Pusdatin mengalami perubahan kembali menjadi Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi (Pusdasure) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/MENKES/PER/VI/2009. Setahun kemudian, Pusdasure berganti menjadi Pusdatin berdasarkan  Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010.

2016
Bersamaan dengan reorganisasi Kementerian Kesehatan RI, struktur organisasi Pusat Data dan Informasi mengalami sedikit perubahan pada nama, tugas dan fungsi bidang dan sub bidang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.

Indonesia sebagai presidensi G-20 pada 2022 akan menunjukkan bahwa negeri ini mampu memulai transformasi sistem kesehatan di Indonesia dan juga akan menunjukkan bahwa perubahan sistem kesehatan global juga harus dilakukan, untuk memastikan generasi mendatang jauh lebih siap dibandingkan generasi sebelumnya bila ada pandemi berikutnya. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Petugas Malaria Center dari PT Freeport Indonesia menyemprot dinding rumah warga dengan insektisida di Timika, Kabupaten Mimika, Papua (25/10/2017). Tujuannya agar nyamuk Anopehels penyebar malaria mati ketika hinggap di tembok.

Artikel Terkait

Referensi